Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
KEWENANGAN DALIHAN NATOLU DALAM
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA SECARA HUKUM ADAT
BATAK TOBA
(STUDI DI KEC. BORBOR,KAB. TOBA SAMOSIR)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
TOTA PASARIBU 040200030
DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
KEWENANGAN DALIHAN NATOLU DALAM
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA SECARA HUKUM ADAT
BATAK TOBA
(STUDI DI KEC. BORBOR, KAB. TOBA SAMOSIR)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
TOTA PASARIBU 040200030
DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA
Disetujui,
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Abul Khair,SH.M.Hum) NIP.131 842 854
Pembimbing I Pembimbing II
(Prof. Dr.Runtung SH.M.Hum) (Berlin Nainggolan SH, M.Hum)
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
hanya karena hikmat dan Karunia-Nya penulis dapat melaksanakan aktifitas
sehari-hari khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk
meraih gelar Sarjana Hukum yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i
yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.
Adapun judul Skripsi yang penulis kemukakan adalah “Kewenangan
Dalihan Natolu dalam penyelesaian tindak pidana secara hukum adat Batak Toba studi di kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir”.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan penulis serta bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan masalah
dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
dapat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi.
Didalam Penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus seabagai dosen
pembimbing I, dari penulis,terima kasih banyak atas bimbingan dan
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
2. Bapak Berlin Nainggolan SH, M.Hum, selaku dosen pembimbing II, dari
penulis yang juga telah banyak memberiakn arahan, perhatian serta
meluangkan waktu untuk bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum, dan Ibu Nurmalawaty, SH. M.Hum,
selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana.
4. Ibu Erna Herlinda SH, M.Hum, SH.M.Hum, selaku dosen wali penulis.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi di Fakultas Hukum USU,
Yang telah mencurahkan ilmunya selama penulis menjalani perkuuliahan.
6. Bapak Sumihar Pasaribu, SH selaku camat Kecamatan Borbor, Kabupaten
Toba Samosir, yaitu dimana penulis mengadakan penelitian, terima kasih
atas kerjasama yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini..
7. Teristimewa kepada yang tersayang dan terpenting dalam hidupku,
ayahanda A. Pasaribu, ibunda P.br. Simanjuntak terima kasih atas
curahan kasih sayang yang diberikan, dan jerih payahnya dalam
memperjuangkan saya, serta mencukupi segala keperluan saya. Juga buat
kakak, abang, serta adik tercinta( Dayu Swista br. Pasaribu Amd, Linggom
S.J. Pasaribu SE, dan Dhaher F. Pasaribu) terima kasih atas doa dan
dukungannya selama ini.
8. Buat teman-teman stambuk 2004 terima kasih atas dukungannya.
9. Teman-teman segerakan di GMKI Komisariat FH-USU “ UT OMNES
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
10. seluruh pihak yang membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna dan banyak kekurangan. Untuk itu penulis menerima segala saran
dan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Medan, MeiS 2008
Tota Pasaribu
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
C. Keaslian Penulisan --- 7
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan --- 8
E. Tinjauan Kepustakaan --- 9
F. Metode Penelitian --- 15
G. Sistematika Penulisan --- 16
BAB II. HUKUM PIDANA NASIONAL DI INDONESIA A. Keberadaan KUHP Dalam Masyarakat Indonesia sebagai Hukum Pidana yang Bersifat Nasional --- 18
B. Gambaran Umum Tentang Hukum Pidana Adat --- 23
BAB III. HUKUM PIDANA ADAT DAN KEWENANGAN DALIHAN NATOLU DALAM PENYELESAIANNYA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA A. Deskripsi Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir---28
B. HukumPidana adat masyarakat Batak Toba di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir---31
C. Kewenangan Dalihan Natolu dalam menyelesaikan tindak pidana adat dan proses penyelesaiannya---37
D. Sanksi Hukum atas pelanggaran Hukum pidana adat yang diberikan oleh Dalihan Natolu---62
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
A. Kesimpulan --- 73 B. Saran --- 74
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
ABSTRAKSI
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif yang telah dikodifikasikan dan merupakan hukum pidana bangsa Indonesia yang bersifat nasional tidak dapat memenuhi segala kebutuhan hukum kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku serta kebudayaan, keberagamaan kebudayaan tersebut tentu menyebabkan adanya perbedaan adat istiadat mereka termasuk hukum pidana yang mereka anut. Hukum pidana tersebut sifatnya hanya berlaku untuk mereka sendiri. Suku Batak Toba sebagai salah satu dari suku tersebut juga mempunyai hukum pidana adat sendiri yang dipatuhi masyarakat setempat. Dalihan Natolu sebagai sistem kemasyarakatan Batak Toba, sangat berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi termasuk terjadinya tindak pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang LKMD telah menempatkan Dalihan Natolu sebagai suatu lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat Batak Toba, hal ini dapat dilihat dengan keluarnya PERDA No. 10 Tahun 1990 tentang lembaga adat Dalihan Natolu yang diberlakukan di seluruh kabupaten di Tapanuli, termasuk di Kabupaten Toba Samosir tepatnya di Kecamatan Borbor. Maka timbul permasalahan yaitu bagaimana kewenangan Dalihan Natolu dalam penyelesaian tindak pidana secara hukum adat Batak Toba? Bentuk-bentuk tindak pidana adat yang bagaimana penyelesaiannya diserahkan kepada Dalihan Natolu?, serta bagaimana bentuk sanksi hukum yang diberikan Daihan Natolu terhadap pelaku tindak pidana adat tersebut
Dalam hal penyusunan skripsi ini, sekaligus untuk menjawab permasalahan di atas, penulis melakukan penelitian di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir sebagai lokasi penelitian penulis. Di mana terdapat beberapa kasus ataupan tindak pidana adat yang diselesaikan oleh Dalihan Natolu. Maka dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum secara yuridis empiris (sosiologis) yaitu melalui penelitian lapangan dengan mendatangi langsung masyarakat setempat, serta dalam hal pengumpulan data adalalah dengan field research yaitu mengadakan wawancara dengan penatua adat, serta library research yaitu dengan menggunakan sumber bacaan seperti buku-buku, pendapat sarjana, juga media cetak lainnya seperti majalah.
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Maka untuk mencapai hal tersebut perlu adanya jaminan keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat. Jaminan ketertiban dan keamanan tersebut salah satu
diantaranya adalah hukum yang dapat mengayomi dan menjadi pedoman dalam
setiap pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi dengan demikian
dapat diketahui bahwa negara Indonesia adalah negara berdasar hukum (recht
staat) dengan demikian setiap orang yang melanggar hukum harus juga diberi
hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.1
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia
dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berdasarkan
kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam
pelaksanaanya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal
untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat mandiri berkeadilan sosial.
