• Tidak ada hasil yang ditemukan

PGAS (10) Global War on Terror

Dalam dokumen Politik Global Amerika Serikat dalam (Halaman 49-60)

* Kebijakan Amerika Serikat Dalam Mengatasi Aksi Terorisme

Sampai tahun 1980-an, pemerintah Amerika Serikat, seperti kebanyakan negara Barat lainnya, menganggap teroris adalah menjadi tanggungjawab polisi semata. Tetapi setelah serangan terhadap kedutaan Amerika Serikat di Teheran dan serangan bom mobil dan truk pada fasilitas Amerika di Libanon terpaksa semua kebijakan di evaluasi kembali. Kebijakan terbaru saat ini meliputi kebijakan tentang upaya melawan terorisme baik didalam negeri Amerika maupun di luar negeri.

Amerika Serikat telah mempertimbangkan bahwa semua tindakan teroris dan kriminal tidak dapat di tolerir dan mengutuk aksi-aksi ini tanpa membeda apapun motivasi dan tujuan mereka. Amerika Serikat akan mendukung semua tindakan hukum untuk mencegah terorisme dan membawa pelaku ke pengadilan. Kami tidak akan membuat konsekuensi atau perjanjian pada teroris karena karena hanya akan mengundang lebih banyak tindakan teroris. (Tidak ada konsesi tidak berarti tidak ada negosiasi).

Depertement Pertahanan Amerika (Department of Defense/ DOD) telah mengidentifikasi lima tingkat ancaman dalam menstandarisasikan pelaporan. Yaitu berdasarkan keberadaan teroris, kemampuan, tujuan, sejarah, target, dan keamanan lingkungan. Lima tingkatan tersebut dapat dilihat lebih jelas dalam keterangan di bawah ini:

Kritis, yang berarti bahwa kelompok teroris telah memasuki negara dan memiliki kemampuan untuk melakukan itu. Memiliki kemampuan untuk menyerang dan melakukan seleksi target. Dalam hal ini Sejarah dan tujuan mungkin dikenal atau mungkin tidak dikenal.

Tinggi, menunjukkan bahwa ada kelompok teroris yang memiliki kemampuan, sejarah, dan tujuan untuk menyerang.

Sedang, menjelaskan kondisi yang sama seperti kondisi tinggi kecuali tujuan yang tidak diketahui.

Rendah, adalah suatu situasi di mana ada kelompok-kelompok teroris mereka memiliki kemampuan untuk menyerang. Sejarah mereka mungkin diketahui atau mungkin tidak dikenal.

Diabaikan, menggambarkan situasi di mana keberadaan atau kemampuan kelompok teroris mungkin ada atau tidak ada.

Tingkat ancaman tidak sama dengan ancaman kondisi (threatcon); yang kedua adalah soal perintah keputusan yang menerapkan tindakan balasan.

* Serangan 11 September 2001 dan Perubahan Kepentingan Serta Tujuan Kebijakan Pertahanan Amerika Serikat.

Serangan 11 September 2001 yang lalu telah terbukti memberikan efek yang luar biasa tidak hanya bagi Amerika Serikat (AS), tetapi juga terhadap perkembangan keamanan secara global. Tantangan keamanan dunia pasca Perang Dingin yang selalu didengungkan selama ini adalah munculnya AS sebagai negara dengan kekuatan unipolar. Dan sejak perang dingin berakhir, hegemoni AS di berbagai belahan dunia semakin terlihat.

Terminologi terorisme sendiri sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan jauh sebelum peristiwa 11/ 9 terjadi, Dick Cheney yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS dibawah Administratif Clinton (1993), telah membahas terorisme serta isu-isu lain seperti perdagangan narkotika dan obat bius, dan proliferasi senjata-senjata pemusnah massal dalam strategi pertahanan regionalnya. Artinya, meskipun terorisme telah lama dikenal sebagai sebuah ancaman terhadap keamanan dan kepentingan nasional, tidak membuat AS siap menghadapi serangan terorisme. Hal ini diperkuat dengan reaksi nyata baik pemerintah maupun publik AS yang terkejut dalam peristiwa 11 September 2001, yang meruntuhkan gedung menara kembar WTC di jantung kota dan pusat finansial New York.

