• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

KEWENANGAN DALIHAN NATOLU DALAM

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA SECARA HUKUM ADAT

BATAK TOBA

(STUDI DI KEC. BORBOR,KAB. TOBA SAMOSIR)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

TOTA PASARIBU 040200030

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

KEWENANGAN DALIHAN NATOLU DALAM

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA SECARA HUKUM ADAT

BATAK TOBA

(STUDI DI KEC. BORBOR, KAB. TOBA SAMOSIR)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

TOTA PASARIBU 040200030

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Abul Khair,SH.M.Hum) NIP.131 842 854

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr.Runtung SH.M.Hum) (Berlin Nainggolan SH, M.Hum)

(3)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

hanya karena hikmat dan Karunia-Nya penulis dapat melaksanakan aktifitas

sehari-hari khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk

meraih gelar Sarjana Hukum yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i

yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul Skripsi yang penulis kemukakan adalah “Kewenangan

Dalihan Natolu dalam penyelesaian tindak pidana secara hukum adat Batak Toba studi di kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir”.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan masalah

dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

dapat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi.

Didalam Penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus seabagai dosen

pembimbing I, dari penulis,terima kasih banyak atas bimbingan dan

(4)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

2. Bapak Berlin Nainggolan SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing II, dari

penulis yang juga telah banyak memberiakn arahan, perhatian serta

meluangkan waktu untuk bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum, dan Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum,

selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

4. Ibu Erna Herlinda SH, M.Hum, SH.M.Hum, selaku dosen wali penulis.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi di Fakultas Hukum USU,

Yang telah mencurahkan ilmunya selama penulis menjalani perkuuliahan.

6. Bapak Sumihar Pasaribu, SH selaku camat Kecamatan Borbor, Kabupaten

Toba Samosir, yaitu dimana penulis mengadakan penelitian, terima kasih

atas kerjasama yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini..

7. Teristimewa kepada yang tersayang dan terpenting dalam hidupku,

ayahanda A. Pasaribu, ibunda P.br. Simanjuntak terima kasih atas

curahan kasih sayang yang diberikan, dan jerih payahnya dalam

memperjuangkan saya, serta mencukupi segala keperluan saya. Juga buat

kakak, abang, serta adik tercinta( Dayu Swista br. Pasaribu Amd, Linggom

S.J. Pasaribu SE, dan Dhaher F. Pasaribu) terima kasih atas doa dan

dukungannya selama ini.

8. Buat teman-teman stambuk 2004 terima kasih atas dukungannya.

9. Teman-teman segerakan di GMKI Komisariat FH-USU “ UT OMNES

(5)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

10. seluruh pihak yang membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh

dari sempurna dan banyak kekurangan. Untuk itu penulis menerima segala saran

dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis

berharap skripsi ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Medan, MeiS 2008

Tota Pasaribu

(6)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

C. Keaslian Penulisan --- 7

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan --- 8

E. Tinjauan Kepustakaan --- 9

F. Metode Penelitian --- 15

G. Sistematika Penulisan --- 16

BAB II. HUKUM PIDANA NASIONAL DI INDONESIA A. Keberadaan KUHP Dalam Masyarakat Indonesia sebagai Hukum Pidana yang Bersifat Nasional --- 18

B. Gambaran Umum Tentang Hukum Pidana Adat --- 23

BAB III. HUKUM PIDANA ADAT DAN KEWENANGAN DALIHAN NATOLU DALAM PENYELESAIANNYA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA A. Deskripsi Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir---28

B. HukumPidana adat masyarakat Batak Toba di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir---31

C. Kewenangan Dalihan Natolu dalam menyelesaikan tindak pidana adat dan proses penyelesaiannya---37

D. Sanksi Hukum atas pelanggaran Hukum pidana adat yang diberikan oleh Dalihan Natolu---62

(7)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

A. Kesimpulan --- 73 B. Saran --- 74

(8)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif yang telah dikodifikasikan dan merupakan hukum pidana bangsa Indonesia yang bersifat nasional tidak dapat memenuhi segala kebutuhan hukum kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku serta kebudayaan, keberagamaan kebudayaan tersebut tentu menyebabkan adanya perbedaan adat istiadat mereka termasuk hukum pidana yang mereka anut. Hukum pidana tersebut sifatnya hanya berlaku untuk mereka sendiri. Suku Batak Toba sebagai salah satu dari suku tersebut juga mempunyai hukum pidana adat sendiri yang dipatuhi masyarakat setempat. Dalihan Natolu sebagai sistem kemasyarakatan Batak Toba, sangat berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi termasuk terjadinya tindak pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang LKMD telah menempatkan Dalihan Natolu sebagai suatu lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat Batak Toba, hal ini dapat dilihat dengan keluarnya PERDA No. 10 Tahun 1990 tentang lembaga adat Dalihan Natolu yang diberlakukan di seluruh kabupaten di Tapanuli, termasuk di Kabupaten Toba Samosir tepatnya di Kecamatan Borbor. Maka timbul permasalahan yaitu bagaimana kewenangan Dalihan Natolu dalam penyelesaian tindak pidana secara hukum adat Batak Toba? Bentuk-bentuk tindak pidana adat yang bagaimana penyelesaiannya diserahkan kepada Dalihan Natolu?, serta bagaimana bentuk sanksi hukum yang diberikan Daihan Natolu terhadap pelaku tindak pidana adat tersebut

Dalam hal penyusunan skripsi ini, sekaligus untuk menjawab permasalahan di atas, penulis melakukan penelitian di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir sebagai lokasi penelitian penulis. Di mana terdapat beberapa kasus ataupan tindak pidana adat yang diselesaikan oleh Dalihan Natolu. Maka dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum secara yuridis empiris (sosiologis) yaitu melalui penelitian lapangan dengan mendatangi langsung masyarakat setempat, serta dalam hal pengumpulan data adalalah dengan field research yaitu mengadakan wawancara dengan penatua adat, serta library research yaitu dengan menggunakan sumber bacaan seperti buku-buku, pendapat sarjana, juga media cetak lainnya seperti majalah.

(9)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam

Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, dan tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.

Maka untuk mencapai hal tersebut perlu adanya jaminan keamanan dan ketertiban

dalam masyarakat. Jaminan ketertiban dan keamanan tersebut salah satu

diantaranya adalah hukum yang dapat mengayomi dan menjadi pedoman dalam

setiap pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi dengan demikian

dapat diketahui bahwa negara Indonesia adalah negara berdasar hukum (recht

staat) dengan demikian setiap orang yang melanggar hukum harus juga diberi

hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.1

Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia

dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berdasarkan

kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam

pelaksanaanya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal

untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat mandiri berkeadilan sosial.

Dengan demikian pembangunan bangsa dan negara disegala bidang kehidupan

pada hakekatnya adalah pembangunan manusia yang lahiriah maupun batiniah

yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena sasaran pembangunan

1

(10)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

adalah manusia Indonesia, maka dalam hal perlu ada perubahan . Perubahan yang

diinginkan itu selain yang tertuju pada kebutuhan, juga akan mengubah sikap dan

tingkah laku manusia itu sendiri. Dalam hal ini sasaran perubahan yang dimaksud

tidaklah terlepas dari masalah-masalah yang menyangkut tata nilai dalam

msyarakat saja yang pada hakekatnya juga pada hukum sebagai pengarah

pelaksana pembangunan nasional itu sendiri. Hukum sebenarnya tidak hanya

diharapkan akan dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan, tetapi sekaligus

dapat berfungsi pula sebagai pengayom masyarakat yaitu untuk terciptanya

suasana keteraturan, keamanan, keadialan dan kedamaian.2

2

Ibid. hal 2

Begitu juga dengan

pendapat beberapa sarjana yang mempunyai pandangan masing-masing mengenai

tujuan dari pada hukum pidana itu sendiri seperti: Menurut Van Apeldoorn:

Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.

Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi

kepentingan-kepentingan manusia meliputi kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta

dan sebagainya termasuk yang merugikannya.

Menurut Geny:

Tujuan hukum ialah semata-mata keadilan.

Menurut Belefroid:

Tujuan hukum adalah menambah kesejahteraan umum atau kepentingan umum

(11)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Begitu juga untuk dapat melihat tujuan hukum sehingga tidak dapat

memandang dari satu segi saja, tetapi harus melihat tujuan hukum dari 3 (tiga)

dasar hukum yaitu: keadilan, kegunaan (kemanfaatan) dan kepastian3

KUHP sebagai hukum positif dan telah dikodifikasikan tidak dapat

memenuhi segala kebutuhan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan

masyarakat begitu rumit, kompleks dan selalu berubah-ubah sehingga dalam

membentuk Undang-undang tidak dapat atau tidak mungkin membuat kodifikasi

hukum yang dapat memenuhi segala kebutuhan yang timbul dalam masyarakat.

Tatanan kebiasaan merupakan tatananan yang norma-normanya sangat dekat

dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Apa yang biasa dilakukan oleh

masyarakat, itulah yang kemudian bisa menjelma menjadi norma kebiasaan.

Kebiasaan tersebut atau adat istiadat tersebut pada dasarnya berbeda pada setiap

tempat maupun golongan dalam masyarakat. Oleh karena itu kebiasaan tidak perlu

senantiasa ditaati oleh semua penduduk suatu wilayah negara. Ada juga kebiasaan

kedaerahaan atau lokal (hukum adat).

.

4

Dengan demikian diperlukan adanya suatu tatanan hukum termasuk

hukum pidana yang menjadi hukum yang berlaku di negara Indonesia yang

bersifat nasional. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia itu dapat dituangkan

dalam suatu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun tidak sampai

disitu saja permasalahannya, sebab banyaknya masyarakat Indonesia dengan

kemajemukannya yang menjadi salah satu kekayaan nasional. Ini sudah jelas akan

mengakibatkan banyak pula perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut

3

Chainur Arrasjid, Dasar- dasar ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika: 2000, hal. 41. 4

(12)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

adalah baik di bidang agama, suku ras dan antar golongan. Hal ini dikarenakan

luasnya wilayah Republik Indonesia yang menyebabkan berbeda pula latar

belakang kebudayaannya. Namun walaupun demikian KUHP sebagai hukum

pidana nasional adalah salah satu cara untuk menciptakan keamanan dan

ketertiban seluruh masyarakat Indonesia, tidak selamanya dapat menyelesaikan

setiap masalah yang dihadapi masyarakat. Pasal 14 ayat 1 UU No.14 Tahun 1970

sebagaimana diubah dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Pokok

Kehakiman, yang berbunyi:

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan

dengan dalih tidak/kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya”.5

Keberadaan bunyi pasal tersebut sudah jelas akan mewajibkan para

penegak hukum termasuk hakim untuk berusaha menggali nilai-nilai yang

terdapat dalam masyarakat, yaitu apa yang menjadi hukum adat atau hukum

kebiasaan masyarakat. Maka dalam hal ini hukum pidana adat yang dianut oleh

masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku merupakan hal yang

tidak bisa dilupakan. Dan jika kita berbicara mengenai hukum pidana adat tidak

mendapat disangkal di daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi alam

sekitarnya yang magis religius dan memiliki sifat kedaerahan yang masih kental,

sumber hukum yang diakui dalam lapangan hukum pidana adalah hukum pidana

adat daerah itu sendiri. Keberadaan hukum pidana adat pada masyarakat

merupakan pencerminan masyarakat tersebut, dan pada masing-masing daerah

5

(13)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

memiliki hukum pidana adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat di

daerah tersebut dengan ciri khas yang tidak tertulis atau terkodifikasi.

Seperti diketahui bersama didalam suatu lingkungan adat juga memiliki

aturan tentang hukum pidana adat yaitu suatu bentuk tindak pidana yang

dilakukan di tengah-tengah lingkungan adat itu dan diadili oleh para penatua adat

atau dalam masyarakat adat Batak Toba disebut Raja. Dan apabila kasus tersebut,

tidak dapat diselesaikan maka jika para pihak menghendaki, maka kasus tersebut

akan dilaporkan dan ditangani pihak-pihak yang berwenang. Seperti diketahui

hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law)

diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus dari satu generasi

kegenerasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dapat

menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena hal tersebut jelas-jelas akan

mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat adat yang sudah barang tentu

keamanan dan ketertiban masyarakat adat terganggu.

Keberadaan masyarakat Indonesia yang tunduk terhadap hukum adat ,

terutama yang bermukim di daerah pedesaan jauh dari perkotaan, sangatlah

terpengaruh dan berpegang teguh terhadap keberadaan alam sekitarnya yang

masih magis dan religius. Alam pikiran mereka mempertautkan antara nyata dan

tidak nyata, alam pana dan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan

Tuhan. Alam pikiran yang demikian tersebut mengandung asas-asas dari

Pancasila seperti asas ketuhanan, peri kemanusiaan, persatuan dan gotong royong,

musyawarah untuk mufakat, dan rasa keadilan sosial. Hukum pidana adat tidak

(14)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

menjatuhkan hukuman kepada sipelanggar itu sendiri, tetapi adalah memulihkan

kembali terciptanya keamanan dan kertertiban masyarakat itu sendiri.

Sebagimana diketahui bahwa hukum asli bangsa Indonesia dijiwai

falsafah Pancasila, meskipun dijiwai oleh Pancasila, namun ketentuan hukum

pidana adat sulit digunakan sebagai hukum nasional. Hal ini dikarenakan hukum

pidana adat disuatu daerah berbeda dengan hukum daerah lainnya. Atau dengan

kata lain setiap daerah mempunyai hukum pidana adat yang berbeda-beda.

Apabila diperhatikan,maka dapat diketahui bahwa hukum pidana nasional yang

digunakan oleh Indonesia adalah hukum pidana barat dengan KUHP yang sudah

berlaku sejak tahun 1946 yang merupakan kodifikasi dari hukum Belanda. KUHP

ini sudah berlaku begitu lama sehingga sudah membudaya bagi semua rakyat,

meskipun ketentuan-ketentuan didalamnya banyak kita rasakan tidak sesuai

dengan falsafah Negara pancasila dan tidak sesuai dengan tujuan nasional yang

salah satu tujuannya adalah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Kondisi tersebut berbeda dengan hukum pidana adat masyarakat Indonesia

yang berfalsafah Pancasila, dan ber Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun tidak

tertulis hukum pidana adat tetap dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat karena

hukum pidana adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat

(15)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

B. Perumusan Masalah

Untuk mengungkap apa yang menjadi permasalahan, maka perlu dirumuskan

dengan jelas permasalahan yang akan menjadi pokok pembahasan dalan skripsi

ini. Adapun yang menjadi pokok permasalahan itu adalah:

1. Bagaimana kewenangan Dalihan Natolu dalam penyelesaian tindak

pidana adat di masyarakat Batak Toba ?

2. Bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana adat yang penyelesaiaanya

diserahkan oleh masyarakat kepada Dalihan Natolu dalam masyarakat

Batak Toba?

3. Bagaimana bentuk sanksi hukum yang dapat diberikan oleh Dalihan

Natolu terhadap pelaku tindak pidana adat?

C. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini pada prinsipnya penulis membuat dengan

berdasarkan hasil penelitian Penulis sendiri. Topik permasalahan dalam skripsi ini

sengaja dipilih dan ditulis, oleh karena pengetahuan peneliti belum ada yang

membuatnya. Setelah Penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada FH USU.

Maka judul skripsi ini adalah diambil berdasarkan pemikirin Penulis sendiri yaitu

: tentang Bagaimana Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba

Yang Diselesaikan Melalui Dalihan Natolu. Yang terjadi di Kecamatan Borbor

Kabupaten Toba Samosir. Baik itu melalui wawancara dengan penatua adat

(16)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

D. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka yang menjadi tujuan dari penulisan ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui cara penyelesaian tindak pidana pada masyarakat adat

Batak Toba khususnya di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir.

2. Untuk mengetahui bagaimana peranan Dalihan Natolu ,sebagai sistem

kemasyarakatan Batak Toba dalam proses penyelasaian tindak pidana.

3. Untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari cara

penerapan sanksi adat terhadap masyarakat itu sendiri.

Manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Yaitu di mana penulisan ini dapat menjadi kajian perkembangan ilmu

pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai penyelesaian

tindak pidana dalam hukum adat Batak Toba.

2. Manfaat secara praktis

Yaitu dapat menjadi sumbangsih bagi pemerintah, dalam pelaksanaan

penyelesaian perkara pidana yang diselesaikan di lingkungann adat. Juga

sebagai kajian akademi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan

khususnya hukum pidana dalam sistem penyelesaian perkara di lingkungan

adat Batak Toba.

(17)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Dalihan Natolu

Dalihan Natolu sebagai sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba, dan

ini merupakan tradisi yang turun temurun. Untuk dapat mengetahui apakah yang

dimaksud dengan Dalihan Natolu, lebih dahulu kita lihat unsur-unsurnya, yang

dalam bahasa Indonesia jika kata dalihan natolu diartikan maka artinya adalah

“tiga tungku”. Adapun yang menjadi unsur-unsur. Dalihan Natolu adalah terdiri

dari tiga (3) unsur yaitu:

a. Hula-hula

Somba marhula-hula yaitu harus hormat dan sungkem kepada pihak

keluarga marga asal istri

b. Dongan tubu

Manat mardongan tubu yaitu cermat dan penuh kehati-hatian menjaga

keselarasan hubungan dengan saudara-saudara dan semoyang menurut garis

keturunan ayah/patrilineal.

c. Boru

Elek marboru yaitu harus bersikap mengayomi terhadap keluarga dan

marga dari yang memperistri anak perempuan/ menantu laki-laki.

Dengan demikian unsur-unsur Dalihan Natolu yang telah disebutkan tadi,

menjadi unsur yang tidak akan bisa dilupakan oleh setiap masyarakat Batak Toba.

(18)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

disebut tidak beradat. Bahkan bukan tidak mungkin akan dikenakan sanksi adat

terutama jika dilanggar.6

a. Tindak pidana (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2.Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana atau peristiwa pidana adalah sebagai terjemahan dari

istilah Belanda”strafbaar feit’atau “delict” .Dalam bahasa Indonesia di samping

istilah ”peristiwa pidana’ untuk terjemahan “strafbaar feit’ atau ‘delict” itu

(sebagaimana yang dipakai R Tresna dan Utrecht) dikenal pada terjemahan yang

lain seperti:

b. Perbuatan Pidana (Mulyatno, pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada

VI tahun 1955 di Yogyakarta).

c. Pelanggaran pidana ( Tirta Mijaya, pokok-pokok hukum pidana, Penerbit

Frasco 1955).

d. Perbuatan yang boleh dihukum (Karni, Ringkasan tentang hukum Pidana,

Penerbit balai buku, Jakarta 1959).

e. Perbuatan yang dapat dihukum(Undang-undang 12 / Drt tahun 1951, Pasal

3 tentang mengubah ordonantietijdelijkbijzondere straf bepalingen).

Di antara beberapa istilah tersebut, yang paling tepat untuk dipakai adalah

istilah peristiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana adalah bukan saja

yang berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat. Beberapa sarjana telah

berusaha memberikan perumusan tentang pengertian peristiwa pidana itu.

6

(19)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Diantara sarjana tersebut adalah:

a. Menurut D. Simons

Pertama kita mengenal perumusan yang dibuat oleh Simons, peristiwa pidana itu

adalah “Een strafbaargestelde, onrecmatige, met schuld in verband staande

handelingen van een toerekening svat baar persoon”. Terjemahannya adalah

perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh

seorang yang mampu bertanggung jawab.7

Perumusan sarjana ini sebenarnya sama dengan perumusan simons, hanya Van

Hamel satu syarat lagi perbuatan itu harus pula patut dipidana.

b. Menurut Van Hamel

8

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

c. MenurutWiryono Projodikoro

9

Berbicara mengenai hukum adat maupun hukum pidana adat, tidak bisa

lepas dari aspek kebudayaan Indonesia. Oleh karena hukum adat maupun pidana

adat merupakan perwujudan dari kebudayaan Indonesia. Pada hakekatnya

kebudayaan itu mempunyai 3 (tiga) perwujudan yaitu: pertama wujud kebudayaan

sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan

dan sebagainya. Kedua kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai suatu

kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Dan ketiga

dapat berwujud sebagai benda–benda sebagai hasil karya manusia. Hukum atau

3.Pengertian Hukum Pidana Adat

7

C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta:2004 hal 36-38. 8

Ibid hal. 36-38 9

(20)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

norma hukum sebagai pedoman bagi manusia untuk berbuat atau tidak berbuat,

mempunyai akibat hukum apabila normanya tidak ditaati atau dilanggar. Tiap–

tiap bangsa mempunyai hukum sendiri dan sebagaimana halnya dengan bahasa,

maka hukum juga hidup dan diciptakan masyarakat dari bangsa itu sendiri.

Dengan melihat hal tersebut maka dapat diketahui bahwa yang dinamakan

hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (The living law), diikuti dan ditaati

oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari suatu generasi ke generasi

berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat

menimbulkan goncangan dalam masyarakat karena dianggap menganggu

keseimbangan masyarakat. Oleh sebab itu bagi si pelanggar diberikan reaksi adat,

koreksi adat, atau sanksi adat oleh masyarakat melalui penatua adatnya.