Dengan demikian pembangunan bangsa dan negara disegala bidang kehidupan
pada hakekatnya adalah pembangunan manusia yang lahiriah maupun batiniah
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena sasaran pembangunan
1
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
adalah manusia Indonesia, maka dalam hal perlu ada perubahan . Perubahan yang
diinginkan itu selain yang tertuju pada kebutuhan, juga akan mengubah sikap dan
tingkah laku manusia itu sendiri. Dalam hal ini sasaran perubahan yang dimaksud
tidaklah terlepas dari masalah-masalah yang menyangkut tata nilai dalam
msyarakat saja yang pada hakekatnya juga pada hukum sebagai pengarah
pelaksana pembangunan nasional itu sendiri. Hukum sebenarnya tidak hanya
diharapkan akan dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan, tetapi sekaligus
dapat berfungsi pula sebagai pengayom masyarakat yaitu untuk terciptanya
suasana keteraturan, keamanan, keadialan dan kedamaian.2
2
Ibid. hal 2
Begitu juga dengan
pendapat beberapa sarjana yang mempunyai pandangan masing-masing mengenai
tujuan dari pada hukum pidana itu sendiri seperti: Menurut Van Apeldoorn:
Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil.
Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi
kepentingan-kepentingan manusia meliputi kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta
dan sebagainya termasuk yang merugikannya.
Menurut Geny:
Tujuan hukum ialah semata-mata keadilan.
Menurut Belefroid:
Tujuan hukum adalah menambah kesejahteraan umum atau kepentingan umum
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Begitu juga untuk dapat melihat tujuan hukum sehingga tidak dapat
memandang dari satu segi saja, tetapi harus melihat tujuan hukum dari 3 (tiga)
dasar hukum yaitu: keadilan, kegunaan (kemanfaatan) dan kepastian3
KUHP sebagai hukum positif dan telah dikodifikasikan tidak dapat
memenuhi segala kebutuhan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan
masyarakat begitu rumit, kompleks dan selalu berubah-ubah sehingga dalam
membentuk Undang-undang tidak dapat atau tidak mungkin membuat kodifikasi
hukum yang dapat memenuhi segala kebutuhan yang timbul dalam masyarakat.
Tatanan kebiasaan merupakan tatananan yang norma-normanya sangat dekat
dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Apa yang biasa dilakukan oleh
masyarakat, itulah yang kemudian bisa menjelma menjadi norma kebiasaan.
Kebiasaan tersebut atau adat istiadat tersebut pada dasarnya berbeda pada setiap
tempat maupun golongan dalam masyarakat. Oleh karena itu kebiasaan tidak perlu
senantiasa ditaati oleh semua penduduk suatu wilayah negara. Ada juga kebiasaan
kedaerahaan atau lokal (hukum adat).
.
4
Dengan demikian diperlukan adanya suatu tatanan hukum termasuk
hukum pidana yang menjadi hukum yang berlaku di negara Indonesia yang
bersifat nasional. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia itu dapat dituangkan
dalam suatu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun tidak sampai
disitu saja permasalahannya, sebab banyaknya masyarakat Indonesia dengan
kemajemukannya yang menjadi salah satu kekayaan nasional. Ini sudah jelas akan
mengakibatkan banyak pula perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut
3
Chainur Arrasjid, Dasar- dasar ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika: 2000, hal. 41. 4
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
adalah baik di bidang agama, suku ras dan antar golongan. Hal ini dikarenakan
luasnya wilayah Republik Indonesia yang menyebabkan berbeda pula latar
belakang kebudayaannya. Namun walaupun demikian KUHP sebagai hukum
pidana nasional adalah salah satu cara untuk menciptakan keamanan dan
ketertiban seluruh masyarakat Indonesia, tidak selamanya dapat menyelesaikan
setiap masalah yang dihadapi masyarakat. Pasal 14 ayat 1 UU No.14 Tahun 1970
sebagaimana diubah dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Pokok
Kehakiman, yang berbunyi:
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan
dengan dalih tidak/kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.5
Keberadaan bunyi pasal tersebut sudah jelas akan mewajibkan para
penegak hukum termasuk hakim untuk berusaha menggali nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat, yaitu apa yang menjadi hukum adat atau hukum
kebiasaan masyarakat. Maka dalam hal ini hukum pidana adat yang dianut oleh
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku merupakan hal yang
tidak bisa dilupakan. Dan jika kita berbicara mengenai hukum pidana adat tidak
mendapat disangkal di daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi alam
sekitarnya yang magis religius dan memiliki sifat kedaerahan yang masih kental,
sumber hukum yang diakui dalam lapangan hukum pidana adalah hukum pidana
adat daerah itu sendiri. Keberadaan hukum pidana adat pada masyarakat
merupakan pencerminan masyarakat tersebut, dan pada masing-masing daerah
5
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
memiliki hukum pidana adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat istiadat di
daerah tersebut dengan ciri khas yang tidak tertulis atau terkodifikasi.
Seperti diketahui bersama didalam suatu lingkungan adat juga memiliki
aturan tentang hukum pidana adat yaitu suatu bentuk tindak pidana yang
dilakukan di tengah-tengah lingkungan adat itu dan diadili oleh para penatua adat
atau dalam masyarakat adat Batak Toba disebut Raja. Dan apabila kasus tersebut,
tidak dapat diselesaikan maka jika para pihak menghendaki, maka kasus tersebut
akan dilaporkan dan ditangani pihak-pihak yang berwenang. Seperti diketahui
hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law)
diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus dari satu generasi
kegenerasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dapat
menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena hal tersebut jelas-jelas akan
mengakibatkan keresahan di kalangan masyarakat adat yang sudah barang tentu
keamanan dan ketertiban masyarakat adat terganggu.
Keberadaan masyarakat Indonesia yang tunduk terhadap hukum adat ,
terutama yang bermukim di daerah pedesaan jauh dari perkotaan, sangatlah
terpengaruh dan berpegang teguh terhadap keberadaan alam sekitarnya yang
masih magis dan religius. Alam pikiran mereka mempertautkan antara nyata dan
tidak nyata, alam pana dan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan
Tuhan. Alam pikiran yang demikian tersebut mengandung asas-asas dari
Pancasila seperti asas ketuhanan, peri kemanusiaan, persatuan dan gotong royong,
musyawarah untuk mufakat, dan rasa keadilan sosial. Hukum pidana adat tidak
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
menjatuhkan hukuman kepada sipelanggar itu sendiri, tetapi adalah memulihkan
kembali terciptanya keamanan dan kertertiban masyarakat itu sendiri.
Sebagimana diketahui bahwa hukum asli bangsa Indonesia dijiwai
falsafah Pancasila, meskipun dijiwai oleh Pancasila, namun ketentuan hukum
pidana adat sulit digunakan sebagai hukum nasional. Hal ini dikarenakan hukum
pidana adat disuatu daerah berbeda dengan hukum daerah lainnya. Atau dengan
kata lain setiap daerah mempunyai hukum pidana adat yang berbeda-beda.