Sebuah pelajaran yang luar biasa besar dari peristiwa 11/ 9 adalah bahwa negara lemah (weak states) seperti Afganistan, mampu menjadi ancaman besar bagi kepentingan nasional negara yang kuat, seperti AS. Apalagi ancaman yang kini dihadapi adalah kelompok-kelompok teroris internasional, sehingga AS harus memperkuat hubungan kerjasama dengan setiap negara terutama negara-negara yang masuk dalam kategori weak states. Karena kemiskinan, institusi yang lemah, dan korupsi dapat menyebabkan negara-negara lemah rentan terhadap jaringan teroris termasuk juga peredaran obat-obat terlarang.

Memperkuat aliansi dan kerjasama dengan setiap negara untuk mengalahkan teroris internasional adalah sangat penting. Namun upaya itu juga harus didukung dengan reformasi strategi keamanan negara serta maksimalisasi setiap kekuatan yang dimiliki. Kekuatan militer, pertahanan nasional, penegakan hukum, intelejen, dan upaya-upaya untuk mematahkan jalan dari pembiyaan operasi terorisme merupakan sebuah kesatuan yang harus dilakukan.

Peristiwa 9/ 11 telah memberikan guncangan psikologis bagi AS, sehingga perhatian AS akan keamanan negara (homeland security) secara total mengalami penyesuaian. Pemerintahan Bush sedang membangun kebijakan-kebijan baru dan strategi pertahanan nasional, berupaya menciptakan institusi keamanan baru, dan berusaha memenuhi sumber-sumber dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi ancaman-ancaman terorisme. Hebatnya serangan teroris pada 11 September, dipadukan dengan karakter pemerintahan Bush yang neokonservatif menyebabkan kebijakan AS pasca 11/ 9 cenderung pada pendekatan militeristik dalam kampanyenya memerangi Osama Bin Laden, tersangka utama dalam peristiwa 11/ 9.

* Strategi Keamanan Nasional AS pasca 11 September 2001

Beberapa saat setelah penyerangan terhadap gedung WTC dan Pentagon terjadi, AS langsung mengeluarkan laporan rutin Dapartemen Pertahanan AS, yaitu “Quadrennial Defense Review Report/ QDR” (30 September 2001) dan setahun kemudian disusul dengan dikeluarkannya “The National Security Strategy/ NSS” (17 September 2002) yang merupakan strategi pemerintahan Bush dalam menghadapi perubahan ancaman keamanan AS pasca 11 September 2001.

Perubahan cara pandang terhadap konsep keamanan serta transformasi strategi pertahanan terlihat jelas baik dalam laporan QDR 2001 maupun didalam NSS 2002. Jika pada masa sebelum Bush menjabat sebagai presiden, yaitu pada masa pemerintahan Bill Clinton, kebijakan luar negeri AS lebih menekankan pada isu-isu ekonomi, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), serta nilai-nilai demokrasi. Hal ini terlihat dalam “National Security Strategy” (1999), dimana Clinton merumuskan empat tugas besar bangsa AS, antara lain:

1. Untuk menjaga keamanan AS

2. Untuk mengembangkan kesejahteraan ekonomi AS 3. Untuk memperkenalkan demokrasi

4. Memperkenalkan HAM kedepan

Sementara dalam NSS 2002, presiden George W. Bush sangat menekankan persoalan- persoalan keamanan. Meskipun tidak secara eksplisit, kecenderungan Bush mengedepankan pendekatan militer dalam strategi keamanannya jelas terlihat. Dalam pidatonya di Westpoint, pada 1 Juni 2002, Bush mengemukakan tiga tugas besar AS kedepan, yaitu:

