• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN

2.4 Pewarna alami

Pewarna alami dalam sistem biologi didefinisikan sebagai pewarna yang terbentuk dan terakumulasi dalam atau dikeluarkan dari sel hidup (Hendry, 1992). Pewarna yang terdapat pada sistem biologi dapat diklasifikasikan berdasarkan

19 jenis dari organisme (hewan, tumbuhan atau bakteri) penghasil pewarna tersebut. Sehubungan dengan pewarna makanan, bakteri, fungi sel tunggal dan fungi sederhana bersama-sama dengan alga sel tunggal dan juga zooplankton sederhana dapat menjadi sumber pewarna baru karena potensinya untuk dieksploitasi dengan teknik kultur. Pigmen dari organisme yang lebih tinggi seperti hewan, tumbuhan dan fungi, lebih kecil kemungkinan untuk dieksploitasi karena struktur pigmennya yang kompleks dengan jaringan sel yang kuat atau karena pigmen dari organisme yang lebih tinggi hanya terbentuk pada saat-saat kritis dari perkembangan organisme dalam suatu siklus hidup yang kompleks. Sebagai contoh, pigmen yang berfungsi sebagai bahan perangsang dalam reproduksi seksual yang terbentuk hanya setelah aspek-aspek lain dari siklus hidup selesai.

Klasifikasi pigmen pada sistem biologi menurut Hendry (1992) adalah sebagai berikut :

(1) Tumbuh-tumbuhan termasuk alga

Pigmen dari tumbuhan merupakan penyumbang terbesar pewarna alami, namun kisaran atau variasi pigmen yang terdapat pada tumbuhan adalah kecil. Pewarna dominan yang berasal dari tumbuhan darat adalah khlorofil (2 jenis), karotenoid (4 – 5 jenis) dari flavonoid (3 jenis). Dari lautan, terdapat 4 jenis khlorofil yang umum, 6 atau 7 karotenoid dan 2 bentuk phycobilin. Kontribusi pigmen lainnya dari tumbuhan, termasuk betalain, melanin, anthraquinon, naphthaquinon, karoten yang tidak umum, xanthofil dan beberapa flavonoid yang relatif tidak signifikan bila dilihat secara global. Pigmen-pigmen yang terdapat pada tumbuhan termasuk alga disajikan pada Tabel 3.

(2) Hewan vertebrata

Pada hewan vertebrata, kelas-kelas yang menghasilkan pewarna adalah burung, amphibi, ikan bertulang dan beberapa reptil. Pigmen tersebut disajikan pada Tabel 4.

(3) Hewan invertebrata

Distribusi pigmen pada hewan lebih rendah lebih besar daripada vertebrata dan merupakan saingan tumbuhan lebih tinggi dalam variasi.

20 Tabel 3 Pigmen pada tumbuhan dan alga

Pigmen Contoh Terdapat pada

Khlorofil a

b c, d

Semua organisme eukariot yang berfotosintesis Semua tumbuhan darat, beberapa alga

Alga coklat dan lainnya

Phycobilin Phycocyanin

Phycoerythrin

Alga biru –hijau dan lainnya Alga merah dan lainnya

Karotenoid Lutein

β-caroten Violaxanthin Neoxanthin Fucoxanthin

Xanthofil lebih melimpah, umumnya pada organisme fotosintetik

Karoten lebih melimpah, umumnya pada organisme fotosintetik

Umum pada tumbuhan lebih tinggi Umum pada tumbuhan lebih tinggi Alga coklat dan lainnya

Anthocyanidin Cyanidin Pelargonidin Delphinidin

Yang paling umum anthicyanidin, tersebar luas pada tumbuhan lebih tinggi

Umum pada tumbuhan lebih tinggi Umum pada tumbuhan lebih tinggi

Betalain Betacyanin Tersebar luas tetapi terbatas pada satu ordo timbuhan

Sumber : Hendry, 1992

Tabel 4 Pigmen pada vertebrata

Kelas Pigmen

Mamalia Terutama melanin

Burung (termasuk telurnya) Melamin

Karotenoid Tetrapyrrole Reptil dan Amfibi dan ikan bertulang Melanin Karotenoid Pterin Riboflavin

Ikan bertulang rawan Melanin

Sumber : Hendry, 1992

(4) Fungi

Fungi, terutama fungi sel tunggal yang lebih sederhana dapat diambil untuk kultur skala besar, mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber pigmen alami.

