• Tidak ada hasil yang ditemukan

PGAS (9) Global Politics Today

Dalam dokumen Politik Global Amerika Serikat dalam (Halaman 43-49)

* Politik Global Amerika Serikat - Teori Hubungan Internasional dan Kepentingan Amerika Serikat

* Military Industrial Complex

Sejak dahulu, bisnis penjualan senjata Amerika Serikat ke banyak negara berkembang telah menjadi bisnis yang menjanjikan, terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah ekspor senjata negara maju tersebut ke negara berkembang. Seperti yang diungkapkan di dalam dokumentasi BBC Inggris yang berjudul "Addicted to Arms". Dokumentasi ini mendeskripsikan penjualan senjata yang dilakukan Inggris dan Amerika sebagai ekportir senjata terbesar di dunia. Baik Inggris maupun Amerika, masing-masing memberikan alasan untuk membenarkan penjualan senjata yang mereka lakukan.

Fenomena serupa juga dapat digunakan untuk melihat transaksi penjualan senjata antara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Perang antara Korea Utara dan Korea Selatan tahun 1950 telah memberikan trauma tersendiri bagi Korea Selatan. Perbedaan kemampuan persenjataan antara kedua negara ini saat perang Korea 1950 lalu inilah yang membuat Korea Selatan begitu tergantung pada Amerika Serikat terutama dari sisi militer dan pertahanan. Walaupun sudah jelas bahwa kekuatan militer Korea Selatan saat ini sudah jauh lebih baik dari Korea Utara. Namun Korea Selatan tetap saja tidak bisa menghilangkan ketergantungannya terhadap Amerika Serikat. Contoh lain, ketika Amerika Serikat menjual senjatanya berupa misil Patriot, helikopter Black Hawk dan perangkat komunikasi bagi pesawat tempur F-16 ke Taiwan pada tahun 2010 lalu, padahal Taiwan sedang terlibat konflik dengan China. Namun dengan alasan yang sangat diplomatis, Amerika Serikat melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negerinya, Laura Tischler mengungkapkan bahwa penjualan senjata ini justru memberikan sumbangan pada tetap terpeliharanya keamanan dan stabilitas di Selat Taiwan.

Kebijakan penjualan senjata Amerika Serikat ini sejalan dengan konsep military industrial complex yang diperkenalkan oleh President Dwight Eisenhower pada tahun 1961. Korea Selatan misalnya, mengalokasikan dana pertahanan untuk mengatasi persepsi ancaman. Negara sebagai aktor rasional tentu saja akan membuat keputusan untuk kapabilitas ofensif dan defensif, memutuskan cara terbaik untuk memperoleh keamanan.

Pada dasarnya, Military Industrial Complex merupakan kombinasi dari kekuatan bersenjata Amerika Serikat, industri persenjataannya, dan hubungan kepentingan politik dan komersial yang tumbuh dalam skala dan intensitas yang besar serta berpengaruh sejak Perang Dunia II, sepanjang Perang Dingin hingga sekarang.

Namun, istilah Military Industrial Complex ini juga sering dipandang buruk, yaitu sebagai bentuk kolusi yang terlembaga diantara industri pertahanan swasta, jasa-jasa militer, dan pemerintah Amerika Serikat (terutama Departemen Pertahanan). Kolusi ini termasuk menghadiahkan kontrak kepada pendukung kampanye dan politisi yang tidak tepat untuk pengeluaran militer. Banyak pengamat yang mengkhawatirkan aliansi ini dikendalikan keinginan untuk mengejar keuntungan daripada kepentingan publik.

Decade akhir-akhir ini, praktek kolusi ini menjadi hal yang lazim, bahkan ditempatkan dalam agenda ekonomi Amerika Serikat, beberapa orang berpendapat kebijakan pemerintah Amerika saat ini menjamin kesiapan dengan mempertahankan seluruh Negara untuk menghabiskan uang dalam jumlah besar pada teknologi militer terbaru. Selain itu, ternyata akibat hal ini, ketergantungan negara terhadap industri pertahanan untuk pekerjaan bagi masyarakat dan pajak bagi Negara semakin meningkat. Jika pemerintah Amerika secara drastis mengurangi pengeluaran militer, banyak rakyat Amerika yang bekerja di pabrik manufaktur pertahanan di seluruh negeri akan kehilangan pekerjaan mereka; kenyataan ini membuat anggota Kongres Amerika semakin sulit untuk memberikan suara untuk mendukung pengeluaran militer yang tidak perlu ini.