Apabila diperhatikan,maka dapat diketahui bahwa hukum pidana nasional yang
digunakan oleh Indonesia adalah hukum pidana barat dengan KUHP yang sudah
berlaku sejak tahun 1946 yang merupakan kodifikasi dari hukum Belanda. KUHP
ini sudah berlaku begitu lama sehingga sudah membudaya bagi semua rakyat,
meskipun ketentuan-ketentuan didalamnya banyak kita rasakan tidak sesuai
dengan falsafah Negara pancasila dan tidak sesuai dengan tujuan nasional yang
salah satu tujuannya adalah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Kondisi tersebut berbeda dengan hukum pidana adat masyarakat Indonesia
yang berfalsafah Pancasila, dan ber Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun tidak
tertulis hukum pidana adat tetap dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat karena
hukum pidana adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
B. Perumusan Masalah
Untuk mengungkap apa yang menjadi permasalahan, maka perlu dirumuskan
dengan jelas permasalahan yang akan menjadi pokok pembahasan dalan skripsi
ini. Adapun yang menjadi pokok permasalahan itu adalah:
1. Bagaimana kewenangan Dalihan Natolu dalam penyelesaian tindak
pidana adat di masyarakat Batak Toba ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana adat yang penyelesaiaanya
diserahkan oleh masyarakat kepada Dalihan Natolu dalam masyarakat
Batak Toba?
3. Bagaimana bentuk sanksi hukum yang dapat diberikan oleh Dalihan
Natolu terhadap pelaku tindak pidana adat?
C. Keaslian Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini pada prinsipnya penulis membuat dengan
berdasarkan hasil penelitian Penulis sendiri. Topik permasalahan dalam skripsi ini
sengaja dipilih dan ditulis, oleh karena pengetahuan peneliti belum ada yang
membuatnya. Setelah Penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada FH USU.
Maka judul skripsi ini adalah diambil berdasarkan pemikirin Penulis sendiri yaitu
: tentang Bagaimana Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba
Yang Diselesaikan Melalui Dalihan Natolu. Yang terjadi di Kecamatan Borbor
Kabupaten Toba Samosir. Baik itu melalui wawancara dengan penatua adat
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
D. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka yang menjadi tujuan dari penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara penyelesaian tindak pidana pada masyarakat adat
Batak Toba khususnya di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir.
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan Dalihan Natolu ,sebagai sistem
kemasyarakatan Batak Toba dalam proses penyelasaian tindak pidana.
3. Untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari cara
penerapan sanksi adat terhadap masyarakat itu sendiri.
Manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Yaitu di mana penulisan ini dapat menjadi kajian perkembangan ilmu
pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai penyelesaian
tindak pidana dalam hukum adat Batak Toba.
2. Manfaat secara praktis
Yaitu dapat menjadi sumbangsih bagi pemerintah, dalam pelaksanaan
penyelesaian perkara pidana yang diselesaikan di lingkungann adat. Juga
sebagai kajian akademi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan
khususnya hukum pidana dalam sistem penyelesaian perkara di lingkungan
adat Batak Toba.
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Dalihan Natolu
Dalihan Natolu sebagai sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba, dan
ini merupakan tradisi yang turun temurun. Untuk dapat mengetahui apakah yang
dimaksud dengan Dalihan Natolu, lebih dahulu kita lihat unsur-unsurnya, yang
dalam bahasa Indonesia jika kata dalihan natolu diartikan maka artinya adalah
“tiga tungku”. Adapun yang menjadi unsur-unsur. Dalihan Natolu adalah terdiri
dari tiga (3) unsur yaitu:
a. Hula-hula
Somba marhula-hula yaitu harus hormat dan sungkem kepada pihak
keluarga marga asal istri
b. Dongan tubu
Manat mardongan tubu yaitu cermat dan penuh kehati-hatian menjaga
keselarasan hubungan dengan saudara-saudara dan semoyang menurut garis
keturunan ayah/patrilineal.
c. Boru
Elek marboru yaitu harus bersikap mengayomi terhadap keluarga dan
marga dari yang memperistri anak perempuan/ menantu laki-laki.
Dengan demikian unsur-unsur Dalihan Natolu yang telah disebutkan tadi,
menjadi unsur yang tidak akan bisa dilupakan oleh setiap masyarakat Batak Toba.
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
disebut tidak beradat. Bahkan bukan tidak mungkin akan dikenakan sanksi adat
terutama jika dilanggar.6
a. Tindak pidana (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana atau peristiwa pidana adalah sebagai terjemahan dari
istilah Belanda”strafbaar feit’atau “delict” .Dalam bahasa Indonesia di samping
istilah ”peristiwa pidana’ untuk terjemahan “strafbaar feit’ atau ‘delict” itu
(sebagaimana yang dipakai R Tresna dan Utrecht) dikenal pada terjemahan yang
lain seperti:
b. Perbuatan Pidana (Mulyatno, pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada
VI tahun 1955 di Yogyakarta).
c. Pelanggaran pidana ( Tirta Mijaya, pokok-pokok hukum pidana, Penerbit
Frasco 1955).
d. Perbuatan yang boleh dihukum (Karni, Ringkasan tentang hukum Pidana,
Penerbit balai buku, Jakarta 1959).
e. Perbuatan yang dapat dihukum(Undang-undang 12 / Drt tahun 1951, Pasal
3 tentang mengubah ordonantietijdelijkbijzondere straf bepalingen).
Di antara beberapa istilah tersebut, yang paling tepat untuk dipakai adalah
istilah peristiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana adalah bukan saja
yang berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat. Beberapa sarjana telah
berusaha memberikan perumusan tentang pengertian peristiwa pidana itu.
6
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Diantara sarjana tersebut adalah:
a. Menurut D. Simons
Pertama kita mengenal perumusan yang dibuat oleh Simons, peristiwa pidana itu
adalah “Een strafbaargestelde, onrecmatige, met schuld in verband staande
handelingen van een toerekening svat baar persoon”. Terjemahannya adalah
perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh
seorang yang mampu bertanggung jawab.7
Perumusan sarjana ini sebenarnya sama dengan perumusan simons, hanya Van
Hamel satu syarat lagi perbuatan itu harus pula patut dipidana.
b. Menurut Van Hamel
8
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
c. MenurutWiryono Projodikoro
9
Berbicara mengenai hukum adat maupun hukum pidana adat, tidak bisa
lepas dari aspek kebudayaan Indonesia. Oleh karena hukum adat maupun pidana
adat merupakan perwujudan dari kebudayaan Indonesia. Pada hakekatnya
kebudayaan itu mempunyai 3 (tiga) perwujudan yaitu: pertama wujud kebudayaan
sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
dan sebagainya. Kedua kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Dan ketiga
dapat berwujud sebagai benda–benda sebagai hasil karya manusia. Hukum atau
3.Pengertian Hukum Pidana Adat
7
C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta:2004 hal 36-38. 8
Ibid hal. 36-38 9
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
norma hukum sebagai pedoman bagi manusia untuk berbuat atau tidak berbuat,
mempunyai akibat hukum apabila normanya tidak ditaati atau dilanggar. Tiap–
tiap bangsa mempunyai hukum sendiri dan sebagaimana halnya dengan bahasa,
maka hukum juga hidup dan diciptakan masyarakat dari bangsa itu sendiri.
Dengan melihat hal tersebut maka dapat diketahui bahwa yang dinamakan
hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (The living law), diikuti dan ditaati
oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat
menimbulkan goncangan dalam masyarakat karena dianggap menganggu
keseimbangan masyarakat. Oleh sebab itu bagi si pelanggar diberikan reaksi adat,
koreksi adat, atau sanksi adat oleh masyarakat melalui penatua adatnya.