2. Kita akan menciptakan perdamaian dengan membangun hubungan baik dengan beberapa kekuatan besar

3. Kita akan memperluas perdamaian dengan memperkenalkan masyarakat bebas dan terbuka disetiap benua

Arah dan warna kebijakan AS memperlihatkan perubahan yang cukup menyolok. Peristiwa 11 September tersebut terbukti memiliki peranan yang besar dalam mengubah kepentingan dan tujuan politik luar negeri AS. Setidaknya seperti apa yang terlihat dalam Quadrennial Defense Review Report 2001 (QDR) yang dikeluarkan Deparment of Defense (Departemen Pertahanan AS) pada akhir September 2001 menunjukkan perubahan orientasi yang besar dalam tujuan-tujuan kebijakan pertahanan. Ada empat kebijakan (defense policy goals) yang tercatat dalam laporan tersebut:

 Menjaga teman dan aliansi

 Kompetisi militer ke depan yang pasif

 Mencari ancaman dan serangan terhadap kepentingan AS

 Jika kebijakan penangkalan gagal, maka musuh akan menang

Dalam laporan QDR 2001, AS juga kembali menegaskan bahwa tujuan kekuatan bersenjata AS adalah untuk melindungi dan meningkatkan kepentingan nasional, serta jika strategi penangkalan mengalami kegagalan harus mampu melakukan perlawanan pada ancaman- ancaman terhadap kepentingan tersebut. AS memiliki kepentingan, tanggung jawab, dan komitmen terhadap dunia. Sebagai sebuah kekuatan global dalam masyarakat yang sangat terbuka, AS sangat dipengaruhi oleh trend, kejadian, dan pengaruh-pengaruh yang lain yang berasal dari luar teritorialnya. Oleh karenanya, AS memandang bahwa pembangunan postur pertahanan harus memperhitungkan kepentingan-kepentingan nasionalnya, antara lain:

* Aksi Kepastian Keamanan dan Kebebasan AS, yang meliputi:

- Kedaulatan (sovereignity) AS, integritas teritorial (territorial integrity), dan kebebasan (freedom).

- Melindungi warga negara AS baik yang berada di dalam dan luar negeri. - Perlindungan terhadap infrastruktur strategis AS.

* Menghormati Komitmen Internasional, yang meliputi: - Keamanan dan kesejahteraan negara aliansi dan sahabat.

- Menghalangi permusuhan yang mendominasi wilayah-wilayah strategis, khususnya Eropa, Asia Timur Laut, pesisir Asia Timur, dan Timur Tengah serta Asia Barat Daya.

- Perdamaian dan stabilitas di dunia barat (west hemisphere). * Mendukung Kesejahteraan Ekonomi, meliputi:

- Vitalitas dan produktivitas ekonomi global.

- Keamanan internasional atas laut, udara dan ruang angkasa, dan jalur komunikasi informasi. Melihat penekanan isu-isu keamanan dan kentalnya nuansa militeristik dalam pendekatan strategi baru Bush, maka perkembangan baru dalam strategi keamanan nasional AS akan diikuti juga dengan transformasi dalam militer AS. Donald H. Rumsfeld, Mentri Pertahanan pemerintahan Bush, mengatakan bahwa Departemen Pertahanan AS harus memfokuskan perhatian pada upaya pencapaian enam tujuan program pengembangan transformasional (development of transfomational programs). Keenam tujuan yang disebut Rumsfeld sebagai “six-step strategy” tersebut meliputi:

1. Melindungi keamanan negara dan menjaga pangkalan-pangkalan AS di luar negeri. 2. Menbangun dan mempertahankan kekuatan dalam medan-medan perang.

3. Meniadakan tempat perlindungan bagi musuh dan memastikan bahwa tidak satu pun tempat di dunia ini yang dapat melindungi mereka dari penangkapan.