(5) Bakteri

Pada umumnya bakteri mengandung banyak pigmen yang sama atau identik dengan pigmen dari organisme yang lebih kompleks terutama tumbuhan. Klorofil dari bakteri berbeda dengan klorofil tumbuhan dalam reduksi satu ikatan rangkap.

21 Karotenoid dari bakteri mempunyai ciri tersendiri yang berbeda tetapi secara struktural dan biosintetik berhubungan erat dengan karotenoid dari tumbuhan dan hewan. Kebanyakan bakteri baik fotosintetik maupun non-fotosintetik juga mengandung β- dan γ-karoten.

2.4.1 Pewarna makanan

Pada umumnya pewarna makanan dapat dibagi dalam tiga kategori utama (Bauernfeind, 1981), yaitu :

(a) Pewarna organik alami yang berasal dari tumbuhan atau hewan, diekstrak dari alam atau senyawa-senyawa identik yang dihasilkan melalui sintesis kimiawi. (b) Pewarna inorganik yang diambil dari alam atau dihasilkan secara sintetis. (c) Pewarna buatan, yaitu senyawa-senyawa sintetis yang tidak berasal dari alam

atau tidak terdapat pada makanan yang dikonsumsi.

Secara kimiawi menurut Bauernfeind (1981) pewarna makanan alami dapat dibagi menjadi beberapa grup, yaitu :

(a) Derivat isoprenoid (warna-warna karotenoid)

(b) Derivat tetrapyrrol (warna-warna klorofil dan heme) (c) Derivat benzopiran (anthosianin dan flavonoid)

(d) Senyawa betalain (warna betanin dan yang berhubungan) (e) Flavin (seperti riboflavin)

(f) Pigmen inorganik

Alasan ditambahkannya pewarna pada makanan menurut Henry (1992) antara lain adalah untuk memperkuat warna pada makanan, memastikan keseragaman warna makanan, memulihkan warna awal makanan yang berubah karena pengaruh pengolahan, dan untuk memberi warna pada makanan tertentu yang sebenarnya tidak berwarna.

Pewarna alami untuk makanan merupakan kelompok pewarna yang berbeda- beda karakteristik solubilitas dan stabilitasnya. Oleh sebab itu setiap pewarna tersedia dalam beberapa bentuk aplikasi yang berbeda, yang diformulasikan agar pewarna sesuai dengan sistem makanan tertentu. Suatu bentuk aplikasi produk pewarna adalah suatu formula yang memungkinkan bahan tambahan pangan dengan mudah dan efisien tercampur dalam produk-produk makanan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan bentuk aplikasi yang harus dipertimbangkan

22 oleh ahli teknologi pangan adalah solubilitas, bentuk fisik, pH, kualitas mikrobiologis dan bahan-bahan lain (Henry, 1992).

Karakteristik pewarna makanan yang baik menurut Bauernfeind (1981) adalah sebagai berikut :

(1) Tidak toksik dan tidak bersifat karsinogenik pada berbagai level; tidak mengandung bahan-bahan yang toksik.

(2) Kemampuan larut (solubilitas) dan kemampuan menyebar yang baik agar dapat menyatu dengan produk-produk makanan dengan dasar air dan lemak. (3) Tidak memberikan rasa atau bau yang berbeda terhadap produk-produk

makanan.

(4) Harus stabil terhadap cahaya, terhadap kisaran pH yang luas terutama pH 2 - 8, pada suhu panas, dan selama penyimpanan dan perlakuan sebelum dikonsumsi.

(5) Tidak bereaksi dengan trace element atau dengan oxidizing atau bahan- bahan pereduksi.

(6) Harus seragam pada tiap bagian dan dapat dimonitor baik dalam bentuk konsentrat maupun dalam makanan dengan teknik analitis.

(7) Tersedia luas dan relatif ekonomis untuk digunakan pada makanan.

(8) Disetujui dan sesuai dengan spesifikasi pemerintah dan lebih baik bila mempunyai status yang disetujui secara internasional.

23

Dokumen terkait