Military Industrial Complex ini merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Dwight D. Eisenhower, Presiden Amerika Serikat pada saat pidatonya pada 17 Januari 1971. Walaupun istilah ini awalnya digunakan untuk mendeskripsikan keadaan di Amerika Serikat. Namun saat ini, istilah ini juga bias diaplikasikan untuk mendeskripsikan keadaan Negara lain. Seperti Rusia, Jerman, Inggris dan Prancis.

Seperti yang diungkapkan diatas, bahwa masing-masing negara besar termasuk Amerika Serikat memiliki justifikasi sendiri untuk membenarkan ekspor senjata mereka ke negara-negara lain, termasuk membawa-bawa kepentingan rakyat. Namun terlepas dari kepentingan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan keberlangsungan rakyatnya, ternyata pihak yang sebenarnya diuntungkan oleh bukanlah publik Amerika, melainkan korporasi yang menginginkan agar penjualan senjata terus meningkat, para pedagang senjata yang mendapatkan komisi yang

besar serta pemerintah negara kuat yang ingin terus meningkatkan geopolitical power nya. Bahkan lini tertingggi dalam pemerintahan seperti Tony Blair dan Mentri Luar Negeri Jack Straw juga harus bertindak seperti penjual senjata dan memenangkan kontrak di luar negeri. Mereka beranggapan bahwa if they don't do it, someone else will.

Terlebih lagi, data distribusi dan transfer senjata Amerika dari 2002-2009 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar negara yang membeli senjata dari Amerika Serikat adalah negara- negara berkembang dan juga Negara yang tengah berkonflik baik itu konflik intranegara maupun konflik antarnegara. Misalnya Korea, Taiwan, dan Thailand. Penjualan senjata terutama kepada pihak-pihak yang berkonflik ini, pasti akan semakin memperburuk kondisi konflik. Dengan istilah yang lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat beserta korporasi- korporasi persenjataan Amerika memang sengaja memelihara dan membangkitkan konflik- konflik di berbagai negara agar industri persenjataan mereka tetap memperoleh untung besar. Jadi dengan alasan apapun pada dasarnya, aktivitas transfer senjata negara maju kepada negara berkembang yang tengah terlibat konflik sangat riskan. Pelanggaran terhadap hak azasi manusia dan praktek-praktek seperti genosida sangat mungkin terjadi. Dan ketika negara maju diminta pertanggungjawabannya atas hal-hal seperti itu, negara besar seperti Amerika Serikat pasti telah menyiapkan “exit way” agar dapat menyelamatkan muka.

* Tesis dari Francis Fukuyama (The End Of History and The Last Man)

The end of history and the last man merupakan sebuah buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama, seorang teoritisi Amerika keturunan Jepang. Di dalam bukunya, Fukuyama berpendapat bahwa munculnya Demokrasi Liberal Barat merupakan tanda berakhirnya evolusi sosiokultural manusia dan merupakan bentuk akhir dari pemerintahan manusia. Tesis Fukuyama juga dibangun atas ide bahwa liberalisme akan menjadi ideologi yang dominan, dan menyatakan bahwa ideologi-ideologi lain tidak akan bertahan. Sementara ideologi lain runtuh, konsumerisme dan kapitalisme akan tercetak di dalam sejarah sebagai idelogi yang mampu membawa manusia pada kemakmuran.

