• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN SISTEM PEWARISAN MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT MINANGKABAU

3.2. Pewarisan Masyarakat Minangkabau

Pada Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang, sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari Sumber sejarah

Sumber dari tambo

Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.

Minangkabau pada dahulunya sangat terkenal dengan sifat kekeluargaan, sistem kekerabatan Matrilineal sepertinya goyah oleh faktor ekonomi. Memang segala pekerjan dilakukan secara bersama (konsi), saling membahu, itu dulu dan apakah hal seperti ini bisa diterapkan zaman sekarang, kalaupun kala ini terjadi di daerah pedesaan-pedesaan tradisional dan belum tersentuh oleh arus modernisasi. Kekentalan rasa kekeluargaan, kegotong-royongan dan sikap tanpa pamrih, seakan-akan hilang begitu saja, jika virus ekonomi bertebaran di dalam masyarakat Minangkabau dan akhirnya akan membekas menjadi mitos, legenda, dongeng di dalam sebuah folklore. Kenapa bisa begitu ?,pertanyan seperti ini mungkin tidak asing lagi bagi kita, kita cukup merujuk pada konsep di atas yaitu perekonomian. Seperti yang telah diterangkan di atas, faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam suatu perubahan sosial. Kealamiahannya seakan-akan membawa kita hanyut dan terlena, sehingga kita kehilangan keseimbangan dan menganggap budaya tradisi tidak cocok lagi dengan perekembangan zaman. Hal inilah yang sangat berpengaruh dalam perubahan fungsi Ayah yang merangkap menjadi mamak(Paman) di Minangkabau. Pada dasarnya, seorang mamak mengemban tanggung jawab yang

sangat berat di dalam lingkungan rumah gadang. Masalah sekecil apapun, seorang mamak(paman) tidak akan ketinggalan.

Seperti yang telah diterangkan di atas, faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam suatu perubahan sosial. Kealamiahannya seakan-akan membawa kita hanyut dan terlena, sehingga kita kehilangan keseimbangan dan menganggap budaya tradisi tidak cocok lagi dengan perekembangan zaman. Hal inilah yang sangat berpengaruh dalam perubahan fungsi Ayah yang merangkap menjadi mamak(paman) di Minangkabau. Pada dasarnya, seorang paman mengemban tanggung jawab yang sangat berat di dalam lingkungan rumah gadang. Masalah sekecil apapun, seorang paman tidak akan ketinggalan.

Perubahan diatas seolah-olah seimbang dan tidak ada yang dirugikan, baik mamak(Paman) maupun Ayah. Hanya saja Ayah sebagai paman akan kehilangan kekuasaannya terhadap kemenakan, tetapi kekuasaan tersebut akan ditemukan kembali apabila mereka sudah menjadi seorang Ayah. Persoalan hanya akan timbul, apabila mereka tidak mempunyai keturunan atau mandul. Jika kita perhatikan, kerugian akan sangat terasa apabila ayah menempati posisi mamak(paman) di lingkungan rumah gadang, karena pada awalnya mereka memegang kekuasan yang dominan terhadap kemenakan. Dan persoalan kedua pun muncul kembali, jika kemenakan-kemenakan tidak mempunyai seorang mamak(paman), otomatis kewajiban terhadap anak-anak akan bertumpu kepada Ayah dan sungguh tidak mungkin, jika anak-anak mereka dicarikan seorang Paman pengganti dalam mendidik anak-anak mereka.

Kita beralih kepada harta pusaka, harta pusaka yang berupa tanah ulayat, tanah kaum dan segala perangkat-perangkatnya baik surat menyurat semuanya berada di

tangan paman. Apapun tindakan terhadap harta pusaka harus melalui paman. Penggadaian, penjualan dan sebagainya paman yang menentukan, perempuan hanya tempat meminta pertimbangan, yang hanya bersifat formalitas belaka. Akan tetapi permasalahannya yang ketiga muncul kembali, jika keluarga rumah gadang tersebut tidak mempunyai harta pusaka, hal ini mungkin tidak menjadi masalah yang serius bagi mereka, kalaupun ada itu hanya sebatas tanah untuk tempat tinggal.

Mulai dari tanggung jawab terhadap kemenakan hingga harta pusaka dan masih banyak lagi fungsi paman yang membutuhkan pembahasan yang lebih khusus tentunya.Peran mamak(paman) tersebut di atas tanpa disadari telah beralih kepada ‘’urang sumando’’ selaku Ayah dari anak-anak mereka. Dalam hal ini, pandangan kita akan tertuju kembali pada faktor ekonomi. Perekonomian yang didominasi oleh seorang Ayah, akan menghilangkan dan menghambat terlaksananya fungsi mamak terhadap kemenakan-kemenakan mereka. Dalam memenuhi kebutuhan keluarga, pendidikan anak yang kian hari semakin meningkat seakan–akan telah menjadi tanggung jawab Ayah sepenuhnya, apa lagi keluarga tersebut sudah jauh dari negeri asal, yang dikenal dengan ‘’marantaau’’. Dalam pola hidup merantau ini, dominasi Ayah akan semakin kuat, apalagi rumah yang mereka tinggali di buat oleh sang Ayah. Jika mamak(paman) datang berkunjung kerumah kemenakan, namun paman tidak berhak apa-apa terhadap kemenakan.paman, di sini hanya sebagai tamu terhormat, karena Paman berkuasa hanya berkuasa di lingkungan rumah gadang belaka, sedangkan rumah ini dibuat oleh Ayah mereka, maka tereliminasilah fungsi mamak(Paman) tersebut terhadap kemenakan. Sejalan dengan itu, Paman dalam keluarga batihnya juga demikian. Mamak(Paman) sebagai seorang Ayah tidak akan melepaskan tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Jika paman dari anak-anak

mereka datang berkunjung, maka posisinya tidak lebih sebagai tamu, yang tidak berhak terhadap keluarga batihnya.