Pengertian ini mengandung tiga hal pokok yaitu : pertama rangkaian peraturan
tata tertib, yang dibuat diikuti dan ditaati adat bersangkutan. Kedua pelanggaran
terhadap tata tersebut dapat menimbulkan kegoncangan karena dianggap
menggangu keseimbangan masyarakat, perbuatan melanggar tata tertib ini dapat
disebut delik adat. Ketiga pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat
dikenai sanksi oleh masyarakat yang bersangkutan.10
a. Menyeluruh dan menyatukan
Di samping mengenai pengertian dari hukum pidana adat, juga mengenal sifat
dari hukum pidana adat yaitu sebagai berikut:
10
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Dalam hal ini maksudnya bahwa hukum pidana adat tidak membedakan
pelanggaran yang bersifat pidana dan bersifat perdata.
b. Ketentuan terbuka
Hal ini didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi
sehingga bersifat tidak pasti, di mana ketentuannya selalu terbuka untuk
segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi.
c. Membeda–bedakan permasalahan
Apabila terjadi peritiwa pelanggaran, maka yang dilihat bukan semata-
mata perbutan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang
dan siapa pelakunya. Dengan demikian maka dalam cara penyelesaian
suatu peristiwa menjadi berbeda–beda.
d. Peradilan dengan permintaan
Menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya
pemintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang
merasa dirugikan atau diperlakukan dengan tidak adil.
e. Tindakan reaksi dan koreksi
Tindakan reaksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi
juga dikenakan pada kerabatnya/keluarganya bahkan mungkin juga
dibebankan pada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan
keseimbangan yang terganggu.11
4. Pengertian Delik Adat
11
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Dalam masyarakat adat, tidak jarang terjadi ketegangan–ketegangan sosial
karena terjadi pelanggaran adat oleh seorang atau sekelompok masyarakat yang
bersangkutan. Ketegangan–ketegangan itu pulih kembali bilamana reaksi
masyarakat yang berupa pemberian reaksi adat telah dilakukan atau dipenuhi oleh
sipelanggar adat. Menurut Bushar Muhammad Delik adat itu sabagai suatu
tindakan sepihak dari seseorang atau sekumpulan perseorangan, mengancam atau
menyinggung atau menggangu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat
material atau immaterial terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa
kesatuan. Sementara menurut Ter Haar menulis bahwa yang dianggap suatu
pelanggaran (delik) adalah setiap gangguan terhadap keamaan dan ketertiban
masyarakat. Tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi adat dari
masyarakat adat tersebut
Dari beberapa pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa delik adat adalah
semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatuhan, ketertiban,
keamanan rasa keadilan kesadaran masyarakat yang bersangkutan baik hal itu
sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pengurus adat sendiri,
perbutan mana dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena menggangu
keseimbangan masyarakat, serta menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa
sanksi adat. Apabila diamati dari beberapa defenisi tentang delik adat itu, pada
pokoknya terdapat empat unsur penting yaitu: 1 ada perbuatan yang dilakukan
oleh perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri. 2. perbuatan itu
bertentangan dengan norma hukum adat 3. perbuatan itu dipandang dapat
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
4. atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi adat. Suatu
perbuatan dianggap bertentangan dengan norma–norma hukum adat apabila
perbuatan itu bertentangan dengan aturan atau keinginan–keinginan masyarakat
hukum adat setempat. Setiap ketentuan hukum adat dapat timbul dan berkembang
dan dapat juga berganti degan ketetuan yang baru. Oleh karena itu perbuatan jahat
yang dianggap bertentangan dengan norma–norma hukum adat, akan lahir dan
berkembang dan kadangkala hilang (dianggap tidak bertentangan dengan hukum
adat), karena rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat berubah. Di dalam
menentukan delik adat tidak dikenal adanya asas legalitas sebagimana disebut
dalam sistem KUHP Indonesia yaitu yang mengharuskan adanya suatu undang–
undang yang mengatur perbuatan tersebut sebagaimana perbuatan yang dialarang
atau tidak boleh dilakukan sebagai aturan yang harus diikuti oleh masyarakat.
Delik adat ini terjadi apabila suatu perbutaan tersebut dirasakan oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak patut, tercela karena apabila dilanggar dipandang
akan dapat mengganggu keseimbangan dan menimbulkan kegoncangan dalam
masyarakat.
F. Metode Penelitian
Metode diartikan sebagai suatu cara untuk mencapai sesuatu sebagaimana
tentang tata cara penelitian harus dilakukan maka metode penelitian yang
digunakan oleh penulis antara lain :
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum dengan pendekatan
yuridis empiris (sosiologis) yaitu penelitian baik terhadap asas–asas huku m yaitu
dengan melakukan penelitian langsung ke lingkungan adat di Kecamatan Borbor,
Kabupaten Toba Samosir
2. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir. Di
mana terdapat kasus–kasus pidana yang diselesaikan oleh para penatua adat
setempat secara hukum adat mereka.
3. Sumber data
a. Library Researh (Penelitian Kepustakaan) yaitu degan melakukan penelitian
terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku–buku, pendapat sarjana dan
lain–lain.
b. Field Researh (penelitian lapangan) yaitu dengan melakukan penelitian
langsung ke lapangan.Dalam hal ini penulis langsung mengadakan wawancara
dengan penatua adat.
4. Analisis data
Data yang diperoleh adalah penelitian kepustakaan (Library research) dan
dianalisis secara deskriptif. Analisis dekskriptif artinya penulis semaksimal
mungkin berupaya untuk mendapatkan data–data yang sebenarnya. Selanjutnya
dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yang akhirnya akan menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
G.Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan dan pembaharuan skripsi ini, maka
diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab
perbab yang berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
adalah:
BAB I : PENDAHULUAN
Yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi,
perumusan masalah, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: HUKUM PIDANA NASIONAL DI INDONESIA
Yang memuat mengenai keberadaan KUHP dalam masyarakat Indonesia
sebagai hukum pidana yang bersifat nasional, gambaran umum
mengenai hukum pidana adat.
BAB III: HUKUM PIDANA ADAT DAN KEWENANGAN DALIHAN
NATOLU DALAM MENYELESAIKANNYA PADA
MASYARAKAT BATAK TOBA.
Yang memuat: deskripsi Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir,
Hukum Pidana Adat pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Borbor
Kabupaten Toba Samosir, Kewenangan Dalihan Natolu Meyelesaikan
Tindak Pidana Adat dan Proses Penyelesaiannya, Sanksi Hukum Atas
Pelanggaran Hukum Pidana Adat oleh Dalihan Natolu.