Pada dasarnya tesis Fukuyama semakin mengagung-agungkan demokrasi ala Amerika dan juga sistem liberal kapitalis yang membawa Amerika Serikat menjadi negara dengan ekonomi yang sangat baik. Meskipun tesis Fukuyama ini diterima sebagian kalangan, namun tidak sedikit juga yang melontarkan kritik. Hal ini karena fenomena yang terjadi akhir-akhir ini pun juga menunjukkan gejala yang sangat kontradiktif dengan tesis Fukuyama. Semakin banyak

orang yang merasa bertambah sengsara dengan kapitalisme sehingga membentuk gerakan penolakan juga munculnya system-sistem alternatif yang ternyata mulai popular dan diperkirakan bisa “eksis” dan bertahan. Dan contoh yang paling baik untuk menjawab fenomena ini adalah Amerika Latin.

Dengan sistem sosialisme abad 21 (New Socialisme) yang dipopulerkan Amerika Latin ternyata mampu melahirkan sistem alternatif baru yang terbukti mampu mengubah kehidupan rakyatnya. Bahkan system ini mampu membawa memberikan kesejahteraan dengan program- program pro rakyatnya. Hal ini tentu semakin meningkatkan popularitas para pemimpin kiri di Amerika Latin, seperti Hugo Chaves, Evo Morales dan Fidel Castro. Mereka tidak segan-segan memperlihatkan ketidaksukaannya pada sistem kapitalisme Amerika baik secara langsung dari tindakannya, dan juga dari kebijakan negaranya. Selain itu, banyak juga kekurangan lain dari tesis yang dibangun oleh Francis Fukuyama, ia mengatakan bahwa liberalisme dan demokrasi adalah kategori “one size fits all”. Dalam artian masing-masing demokrasi yang ada di Negara- negara di dunia dibentuk oleh demokrasi ala Amerika. Namun sejarah telah mengungkapkan bahwa masing-masing negara memiliki sistem demokrasi liberal mereka sendiri.

* Politik Global Amerika Serikat dalam Isu Ekonomi Politik Internasional dan Lingkungan

Amerika Serikat pada tahun 1930, menjadi Negara yang dominan dan hegemoni terlebih saat terjadinya krisis ekonomi, namun Amerika Serikat tidak berkeinginan mengambil tanggung jawab untuk menciptakan tatanan ekonomi yang liberal. Namun keinginan itu muncul setelah perang kedua berakhir. Perang tersebut telah menjadikan Amerika Serikat sebagai Negara adidaya yang tidak tersaingi. Sebagai reaksi, beberapa politisi Amerika Serikat mengakui bahwa Amerika Serikat harus mengambil tanggung jawab untuk menciptakan perekonomian pasar dunia yang liberal. Namun upaya Amerika Serikat untuk memajukan perekonomiannya sudah terlihat sejak Amerika di pimpin oleh Presiden T. Roosevelt. Fokus perhatian Amerika Serikat pada bidang ekonomi Politik tercermin pada proses perdagangan yang dilakukan oleh AS ke Negara-negara lainnya. Selian itu, amerika Serikat juga mengembangkan industri negaranya agar lebih maju, sehingga Amerika Serikat melakukan ekspansi untuk mendapatkan bahan mentah dan mengadakan kerjasama dengan Negara lain yang menjadi pasar bagi Amerika Serikat.

Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat mengambil pimpinan dalam menentukan institusi dan peraturan baru yang mendasari perekonomian dunia liberal yang berubah. Sitem

tersebut dinamakan sistem Bretton Woods yang menjadi tempat persetujuan tersebut dibuat pada tahun 1947 untuk membnetuk lembaga-lembaga penting perekonomian liberal pasca perang, seperti IMF (International Monetary Fund), World Bank, GATT (sekarang WTO: World Trade Organization). Jelas system itu demi kepentingan Amerika Serikat, sebagai kekuatan industrial dominan dunia, peekonomian yang terbuka merupakan keuntungan besar bagi Amerika Serikat sebab akan memberi akses bagi pasar luar negerinya.