Jika kita memilah-milah dan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, maka pandangan kita mungkin akan tertuju kepada mamak(paman). Kepribadian paman yang sangat rapuh dan tingkah laku paman yang ‘’busuak ariang’’ akan berubah jika berbenturan dengan faktor ekonomi, paman merupakan di sini berfungsi sebagai pelaku aktif terjadinya suatu perubahan. Sifat paman yang kekanak-kanakan, manja dan tebal muka, tanpa merasa bersalah dengan sengaja menggerogoti hak-hak kemenakannya.

Harta pusaka (tanah) misalnya, jangankan harta pusaka keluarga, harta pusaka kaum pun dilibas oleh paman dan hasilnya dipergunakan dalam menunjang perekonomian keluarga batihnya. Paman memperjual-belikan dan menggadaikannya tanpa sepengetahuan dari pihak perempuan, kalaupun mereka diberi tahu, sifatnya hanya sebatas formalitas tanpa mengacuhkan argumen-argumen yang muncul dari mereka. Kita sebagai kemenakan sebenarnya telah diperlakukan sebagai ‘’urang pandia, umbua-umbua di tangah sawah ‘’kata orang Pariaman.

Menurut kepada realitas demikian, Ayah sebagai sumando tidak akan membiarkan kehancuran melanda anak-anak mereka. Berbagai arternatif-arternatif akan muncul untuk memenuhi kebutuhan keluarga batihnya, mungkin dengan menggadai dan menjual harta pusaka kaumnya ataupun meninggalkan negeri asal yang dikenal dengan ‘’marantau’’. Bagaimanapun juga, seorang Ayah tidak akan tega melihat anak-anak dan keluarganya terlantar, untuk mengatasi semua ini Ayah akan berusaha mati-matian untuk memenuhinya, meskipun harus mengadaikan atau menjual harta pusaka kaumnya. Dengan pengorbanan yang cukup besar ini, seorang

Ayah dipersalahkan, ‘’urang sumando lapiak buruak ‘’ tidak relevan bagi mereka, tetapi sebagai paman di lingkungan rumah gadang, mereka tetap sebagai orang yang sangat bersalah terhadap kemenakan, keluarga maupun hal itu tidak pantas pada sistem kekeluargaan yang seperti suku bangsa yang lain nya

Seperti yang telah dijelaskan di atas, merantau adalah salah satu arternatif yang biasa dipergunakan oleh seorang Ayah dalam mengatasi kesulitan ekonomi keluarganya. Dalam masa perantauan ini, ayah akan berusaha membentuk keluarga yang sakinah ’’gemah ripah loh jenawi’’ kata orang seberang, yang terlepas dari pengawasan dan keterikatan negeri asal. Pola hidup merantau ini tidak bisa disebut suatu penyimpangan, karena dahulunya daerah rantau sudah ada di Minangkabau, namun wilayahnya masih dalam kawasan Minangkabau. Berdasarkan perkembaagan zaman, daerah yang berada di luar Minang sudah dapat dikatakan daerah perantauan orang minang, perbedaannya terletak pada pemberian upeti. Daerah rantau dalam kawasan Minangkabau tetap memberikan upeti terhadap Kerajaan Pagaruyung, tetapi sekarang Kerajaan Pagaruyung tidak adalagi. Lain halnya dengan perantau ke luar daerah Minang, mereka tidak memberikan upeti kepada negeri asal.Seperti yang telah dibahas sebelumnya, faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam suatu perubahan. Perekonomian yang tidak seimbang akan menciptakan perubahan-perubahan di segala bidang kehidupan. Ekonomilah yang menjadikan seorang paman radikal dan ekonomilah yang mencipatakan seorang Ayah absolut. Dan ekonomi juga yang menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat di Minangkabau.

Perubahan alamiah seperti ini, seakan-akan tidak terbendung, walaupun sifatnya sangat perlahan, loyalitas ‘’kembali kanagari’’ sepertinya tidak akan relevan dengan perekembangan zaman. Sungguhpun perekonomian sangat aktif menjalankan

perannya, namun proses akulturasi, inovasi, dan sejenisnya juga berperan dalam perubahan ini, tetapi pada dasarnya faktor-faktor tersebut juga dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi juga.

Jika berdasarkan sumber sejarah maka menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit. Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.

Jika berdasarkan sumber dari tambo(sejarah kaum), Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran sejarah kaum sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam sejarah kaum masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Tambo (sejarah kaum) diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara

tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.

Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo(sejarah kaum) Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.

Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan.

Banyak ahli telah meneliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.

Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum berdirinya kerajaan

Pagaruyung.

Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai sekarang. Keberadaan dan peranannya sudah menjadi bakuan sosial atau semacam tatanan budaya yang diakui dan menjadi rujukan dalam menjalankan dan membicarakan tatanan adat alam Minangkabau. Kedua institusi itu tidak berdiri keduanya begitu saja. Dalam sebuah tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan institusi lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.

Mengenai bagaimana melakukan pembagian warisan mereka menggunakan berbagai rangkaian aturan yang telah ditetapkan.

1. Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan) yang dipimpin oleh

Dokumen terkait