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Bab ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab–bab yang telah
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
BAB II
HUKUM PIDANA NASIONAL DI INDONESIA
A. Keberadaan KUHP dalam Masyarakat Indonesia sebagai Hukum Pidana yang Bersifat Nasional.
Hukum Pidana Indonesia bentuknya tertulis dikodifikasikan dalam suatu
kitab undang-undang. Dalam perkembangannya,hukum pidana Indonesia tertulis
dan dikodifikasikan dalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang berasal dari pemerintah penjajahan Belanda .Dan perlu ketahui bahwa
sejarah berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP) adalah Di mana
pada zaman penjajahan Belanda peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia bercorak “dualistis”. Corak dualistis dimaksud adalah bahwa bagi orang
Eropa berlaku sistem hukum Belanda, sementara itu bagi orang-orang lainnya
sebagai penghuni Indonesia berlaku satu sistem hukum masing-masing. Ketentuan
pidana yang belaku bagi orang-orang Eropa tersendiri. Di lain pihak bagi orang
Indonesia berlaku hukum pidana masing-masing.12
KUHP untuk golongan Indonesia(1873) adalah copy atau turunan dari KUHP
untuk golongan Eropa (1867). Dan KUHP untuk golongan Eropa tersebut,
merupakan turunan kode penal yaitu hukum pidana Prancis.
Ketika masih berlakunya dulisme hukum di Indonesia di mana KUHP
sebelum tahun 1918, diberlakukan untuk dua golongan yaitu:
1.Satu untuk golongan Indonesia (mulai 1 Januari 1873)
2.Satu untuk golongan Eropa(mulai 1 Januari 1867)
12
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Adapun perbedaan KUHP untuk golongan Eropa(1867) dengan KUHP
Untuk Indonesia terutama pada jenis hukuman yang diberikan misalnya:
a. Orang Indonesia dapat diberi kerja paksa dengan lehernya diberi kalung besi
atau kerja paksa yang tidak dibayar untuk mengerjakan pekerjaan umum,
sedang orang-orang Eropa tidak, hanya hukuman penjara atau hukuman
kurungan saja.
b. KUHP untuk orang Indonesia disesuaikan dengan keadaan dan kebiasaan
orang Indonesia, misalnya:
1). Perkawinan dengan lebih satu orang perempuan
2). Mengemis dimuka umum tidak dihukum.13
Pada zaman pendudukan Jepang, aturan hukum pidana yang berlaku
sebelumnya dinyatakan tetap belaku. Berarti seluruh ketentuan hukum yang
tertera dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh Indie tetap berlaku saat
itu. Setelah Indonesia merdeka, juga tetap berlaku aturan hukum pidana Belanda
itu, berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945. Akan
tetapi, pada tahun 1945 melalui UU No.1 Tahun 1945 Wetboek van Strafrecht
voor Nederlansch Indie setelah mengalami perubahan seperlunya menjadi
Wetboek van strafrecht voor Indonesia dinyatakan berlaku. Setelah perjalanan
sejarah Indonesia dari Republik Indonesia Serikat menjadi Negara kesatuan
Republik Indonesia lagi, melalui Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang
berlaku sejak tanggal 29 september 1958, merupakan Undang-Undang yang
menyatakan tentang berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik
13
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Indonesia. Undang-undang ini tentang peraturan Pidana untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia sehingga mengubah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.Dengan Undang-undang ini, berarti sejak tanggal 29 september 1958,
berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bagi seluruh penghuni
Indonesia dengan corak kodifikasi.14
14
Loc.cit
Adapun KUHP secara sistematika terdiri dari 3 ( tiga ) buku yaitu :
Buku I . tentang ketentuan umum terdiri dari 9 titel ( bab )
Buku II. tentang kejahatan terdiri dari 31 bab
Buku III. tentang pelanggaran terdiri dari 10 bab.
Adapun buku I yang terdiri dari 9 bab tadi memuat :
Bab I. tentang kekuasaan berlakunya hukum pidana
Bab II. tentang hukuman
Bab III. tentang penghapusan, pengurangan dan penambahan hukuman
Bab IV. tentang percobaan
Bab V. tentang turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum
Bab VI. tentang gabungan perbuatan yang dapat dihukum
Bab VII. tentang memasukkan dan mencabut pengaduan dalam perkara kejahatan,
yang hanya boleh dituntut atas pengaduan
Bab VIII. tentang hapusnya hak menuntut dan hapusnya hukuman
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Sementara Buku II yang terdidri 31 bab, yang memuat kurang lebih 400
pasal, tentang perbuatn–perbuatan yang dinamakan kejahatan. Diantaranya
terdapat pasal–pasal penting seperti :
a. Kejahatan terhadap keselamatan Negara, kepentingan Negara
pemberontakan, dan penghianatan,
b. Kejahatan–kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban–kewajiban dan hak –
hak kenegaraan, mengacaukan sidang parlemen, merintangi pemilihan
umum,
c. Kejahatan kejahatan terhadap ketertiban umum, penghasutan untuk berbuat
jahat, mengganggu rapat umum, perampokan–perampokan,
d. Kejahatan terhadap kesusilaan, pencabulan, perjudian, penganiayaan,
e. Kejahatan-kejahatan terhadap kemerdekaan orang (penculikan),
f. Kejahatan-kejahatan terhadap jiwa orang (pembunuhan),
g. Penganiayaan,
h. Pencurian,
i. Pemerasan dan ancaman,
j. Penggelapan,
k. Penipuan,
l. Penghinaan, dan
m. Kejahatan-kejahatan, menerima suap, membuka rahasia negara, pemalsuan
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Sedangkan buku III berjudul pelanggaran, terdiri atas 10 bab memuat
kurang lebih 100 pasal. Dan disebut pelanggaran karena dipandang tidak
sedemikian jahat seperti pada kejahatan – kejahatan dalam buku II.
Beberapa bab penting pada buku III:
a. Pelanggaran terhadap umum, kenakalan terhadap manusia, dewan atau
barang yang dapat membahayakan keselamatan umum, penjualan makanan
dan minuman yang sudah rusak, beburu tanpa izin.
b. Pelanggaran terhadap ketertiban umum, membuat riuh yang menggangu
tetangga, pengemisan, membuat pakaian atau tanda-tanda pangkat yang ia
tidak berhak memakainya, memakai nama atau gelar palsu.
c. Pelanggaran terhadap keuasaan umum, merobek atau merusak
pengumuman– pengumuman dari yang berwajib.
d. Pelanggaran terhadap kesusilaan, penyiaran gambar–gambar, cerita-cerita
dan lagu – lagu yang tidak senonoh, penjualan miras tanda izin
e. Pelanggaran terhadap memasuki tempat- tempat angkatan perang, jalan-jalan
lain dari yang telah ditentukan.