Pengertian ini mengandung tiga hal pokok yaitu : pertama rangkaian peraturan

tata tertib, yang dibuat diikuti dan ditaati adat bersangkutan. Kedua pelanggaran

terhadap tata tersebut dapat menimbulkan kegoncangan karena dianggap

menggangu keseimbangan masyarakat, perbuatan melanggar tata tertib ini dapat

disebut delik adat. Ketiga pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat

dikenai sanksi oleh masyarakat yang bersangkutan.10

a. Menyeluruh dan menyatukan

Di samping mengenai pengertian dari hukum pidana adat, juga mengenal sifat

dari hukum pidana adat yaitu sebagai berikut:

10

(21)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam hal ini maksudnya bahwa hukum pidana adat tidak membedakan

pelanggaran yang bersifat pidana dan bersifat perdata.

b. Ketentuan terbuka

Hal ini didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi

sehingga bersifat tidak pasti, di mana ketentuannya selalu terbuka untuk

segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi.

c. Membeda–bedakan permasalahan

Apabila terjadi peritiwa pelanggaran, maka yang dilihat bukan semata-

mata perbutan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang

dan siapa pelakunya. Dengan demikian maka dalam cara penyelesaian

suatu peristiwa menjadi berbeda–beda.

d. Peradilan dengan permintaan

Menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya

pemintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang

merasa dirugikan atau diperlakukan dengan tidak adil.

e. Tindakan reaksi dan koreksi

Tindakan reaksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi

juga dikenakan pada kerabatnya/keluarganya bahkan mungkin juga

dibebankan pada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan

keseimbangan yang terganggu.11

4. Pengertian Delik Adat

11

(22)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam masyarakat adat, tidak jarang terjadi ketegangan–ketegangan sosial

karena terjadi pelanggaran adat oleh seorang atau sekelompok masyarakat yang

bersangkutan. Ketegangan–ketegangan itu pulih kembali bilamana reaksi

masyarakat yang berupa pemberian reaksi adat telah dilakukan atau dipenuhi oleh

sipelanggar adat. Menurut Bushar Muhammad Delik adat itu sabagai suatu

tindakan sepihak dari seseorang atau sekumpulan perseorangan, mengancam atau

menyinggung atau menggangu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat

material atau immaterial terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa

kesatuan. Sementara menurut Ter Haar menulis bahwa yang dianggap suatu

pelanggaran (delik) adalah setiap gangguan terhadap keamaan dan ketertiban

masyarakat. Tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi adat dari

masyarakat adat tersebut

Dari beberapa pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa delik adat adalah

semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatuhan, ketertiban,

keamanan rasa keadilan kesadaran masyarakat yang bersangkutan baik hal itu

sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pengurus adat sendiri,

perbutan mana dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena menggangu

keseimbangan masyarakat, serta menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa

sanksi adat. Apabila diamati dari beberapa defenisi tentang delik adat itu, pada

pokoknya terdapat empat unsur penting yaitu: 1 ada perbuatan yang dilakukan

oleh perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri. 2. perbuatan itu

bertentangan dengan norma hukum adat 3. perbuatan itu dipandang dapat

(23)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

4. atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi adat. Suatu

perbuatan dianggap bertentangan dengan norma–norma hukum adat apabila

perbuatan itu bertentangan dengan aturan atau keinginan–keinginan masyarakat

hukum adat setempat. Setiap ketentuan hukum adat dapat timbul dan berkembang

dan dapat juga berganti degan ketetuan yang baru. Oleh karena itu perbuatan jahat

yang dianggap bertentangan dengan norma–norma hukum adat, akan lahir dan

berkembang dan kadangkala hilang (dianggap tidak bertentangan dengan hukum

adat), karena rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat berubah. Di dalam

menentukan delik adat tidak dikenal adanya asas legalitas sebagimana disebut

dalam sistem KUHP Indonesia yaitu yang mengharuskan adanya suatu undang–

undang yang mengatur perbuatan tersebut sebagaimana perbuatan yang dialarang

atau tidak boleh dilakukan sebagai aturan yang harus diikuti oleh masyarakat.

Delik adat ini terjadi apabila suatu perbutaan tersebut dirasakan oleh masyarakat

sebagai perbuatan yang tidak patut, tercela karena apabila dilanggar dipandang

akan dapat mengganggu keseimbangan dan menimbulkan kegoncangan dalam

masyarakat.

F. Metode Penelitian

Metode diartikan sebagai suatu cara untuk mencapai sesuatu sebagaimana

tentang tata cara penelitian harus dilakukan maka metode penelitian yang

digunakan oleh penulis antara lain :

(24)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum dengan pendekatan

yuridis empiris (sosiologis) yaitu penelitian baik terhadap asas–asas huku m yaitu

dengan melakukan penelitian langsung ke lingkungan adat di Kecamatan Borbor,

Kabupaten Toba Samosir

2. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir. Di

mana terdapat kasus–kasus pidana yang diselesaikan oleh para penatua adat

setempat secara hukum adat mereka.

3. Sumber data

a. Library Researh (Penelitian Kepustakaan) yaitu degan melakukan penelitian

terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku–buku, pendapat sarjana dan

lain–lain.

b. Field Researh (penelitian lapangan) yaitu dengan melakukan penelitian

langsung ke lapangan.Dalam hal ini penulis langsung mengadakan wawancara

dengan penatua adat.

4. Analisis data

Data yang diperoleh adalah penelitian kepustakaan (Library research) dan

dianalisis secara deskriptif. Analisis dekskriptif artinya penulis semaksimal

mungkin berupaya untuk mendapatkan data–data yang sebenarnya. Selanjutnya

dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yang akhirnya akan menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan

(25)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

G.Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan dan pembaharuan skripsi ini, maka

diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab

perbab yang berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini

adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi,

perumusan masalah, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: HUKUM PIDANA NASIONAL DI INDONESIA

Yang memuat mengenai keberadaan KUHP dalam masyarakat Indonesia

sebagai hukum pidana yang bersifat nasional, gambaran umum

mengenai hukum pidana adat.

BAB III: HUKUM PIDANA ADAT DAN KEWENANGAN DALIHAN

NATOLU DALAM MENYELESAIKANNYA PADA

MASYARAKAT BATAK TOBA.

Yang memuat: deskripsi Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir,

Hukum Pidana Adat pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Borbor

Kabupaten Toba Samosir, Kewenangan Dalihan Natolu Meyelesaikan

Tindak Pidana Adat dan Proses Penyelesaiannya, Sanksi Hukum Atas

Pelanggaran Hukum Pidana Adat oleh Dalihan Natolu.

(26)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab–bab yang telah

(27)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

HUKUM PIDANA NASIONAL DI INDONESIA

A. Keberadaan KUHP dalam Masyarakat Indonesia sebagai Hukum Pidana yang Bersifat Nasional.

Hukum Pidana Indonesia bentuknya tertulis dikodifikasikan dalam suatu

kitab undang-undang. Dalam perkembangannya,hukum pidana Indonesia tertulis

dan dikodifikasikan dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

yang berasal dari pemerintah penjajahan Belanda .Dan perlu ketahui bahwa

sejarah berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP) adalah Di mana

pada zaman penjajahan Belanda peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia bercorak “dualistis”. Corak dualistis dimaksud adalah bahwa bagi orang

Eropa berlaku sistem hukum Belanda, sementara itu bagi orang-orang lainnya

sebagai penghuni Indonesia berlaku satu sistem hukum masing-masing. Ketentuan

pidana yang belaku bagi orang-orang Eropa tersendiri. Di lain pihak bagi orang

Indonesia berlaku hukum pidana masing-masing.12

KUHP untuk golongan Indonesia(1873) adalah copy atau turunan dari KUHP

untuk golongan Eropa (1867). Dan KUHP untuk golongan Eropa tersebut,

merupakan turunan kode penal yaitu hukum pidana Prancis.