Kemajuan dan perkembangan perindustrian sangat berpengaruh pada keadaan alam dan lingkungan hidup. Kegiatan perindustrian telah menyebabkan banyak kegiatan eksploitasi atau degradasi lingkungan baik skala lokal maupun nasional. Dan eksploitasi tersebut dilakukan di banyak tempat di seluruh dunia sehingga dapat dianggap sebagai masalah global, seperti masalah erosi dan degradasi tanah, penebangan hutan, polusi air dan masalah lingkungan lainnya. Selain itu, karena emisi gas atau pengeluaran karbon dioksida yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik industri dapat menyebabkan global warming di masa yang akan datang. Akhirnya PBB mengadakan suatu konferensi yang dinamakan UNFCC (United Nations Framework on Climate Change) di Kyoto, Jepang, yang ditujukan untuk memaksa kurang lebih 150 negara di dunia yang sadar akan lingkungan dan agar lebih merespon permasalahan lingkungan dan menjaga keberlangsungan bagi kehidupan lingkungan di masa depan. Konferensi tersebut akhirnya menghasilkan perjanjian Protokol Kyoto. Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.

Green politic theory mengajukan dasar normatif dari sudut pandang politik hijau mengenai politik global, ekologi global yang membuat suatu dasar eksplanatif. Green political theory memiliki semboyan yang sangat terkenal, yaitu berpikir global, bertindak lokal (think globaly, act locally). Dua prinsip tersebut berasal dari pemikiran bahwa sementara permasalahan lingkungan dan sosial atau ekonomi berlangsung pada suatu skala global, prinsip-prinsip tersebut hanya dapat terwujud dengan mendobrak struktur kekuasaan global yang akan mendorong mereka ketindakan lokal dan pembentukkan masyarakat politik dan swadaya ekonomi dalam skala yang lebih kecil.

Perjanjian yang tercatat dalam Protokol Kyoto mewajibkan Negara-negara yang mengembangkan program industrinya, terutama Negara-negara maju untuk mengurangi penggunaan gas emisi dunia. Amerika Serikat sebagai Negara maju yang menjadi penyumbang gas emisi terbesar di dunia, menganggap bahwa Protokol Kyoto tersebut tentu akan menghambat

proses industri Amerika Serikat sehingga mengancam perekonomian Amerika Serikat. Amerika Serikat yang pada tahun 1990 tercatat sebagai Negara penyumbang gas emisi terbesar, dengan memproduksi lebih dari enam milyar ton gas rumah kaca per tahun, diwajibkan untuk mengurangi penggunaan gas emisi sebesar 30%. Akhirnya pada tahun 2001 Amerika Serikat mundur dari kesepakatan Protokol Kyoto dan menolak meratifikasi dengan mengatakan hal itu akan merugikan ekonominya dan protokol tersebut tidak sempurna karena tidak menerapkan restriksi emisi dari negara-negara yang industrinya berkembang pesat, seperti Cina dan India.

Sikap Amerika Serikat ini telah melanggar kesepakatan internasional. Padahal sebelumnya Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bush senior telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian induknya, yaitu Kerangka Konvensi Perubahan Iklim, yang mengharuskannya mengadopsi kebijakan nasional dan mengambil langkah untuk mitigasi perubahan iklim dengan membatasi emisi gas rumah kaca. Bahkan pada pertemuan peranjian Protokol Kyoto II, tidak hanya Amerika Serikat yang mengundurkan diri dan menolak meratifikasinya, tapi juga Negara lain seperti Rusia dan Italia. Ini disebabkan karena Amerika Serikat adalah Negara maju pertama yang keluar dari kesepakatan tersebut karena takut mengancam kemajuan indutrinya, sehingga Negara-negara lainnya turut serta mengambil langkah yang diambil oleh Amerika Serikat.

Kemajuan industri yang dicapai oleh suatu Negara telah menyebabkan krisis terhadap lingkungan karena telah melakukan eksploitasi terhadap lingkungan dan sumber daya alam. Meskipun banyak Negara industri maju yang berusaha untuk menciptakan industri yang lebih ramah lingkungan, tapi hal tersebut sulit untuk dilakukan jika penggunaan sumber daya alam yang diambil terus menerus dilakukan. Terlebih biaya untuk menciptakan industri yang ramah lingkungan membutuhkan biaya yang sangat mahal. Inilah yang menjadi perdebatan kaum environmentalism dan gerakan politik hijau.

PGAS (10)

Dalam dokumen Politik Global Amerika Serikat dalam (Halaman 43-49)

Dokumen terkait