Jadi pada umumnya, jika pada tiap-tiap hari ada orang ditangkap polisi,
lalu ia dituntut jaksa, kemudian diadili oleh hakim, maka orang itu telah berbuat
sesuatu yang dilarang oleh salah satu pasal dari buku I, II, dan III dalam KUHP,
dan perbuatan tersebut diancam dengan suatu hukuman. 15
15
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
B. Gambaran Umum Mengenai Hukum Pidana Adat
Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara masalah pidana maupun
perdata. Di mana tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang
mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di lapangan hukum pidana dan
pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan perdata. Oleh
karenanya maka sistem hukum adat hanya mengenal satu prosedur dalam hal
penuntutan. Satu macam prosedur baik untuk penuntutan secara perdata maupun
penuntutan secara pidana. Ini berarti bahwa petugas hukum yang berwenang
untuk mengambil tindakan- tindakan konkrit ( reaksi adat ) guna membetulkan
hukum yang telah dilanggar itu, adalah tidak seperti pada hukum barat hakim
pidana untuk perkara pidana dan hakim perdata untuk perkara perdata, melainkan
satu pejabat saja yakni kepala adat. Pembetulan hukum yang dilanggar sehingga
dapat memberikan kembali keseimbangan yang semula ada itu, dapat berupa
sebuah tindakan saja tetapi kadang –kadang mengingat sifatnya pelanggaran perlu
diambil beberapa tindakan. 16
2. Yang pembetulan keseimbangannya diperlukan beberapa tindakan seperti
melarikan gadis pada suku dayak di Kalimantan, perbuatan ini selain Sebagai berikut:
1. Yang pembetulan keseimbanganya hanya berwujud satu tindakan saja.
Hutang uang dan pada waktunya tidak membayar kembali. Tindakan atau
koreksinya adalah hanya membayar pinjaman itu saja.
16
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
mencemarkan kesusilaan masyarakat yang bersangkutan, juga mencemarkan
kehormatan keluarga si gadis tersebut.
Untuk memulihkan keseimbangan hukum diperlukan 2 macam upaya yaitu
pembayaran denda kepada keluarga korban, serta penyerahan seekor binatang
korban pada kepala persekutuan untuk membuat supaya masyarakat adat serta
lingkungan adat menjadi bersih dan suci kembali. 17
Berbicara mengenai hukum adat maupun pidana adat tidak bisa lepas dari
pembicaraan aspek kebudayaan bangsa Indonesia. Oleh karena hukum dan juga
hukum pidana adat merupakan perwujudan dari kebudayaan bangsa Indonesia.
Pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai 3 perwujudan yaitu: Pertama wujud
kebudayaan sebagai suatau kompleks ide – ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma
peraturan dan sebagainya. Kedua kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai
suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat dan
ketiga kebudayaan dapat berwujud sebagai benda – benda hasil karya manusia.
Wujud yang pertama terdapat dalam ide dari warga masyarakat dimana
kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan
idiil yang dapat kita sebut adat tata kelakuan, yang bermaksud menunjukkan
bahwa kebudayaan biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah pada kelakuan dan perbuatan manusia dalam
masyarakat.
18
Sistem nilai - nilai budaya bangsa dengan demikian terdiri dari konsep –
konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar yang merupakan dari
17
Ibid hal. 230 18
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
kebudayaan yang bersangkutan, yang mengenai hal-hal yang mereka anggap
penting dan bernilai dalam hidup. Karena itu sistem nilai budaya biasanya
berfungsi sebagai pedoman untuk berbuat. Yang penting yaitu sebagai sistem
yang mengontrol atas perbuatan – perbuatan manusia dalam masyarakat. Di dalam
mengontrol ini masyarakat mempunyai suatu pola untuk mengukur apakah
sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, diperbolehkan atau tidak oleh masyarakat
di mana pelaku perbuatan tadi hidup dan menjadi anggota masyarakat yang
bersangkutan. Hukum atau norma hukum sebagai pedoman bagi manusia untuk
berbuat atau tidak berbuat mempunyai akibat hukum apabila normanya tidak
ditaati atau dilanggar. Tiap - tiap bangsa mempunyai hukumnya sendiri
sebagaimana halnya dengan bahasa maka hukum pun merupakan hal yang
diciptakan masyarakat itu dan menjadi kehidupan bangsa itu sendiri. 19
Teer Haar mengatakan bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delik) ialah
setiap gangguan terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan pada barang
material dan inmaterial orang seseorang atau orang- orang yang banyak
merupakan satu kesatuan (gerombolan). Tindakan sedemikian itu menimbulkan
suatu reaksi yang sifat besar dan kecilnya diterapkan oleh hukum adat (adat
reactie), karena reaksi maka keseimbangan harus dipulihkan kembali (kebanyakan
dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang – barang atau uang), dengan
demikian untuk disebut tindak pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan
kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak
hanya terdapat apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi
19
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
juga apabila norma – norma kesusilaan keagamaan dan sopan santun dalam
masyarakat, yang selalu dipatuhi. Sementara menurut Soepomo juga mengatakan
bahwa di dalam hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
hukum adat dan perbuatan illegal dan serta hukum adat juga mengenal pula
ikhtiar–ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika telah diperkosa. 20
Apabila diikuti pendapat – pendapat para sarjana tersebut di atas, kiranya
dapat disimpulkan bahwa pada satu tindakan pidana adat itu merupakan tindakan
yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat
sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan
masyarakat yang bersangkutan. Guna memulihkan kembali ketentraman dan
keseimbangan itu maka terjadi reaksi – reaksi adat. Dan reaksi – reaksi adat ini
merupakan tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang
diganggu dan meniadakan atau menetralisasikan suatu keadaan yang ditimbulkan
oleh pelanggaran adat. Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law) dan akan terus hidup selama ada kebudayaan manusia ia
tidak akan dapat dihapus dengan perundang- undangan. Andai kata diadakan juga
undang – undang yang menghapuskanya akan percuma juga. Malahan hukum
pidana perundang – undangan akan kehilangan sumber kekayaanya oleh karena
hukum pidana adat itu sendiri lebih erat hubungannya dengan antropologi dan
sosiologi. 21
20
Ibit hal. 33 21
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
BAB III
HUKUM PIDANA ADAT DAN KEWENANGAN DALIHAN NATOLU MENYELESAIKANNYA PADA MASYARAKAT BATAK
TOBA
A. Deskripsi Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir
Kecamatan Borbor terletak di sebelah tenggara kota Balige ibu kota
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
yang dimekarkan pada tanggal 06 September 2002. Dan sampai sekarang
Kecamatan Borbor masih berada di wilayah hukum Kepolisian sektor Habinsaran,
Resort Toba Samosir serta jarak dari Kecamatan Borbor ke Parsoburan yaitu
Ibukota kecamatan Habinsaran letak kantor Kepolisian sektor Habinsaran ± 35
Km. Sedangkan jarak dari Borbor ke Balige Ibukota Kabupaten ± 75 Km. Adapun
luas wilayah Kecamatan Borbor ± 40.750 hektar. Khusus wilayah PT. Toba Pulp
Lestari ( TPL ) ± 24.000 hektar.
Dan batas- batas wilayah :
1 Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Habinsaran
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara
3. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Habinsaran
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Laguboti dan Kecamatan
Silaen.
Dari jumlah penduduk, penduduk Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir
adalah : a. Laki – Laki : 3230 Jiwa
b. Perempuan : 3470 Jiwa
c.Jumlah Kepala keluarga : 1428 KK.