Ketika masih berlakunya dulisme hukum di Indonesia di mana KUHP

sebelum tahun 1918, diberlakukan untuk dua golongan yaitu:

1.Satu untuk golongan Indonesia (mulai 1 Januari 1873)

2.Satu untuk golongan Eropa(mulai 1 Januari 1867)

12

(28)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Adapun perbedaan KUHP untuk golongan Eropa(1867) dengan KUHP

Untuk Indonesia terutama pada jenis hukuman yang diberikan misalnya:

a. Orang Indonesia dapat diberi kerja paksa dengan lehernya diberi kalung besi

atau kerja paksa yang tidak dibayar untuk mengerjakan pekerjaan umum,

sedang orang-orang Eropa tidak, hanya hukuman penjara atau hukuman

kurungan saja.

b. KUHP untuk orang Indonesia disesuaikan dengan keadaan dan kebiasaan

orang Indonesia, misalnya:

1). Perkawinan dengan lebih satu orang perempuan

2). Mengemis dimuka umum tidak dihukum.13

Pada zaman pendudukan Jepang, aturan hukum pidana yang berlaku

sebelumnya dinyatakan tetap belaku. Berarti seluruh ketentuan hukum yang

tertera dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh Indie tetap berlaku saat

itu. Setelah Indonesia merdeka, juga tetap berlaku aturan hukum pidana Belanda

itu, berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945. Akan

tetapi, pada tahun 1945 melalui UU No.1 Tahun 1945 Wetboek van Strafrecht

voor Nederlansch Indie setelah mengalami perubahan seperlunya menjadi

Wetboek van strafrecht voor Indonesia dinyatakan berlaku. Setelah perjalanan

sejarah Indonesia dari Republik Indonesia Serikat menjadi Negara kesatuan

Republik Indonesia lagi, melalui Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang

berlaku sejak tanggal 29 september 1958, merupakan Undang-Undang yang

menyatakan tentang berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik

13

(29)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Indonesia. Undang-undang ini tentang peraturan Pidana untuk seluruh wilayah

Republik Indonesia sehingga mengubah Kitab Undang-undang Hukum

Pidana.Dengan Undang-undang ini, berarti sejak tanggal 29 september 1958,

berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bagi seluruh penghuni

Indonesia dengan corak kodifikasi.14

14

Loc.cit

Adapun KUHP secara sistematika terdiri dari 3 ( tiga ) buku yaitu :

Buku I . tentang ketentuan umum terdiri dari 9 titel ( bab )

Buku II. tentang kejahatan terdiri dari 31 bab

Buku III. tentang pelanggaran terdiri dari 10 bab.

Adapun buku I yang terdiri dari 9 bab tadi memuat :

Bab I. tentang kekuasaan berlakunya hukum pidana

Bab II. tentang hukuman

Bab III. tentang penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman

Bab IV. tentang percobaan

Bab V. tentang turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum

Bab VI. tentang gabungan perbuatan yang dapat dihukum

Bab VII. tentang memasukkan dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan,

yang hanya boleh dituntut atas pengaduan

Bab VIII. tentang hapusnya hak menuntut dan hapusnya hukuman

(30)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Sementara Buku II yang terdidri 31 bab, yang memuat kurang lebih 400

pasal, tentang perbuatn–perbuatan yang dinamakan kejahatan. Diantaranya

terdapat pasal–pasal penting seperti :

a. Kejahatan terhadap keselamatan Negara, kepentingan Negara

pemberontakan, dan penghianatan,

b. Kejahatan–kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban–kewajiban dan hak –

hak kenegaraan, mengacaukan sidang parlemen, merintangi pemilihan

umum,

c. Kejahatan kejahatan terhadap ketertiban umum, penghasutan untuk berbuat

jahat, mengganggu rapat umum, perampokan–perampokan,

d. Kejahatan terhadap kesusilaan, pencabulan, perjudian, penganiayaan,

e. Kejahatan-kejahatan terhadap kemerdekaan orang (penculikan),

f. Kejahatan-kejahatan terhadap jiwa orang (pembunuhan),

g. Penganiayaan,

h. Pencurian,

i. Pemerasan dan ancaman,

j. Penggelapan,

k. Penipuan,

l. Penghinaan, dan

m. Kejahatan-kejahatan, menerima suap, membuka rahasia negara, pemalsuan

(31)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Sedangkan buku III berjudul pelanggaran, terdiri atas 10 bab memuat

kurang lebih 100 pasal. Dan disebut pelanggaran karena dipandang tidak

sedemikian jahat seperti pada kejahatan – kejahatan dalam buku II.

Beberapa bab penting pada buku III:

a. Pelanggaran terhadap umum, kenakalan terhadap manusia, dewan atau

barang yang dapat membahayakan keselamatan umum, penjualan makanan

dan minuman yang sudah rusak, beburu tanpa izin.

b. Pelanggaran terhadap ketertiban umum, membuat riuh yang menggangu

tetangga, pengemisan, membuat pakaian atau tanda-tanda pangkat yang ia

tidak berhak memakainya, memakai nama atau gelar palsu.

c. Pelanggaran terhadap keuasaan umum, merobek atau merusak

pengumuman– pengumuman dari yang berwajib.

d. Pelanggaran terhadap kesusilaan, penyiaran gambar–gambar, cerita-cerita

dan lagu – lagu yang tidak senonoh, penjualan miras tanda izin

e. Pelanggaran terhadap memasuki tempat- tempat angkatan perang, jalan-jalan

lain dari yang telah ditentukan.

Jadi pada umumnya, jika pada tiap-tiap hari ada orang ditangkap polisi,

lalu ia dituntut jaksa, kemudian diadili oleh hakim, maka orang itu telah berbuat

sesuatu yang dilarang oleh salah satu pasal dari buku I, II, dan III dalam KUHP,

dan perbuatan tersebut diancam dengan suatu hukuman. 15

15

(32)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

B. Gambaran Umum Mengenai Hukum Pidana Adat

Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara masalah pidana maupun

perdata. Di mana tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang

mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di lapangan hukum pidana dan

pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan perdata. Oleh

karenanya maka sistem hukum adat hanya mengenal satu prosedur dalam hal

penuntutan. Satu macam prosedur baik untuk penuntutan secara perdata maupun

penuntutan secara pidana. Ini berarti bahwa petugas hukum yang berwenang

untuk mengambil tindakan- tindakan konkrit ( reaksi adat ) guna membetulkan

hukum yang telah dilanggar itu, adalah tidak seperti pada hukum barat hakim

pidana untuk perkara pidana dan hakim perdata untuk perkara perdata, melainkan

satu pejabat saja yakni kepala adat. Pembetulan hukum yang dilanggar sehingga

dapat memberikan kembali keseimbangan yang semula ada itu, dapat berupa

sebuah tindakan saja tetapi kadang –kadang mengingat sifatnya pelanggaran perlu

diambil beberapa tindakan. 16

2. Yang pembetulan keseimbangannya diperlukan beberapa tindakan seperti

melarikan gadis pada suku dayak di Kalimantan, perbuatan ini selain Sebagai berikut:

1. Yang pembetulan keseimbanganya hanya berwujud satu tindakan saja.

Hutang uang dan pada waktunya tidak membayar kembali. Tindakan atau

koreksinya adalah hanya membayar pinjaman itu saja.