4. Melindungi jaringan informasi dari serangan-serangan.

5. Mempergunakan teknologi informasi untuk perhubungan antar berbagai kekuatan militer sehingga dapat bekerjasama dalam berperang, dan

6. Mempertahankan kemudahan akses udara dan melindungi kemampuan (pertahanan) udara dari serangan musuh.

Dari pengalaman 11/ 9 dan ditambah dengan pengalaman dalam perang Afganistan yang lalu, pada akhirnya menciptakan kebutuhan akan perubahan dalam postur pertahanan AS dengan cara- cara diatas. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa budget pertahanan 2003 telah dirancang untuk mengembangkan keenam tujuan tersebut yang membutuhkan dana yang signifikan. Diatas 5 tahun kedepan peningkatan pembiayaan yang diperkirakan untuk setiap poin dari progam tersebut adalah:

Program Pengembangan Transformasional

Program Peningkatan

1. Melindungi keamanan negara dan menjaga pangkalan-pangkalan AS di luar negeri

47% 2. Menbangun dan mempertahankan kekuatan dalam medan-medan

perang

157% 3. Meniadakan tempat perlindungan bagi musuh dan memastikan

bahwa tidak satu pun tempat di dunia ini yang dapat melindungi mereka dari penangkapan

21%

4. Melindungi jaringan informasi dari serangan-serangan 125% 5. Mempergunakan teknologi informasi untuk perhubungan antar

berbagai kekuatan militer sehingga dapat bekerjasama dalam berperang

28%

6. Mempertahankan kemudahan akses udara dan melindungi kemampuan (pertahanan) udara dari serangan musuh

145% *data diolah sendiri

Sekali lagi, Tragedi 11 September 2001 adalah sejarah besar bagi AS dan merupakan momentum untuk melakukan perubahan dalam strategi dan kebijakan luar negeri serta militernya. AS tidak hanya berupaya untuk menangkap Osama Bin Laden dan kelompok militannya yang dinyatakan AS sebagai pelaku serangan 11/ 9, lebih jauh AS berusaha mengajak masyarakat internasional untuk ikut serta dalam perangnya memerangi terorisme internasional. Kebutuhan AS akan kampanye ke berbagai belahan dunia, menyeret AS kembali pada mandala politik luar negeri yang ekspansionis, yang sarat kan kebijakan-kebijakan intervensionisme baik secara langsung maupun tidak langsung.

Meskipun demikian, guncangan psikologis yang diciptakan tragedi “Black Tuesday”, membuat warga AS sangat ingin tahu mengapa serangan 11/ 9 dapat terjadi dan harus ada kebijakan pemerintah yang memberikan garansi bahwa peristiwa ini tidak akan terjadi kembali. Sehingga adalah hal yang natural jika “war on terrorism” menjadi kebijakan luar negeri dengan prioritas nomor satu bagi Amerika Serikat.

PGAS (11)

Televisi Sebagai Sarana Politik * Opini Publik dan Propaganda

Dalam komunikasi, propaganda merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menanamkan pesan. Propaganda berasal dari bahasa latin propagare yang artinya mengembangkan atau memekarkan. Dalam sejarahnya, propaganda awalnya adalah upaya mengembangkan dan memekarkan agama Katholik Roma baik di Italia maupun di negara-negara lain. Propaganda timbul dari kalimat “sacra congregatio de propaganda fide” atau dari kata “congregatio de propaganda fide” atau Congregation for the Propagandation of Faith tahun 1622 ketika Paul Grogelius ke-15 mendirikan organisasi yang bertujuan mengembangkan agama Katolik Roma di Italia dan negara-negara lain. Sejalan dengan tingkat perkembangan manusia, propaganda tidak hanya digunakan dalam bidang keagamaan saja tetapi juga dalam bidang pembangunan, politik, komersial, pendidikan, dan lain-lain (Nurudin, 2001 : 9).