Di samping hal tersebut nama Kecamatan ini, dengan sebutan Kecamatan Borbor,
karena penduduk asli yaitu marga yang pertama kali menetap adalah marga
Pasaribu. Sesuai dengan silsilah bahwa marga Pasaribu itu berada dalam
kelompok Borbor marsada begitu disebut dalam silsilah marga masyarakat Batak
Toba, yang mana kelompok marga Borbor marsada tersebut diantaranya meliputi
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
1. Pasaribu
2. Sipahutar
3. Lubis
4. Limbong
5.Sagala
6. Malau
8. Manik
9. Parapat
10.Ambarita
11.Harahap
12. Serta marga-marga lainnya.
Namun di samping marga - marga Pasaribu sebagai marga - marga asli di
Kecamatan Borbor atau marga mayoritas, juga terdapat beberapa marga lain yang
termasuk pihak boru, karena mereka menetap di Kecamatan Borbor setelah
menikahi gadis dari keturunan Pasaribu sehingga mereka berada dalam pihak boru
begitu dalam sebutan Dalihan Natolu ( Sistem Kemasyarakatan Batak Toba ). Di
samping karena menikah dengan gadis marga Pasaribu ada juga kedatangan
mereka untuk berdagang, Pegawai Pemerintah atau PNS dan latar belakang
lainnya. Marga–marga di luar Pasaribu tadi yang disebut pendatang adalah marga
: Pangaribuan, Simanjuntak, Hutahaean, Siagian, Pardosi, Hutapea dan lain–lain.
Jadi secara umum marga–marga tersebut menikah dengan gadis dari marga
Pasaribu sehingga secara umum marga Pasaribu tersebut sebagai Hula–hula atau
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
sudah banyak marga Pasaribu menikah dengan gadis dari marga pendatang tadi.
Sehingga di sisi lain dalam sistem Dalihan Natolu kedudukan mereka tidak
selamanya lagi sebagai hula - hula melainkan sebaliknya sebagai boru.
Penduduk asli Kecamatan Borbor yaitu marga Pasaribu yang sekarang
adalah generasi kesepuluh atau marga kesebelas dan seterusnya dari orang yang
pertama sekali mendiami daerah ini. Begitupun diantara sesama marga Pasaribu
yang disebut dongan tubu yaitu mereka terdiri dari satu ayah (sa ama) sedangkan
kelompok dongan tubu yang lebih besar lagi yaitu satu nenek moyang (sa ompu).
Setelah pemekaran Kabupaten Toba Samosir dari Kabupaten Tapanuli Utara
keberadaan daerah ini yaitu Kecamatan Borbor bukanlah termasuk Kecamatan
yang masih tertinggal dibanding Kecamatan lainnya di Sumatera Utara khususnya
di Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat dilihat dengan adanya fasilitas -
fasilitas umum seperti fasilitas Kesehatan, Pendidikan, Transportasi serta fasilitas
lainnya. Meskipun demikian keberadaan hukum adat termasuk hukum pidana adat
pada saat tertentu masih tetap diperhatikan yang artinya masih sering terjadi
sengketa yang ada dalam masyarakat baik pidana maupun perdata diselesaikan
secara hukum adat Batak Toba, hal ini disebabkan rasa kekeluargaan yang masih
dijunjung tinggi dan ingin melestarikan hubungan kekeluargaan yang selama ini
terjalin.
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
Sama halnya dengan hukum pidana adat masyarakat lainnya di Indonesia,
hukum pidana adat Batak Toba juga tidak ada membedakan antara pelanggaran
yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dengan pelanggaran
yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata pula. Begitu juga
tidak dibedakan apakah itu pelanggaran adat, agama kesusilaan atau kesopananan.
Kesemuanya itu akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai satu kesatuan
perkara dan pertimbangan yang keputusannya bersifat menyeluruh berdasarkan
segala faktor yang mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum pidana dapat
dilihat perbedaan antara delik hukum atau kejahatan dengan delik undang-undang
(pelanggaran) tetapi hukum pidana adat tidak menganut sistem yang
membeda-bedakannya. Hukum pidana adat tidak mementingkan kekuasaan hukum
sebagaimana hukum pidana bangsa Indonesia yang bersifat nasional. Sehingga
hukuman terhadap peristiwa kejahatan dihukum dengan hukuman penjara oleh
karena hukum pidana adat Batak Toba juga tidak mengenal sistem hukum
penjara.22
Dan berdasarkan sumber bacaan, penulis menyebut hukum pelangaran itu
disebut sebagai hukum pidana Batak Toba. Hukum pelanggaran dalam bahasa
Batak Toba disebut dengan istilah “Panguhuman tu angka parsala”, yang berarti
hukum dalam hal yang berbuat salah, pengadilan terhadap mereka serta hukuman
yang dijatuhkan. “Sala” berarti kesalahan, perbuatan tercela, pelanggaran.
“Parsala”, orang yang melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran. Istilah
Parsala, agak lebih luas dalam penerapannya daripada kata “Pangalaosi”. Yaitu
22
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
orang yang menyalahi menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus
diumumkan sebagai suatu peraturan yang harus dipatuhi. Sedangkan Parsala
berarti bersalah berbuat Sesuatu yang tidak boleh dilakukannya dalam arti yang
lebih umum. 23
23
J. C. Vergouwen, Masyarakat dan hukum adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986 hal. 391
Dalam masyarakat Batak Toba, juga dikenal bentuk-bentuk tindak pidana.
Yang mana perbuatan tersebut dianggap sala. Beberapa dari bentuk tindak pidana
tersebut diantaranya adalah:
1. Kawin semarga.
Dalam masyarakat Batak Toba, marga adalah menentukan identitas. Artinya
yang semarga, adalah berarti mereka berasal dari keturunan yang sama, masih
saudara, sehingga antara laki-laki dan perempuan tidak boleh kawin karena
mereka adalah mariboto.. Jika hal ini dilanggar, maka hal tersebut merupakan
pelanggaran terhadap adat istiadat. Terhadap pelanggaran ini akan dapat
dikenakan sanksi berupa pengusiran keduanya karena telah mengotori kesucian
kampung. Bahkan pada zaman dahulu jika hal tersebut terjadi, maka untuk dapat
diterimanya mereka sebagai warga kampung, harus diadakan pesta selama tujuh
hari tujuh malam, sebagai cara memulihkan kesucian tadi. Dan biaya yang
dikeluarkan, dibebankan kepada kedua orang tersebut(pelaku).
2. Mangalansum
yaitu bermain curang dengan barang dagangan.
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
yaitu membuat racun untuk membunuh orang lain. Dan biasanya ini dilakukan
dengan memasukkan racun tersebut terhadap makanan yang menjadi
sasarannya. Dengan tujuan atau maksud tertentu seperi supaya hasil panen
bagus, menjadi kaya dan sebagainya.
4.Dorma
yaitu sarana gaib yang digunakan oleh orang muda yang dilanda asmara.
5.Sirotahi mual
yaitu mencemari sumur, mata air, kolam, sungai, sampai air tidak layak
dikonsumsi orang atau hewan.
6.Manggadis lume
yaitu menjual benda yang diamanatkan.
7.Mengambil benda yang ditemukan di jalan, tanpa memberitahukannya
terhadap kepala kampung.
8. Mambarobo
yaitu mencuri jala ikan di sungai atau di danau.
