Penurunan gen dari satu generasi ke generasi berikutnya dinamakan pewarisan (inheritance). Satu dari terobosan utama dalam ilmu pengetahuan adalah kesadaran bahwa hasil pewarisan dapat diprediksi. Orang pertama yang memformulasikan prediksi itu adalah pendeta
Augustinian, Gregor Mendel, yang melakukan penelitiannya di Brün (sekarang Brno di Republik Czech) pada pertengahan abad lalu.
Lokus tunggal
Sebagai contoh, anggap perkawinan dari heterozigot (Bb) dengan homozigot (bb). Ini persis sama dengan situasi pada kromosom kelamin. Sebagai akibatnya, hasil perkawinan Bb X bb dapat diterangkan dengan cara yang sama seperti yang digunakan untuk pewarisan kelamin yang didiskusikan lebih awal, dengan bantuan checkerboard:
Gamet dari tetua heterosigous
½ B ½ b
Gamet dari semua b
tetua homosigous ½ Bb ½ bb
Hasil perkawinan Bb X bb diharapkan mempunyai proporsi yang sama antara keturunan Bb dan bb. Pemisahan alel pada lokus selama meiosis dinamakan segregasi, dan rasio dari jenis keturunan yang berbeda sebagai akibat dari perkawinan dari tetua tertentu dinamakan rasio segregasi. Untuk perkawinan Bb X bb, rasio segregasinya adalah ½ Bb : ½ bb, yang sering ditulis sebagai 1 Bb : 1 bb.
Checkerboard dapat digunakan untuk menduga hasil dari sembarang
perkawinan tertentu yang melibatkan lokus tunggal. Rasio segregasi yang diharapkan dari semua jenis perkawinan yang mungkin dengan asumsi lokus tunggal terdaftar pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3. Rasio segregasi yang diharapkan pada keturunan yang timbul dari semua
tipe perkawinan yang mungkin dalam hubungannya dengan lokus autosom tunggal, sebagaimana diperoleh dari checkerboard
Tipe perkawinan Rasio segregasi
BB Bb bb
BB × BB 1 : 0 : 0
BB × bb 0 : 1 : 0
Bb × Bb 1 : 2 : 1
Bb × bb 0 : 1 : 1
bb × bb 0 : 0 : 1
Lebih dari satu lokus
Dalam ketiadaan bukti terhadap hal yang sebaliknya, itu dianggap bahwa segresasi pada satu lokus bersifat bebas dari segregasi pada lokus yang lain. Ini merupakan asumsi yang dibuat Mendel, dan itu benar pada berbagai situasi yang diamati pada hewan saat ini. Jika segregasi pada tiap lokus bersifat bebas dari segregasi pada lokus lain, maka peluang memperoleh gamet dengan alel tertentu (katakan B) pada lokus pertama dan alel tertentu (katakan d) pada lokus ke dua merupakan produk dari kemungkinan yang berkaitan dengan tiap alel secara bebas. Sebagai misal, jika individu bersifat heterozigot pada dua lokus (BbDd), maka ada empat tipe gamet yang mungkin, BD, Bd, bD, dan bd, yang akan dihasilkan dengan frekuensi sama. Hasil dari segregasi bebas pada dua lokus ditunjukkan pada
checkerboard:
Gamet dari satu tetua
¼ BD ¼ Bd ¼ bD ¼ bd
Gamet ¼ BD BBDD BBDd BbDD BbDd
dari ¼ Bd BBDd BBdd BbDd Bbdd
tetua ¼ bD BbDD BbDd bbDD bbDd
lainnya ¼ bd BbDd Bbdd bbDd bbdd
Menggabungkan semua sel pada checkerboard yang mempunyai keturunan identik, dan menyadari bahwa keturunan pada tiap sel terjadi dengan frekuensi ¼ x ¼ = 1/16, rasio segregasinya adalah:
1 BBDD : 2 BBDd : 1 BBdd : 2 BbDD: 4 BbDd : 2 Bbdd : 1 bbDD : 2 bbDd : 1 bbdd
Meskipun checkerboard menjadi agak besar, pada dasarnya itu dapat digunakan untuk menurunkan rasio segregasi yang diharapkan untuk semua tipe perkawinan yang melibatkan sembarang jumlah lokus yang mengalami segregasi secara bebas.