Nurudin mengartikan propaganda merupakan kegiatan yang dilakukan individu atau kelompok tertentu untuk proses mempengaruhi pihak lain dengan tidak mengindahkan etika, moral, aturan, nilai, norma dan lain-lain guna memenangkan tujuan yang akan dicapai. Akibatnya, apapun akan dilakukan untuk memenangkan tujuan yang akan dicapai tersebut.

Propaganda modern menurut Garth S. Jowett and Victoria O’Donnell, Propaganda And Persuasion, adalah usaha dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan penyebar propaganda.

Dalam kegiatannya, propaganda ditandai dengan beberapa komponen penting, yaitu : ada pihak yang menyebarkan pesan; dilakukan secara terus menerus (kontinyu); terdapat proses penyampaian, ide/ gagasan, kepercayaan atau doktrin; mempunyai tujuan untuk mengubah opini, sikap dan perilaku individu atau kelompok; suatu cara sistimatis prosedural dan perencanaan matang; suatu program yang mempunyai tujuan kongkrit

Dalam kaitannya dengan opini publik, propaganda merupakan salah satu metode penting untuk membentuk opini publik itu sendiri. Sebuah pesan sengaja dihembuskan oleh orang atau kelompok tertentu dengan gencar, sebagai upaya mempengaruhi publik akan sesuatu wacana. Dalam hal ini, mereka yang menjadi propagandis mencoba untuk mengarahkan opini publik untuk mengubah tindakan dan harapan dari target individu.

Opini publik dan propaganda mempunyai hubungan yang erat. Carl I Hovlan mengungkapkan bahwa propaganda merupakan usaha untuk merumuskan secara tegas azas-azas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap. Lasswell, dalam “Propaganda

Technique in The World War” (1927) mendefenisikan Propaganda: “Propaganda semata merujuk pada kontrol opini dengan simbol-simbol penting, atau berbicara secara lebih konkret dan kurang akurat melalui cerita, rumor, berita, gambar, atau bentuk-bentuk komunikasi sosial lainnya. Propaganda dilakukan untuk mempengaruhi atau mengontrol opini publik yang menjadi sasaran dari propaganda. Opini publik menjadi perantara dari perubahan sikap dan perilaku menjadi sasaran para propagandis. Opini publik dipersiapkan dulu kemudian dilontarkan (dipropagandakan) untuk mempengaruhi opini publik. Jika opini publik sudah terbentuk secara baik baru ditegakkan demokrasi, kemudian akan terpengaruh pada sikap dan perilaku masyarakat. Jadi opini publik menjadi alat yang baik untuk mewujudkan propaganda.

Adolf Hitler sangat menyadari kekuatan propaganda untuk mencetak dan membentuk opini publik. Hitler juga menulis informasi dalam bentuk esai mengenai kekuatan propaganda dalam otobiografi politiknya, Mein Kampf. Hitler juga menggunakan propaganda, karena propaganda merupakan salah satu cara terbaik untuk mengendalikan orang agar mudah mudah dimanipulasi. Adolf Hitler, dalam tulisannya menyebutkan “Propaganda adalah senjata yang mengerikan di tangan seorang ahli” dan dengan memanfaatkan metode (propaganda) tersebutlah Adolt Hitler dapat menjadi pemimpin tunggal yang diktaktor, melakukan agresi militer, pembunuhan massal dan genocide.

* Media Massa Sebagai Alat Propaganda Amerika Serikat Dalam Masalah Terorisme Di Asia Tenggara

Keamanan Internasional menjadi isu yg sangat panas pasca serangan pemboman gedung WTC (World Trade Centre) dan Pentagon tahun 2001 di Washington DC Amerika Serikat (AS). Seperti yang telah diketahui sebelumnya AS adalah negara yang memiliki komitmen Preemptive Strike yakni The United States must and will maintain the capability to defeat any attempt by an enemy–whether a state or non-state actor–to impose its will on the United States, our allies, or our friends, Amerika Serikat harus dan akan menjaga kapabilitas untuk mengalahkan segala usaha musuh baik aktor negara maupun aktor non-negara, dan untuk diterapkan di Amerika Serikat, dengan aliansi atupun rekan.

