• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

OLEH: Miftakhul Huda

Pemerhati Hukum Tata Negara, Praktisi Hukum

Pandangan ini kemudian banyak dipersolkan. Simons misalkan, menyerang pandangan klasik itu dengan mengajukan asas p okok bahwa tida k ada pidana tanpa kesalahan. Baru dengan Putusan HR 14 Februari 1916, dalam arrest-nya yang terkenal dengan nama ”Arretst- Su su”, ajara n fait materiel dia k hiri. Dalam pertimbangannya, MA Belanda meskipun meskipun tidak ada rumusan pasal harus ada kesalahan, tetapi bukan berarti peraturan tidak dapat diberlakukan padanya.

Sikap MA Belanda ini mendapat dukunga n s ebaga i s ejara h bar u oleh Simons. Sebalik nya put usan it u juga dikritik dengan memberlakukan asas yang tidak tertulis dalam undang-undang.

Bentuk dan jenis kesalahan

Dalam bukunya Roeslan menjelaskan b e n t u k - b e n t u k k e s a l a h a n , y a i t u kesengajaan dan kealpaan (culpa). Makna kesengajaan dan kealpaan tidak dijelaskan da la m unda ng-unda ng. Sebaga ima na menur ut Pasal 112, Pasal 117, Pasal 188, dan Pasal 203 KUHP, kata-kata kesengajaan dan kealpaan digunakan tanpa menjelaskan maknanya.

Unt u k m em b erika n p enger t ia n kes engaja a n dikena l b eb era pa t e ori ter penting, yaitu teori kehendak dan t e ori p enget a hua n. Te ori keh end a k sebagai teori tertua memandang bahwa tiap-tiap bentuk dari kesengajaan dapat diterangkan dari proses kehendak. Dalam teori kehendak yang penting apa yang dikehendaki oleh pembuat. Sementara teori pengetahuan lebih mementingkan “apakah yang dibayangkan, diketahui pembuatnya ketika melakukan perbuatan itu.” Meskipun terdapat perbedaan titik berat, namun ada kata sepakat bahwa perbuatan pidana dengan kesengajaan adalah berbuat yang dikehendaki dan diketahui. “Ini memang tidak dirumuskan

dengan tegas dalam undang-undang tetapi demikian keterangan pembentuk undang- undang dulu dan begitu juga dalam teori dan praktek,” tulis Roeslan.

Roeslan mengusulkan agar dalam KU H P b a r u na nt i nya m em b er i ka n ketegasan dan kepastian. Ia mer ujuk K U H P Sw i s s y a n g m e r u m u s k a n dengan baik dalam Pasal 18-nya yang menyebutkan, “Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka ia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.

Kesengajaan pun memiliki beberapa jen is at au cora k, ya it u kes engaja a n sebagai maksud, kesengajaan sebagai (kepastian) keharusan, dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Kesengajaan sebagai maksud apabila tujuan dari perbuatan itu memang yang dikehendaki pelaku. Adapun kesengajaan sebagai kepastian apabila untuk mencapai maksud yang s eb enar nya p ela ku har us mela kuka n perbuatan yang terlarang. Selanjutnya kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu apabila akibat yang benar-benar terjadi mer upa kan suat u kemungkinan yang sebelumnya telah disadarinya.

Lebih jauh lagi, ia menguraikan makna beberapa r umusan “dengan maksud” misalkan dalam Pasal 362 dan Pasal 368 KUHP. Ada yang memandang beberapa kata dengan maksud itu tidak sama persis dengan kesengajaan. Ada pula pendapat lain yang menyatakan adalah sama saja dengan bentuk dan jenis dalam kehatan yang dilakukan dengan kesengajaan.

Mengenai adanya rumusan pasal yang tidak menyebutkan kata “dengan sengaja” menur ut beberapa pendapat bahwa unsur itu diaggap tersimpul di dalam kata kerja yang digunakan dalam rumusan pasal. Misalkan kata kerja dalam “menghasut” dalam Pasal 160 KUHP. Tapi ada kalanya hal itu tidak memuaskan di mana unsur-unsur lain (di luar menghasut)

tidak memenuhi kesengajaan. Terhadap hal ini, Roeslan menyatakan, bahwa unsur- unsur yang harus diliputi oleh kesengajaan adalah ditinjau dengan menyelidiki apakah unsur-unsur itu merupakan syarat mutlak untuk sifat melawan hukumnya perbuatan atau tidak”. Dengan demikian untuk unsur-usur tambahan tidak perlu dianggap tersimpul sebagai sengaja.