9. Mamorus
yaitu mencuri hasil bumi di ladang orang
10.Pemeliharaan begu ganjang
yaitu semacam santet, dengan tujuan untuk membunuh orang lain karena
alasan-alasan tertentu apakah karena saingan, dendam, atau bahkan
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
11.Lalai ataupun sengaja sehingga ternak kepunyaannya merusak tanaman orang
lain. .
12.Sibola huta
yaitu menyebarkan berita bohong, sehingga terjadi pertengkaran diantara
warga.
13. Marhata pasul
menggunakan kata-kata kasar, sehingga orang lain merasa dihina.
14. Marnihim-nihim ugasan natinangko.
Membawa lari diam-diam barang yang sudah diketahuinya adalah hasil curian.
15. Pangguntu
yaitu orang yang menimbulkan keributan. Ataupun melakukan perkelahian.
16. Mangalangkup/ Berzinah
17. Pasiak- siakhon di namarsaripe/ kekerasan dalam rumah tangga.
18.Paroa-roahon/ memfitnah atau pencemaran nama baik.
19.Manangko/ mencuri
Selain tindak pidana tersebut, masih banyak lagi bentuk tindak pidana dalam
masyarakat Batak Toba, tindak pidana pada poin15,16,17,18,19 akan dijelaskan
lebih lanjut pada halaman berikutnya.
Dalam hukum pidana adat masyarakat Batak Toba orang yang melakukan
kesalahan harus mengakui kesalahannya, dan harus membenarkan bahwa dia patut
mendapat hukuman “manopoti sala”. Berarti dia menundukkan diri sendiri,
tunduk pada adat dan pertimbangan umum, bahwa dia menyerahkan diri kepada
pemegang kekuasaan dan akan memberikan ganti rugi seperti yang sudah
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
mengakui kekeliruan tindakannya, dia telah melakukan tindakan dan telah berbuat
salah, tahu bahwa menyangkal tidak ada gunanya, barangkali sudah menyesal
mengakui sebagian atau seluruhnya dan sudah siap menerima apa yang akan
dituntut darinya. Dia bersedia memperbaiki kesalahan yang dilakukannya “pauli
uhum “ melalui penebusan pribadi. Manopoti sala adalah tindakan menghina
diri sendiri, pauli uhum berarti menuntut bahwa dia harus memberikan
pengorbanan tertentu. Dia meski membayar pelanggaran yang dilakukannya
”Manggarar utang sala”. Dengan ini ia membebani diri sendiri. Ia mesti menebus
sesuai dengan apa yang dituntut adat “ Manggarar adat”, dia mesti membayar
hutang yang ditimbulkan oleh tindakannya yang salah “garar ni utang”. Dengan
ini membebani diri sendiri. Jika keputusan hukumnya sudah tercapai dia dibebani
dengan ganti rugi yang harus dilaksanakan “marutang”. Hal ini diwujudkan
melalui penghinaan, dan melalui kepatuhannya terhadap kewajiban yang
dijatuhkan di atas pundaknya “panopotion“. Kewajiban ini disebut paulihon,
bentuk dan sarana untuk memulihkan hukum atau topot – topot yaitu apa yang
menunjukkan pengakuan salah, (topot juga berarti mengunjungi). 24
Manopoti salana dan pembetulan pelanggaran yang menyertainya tidak
selalu merupakan tindakan suka rela. Tindakan ini memang dapat bersifat sukarela
tetapi biasanya tidak terelakkan, karena ada tekanan dari luar. Di zaman dahulu
selalu ada ancaman menyertai suatu putusan, yakni ditempatkan di luar
perlindungan hukum ”dipaduru diruar ni patik”, atau di luar adat “dibalian ni
adat”. Dalam rumpun kampung yang kecil atau dalam tempat seorang penjahat
24
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
tinggal,pengucilan “mandurui”, bisa berarti dijauhi orang’pasiding-siding”.
Dalam konteks yang lebih luas, dan dalam kasus yang lebih parah, seorang
penjahat bisa dibuang dan diusir dari kampung atau dibuang. Jadi semenjak
dahulu, paksaan yang dilatarbelakangi seperti ini, menandai pemenuhan
kewajiban yang dibebankan ke pundak si pelanggar, yang harus ditunaikannya
itulah hukumanya, ”uhumna’. Sesuai dengan pertimbangan hukuman dijatuhkan
kepadanya. Jika tidak pelanggaran sepenuhnya terjadi dalam ruang lingkup
masyarakat yang menjadi tempat tinggal si pelanggar dan masa seterusnya akan
dihabiskan di situ, panopotionna akan disertai permohonan ampun serta janji
bahwa untuk seterusnya dia akan menjauhkan diri dan dia akan jera. Inilah yang
dialami si pelanggar.25
Suku bangsa Batak Toba menarik garis keturunan melalui garis ayah
atau patrilineal satu kelompok kerabat dihitung dari satu ayah “sa ama”, satu
nenek moyang “sa ompung” dan kekerabatan yang terkecil atau kelurga batih
disebut (ripe). Istilah ripe dapat juga disebut untuk menyebut keluarga luas
Patrilineal. Sa ompu dapat disebut klen. Tetapi istilah itu dipakai juga untuk
menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang sampai generasi ke
duapuluh. Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis
C. Kewenangan Dalihan Natolu Menyelesaikan Tindak Pidana Adat dan Proses Penyelesaiannya
1. Dalihan Natolu Sebagai Sistem Kemasyarakatan Batak Toba
25
Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba (Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir), 2008.
USU Repository © 2009
keturunan itu mempunyai nilai yang sangat penting, karena dalam urutan generasi
setiap ayah yang mempunyai anak laki-laki menjadi bukti nyata dari silsilah
kelompok Patrilinealnya. Dari seorang ayah lahir dua akan melahirkan pula dua
atau lebih kelompok keturunan yang masing – masing mempunyai identitas
sendiri. 26
Apabila mereka berkumpul maka menyebut ayah tadi “Ompu Parsadaan”,
ompu berarti kakek moyang lelaki, sada adalah satu, jadi merupakan titik temu
mereka. Mereka yang berasal dari nenek moyang yang satu (nasa ompu) dari satu
generasi ke generasi berikutnya akan menjadi satu marga. Dengan kata lain bahwa
marga itu merupakan suatu pertanda bahwa masih mempunyai kakek atau percaya
bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek menurut garis Patrilineal.
Sehubungan dengan ini, laki-laki mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam meneruskan silsilah dengan keturunannya atau setiap anak yang dilahirkan
baik laki – laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga ayahnya dan
bukan ibunya. 27
Masyarakat Batak Toba menurut keturunan dalam kebudayaannya harus
selalu mempunyai rasa kekeluargaan yang senantiasa tetap terpupuk bukan saja
terhadap keluarga dekat tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Namun
panggilan seseorang adalah nama marganya bukan nama pribadinya. Jadi apabila
orang Batak Toba bertemu maka yang pertama ditanya adalah marganya dan
bukan nama atau tempat asal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti
26
Lubis Swardi, Komunikasih antar Budaya, Study kasus Etnik Batak Toba dan etnik Cina : Medan, USU Press, 1999 hal. 112
27