Pastinya serangan tersebut merupkan tamparan keras bagi AS dan g dipercaya kuat oleh Amerika dilakukan oleh Al-Qaeda, sehingga menyebabkan banyak perubahan dalam kebijakan luar negeri dari negara superpower AS menjadi lebih reaktif baik secara militer maupun non- militer. Ditekankan pada kebijakan non-militer yakni dalam penggunaan publik diplomasi yang

dilakukan melalui media massa dan maupun teknologi informasi melaui media massa elektronik untuk menyebarkan ideologi mengobarkan perlawanan terhadap terorisme.

Media massa merupakan alat yang sangat berperan besar bagi penyebaran ideologi seiring dengan berkembangnya populasi dan teknologi yang dibuat manusia. Sebagai media massa potensial yang muncul mempercepat jarak penyebaran komunikasi. Media cetak, telegrafi, telepon, sistem wireless, film, radio, satelit, dan lain-lain.

Harold D. Laswell dalam tulisannya Propaganda (1937), mengatakan “propaganda adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dalam memanipulasi representasinya”. Definisi lainnya dari Laswell dalam bukunya Propaganda Technique in the World War (1927), menyebutkan bahwa, “Propaganda adalah semata-mata kontrol opini yang dilakukan melalui simbol-simbol yang memiliki arti, atau menyampaikan pendapat yang kongkrit dan akurat (teliti), melalui sebuah cerita, rumor laporan, gambar-gambar dan bentuk-bentuk lain yang bisa digunakan dalam komunikasi sosial”.

* Propaganda sendiri bisa dibagi menjadi 3 macam:

a. Propaganda putih, yaitu propaganda yang menyebarkan informasi ideologi dengan menyebutkan sumbernya.

b. Propaganda kelabu, yaitu propaganda yang dilakukan oleh kelompok yang tidak jelas. Biasanya ditujukan untuk mengacaukan pikiran orang lain, seperti adu domba, intrik dan gosip.

c. Propaganda hitam adalah propaganda yang menyebarkan informasi palsu untuk menjatuhkan moral lawan, tidak mengenal etika dan cenderung sepihak

Kita bisa katakan propaganda media massa ini sebagai propaganda putih, dilihat dari caranya yang secara terbuka mendeklarasikan perang ideologi terhadap terorisme melalui media massa.

Media massa menjadi satu-satunya cara yang praktis untuk menyebarluaskan pesan-pesan dan menjadi pembawa propaganda baru sejalan dengan perkembangannya (Combs dan Nimmo dalam Shoelhi, 2009 : 53).

Secara non-military Amerika memilih menggunakan kampanye atau campaign dalam upayanya memerangi terorisme di Asia Tenggara dengan cara propaganda melalui media massa.

Hal ini juga didukung oleh perkembangan teknologi informasi komunikasi yang semakin maju dan menjadi salah faktor pendorong bagi Amerika dalam pemanfaatan media massa, karena memungkinkan terjadinya siklus arus informasi di seluruh dunia, dan masyarakat tidak bisa terpisahkan didalamnya.

Amerika Serikat melihat bahwa seluruh negara di dunia tidak terlepas dari komunikasi dan informasi, maka Amerika memiliki badan tersendiri dalam mengatur arus informasi ke seluruh dunia. Badan tersebut adalah USIA (United State Information Agency) Melalui berbagai bentuk pemerintah Amerika Serikat mampu mendistribusikan dan menyamarkan propaganda lebih mudah. Termasuk di dalamnya saluran media massa. Amerika Serikat menyediakan dana kurang lebih 1 juta dolar tiap tahunnya untuk pemberitaan-pemberitaan ke seluruh dunia.