16

(33)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

mencemarkan kesusilaan masyarakat yang bersangkutan, juga mencemarkan

kehormatan keluarga si gadis tersebut.

Untuk memulihkan keseimbangan hukum diperlukan 2 macam upaya yaitu

pembayaran denda kepada keluarga korban, serta penyerahan seekor binatang

korban pada kepala persekutuan untuk membuat supaya masyarakat adat serta

lingkungan adat menjadi bersih dan suci kembali. 17

Berbicara mengenai hukum adat maupun pidana adat tidak bisa lepas dari

pembicaraan aspek kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh karena hukum dan juga

hukum pidana adat merupakan perwujudan dari kebudayaan bangsa Indonesia.

Pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai 3 perwujudan yaitu: Pertama wujud

kebudayaan sebagai suatau kompleks ide – ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma

peraturan dan sebagainya. Kedua kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai

suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat dan

ketiga kebudayaan dapat berwujud sebagai benda – benda hasil karya manusia.

Wujud yang pertama terdapat dalam ide dari warga masyarakat dimana

kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan

idiil yang dapat kita sebut adat tata kelakuan, yang bermaksud menunjukkan

bahwa kebudayaan biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur,

mengendalikan dan memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam

masyarakat.

18

Sistem nilai - nilai budaya bangsa dengan demikian terdiri dari konsep –

konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar yang merupakan dari

17

Ibid hal. 230 18

(34)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

kebudayaan yang bersangkutan, yang mengenai hal-hal yang mereka anggap

penting dan bernilai dalam hidup. Karena itu sistem nilai budaya biasanya

berfungsi sebagai pedoman untuk berbuat. Yang penting yaitu sebagai sistem

yang mengontrol atas perbuatan – perbuatan manusia dalam masyarakat. Di dalam

mengontrol ini masyarakat mempunyai suatu pola untuk mengukur apakah

sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, diperbolehkan atau tidak oleh masyarakat

di mana pelaku perbuatan tadi hidup dan menjadi anggota masyarakat yang

bersangkutan. Hukum atau norma hukum sebagai pedoman bagi manusia untuk

berbuat atau tidak berbuat mempunyai akibat hukum apabila normanya tidak

ditaati atau dilanggar. Tiap - tiap bangsa mempunyai hukumnya sendiri

sebagaimana halnya dengan bahasa maka hukum pun merupakan hal yang

diciptakan masyarakat itu dan menjadi kehidupan bangsa itu sendiri. 19

Teer Haar mengatakan bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delik) ialah

setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan pada barang

material dan inmaterial orang seseorang atau orang- orang yang banyak

merupakan satu kesatuan (gerombolan). Tindakan sedemikian itu menimbulkan

suatu reaksi yang sifat besar dan kecilnya diterapkan oleh hukum adat (adat

reactie), karena reaksi maka keseimbangan harus dipulihkan kembali (kebanyakan

dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang – barang atau uang), dengan

demikian untuk disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan

kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak

hanya terdapat apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi

19

(35)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

juga apabila norma – norma kesusilaan keagamaan dan sopan santun dalam

masyarakat, yang selalu dipatuhi. Sementara menurut Soepomo juga mengatakan

bahwa di dalam hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan

hukum adat dan perbuatan illegal dan serta hukum adat juga mengenal pula

ikhtiar–ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika telah diperkosa. 20

Apabila diikuti pendapat – pendapat para sarjana tersebut di atas, kiranya

dapat disimpulkan bahwa pada satu tindakan pidana adat itu merupakan tindakan

yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat

sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan

masyarakat yang bersangkutan. Guna memulihkan kembali ketentraman dan

keseimbangan itu maka terjadi reaksi – reaksi adat. Dan reaksi – reaksi adat ini

merupakan tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang

diganggu dan meniadakan atau menetralisasikan suatu keadaan yang ditimbulkan

oleh pelanggaran adat. Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dalam

masyarakat (living law) dan akan terus hidup selama ada kebudayaan manusia ia

tidak akan dapat dihapus dengan perundang- undangan. Andai kata diadakan juga

undang – undang yang menghapuskanya akan percuma juga. Malahan hukum

pidana perundang – undangan akan kehilangan sumber kekayaanya oleh karena

hukum pidana adat itu sendiri lebih erat hubungannya dengan antropologi dan

sosiologi. 21

20

Ibit hal. 33 21

(36)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

BAB III

HUKUM PIDANA ADAT DAN KEWENANGAN DALIHAN NATOLU MENYELESAIKANNYA PADA MASYARAKAT BATAK

TOBA

A. Deskripsi Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir

Kecamatan Borbor terletak di sebelah tenggara kota Balige ibu kota

(37)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

yang dimekarkan pada tanggal 06 September 2002. Dan sampai sekarang

Kecamatan Borbor masih berada di wilayah hukum Kepolisian sektor Habinsaran,

Resort Toba Samosir serta jarak dari Kecamatan Borbor ke Parsoburan yaitu

Ibukota kecamatan Habinsaran letak kantor Kepolisian sektor Habinsaran ± 35

Km. Sedangkan jarak dari Borbor ke Balige Ibukota Kabupaten ± 75 Km. Adapun

luas wilayah Kecamatan Borbor ± 40.750 hektar. Khusus wilayah PT. Toba Pulp

Lestari ( TPL ) ± 24.000 hektar.

Dan batas- batas wilayah :

1 Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Habinsaran

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara

3. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Habinsaran

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Laguboti dan Kecamatan

Silaen.

Dari jumlah penduduk, penduduk Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir

adalah : a. Laki – Laki : 3230 Jiwa

b. Perempuan : 3470 Jiwa

c.Jumlah Kepala keluarga : 1428 KK.

Di samping hal tersebut nama Kecamatan ini, dengan sebutan Kecamatan Borbor,

karena penduduk asli yaitu marga yang pertama kali menetap adalah marga

Pasaribu. Sesuai dengan silsilah bahwa marga Pasaribu itu berada dalam

kelompok Borbor marsada begitu disebut dalam silsilah marga masyarakat Batak

Toba, yang mana kelompok marga Borbor marsada tersebut diantaranya meliputi

(38)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

1. Pasaribu

2. Sipahutar

3. Lubis

4. Limbong

5.Sagala

6. Malau

8. Manik

9. Parapat

10.Ambarita

11.Harahap

12. Serta marga-marga lainnya.

Namun di samping marga - marga Pasaribu sebagai marga - marga asli di

Kecamatan Borbor atau marga mayoritas, juga terdapat beberapa marga lain yang

termasuk pihak boru, karena mereka menetap di Kecamatan Borbor setelah

menikahi gadis dari keturunan Pasaribu sehingga mereka berada dalam pihak boru

begitu dalam sebutan Dalihan Natolu ( Sistem Kemasyarakatan Batak Toba ). Di

samping karena menikah dengan gadis marga Pasaribu ada juga kedatangan

mereka untuk berdagang, Pegawai Pemerintah atau PNS dan latar belakang

lainnya. Marga–marga di luar Pasaribu tadi yang disebut pendatang adalah marga

: Pangaribuan, Simanjuntak, Hutahaean, Siagian, Pardosi, Hutapea dan lain–lain.