Pola pewarisan di atas tersebut mengilustrasikan pewarisan autosom sederhana karena pola tersebut menerangkan apa yang terjadi berkaitan dengan lokus pada autosom. Akan tetapi, beberapa lokus berada pada kromosom kelamin dan akibatnya mempunyai pola pewarisan yang berbeda. Lokus yang demikian dikatakan terpaut kelamin (sex-linked). Pola pewarisan lokus terpaut-X dapat diilustrasikan pada checkerboard:
Gamet jantan ½ XH ½ Y Gamet ½ XH ¼ XHXH ¼ XHY betina ½ Xh ¼ XHXh ¼ XhY (keturunan (keturunan betina) jantan)
dan diringkas pada Tabel 1.4. Sangat sedikit jumlah lokus yang diidentifikasi pada kromosom Y (terpaut-Y).
Tabel 1.4. Rasio segregasi yang diharapkan dari semua tipe perkawinan yang mungkin
dalam hubungannya dengan lokus terpaut-X, sebagaimana diperoleh dari checkerboard
Rasio segregasi
Diantara betina Diantara jantan
Tipe perkawinan XHXH XHXh XhXh XHY XhY XHXH × XHY 1 : 0 : 0 1 : 0 XHXh × XHY 1 : 1 : 0 1 : 1 XhXh × XHY 0 : 1 : 0 0 : 1 XHXH × XhY 0 : 1 : 0 1 : 0 XHXh × XhY 0 : 1 : 1 1 : 1 XhXh × XhY 0 : 0 : 1 0 : 1
Pada bagian awal seksi ini ditunjukkan bahwa kadang-kadang bukti yang baik diperoleh untuk menunjukkan bahwa segregasi pada dua lokus atau lebih tidaklah semuanya bersifat bebas. Kita sekarang akan menguji mengapa hal ini terjadi.
Sedikitnya ada ribuan gen berbeda, tetapi hanya ada sejumlah kecil kromosom. Oleh karena itu, sangatlah jelas tiap kromosom terdiri atas banyak gen berbeda, yang masing-masing mempunyai posisi (lokus) spesifik pada kromosom itu. Jika kromosom diwariskan sebagai unit kesatuan, maka untuk semua lokus pada kromosom tertentu, alel yang berada pada kromosom itu akan selalu bersegregasi bersama. Misalnya, anggap satu kromosom yang mengandung alel B pada suatu lokus dan alel D pada lokus lainnya, dan masing-masing homolognya mengandung alel b dan d. Jika kromosom bersegregasi sebagai unit kesatuan, maka hanya dua tipe gamet yang akan menghasilkan, yaitu BD dan bd, dengan frekuensi yang sama.
Pada prakteknya, kromosom tidak diwariskan sebagai unit kesatuan. Sebagai gantinya, seperti diterangkan lebih awal, rekombinasi atau pindah silang terjadi ketika kromosom homolog mengalami sinapsis selama tahap pertama meiosis. Selama sinapsis, pematahan dan penyambungan-kembali kromatid terjadi. Jika dua segmen dari kromatid yang patah menyambung kembali, kromatid itu masih akan diwariskan sebagai unit kesatuan. Akan tetapi, jika patahan terjadi pada posisi yang sama pada dua kromatid yang berdekatan, maka kadang-kadang segmen tersebut mengubah pasangannya, yang membentuk kromatid rekombinan. Jika dua kromatid berasal dari satu homolog, yaitu tergabung pada sentromernya (dinamakan sister chromatid), pindah silang tidak mempunyai pengaruh, karena sister chromatid merupakan kembaran dari satu sama lainnya. Akan tetapi, jika dua
kromatid tersebut adalah non-sister chromatid (satu dari homolognya dan satu dari yang lain), pinda silang menyebabkan pertukaran seimbang dari gen antara kromosom homolog, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.11. Seberapa jauh bahwa pematahan terjadi lebih-kurang secara acak di sepanjang setiap kromosom, ada hubungan langsung antara jarak nyata yang memisahkan dua lokus pada satu kromosom, dan jumlah rata-rata pinda silang di antara mereka. Sayangnya, jumlah ini tidak dapat diukur secara langsung. Akan tetapi, dengan mengobservasi keturunan dari perkawinan tertentu, kita dapat menghitung fraksi rekombinasi, yang merupakan proporsi gamet dari satu tetua yang hanya dihasilkan dari pindah silang selama meiosis pada tetua itu. Gambar 1.12 mengilustrasikan konsep fraksi rekombinasi, untuk dua kasus ekstrim dari keterpautan sempurna dan independen, dan untuk satu contoh data aktual.
Jika dua lokus berada sangat berdekatan pada kromosom yang sama, maka fraksi rekombinasi yang diamati sangat rendah dan lokus tersebut dikatakan bersifat terpaut erat. Semakin jauh jarak dua lokus pada kromosom yang sama, semakin besar peluang terjadinya pindah silang di antara keduanya, dan oleh karena itu semakin besar fraksi rekombinasinya. Untuk lokus yang terletak sangat berjauhan pada kromosom yang sama, gamet rekombinan sama frekuensinya dengan gamet non-rekombinan, yang menyebabkan nilai fraksi rekombinasi maksimum 50%. (Alasan mengapa
frekuensi rekombinan maksimum adalah 50% merupakan bukti dari Gambar 1.11, yang menunjukkan bahwa pindah silang menyebabkan dua gamet rekombinan dan dua gamet non-rekombinan.) Lokus yang letaknya cukup berjauhan pada kromosom yang sama sehingga mempunyai fraksi rekombinasi 50% dikatakan tak-terpaut secara efektif walaupun mereka sebenarnya berada pada satu kromosom. Mereka dikatakan tak-terpaut secara efektif karena mereka bersegregasi secara bebas, seolah-olah mereka berada pada kromosom yang berbeda.
Homolog 1 Homolog 2 non-sister kromatid patah Reunion dan crossing over Non-rekombinan
Gambar 1.11. Empat tahap yang dilibatkan dalam pindah silang antara sepasang
kromosom homolog.
Hubungan antara fraksi rekombinasi dan jarak antara dua lokus memungkinkan pembuatan peta keterpautan (linkage map), dimana lokus ditempatkan berdasarkan fraksi rekombinasi di antara mereka. Pada peta seperti itu, jarak antara lokus diekspresikan sebagai jarak peta (map distance), (dalam unit dinamakan centimorgan, cM), yang sama dengan 100 kali fraksi rekombinasi. Dengan menghitung fraksi rekombinasi di antara banyak pasangan lokus dalam spesies, kelompok dari lokus terpaut
Rekombinan Rekombinan
(kelompok keterpautan) menjadi dapat dimengerti. Karena lokus dalam tiap grup adalah terpaut, mereka pasti terletak pada kromosom yang sama. Dengan demikian, itu berarti bahwa jika sejumlah lokus digunakan dalam analisis keterpautan dalam suatu spesies, jumlah kelompok keterpautan sama dengan jumlah pasangan kromosom. Konstruksi peta keterpautan, yang mempunyai aplikasi praktis sangat penting, didiskusikan pada Bab 2.
Gambar 1.12. Konsep fraksi rekombinasi, yang diilustrasikan dengan checkerboard.
Garis pertama dan kedua pada bagian bawah menunjukkan bahwa harapan secara teoritis untuk rekombinasi 0% dan 50%. Garis terakhir menunjukkan beberapa data aktual, yang memberikan fraksi rekombinasi 18%.
Inaktivasi
Inaktivasi-X dan kompensasi dosis
Di antara banyak warna bulu yang dilihat pada kucing, mosaik warna oranye dan non-oranye, yang dikenal sebagai tortoiseshell (Gambar 1.13a) merupakan satu dari yang paling menarik. Rambut oranye disebabkan oleh alel O yang terpaut X, yang mencegah produksi pigmen gelap (hitam dan coklat), tetapi memungkinkan produksi pigmen kuning. Rambut non-oranye
adalah karena alel normal (tipe liar/wild-type) pada lokus yang sama, o, yang memungkinkan produksi pigmen gelap, dengan cara apapun yang ditentukan oleh alel pada lokus bulu tubuh berwarna lainnya. (Lihat Bab 12 untuk informasi lebih jauh mengenai genetika warna bulu tubuh.) Karena kedua alel harus ada agar dapat menghasilkan mosaik oranye dan non-oranye, kucing tortoiseshell tentunya bersifat heterozigot, XOXo, pada lokus terpaut-X ini. Tetapi mengapa beberapa bagian dari badan tersebut menampilkan pengaruh dari alel oranye, sedangkan bagian lain menampilkan pengaruh dari alel non-oranye? Dan mengapa pola dari oranye dan non-oranye kira-kira sama pada keseluruhan area, dan mengapa mereka tersebar lebih- kurang secara acak ke seluruh bulu tubuh?
Jawaban untuk pertanyaan ini sebagian terdapat pada pengamatan lain yang pertama kali dibuat pada kucing, oleh Barr dan Bertram, yang pada tahun 1949 melaporkan bahwa nukleus dari sel syaraf yang tidak membelah pada betina biasanya mengandung tubuh berwarna gelap, sedangkan hal yang sama pada jantan tidak (Gambar 1.13b). Tubuh berwarna gelap, yang sekarang dikenal sebagai Barr body atau kromatin sex. Walaupun itu telah diamati oleh banyak peneliti sebelumnya, Barr dan Bertram adalah peneliti pertama yang mencatat bahwa tubuh berwarna gelap terjadi hanya pada sel betina. Dalam upaya untuk menerangkan observasinya, mereka menduga bahwa itu mungkin kromosom X yang telah menjadi sangat padat dan kompak. Peneliti lain menunjukkan bahwa mereka benar; Barr body, pada kenyataannya, adalah kromosom X yang terlambat mereplikasi selama mitosis.
Mengambil contoh dari pengamatan serupa pada mencit, Mary Lyon menyatakan pada tahun 1961 bahwa kromosom X yang sangat padat dan kompak yang dilihat pada sel betina merupakan hasil dari satu di antara kromosom X (dipilih secara acak) yang menjadi tidak aktif pada tiap sel dari semua embrio betina pada tahap awal dari perkembangan. Ini dikenal sebagai hipotesis Lyon. (Pada kenyataannya, sekarang telah diketahui bahwa tidak semua gen pada kromosom X yang inaktif adalah inaktif; gen yang berada pada dan dekat daerah pseudo-autosomal tetap berfungsi pada kedua kromosom X.)
Karena hipotesis Lyon menyimpulkan bahwa pemilihan X untuk inaktivasi seluruhnya bersifat acak, itu menunjukkan bahwa setiap kromosom X pada betina normal akan bersifat aktif pada kira-kira separuh dari semua sel betina.
Proses inaktivasi-X secara acak memberikan penjelasan yang cukup untuk warna bulu tubuh tortoiseshell; tiap pola warna oranye mencerminkan sel yang diwariskan dari sel tempat di mana alel non-oranye tidak diaktifkan, dan sebaliknya. Selain itu, penyebaran pola yang nampak acak tersebut, dan area total oranye dan non-oranye yang kira-kira sama, dapat diharapkan jika X yang tak diaktifkan terpilih secara acak.
