• Tidak ada hasil yang ditemukan

NATOLU DALAM MENYELESAIKANNYA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA.

Yang memuat: deskripsi Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir, Hukum Pidana Adat pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir, Kewenangan Dalihan Natolu Meyelesaikan Tindak Pidana Adat dan Proses Penyelesaiannya, Sanksi Hukum Atas Pelanggaran Hukum Pidana Adat oleh Dalihan Natolu.

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab–bab yang telah dibahas sebelumnya dan diakhiri dengan saran penulis.

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

HUKUM PIDANA NASIONAL DI INDONESIA

A. Keberadaan KUHP dalam Masyarakat Indonesia sebagai Hukum Pidana yang Bersifat Nasional.

Hukum Pidana Indonesia bentuknya tertulis dikodifikasikan dalam suatu kitab undang-undang. Dalam perkembangannya,hukum pidana Indonesia tertulis dan dikodifikasikan dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari pemerintah penjajahan Belanda .Dan perlu ketahui bahwa sejarah berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP) adalah Di mana pada zaman penjajahan Belanda peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia bercorak “dualistis”. Corak dualistis dimaksud adalah bahwa bagi orang Eropa berlaku sistem hukum Belanda, sementara itu bagi orang-orang lainnya sebagai penghuni Indonesia berlaku satu sistem hukum masing-masing. Ketentuan pidana yang belaku bagi orang-orang Eropa tersendiri. Di lain pihak bagi orang Indonesia berlaku hukum pidana masing-masing.12

KUHP untuk golongan Indonesia(1873) adalah copy atau turunan dari KUHP untuk golongan Eropa (1867). Dan KUHP untuk golongan Eropa tersebut, merupakan turunan kode penal yaitu hukum pidana Prancis.

Ketika masih berlakunya dulisme hukum di Indonesia di mana KUHP sebelum tahun 1918, diberlakukan untuk dua golongan yaitu:

1.Satu untuk golongan Indonesia (mulai 1 Januari 1873) 2.Satu untuk golongan Eropa(mulai 1 Januari 1867)

12

R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta:Raja: Grafindo Persada,2005,hal.177.

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Adapun perbedaan KUHP untuk golongan Eropa(1867) dengan KUHP Untuk Indonesia terutama pada jenis hukuman yang diberikan misalnya:

a. Orang Indonesia dapat diberi kerja paksa dengan lehernya diberi kalung besi atau kerja paksa yang tidak dibayar untuk mengerjakan pekerjaan umum, sedang orang-orang Eropa tidak, hanya hukuman penjara atau hukuman kurungan saja.

b. KUHP untuk orang Indonesia disesuaikan dengan keadaan dan kebiasaan orang Indonesia, misalnya:

1). Perkawinan dengan lebih satu orang perempuan 2). Mengemis dimuka umum tidak dihukum.13

Pada zaman pendudukan Jepang, aturan hukum pidana yang berlaku sebelumnya dinyatakan tetap belaku. Berarti seluruh ketentuan hukum yang tertera dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh Indie tetap berlaku saat itu. Setelah Indonesia merdeka, juga tetap berlaku aturan hukum pidana Belanda itu, berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945. Akan tetapi, pada tahun 1945 melalui UU No.1 Tahun 1945 Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie setelah mengalami perubahan seperlunya menjadi Wetboek van strafrecht voor Indonesia dinyatakan berlaku. Setelah perjalanan sejarah Indonesia dari Republik Indonesia Serikat menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia lagi, melalui Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang berlaku sejak tanggal 29 september 1958, merupakan Undang-Undang yang menyatakan tentang berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik

13

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Indonesia. Undang-undang ini tentang peraturan Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sehingga mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.Dengan Undang-undang ini, berarti sejak tanggal 29 september 1958, berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bagi seluruh penghuni Indonesia dengan corak kodifikasi.14

14

Loc.cit

Adapun KUHP secara sistematika terdiri dari 3 ( tiga ) buku yaitu : Buku I . tentang ketentuan umum terdiri dari 9 titel ( bab )

Buku II. tentang kejahatan terdiri dari 31 bab Buku III. tentang pelanggaran terdiri dari 10 bab.

Adapun buku I yang terdiri dari 9 bab tadi memuat : Bab I. tentang kekuasaan berlakunya hukum pidana

Bab II. tentang hukuman

Bab III. tentang penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman Bab IV. tentang percobaan

Bab V. tentang turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum Bab VI. tentang gabungan perbuatan yang dapat dihukum

Bab VII. tentang memasukkan dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan, yang hanya boleh dituntut atas pengaduan

Bab VIII. tentang hapusnya hak menuntut dan hapusnya hukuman Bab IX. tentang peraturan penghabisan ( Pasal 103 )

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Sementara Buku II yang terdidri 31 bab, yang memuat kurang lebih 400 pasal, tentang perbuatn–perbuatan yang dinamakan kejahatan. Diantaranya terdapat pasal–pasal penting seperti :

a. Kejahatan terhadap keselamatan Negara, kepentingan Negara pemberontakan, dan penghianatan,

b. Kejahatan–kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban–kewajiban dan hak – hak kenegaraan, mengacaukan sidang parlemen, merintangi pemilihan umum,

c. Kejahatan kejahatan terhadap ketertiban umum, penghasutan untuk berbuat jahat, mengganggu rapat umum, perampokan–perampokan,

d. Kejahatan terhadap kesusilaan, pencabulan, perjudian, penganiayaan, e. Kejahatan-kejahatan terhadap kemerdekaan orang (penculikan), f. Kejahatan-kejahatan terhadap jiwa orang (pembunuhan),

g. Penganiayaan, h. Pencurian,

i. Pemerasan dan ancaman, j. Penggelapan,

k. Penipuan, l. Penghinaan, dan

m. Kejahatan-kejahatan, menerima suap, membuka rahasia negara, pemalsuan surat-surat, penggelapan uang Negara (korupsi).

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Sedangkan buku III berjudul pelanggaran, terdiri atas 10 bab memuat kurang lebih 100 pasal. Dan disebut pelanggaran karena dipandang tidak sedemikian jahat seperti pada kejahatan – kejahatan dalam buku II.

Beberapa bab penting pada buku III:

a. Pelanggaran terhadap umum, kenakalan terhadap manusia, dewan atau barang yang dapat membahayakan keselamatan umum, penjualan makanan dan minuman yang sudah rusak, beburu tanpa izin.

b. Pelanggaran terhadap ketertiban umum, membuat riuh yang menggangu tetangga, pengemisan, membuat pakaian atau tanda-tanda pangkat yang ia tidak berhak memakainya, memakai nama atau gelar palsu.

c. Pelanggaran terhadap keuasaan umum, merobek atau merusak

pengumuman– pengumuman dari yang berwajib.

d. Pelanggaran terhadap kesusilaan, penyiaran gambar–gambar, cerita-cerita dan lagu – lagu yang tidak senonoh, penjualan miras tanda izin

e. Pelanggaran terhadap memasuki tempat- tempat angkatan perang, jalan-jalan lain dari yang telah ditentukan.

Jadi pada umumnya, jika pada tiap-tiap hari ada orang ditangkap polisi, lalu ia dituntut jaksa, kemudian diadili oleh hakim, maka orang itu telah berbuat sesuatu yang dilarang oleh salah satu pasal dari buku I, II, dan III dalam KUHP, dan perbuatan tersebut diancam dengan suatu hukuman. 15

15

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

B. Gambaran Umum Mengenai Hukum Pidana Adat

Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara masalah pidana maupun perdata. Di mana tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan perdata. Oleh karenanya maka sistem hukum adat hanya mengenal satu prosedur dalam hal penuntutan. Satu macam prosedur baik untuk penuntutan secara perdata maupun penuntutan secara pidana. Ini berarti bahwa petugas hukum yang berwenang untuk mengambil tindakan- tindakan konkrit ( reaksi adat ) guna membetulkan hukum yang telah dilanggar itu, adalah tidak seperti pada hukum barat hakim pidana untuk perkara pidana dan hakim perdata untuk perkara perdata, melainkan satu pejabat saja yakni kepala adat. Pembetulan hukum yang dilanggar sehingga dapat memberikan kembali keseimbangan yang semula ada itu, dapat berupa sebuah tindakan saja tetapi kadang –kadang mengingat sifatnya pelanggaran perlu diambil beberapa tindakan. 16

2. Yang pembetulan keseimbangannya diperlukan beberapa tindakan seperti melarikan gadis pada suku dayak di Kalimantan, perbuatan ini selain Sebagai berikut:

1. Yang pembetulan keseimbanganya hanya berwujud satu tindakan saja.

Hutang uang dan pada waktunya tidak membayar kembali. Tindakan atau koreksinya adalah hanya membayar pinjaman itu saja.

16

Soerojo Wignjodipuro, pengantar dan azas- azas hukum adat ; Jakarta, Haji Mas Agung, 2004,hal. 229-230.

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

mencemarkan kesusilaan masyarakat yang bersangkutan, juga mencemarkan kehormatan keluarga si gadis tersebut.

Untuk memulihkan keseimbangan hukum diperlukan 2 macam upaya yaitu pembayaran denda kepada keluarga korban, serta penyerahan seekor binatang korban pada kepala persekutuan untuk membuat supaya masyarakat adat serta lingkungan adat menjadi bersih dan suci kembali. 17

Berbicara mengenai hukum adat maupun pidana adat tidak bisa lepas dari pembicaraan aspek kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh karena hukum dan juga hukum pidana adat merupakan perwujudan dari kebudayaan bangsa Indonesia. Pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai 3 perwujudan yaitu: Pertama wujud kebudayaan sebagai suatau kompleks ide – ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma peraturan dan sebagainya. Kedua kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat dan ketiga kebudayaan dapat berwujud sebagai benda – benda hasil karya manusia. Wujud yang pertama terdapat dalam ide dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan idiil yang dapat kita sebut adat tata kelakuan, yang bermaksud menunjukkan bahwa kebudayaan biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.

18

Sistem nilai - nilai budaya bangsa dengan demikian terdiri dari konsep – konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar yang merupakan dari

17

Ibid hal. 230 18

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

kebudayaan yang bersangkutan, yang mengenai hal-hal yang mereka anggap penting dan bernilai dalam hidup. Karena itu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman untuk berbuat. Yang penting yaitu sebagai sistem yang mengontrol atas perbuatan – perbuatan manusia dalam masyarakat. Di dalam mengontrol ini masyarakat mempunyai suatu pola untuk mengukur apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, diperbolehkan atau tidak oleh masyarakat di mana pelaku perbuatan tadi hidup dan menjadi anggota masyarakat yang bersangkutan. Hukum atau norma hukum sebagai pedoman bagi manusia untuk berbuat atau tidak berbuat mempunyai akibat hukum apabila normanya tidak ditaati atau dilanggar. Tiap - tiap bangsa mempunyai hukumnya sendiri sebagaimana halnya dengan bahasa maka hukum pun merupakan hal yang diciptakan masyarakat itu dan menjadi kehidupan bangsa itu sendiri. 19

Teer Haar mengatakan bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delik) ialah setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan pada barang material dan inmaterial orang seseorang atau orang- orang yang banyak merupakan satu kesatuan (gerombolan). Tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifat besar dan kecilnya diterapkan oleh hukum adat (adat reactie), karena reaksi maka keseimbangan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang – barang atau uang), dengan demikian untuk disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi

19

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

juga apabila norma – norma kesusilaan keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat, yang selalu dipatuhi. Sementara menurut Soepomo juga mengatakan bahwa di dalam hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat dan perbuatan illegal dan serta hukum adat juga mengenal pula ikhtiar–ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika telah diperkosa. 20

Apabila diikuti pendapat – pendapat para sarjana tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa pada satu tindakan pidana adat itu merupakan tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Guna memulihkan kembali ketentraman dan keseimbangan itu maka terjadi reaksi – reaksi adat. Dan reaksi – reaksi adat ini merupakan tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasikan suatu keadaan yang ditimbulkan oleh pelanggaran adat. Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan akan terus hidup selama ada kebudayaan manusia ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang- undangan. Andai kata diadakan juga undang – undang yang menghapuskanya akan percuma juga. Malahan hukum pidana perundang – undangan akan kehilangan sumber kekayaanya oleh karena hukum pidana adat itu sendiri lebih erat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi. 21 20 Ibit hal. 33 21 Ibit hal. 34

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

BAB III

HUKUM PIDANA ADAT DAN KEWENANGAN DALIHAN NATOLU MENYELESAIKANNYA PADA MASYARAKAT BATAK

TOBA

A. Deskripsi Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir

Kecamatan Borbor terletak di sebelah tenggara kota Balige ibu kota Kabupaten Toba Samosir. Dan merupakan pemekaran dari Kecamatan Habinsaran

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

yang dimekarkan pada tanggal 06 September 2002. Dan sampai sekarang Kecamatan Borbor masih berada di wilayah hukum Kepolisian sektor Habinsaran, Resort Toba Samosir serta jarak dari Kecamatan Borbor ke Parsoburan yaitu Ibukota kecamatan Habinsaran letak kantor Kepolisian sektor Habinsaran ± 35 Km. Sedangkan jarak dari Borbor ke Balige Ibukota Kabupaten ± 75 Km. Adapun luas wilayah Kecamatan Borbor ± 40.750 hektar. Khusus wilayah PT. Toba Pulp Lestari ( TPL ) ± 24.000 hektar.

Dan batas- batas wilayah :

1 Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Habinsaran 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara 3. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Habinsaran

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Laguboti dan Kecamatan Silaen.

Dari jumlah penduduk, penduduk Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir adalah : a. Laki – Laki : 3230 Jiwa

b. Perempuan : 3470 Jiwa

c.Jumlah Kepala keluarga : 1428 KK.

Di samping hal tersebut nama Kecamatan ini, dengan sebutan Kecamatan Borbor, karena penduduk asli yaitu marga yang pertama kali menetap adalah marga Pasaribu. Sesuai dengan silsilah bahwa marga Pasaribu itu berada dalam kelompok Borbor marsada begitu disebut dalam silsilah marga masyarakat Batak Toba, yang mana kelompok marga Borbor marsada tersebut diantaranya meliputi :

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009 1. Pasaribu 2. Sipahutar 3. Lubis 4. Limbong 5.Sagala 6. Malau 8. Manik 9. Parapat 10.Ambarita 11.Harahap

12. Serta marga-marga lainnya.

Namun di samping marga - marga Pasaribu sebagai marga - marga asli di Kecamatan Borbor atau marga mayoritas, juga terdapat beberapa marga lain yang termasuk pihak boru, karena mereka menetap di Kecamatan Borbor setelah menikahi gadis dari keturunan Pasaribu sehingga mereka berada dalam pihak boru begitu dalam sebutan Dalihan Natolu ( Sistem Kemasyarakatan Batak Toba ). Di samping karena menikah dengan gadis marga Pasaribu ada juga kedatangan mereka untuk berdagang, Pegawai Pemerintah atau PNS dan latar belakang lainnya. Marga–marga di luar Pasaribu tadi yang disebut pendatang adalah marga : Pangaribuan, Simanjuntak, Hutahaean, Siagian, Pardosi, Hutapea dan lain–lain. Jadi secara umum marga–marga tersebut menikah dengan gadis dari marga Pasaribu sehingga secara umum marga Pasaribu tersebut sebagai Hula–hula atau pemberi gadis. Namum pada perkembangan berikutnya pada saat seperti sekarang

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

sudah banyak marga Pasaribu menikah dengan gadis dari marga pendatang tadi. Sehingga di sisi lain dalam sistem Dalihan Natolu kedudukan mereka tidak selamanya lagi sebagai hula - hula melainkan sebaliknya sebagai boru.

Penduduk asli Kecamatan Borbor yaitu marga Pasaribu yang sekarang adalah generasi kesepuluh atau marga kesebelas dan seterusnya dari orang yang pertama sekali mendiami daerah ini. Begitupun diantara sesama marga Pasaribu yang disebut dongan tubu yaitu mereka terdiri dari satu ayah (sa ama) sedangkan kelompok dongan tubu yang lebih besar lagi yaitu satu nenek moyang (sa ompu). Setelah pemekaran Kabupaten Toba Samosir dari Kabupaten Tapanuli Utara keberadaan daerah ini yaitu Kecamatan Borbor bukanlah termasuk Kecamatan yang masih tertinggal dibanding Kecamatan lainnya di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat dilihat dengan adanya fasilitas - fasilitas umum seperti fasilitas Kesehatan, Pendidikan, Transportasi serta fasilitas lainnya. Meskipun demikian keberadaan hukum adat termasuk hukum pidana adat pada saat tertentu masih tetap diperhatikan yang artinya masih sering terjadi sengketa yang ada dalam masyarakat baik pidana maupun perdata diselesaikan secara hukum adat Batak Toba, hal ini disebabkan rasa kekeluargaan yang masih dijunjung tinggi dan ingin melestarikan hubungan kekeluargaan yang selama ini terjalin.