Amerika Serikat saat ini bermain dengan lebih terbuka dan agresif, khususnya dalam pemberlakuan kebijakan propaganda “War on Terrorism”, dalam hal ini Amerika Serikat bermain dengan lebih efektif dalam penggunaan media massa yang dijadikan alat untuk mempengaruhi opini publik dunia terutama Asia Tenggara. Di samping itu diketahui hadirnya kantor-kantor berita atau media internasional tercatat New York Times, The Washington Post, Asia Times, VOA, Global Times Online dan Newsweek punya perwakilan di Jakarta atau setidaknya memiliki koresponden di beberapa negara-negara di Asia Tenggara.

Hal tersebut lebih mempermudah AS dalam melancarkan diplomasi publiknya yakni dengan cara white propaganda di kawasan Asia Tenggara dimana white propaganda yaitu menyebarkan informasi ideologi dengan menyebut sumbernya (Cangara, 2009:332).

Propaganda melalui media massa ini memberikan banyak pengaruh bagi kawasan di Asia Tenggara, yakni Asia Tenggara menyandang julukan sarang terorisme dari dunia internasional, terutama dari Amerika Serikat, kemudian negara-negara di kawasan ini juga memberikan kesempatan Amerika dalam mempengaruhi kebijakan dalam negeri untuk memerangi terorisme. Dalam hal ini kebijkan war on terror di kawasan Asia Tenggara. Sebagai contohnya adalah di level internasional Counter Terrorism Commite (CTC), merupakan bukti dukungan Indonesia terhadap kebijakan anti terorisme global AS. Dan puncaknya pada pertemuan mereka 5 November 2001, saat itu AS telah meluncurkan operasi militer melawan Taliban, pemimpin ASEAN mengeluarkan Deklarasi Joint Action to Counter Terrorism dan ASEAN Minister Meeting on Transnational Crime (AMMTC) pada tahun 2001 tentang Kesatuan Aksi untuk melawan terorisme.

 Media massa merupakan alat komunikasi publik nasional maupun internasional yang efektif karena mudahnya akses yang dapatdijangkau hampir di seluruh dunia, terutama media massa AS, dalam hal ini VOA, CNN dan the Times Magazine. Sebagai audience atau pemirsa kita memang disuguhi berbagai macam pemberitaan yang memang di dalamnya terdapat penyebaran ideologi salah satunya, maka dari itu diharapkan kita bisa menyaring berita dan informasi yang didapat,sehingga kita bisa membedakan informasi positif dan negatifnya, dan kita bisa mengambil manfaat dari adanya arus informasi tersebut.

 Dalam mencapai kepentingannya Amerika Serikat berupaya baik secaram materil maupun ideologi untuk mempengaruhi pemerintahan yang ada di Asia Tenggara dalam membuat kebijakan, ataupun bekerjasama dalam rangka war on terrorism melalui counter of terrorism. Hal ini memang bisa dikatakan positif, tapi lepas dari itu pemerintahan yang berdaulat di Asia Tenggara harus bisamenggunakannya secara bijak dan proporsional dan tetap menjaga substansi kedaulatan dalam negeri dalam penerapan kebijakannya

 Dengan adanya propaganda untuk memerangi terorisme di Asia Tenggara yang dilakukan Amerika Serikat seyogyanya harus ada penekanan bahwa ideologi terorisme berbeda ideologi sebuah agama, perang melawan terorisme bukan berarti perang dalam melawan agama tertentu, tapi dalam hal ini adalah aksi-aksi penyerangan dan kekerasan yang dilakukan agar tidak ada generaliasasi kesamaan antara paham terorisme dengan suatu agama. Seyogyanga pemirsa di seluruh dunia bukan hanya di Asi Tenggara dapat

Dalam dokumen Politik Global Amerika Serikat dalam (Halaman 49-60)

Dokumen terkait