Jadi secara umum marga–marga tersebut menikah dengan gadis dari marga

Pasaribu sehingga secara umum marga Pasaribu tersebut sebagai Hula–hula atau

(39)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

sudah banyak marga Pasaribu menikah dengan gadis dari marga pendatang tadi.

Sehingga di sisi lain dalam sistem Dalihan Natolu kedudukan mereka tidak

selamanya lagi sebagai hula - hula melainkan sebaliknya sebagai boru.

Penduduk asli Kecamatan Borbor yaitu marga Pasaribu yang sekarang

adalah generasi kesepuluh atau marga kesebelas dan seterusnya dari orang yang

pertama sekali mendiami daerah ini. Begitupun diantara sesama marga Pasaribu

yang disebut dongan tubu yaitu mereka terdiri dari satu ayah (sa ama) sedangkan

kelompok dongan tubu yang lebih besar lagi yaitu satu nenek moyang (sa ompu).

Setelah pemekaran Kabupaten Toba Samosir dari Kabupaten Tapanuli Utara

keberadaan daerah ini yaitu Kecamatan Borbor bukanlah termasuk Kecamatan

yang masih tertinggal dibanding Kecamatan lainnya di Sumatera Utara khususnya

di Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat dilihat dengan adanya fasilitas -

fasilitas umum seperti fasilitas Kesehatan, Pendidikan, Transportasi serta fasilitas

lainnya. Meskipun demikian keberadaan hukum adat termasuk hukum pidana adat

pada saat tertentu masih tetap diperhatikan yang artinya masih sering terjadi

sengketa yang ada dalam masyarakat baik pidana maupun perdata diselesaikan

secara hukum adat Batak Toba, hal ini disebabkan rasa kekeluargaan yang masih

dijunjung tinggi dan ingin melestarikan hubungan kekeluargaan yang selama ini

terjalin.

(40)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

Sama halnya dengan hukum pidana adat masyarakat lainnya di Indonesia,

hukum pidana adat Batak Toba juga tidak ada membedakan antara pelanggaran

yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dengan pelanggaran

yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata pula. Begitu juga

tidak dibedakan apakah itu pelanggaran adat, agama kesusilaan atau kesopananan.

Kesemuanya itu akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai satu kesatuan

perkara dan pertimbangan yang keputusannya bersifat menyeluruh berdasarkan

segala faktor yang mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum pidana dapat

dilihat perbedaan antara delik hukum atau kejahatan dengan delik undang-undang

(pelanggaran) tetapi hukum pidana adat tidak menganut sistem yang

membeda-bedakannya. Hukum pidana adat tidak mementingkan kekuasaan hukum

sebagaimana hukum pidana bangsa Indonesia yang bersifat nasional. Sehingga

hukuman terhadap peristiwa kejahatan dihukum dengan hukuman penjara oleh

karena hukum pidana adat Batak Toba juga tidak mengenal sistem hukum

penjara.22

Dan berdasarkan sumber bacaan, penulis menyebut hukum pelangaran itu

disebut sebagai hukum pidana Batak Toba. Hukum pelanggaran dalam bahasa

Batak Toba disebut dengan istilah “Panguhuman tu angka parsala”, yang berarti

hukum dalam hal yang berbuat salah, pengadilan terhadap mereka serta hukuman

yang dijatuhkan. “Sala” berarti kesalahan, perbuatan tercela, pelanggaran.

“Parsala”, orang yang melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran. Istilah

Parsala, agak lebih luas dalam penerapannya daripada kata “Pangalaosi”. Yaitu

22

(41)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

orang yang menyalahi menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus

diumumkan sebagai suatu peraturan yang harus dipatuhi. Sedangkan Parsala

berarti bersalah berbuat Sesuatu yang tidak boleh dilakukannya dalam arti yang

lebih umum. 23

23

J. C. Vergouwen, Masyarakat dan hukum adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986 hal. 391

Dalam masyarakat Batak Toba, juga dikenal bentuk-bentuk tindak pidana.

Yang mana perbuatan tersebut dianggap sala. Beberapa dari bentuk tindak pidana

tersebut diantaranya adalah:

1. Kawin semarga.

Dalam masyarakat Batak Toba, marga adalah menentukan identitas. Artinya

yang semarga, adalah berarti mereka berasal dari keturunan yang sama, masih

saudara, sehingga antara laki-laki dan perempuan tidak boleh kawin karena

mereka adalah mariboto.. Jika hal ini dilanggar, maka hal tersebut merupakan

pelanggaran terhadap adat istiadat. Terhadap pelanggaran ini akan dapat

dikenakan sanksi berupa pengusiran keduanya karena telah mengotori kesucian

kampung. Bahkan pada zaman dahulu jika hal tersebut terjadi, maka untuk dapat

diterimanya mereka sebagai warga kampung, harus diadakan pesta selama tujuh

hari tujuh malam, sebagai cara memulihkan kesucian tadi. Dan biaya yang

dikeluarkan, dibebankan kepada kedua orang tersebut(pelaku).

2. Mangalansum

yaitu bermain curang dengan barang dagangan.

(42)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

yaitu membuat racun untuk membunuh orang lain. Dan biasanya ini dilakukan

dengan memasukkan racun tersebut terhadap makanan yang menjadi

sasarannya. Dengan tujuan atau maksud tertentu seperi supaya hasil panen

bagus, menjadi kaya dan sebagainya.

4.Dorma

yaitu sarana gaib yang digunakan oleh orang muda yang dilanda asmara.

5.Sirotahi mual

yaitu mencemari sumur, mata air, kolam, sungai, sampai air tidak layak

dikonsumsi orang atau hewan.

6.Manggadis lume

yaitu menjual benda yang diamanatkan.

7.Mengambil benda yang ditemukan di jalan, tanpa memberitahukannya

terhadap kepala kampung.

8. Mambarobo

yaitu mencuri jala ikan di sungai atau di danau.

9. Mamorus

yaitu mencuri hasil bumi di ladang orang

10.Pemeliharaan begu ganjang

yaitu semacam santet, dengan tujuan untuk membunuh orang lain karena

alasan-alasan tertentu apakah karena saingan, dendam, atau bahkan

(43)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

11.Lalai ataupun sengaja sehingga ternak kepunyaannya merusak tanaman orang

lain. .

12.Sibola huta

yaitu menyebarkan berita bohong, sehingga terjadi pertengkaran diantara

warga.

13. Marhata pasul

menggunakan kata-kata kasar, sehingga orang lain merasa dihina.

14. Marnihim-nihim ugasan natinangko.

Membawa lari diam-diam barang yang sudah diketahuinya adalah hasil curian.

15. Pangguntu

yaitu orang yang menimbulkan keributan. Ataupun melakukan perkelahian.

16. Mangalangkup/ Berzinah

17. Pasiak- siakhon di namarsaripe/ kekerasan dalam rumah tangga.

18.Paroa-roahon/ memfitnah atau pencemaran nama baik.