B. Hukum Pidana Masyarakat Adat Batak Toba di Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Sama halnya dengan hukum pidana adat masyarakat lainnya di Indonesia, hukum pidana adat Batak Toba juga tidak ada membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dengan pelanggaran yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata pula. Begitu juga tidak dibedakan apakah itu pelanggaran adat, agama kesusilaan atau kesopananan. Kesemuanya itu akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai satu kesatuan perkara dan pertimbangan yang keputusannya bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum pidana dapat dilihat perbedaan antara delik hukum atau kejahatan dengan delik undang-undang (pelanggaran) tetapi hukum pidana adat tidak menganut sistem yang membeda-bedakannya. Hukum pidana adat tidak mementingkan kekuasaan hukum sebagaimana hukum pidana bangsa Indonesia yang bersifat nasional. Sehingga hukuman terhadap peristiwa kejahatan dihukum dengan hukuman penjara oleh karena hukum pidana adat Batak Toba juga tidak mengenal sistem hukum penjara.22

Dan berdasarkan sumber bacaan, penulis menyebut hukum pelangaran itu disebut sebagai hukum pidana Batak Toba. Hukum pelanggaran dalam bahasa Batak Toba disebut dengan istilah “Panguhuman tu angka parsala”, yang berarti hukum dalam hal yang berbuat salah, pengadilan terhadap mereka serta hukuman yang dijatuhkan. “Sala” berarti kesalahan, perbuatan tercela, pelanggaran. “Parsala”, orang yang melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran. Istilah Parsala, agak lebih luas dalam penerapannya daripada kata “Pangalaosi”. Yaitu

22

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

orang yang menyalahi menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus diumumkan sebagai suatu peraturan yang harus dipatuhi. Sedangkan Parsala berarti bersalah berbuat Sesuatu yang tidak boleh dilakukannya dalam arti yang lebih umum. 23

23

J. C. Vergouwen, Masyarakat dan hukum adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986 hal. 391

Dalam masyarakat Batak Toba, juga dikenal bentuk-bentuk tindak pidana. Yang mana perbuatan tersebut dianggap sala. Beberapa dari bentuk tindak pidana tersebut diantaranya adalah:

1. Kawin semarga.

Dalam masyarakat Batak Toba, marga adalah menentukan identitas. Artinya yang semarga, adalah berarti mereka berasal dari keturunan yang sama, masih saudara, sehingga antara laki-laki dan perempuan tidak boleh kawin karena mereka adalah mariboto.. Jika hal ini dilanggar, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap adat istiadat. Terhadap pelanggaran ini akan dapat dikenakan sanksi berupa pengusiran keduanya karena telah mengotori kesucian kampung. Bahkan pada zaman dahulu jika hal tersebut terjadi, maka untuk dapat diterimanya mereka sebagai warga kampung, harus diadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam, sebagai cara memulihkan kesucian tadi. Dan biaya yang dikeluarkan, dibebankan kepada kedua orang tersebut(pelaku).

2. Mangalansum

yaitu bermain curang dengan barang dagangan. 3.Pargadam/ pangarasun

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

yaitu membuat racun untuk membunuh orang lain. Dan biasanya ini dilakukan dengan memasukkan racun tersebut terhadap makanan yang menjadi sasarannya. Dengan tujuan atau maksud tertentu seperi supaya hasil panen bagus, menjadi kaya dan sebagainya.

4.Dorma

yaitu sarana gaib yang digunakan oleh orang muda yang dilanda asmara. 5.Sirotahi mual

yaitu mencemari sumur, mata air, kolam, sungai, sampai air tidak layak dikonsumsi orang atau hewan.

6.Manggadis lume

yaitu menjual benda yang diamanatkan.

7.Mengambil benda yang ditemukan di jalan, tanpa memberitahukannya terhadap kepala kampung.

8. Mambarobo

yaitu mencuri jala ikan di sungai atau di danau.

9. Mamorus

yaitu mencuri hasil bumi di ladang orang 10.Pemeliharaan begu ganjang

yaitu semacam santet, dengan tujuan untuk membunuh orang lain karena alasan-alasan tertentu apakah karena saingan, dendam, atau bahkan membunuh bayi yang masih di dalam kandungan.

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak

Dokumen terkait