Dalam pewarisan, perlu dicatat bahwa karena kucing tortoiseshell bersifat heterozigot pada lokus terpaut-X, mereka tentunya mempunyai dua kromosom X, pada kasus itu mereka semestinya betina. Kucing jantan normal, yang hanya mempunyai satu kromosom X, bisa oranye (XOY) atau bukan-oranye (XoY), tetapi tidak tortoiseshell. Jadi, dugaan yang cukup aman bahwa setiap kucing tortoiseshell adalah betina. Kejadian yang jarang untuk tortoiseshell jantan pernah dilaporkan, tetapi mereka biasanya berubah menjadi jantan yang tidak normal yang mempunyai kromosom X ekstra, seperti diterangkan pada Bab 4.
Hasil dari inaktivasi-X secara acak adalah bahwa setiap betina bersifat mosaik, yang terdiri atas dua populasi sel berbeda yang berasal dari sumber yang sama; pada satu populasi sel kromosom X maternal (yaitu kromosom X yang berasal dari ibu) bersifat tidak aktif, dan pada populasi sel lain, X
paternal bersifat tidak aktif.
Satu-satunya pengecualian terhadap inaktivasi-X acak yang sampai kini tercatat terjadi pada kanguru, dimana kromosom X paternal yang tidak diaktifkan. Alasan untuk ini tidak diketahui.
Jelaslah hasil akhir dari inaktivasi-X pada betina adalah bahwa tiap sel betina mempunyai jumlah produk gen yang sama dari gen terpaut-X seperti pada sel jantan. Jadi, inaktivasi-X merupakan mekanisme yang menukaralihkan untuk perbedaan dalam 'dosis' gen antara jantan dan betina berkaitan dengan gen terpaut-X. Pengaruh inaktivasi-X ini dinamakan kompensasi dosis.
Gambar 1.13. (a) Seekor kucing tortoiseshell dengan totol-totol putih. Totol-totol
putih tersebut karena satu alel pada lokus autosom (lihat Bab 12). (b) Motor neurones dari nukleus hypoglossal dari kucing betina dewasa (kiri) dan kucing jantan dewasa (kanan). Tubuh yang berwarna gelap pada tiap sel adalah nukleolus. Tubuh berwarna terang kecil (panah) pada sel betina adalah Barr body.
Akhirnya, perbedaan penting antara mamalia dan burung harus dicatat: ketika inaktivasi-X tampak terjadi pada semua mamalia, inaktivasi-Z tidak terjadi pada burung. Alasan untuk ini tidak diketahui.
Perekaman (imprinting)
Inaktivasi tidak terbatas pada kromosom X saja. Pada lokus tertentu di kromosom lain, sejauh mana suatu alel diekspresikan (atau bahkan apakah itu diekspresikan semuanya) tergantung pada tetua asalnya. Ekspresi berbeda dari elel ini dinamakan perekaman genom (genomic imprinting). Seperti mungkin dibayangkan, ini dapat menjadi sumber frustasi dalam
upaya menetukan model pewarisan abnormalitas, karena perekaman dapat menyebabkan pola pewarisan tak khas.
Inaktivasi akibat dari metilasi
Pada level molekuler, inaktivasi berhubungan dengan penambahan grup metil (CH3) ke molekul sitosin yang terjadi dekat dengan sisi 5´ molekul guanin, yaitu inaktivasi terkait dengan metilasi sitosin pada suatu yang disebut CpG island, dimana p kependekan dari ikatan fosfat antara dua basa yang berdekatan. Dalam individu seekor hewan, semua turunan dari setiap sel tempat kejadian pertama inaktivasi mempunyai gen atau kromosom inaktif yang sama, karena setelah setiap replikasi dari rangkaian DNA termetilasi, rangkaian baru tersebut secara otomatis termetilasi pada tempat CpG yang sama seperti pada rangkaian aslinya. Akan tetapi, pada meiosis atau pada perkembangan embrio awal, pola metilasi diatur kembali.
Tidak semua pola metilasi merupakan satu set sepanjang kehidupan hewan. Pada kenyataannya, pada daerah yang dijadikan inaktivasi-X atau perekaman, metilasi CpG island pada promoter merupakan karakter umum dari gen inaktif, dan metilasi merupakan prasyarat untuk transkripsi banyak gen. Jadi metilasi merupakan cara lain gen diregulasi.