Selain kesengajaan, dalam buku ini juga membahas kealpaan. Istilah ini dalam rumusan pasal-pasal digunakan dengn istilah bermacam-macam, misalkan “sepatutnya ia harus menduga” (Pasal 187 bis (1) KUHP), “sepatutnya dia harus menduga” (Pasal 283 ayat (1) KUHP), “mempunyai alasan-alasan keras untuk menduga” (Pasal 282 ayat (2) KUHP). Mengacu kepada Van Hamel dan Simons, dua syarat penting adanya kealpaan, yaitu kurang hati-hati yang perlu dan kurang melihat ke depan yang perlu (dugaan). Dua kealpaan ini yang menunjukkan batin terdakwa kurang memp erhatikan apa yang dilindungi hukum atau kurangnya memperhatikan larangan di masyarakat.

Pengertian Kesalahan

Menurut Roeslan, di luar kesengajaan dan kealpaan, pengertian kesalahan lebih lua s lagi m elipu t i pula kema m pua n bertanggungjawab dan tiadanya alasan pemaaf.

Kema mpua n b er t a ngg ung jawa b m enu r u t Va n Ha m el m em i l i k i t iga syarat umum yakni: dapat menginsafi makna senyatanya dari perbuatannya; dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam kehidupa n ma s yara kat; d a n ma mpu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan. Sedangkan menurut Simons, yaitu mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan s esua i denga n keinsafa n it u ma mpu menentukan kehendaknya.

D a r i d u a p e n d a p a t i n i , Ro esla n m eny im pul ka n kema m pua n b er t a ngg u ng jawa b m em i l i k i fa kt o r intelektual dan kehendak. Faktor intelektual menentukan perbedaan mana perbuatan yang diperbolehkan atau tidak. Adapun

faktor kehendak dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan mana perbuatan yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.

Sedangkan alasan pemaaf odiberikan pengertian sebagai alasan yang menghapus kesalahan terdakwa. Dalam ilmu hukum pidana biasanya dimasukkan sebagai alasan penghapus pidana yang terdiri atas alasan p emb enar dan p emaaf. Menur utnya, meskipun ada alasan pemaaf, apa yang dilakukan oleh terdakwa tetap merupakan p er buat a n melawa n huk um, s ebaga i perbuatan pidana, tetapi tidak dipidana karena tiada kesalahannya.

Actus reus dan mens rea

Mengikuti jejak Moeljatno, Roeslan memisahkan antara p erbuatan pidana sebagai actus reus dengan kesalahan s eb a ga i mens rea. Ia t id a k s et uju

mencampuraduk kan antara p erbuatan pidana dengan kesalahan dengan alasan terpenuhinnya perbuatan pidana belum tentu melakukan kesalahan.

Pemisahan ini memiliki kegunaan praktis dan sederhana. Langkah pertama, dengan asas legalitas untuk menyelidiki kes esua ia n a nt ara p er buat a n denga n rumsuan pasal pidana. Langkah berikutnya menyelidiki, apakah ada kesalahan di sana, yait u kemampuan b ertanggung jawab, kesengajaan atau kealpaan, dan tidak ada lasan pemaaf. Kalau salah satu unsur ini kesalahannya tidak ada, maka terdakwa tidak dipidana.

Mayoritas ahli hukum ter masuk Ro e sla n b er p en d a p at b a hwa t uga s membuktikan actus reus adalah polisi dan penuntut umum, sedangkan tidak adanya kesalahan (mens rea) adalah terdakwa, yang kesemuanya diputus oleh hakim.

Judul buku :

Sekitar Pengertian Kesalahan

Pengarang : Mr. Roeslan Saleh

Penerbit : Jajasan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta Tahun : 1958

Judul:

TRAJECTORIES OF CURIAL POWER: THE RISE, FALL AND PARTIAL

REHABILITATION OF THE INDONESIAN CONSTITUTIONAL COURT

Penulis : Theunis Roux and Fritz Siregar Sumber : Australian Journal of Asian

Law, 2016, Vol 16 No 2, Article 2: 1-21

hazanah

K

S

eja k didirika n pada t a hun 2003, Mahkamah Konstitusi tela h menga la m i lima ka li p erga nt ia n kep em i m pi na n Ket ua. Perga nt ia n ini juga m ena n d a i p er ja la na n kel em b a ga a n peradilan konstitusi ini. Kira-kira secara sederhana inilah yang kemudian dijadikan dasar kajian bagi Theunis Roux [Profesor hukum University of New South Wales

Dokumen terkait