19.Manangko/ mencuri

Selain tindak pidana tersebut, masih banyak lagi bentuk tindak pidana dalam

masyarakat Batak Toba, tindak pidana pada poin15,16,17,18,19 akan dijelaskan

lebih lanjut pada halaman berikutnya.

Dalam hukum pidana adat masyarakat Batak Toba orang yang melakukan

kesalahan harus mengakui kesalahannya, dan harus membenarkan bahwa dia patut

mendapat hukuman “manopoti sala”. Berarti dia menundukkan diri sendiri,

tunduk pada adat dan pertimbangan umum, bahwa dia menyerahkan diri kepada

pemegang kekuasaan dan akan memberikan ganti rugi seperti yang sudah

(44)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

mengakui kekeliruan tindakannya, dia telah melakukan tindakan dan telah berbuat

salah, tahu bahwa menyangkal tidak ada gunanya, barangkali sudah menyesal

mengakui sebagian atau seluruhnya dan sudah siap menerima apa yang akan

dituntut darinya. Dia bersedia memperbaiki kesalahan yang dilakukannya “pauli

uhum “ melalui penebusan pribadi. Manopoti sala adalah tindakan menghina

diri sendiri, pauli uhum berarti menuntut bahwa dia harus memberikan

pengorbanan tertentu. Dia meski membayar pelanggaran yang dilakukannya

”Manggarar utang sala”. Dengan ini ia membebani diri sendiri. Ia mesti menebus

sesuai dengan apa yang dituntut adat “ Manggarar adat”, dia mesti membayar

hutang yang ditimbulkan oleh tindakannya yang salah “garar ni utang”. Dengan

ini membebani diri sendiri. Jika keputusan hukumnya sudah tercapai dia dibebani

dengan ganti rugi yang harus dilaksanakan “marutang”. Hal ini diwujudkan

melalui penghinaan, dan melalui kepatuhannya terhadap kewajiban yang

dijatuhkan di atas pundaknya “panopotion“. Kewajiban ini disebut paulihon,

bentuk dan sarana untuk memulihkan hukum atau topot – topot yaitu apa yang

menunjukkan pengakuan salah, (topot juga berarti mengunjungi). 24

Manopoti salana dan pembetulan pelanggaran yang menyertainya tidak

selalu merupakan tindakan suka rela. Tindakan ini memang dapat bersifat sukarela

tetapi biasanya tidak terelakkan, karena ada tekanan dari luar. Di zaman dahulu

selalu ada ancaman menyertai suatu putusan, yakni ditempatkan di luar

perlindungan hukum ”dipaduru diruar ni patik”, atau di luar adat “dibalian ni

adat”. Dalam rumpun kampung yang kecil atau dalam tempat seorang penjahat

24

(45)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

tinggal,pengucilan “mandurui”, bisa berarti dijauhi orang’pasiding-siding”.

Dalam konteks yang lebih luas, dan dalam kasus yang lebih parah, seorang

penjahat bisa dibuang dan diusir dari kampung atau dibuang. Jadi semenjak

dahulu, paksaan yang dilatarbelakangi seperti ini, menandai pemenuhan

kewajiban yang dibebankan ke pundak si pelanggar, yang harus ditunaikannya

itulah hukumanya, ”uhumna’. Sesuai dengan pertimbangan hukuman dijatuhkan

kepadanya. Jika tidak pelanggaran sepenuhnya terjadi dalam ruang lingkup

masyarakat yang menjadi tempat tinggal si pelanggar dan masa seterusnya akan

dihabiskan di situ, panopotionna akan disertai permohonan ampun serta janji

bahwa untuk seterusnya dia akan menjauhkan diri dan dia akan jera. Inilah yang

dialami si pelanggar.25

Suku bangsa Batak Toba menarik garis keturunan melalui garis ayah

atau patrilineal satu kelompok kerabat dihitung dari satu ayah “sa ama”, satu

nenek moyang “sa ompung” dan kekerabatan yang terkecil atau kelurga batih

disebut (ripe). Istilah ripe dapat juga disebut untuk menyebut keluarga luas

Patrilineal. Sa ompu dapat disebut klen. Tetapi istilah itu dipakai juga untuk

menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang sampai generasi ke

duapuluh. Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis

C. Kewenangan Dalihan Natolu Menyelesaikan Tindak Pidana Adat dan Proses Penyelesaiannya

1. Dalihan Natolu Sebagai Sistem Kemasyarakatan Batak Toba

25

(46)

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.

USU Repository © 2009

keturunan itu mempunyai nilai yang sangat penting, karena dalam urutan generasi

setiap ayah yang mempunyai anak laki-laki menjadi bukti nyata dari silsilah

kelompok Patrilinealnya. Dari seorang ayah lahir dua akan melahirkan pula dua

atau lebih kelompok keturunan yang masing – masing mempunyai identitas

sendiri. 26

Apabila mereka berkumpul maka menyebut ayah tadi “Ompu Parsadaan”,

ompu berarti kakek moyang lelaki, sada adalah satu, jadi merupakan titik temu

mereka. Mereka yang berasal dari nenek moyang yang satu (nasa ompu) dari satu

generasi ke generasi berikutnya akan menjadi satu marga. Dengan kata lain bahwa

marga itu merupakan suatu pertanda bahwa masih mempunyai kakek atau percaya

bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek menurut garis Patrilineal.

Sehubungan dengan ini, laki-laki mempunyai kedudukan yang sangat penting

dalam meneruskan silsilah dengan keturunannya atau setiap anak yang dilahirkan

baik laki – laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga ayahnya dan

bukan ibunya. 27

Masyarakat Batak Toba menurut keturunan dalam kebudayaannya harus

selalu mempunyai rasa kekeluargaan yang senantiasa tetap terpupuk bukan saja

terhadap keluarga dekat tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Namun

panggilan seseorang adalah nama marganya bukan nama pribadinya. Jadi apabila

orang Batak Toba bertemu maka yang pertama ditanya adalah marganya dan

bukan nama atau tempat asal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti

26

Lubis Swardi, Komunikasih antar Budaya, Study kasus Etnik Batak Toba dan etnik Cina : Medan, USU Press, 1999 hal. 112

27

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Bareng Kabupaten Jombang, Jawa Timur bisa disimpulkan bahwa sebagian besar penderita Diabetes Melitus tipe 2 yang

 Saat ini pabrik HOKI yang ada di Subang memiliki kapasitas produksi 30 ton per jam, sehingga dengan penambahan ini HOKI bisa meningkatkan kapasitas produksi hingga 50 ton per

The mechanism of protein re-methylation inhibition is supported by results of studies that have indicated that successful treatment regimen could lower its concentration

Hasil uji t memperlihatkan bahwa hasil per pohon, karakter jumlah malai per tanaman, panjang malai, jumlah biji per malai, bobot malai dan panjang tangkai malai

Evaluasi lahan pada suatu daerah memiliki peran penting dalam rangka penataan kembali penggunaan lahan yang telah ada, serta membantu dalam pengambilan keputusan

Mikrotik merupakan perangkat router sekaligus sistem operasi yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai fungsi routing serta mengatur lalu lintas data internet serta melakukan

Pembelajaran dikatakan efektif jika setelah mengalami proses pembelajaran dengan perangkat yang dikembangkan menggunakan model Group Investigation berbasis RME jika (1)

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada