• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. PEMBAHASAN

5.3. Pilar STBM

Program STBM terdiri dari lima pilar yaitu pilar pertama Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS), pilar kedua Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), pilar ketiga Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMMRT), pilar keempat Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PSRT), pilar ke lima Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga (PLCRT). Menurut Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kabupaten Nias bahwa saat ini kegiatan STBM yang dilaksanakan hanya program STBM pilar pertama dengan tujuan agar dengan mengutamakan pelaksanaan pada satu pilar sehingga bisa mencapai keberhasilan sesuai dengan target pencapaian dalam Pedoman Pelaksanaan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat tahun 2011. Pilar kedua hingga kelima akan di rencanakan dan di laksanakan secara bertahap disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan yang harus diutamakan dalam masyarakat.

5.3.1 Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS)

Pilar pertama STBM tentang Stop Buang Air Besar Sembarangan (SBS) telah dilaksanakan di Desa Lolowua pada tahun 2013. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan responden, di ketahui bahwa mayoritas responden tidak memiliki kloset dirumah yaitu sebanyak 78 orang (85,7%).

Responden yang memiliki kloset di rumah sebanyak 13 orang menggunakan kloset leher angsa, tetapi sebelum memiliki kloset mereka buang air besar sembarang tempat antara lain di kandang ternak, kebun dan parit. Dari 13 orang

tersebut di ketahui hanya 7 orang yang telah berhasil melakukan perubahan dengan membuat kloset di rumahnya setelah dilaksanakan program STBM pilar pertama di desa Lolowua. Berdasarkan wawancara dapat di ketahui kendala tidak berhasil terjadi perubahan pilar pertama ini selain karna sulit mengubah kebiasaan, sebagian responden juga menyatakan tidak mampu untuk membuat kloset karna kurangnya pendapatan keluarga dan berharap Pemerintah memberikan bantuan untuk membangun kloset. Berdasarkan data yang di peroleh dari Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kabupaten Nias, di ketahui pada tahun 2013 telah di bangun 1 (satu) jamban contoh untuk masyarakat desa Lolowua, dan pada tahun 2014 telah merencanakan membangun 25 jamban sehat untuk 25 keluarga, dan bantuan ini di rencanakan akan di teruskan secara bertahap.

Responden yang memanfaatkan toilet umum, yaitu hanya warga yang rumahnya berada di sekitar toilet umum. Toilet umum ini di lengkapi dengan air bersih, kloset leher angsa dan penampungan septik tank. Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas responden tidak mau menggunakan toilet umum ini karna rumah responden jauh dari toilet umum. Menurut Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kabupaten Nias, pembangunan toilet umum yang merupakan toilet contoh itu telah didiskusikan dengan tokoh masyarakat. Berdasarkan pengamatan, letak toilet dapat di jangkau

dengan mudah oleh sebagian masyarakat, yaitu masyarakat yang rumahnya ≤ 10

meter dari toilet. Sedangkan msyarakat yang merasa rumahnya jauh dari toilet mengatakan bahwa berjalan ke toilet umum hanya membuang waktu.

Responden yang menggunakan penampungan toilet septik tank dan cubluk

sebanyak 29 orang. Mayoritas responden membuang air besar sembarangan sehingga tidak memiliki penampungan tinja. Tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan no 3 tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang menyatakan bahwa terdapat dua bentuk bangunan bawah jamban yaitu septik tank dan cubluk. Mayoritas responden menyatakan bahwa jarak penampungan tinja dari sumber air ≥10 meter. Hal ini sesuai dengan Depkes RI tahun 1983, salah satu syarat jamban adalah tidak mencemari sumber air minum, untuk itu letak lubang penampungan kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber air minum (sumur pompa tangan, sumur gali, dll). Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, maka pembuangan kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan, terutama dalam mencemari tanah dan sumber air (Soeparman dan Suparmin, 2002).

Mayoritas responden menyatakan bahwa tidak semua orang di rumah menggunakan toilet. Hasil penelitian tersebut tidak mencapai indikator desa yang telah mencapai status SBS yang diharapkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan no 3 tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (Kemenkes,2014) dan juga tidak sesuai dengan teori Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007) yang menyatakan Praktek buang air besar adalah perilaku-perilaku seseorang yang berkaitan dengan kegiatan pembuangan tinja meliputi, tempat pembuangan tinja dan pengelolaan tinja yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan bagaimana cara buang air besar yang sehat sehingga tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan.

Mayoritas Responden buang air besar sembarang tempat yaitu di kandang ternak, kebun dan parit, tidak dengan menggali lubang dan menutupnya kembali. Buang air besar sembarang tempat merupakan kebiasaan yang telah dilakukan masyarakat desa Lolowua dari dahulu. Perilaku ini dapat mengakibatkan dampak timbulnya penyakit terutama diare yang merupakan salah satu penyebab utama kematian, sehingga penting untuk memutuskan mata rantai penyakit tersebut dengan salah satu cara yaitu pembuangan kotoran manusia secara aman. Faktor ekonomi merupakan alasan responden tidak memiliki jamban keluarga. Tetapi berdasarkan pengamatan, informasi dan pengetahuan yang kurang di dapat tentang STBM sehingga responden tidak tergerak untuk merubah perilaku buang air besar sembarangan. Penyadaran masyarakat tentang bahaya praktik buang air besar sembarangan dapat di lakukan dengan melakukan kegiatan pemicuan dan penyuluhan secara berkelompok sehingga diharapkan masyarakat secara sadar dan mandiri dapat merubah perilaku buang air besar sembarangan. Masyarakat Lolowua yang berpenghasilan rendah yang tidak memiliki jamban dapat memulai perubahan perilaku buang air besar sembarangan dengan cara sederhana yaitu dengan menggali lubang tanah sebagai tempat untuk membuang kotoran (tinja) dan kemudian menutup lubang itu kembali sehingga dapat mencegah vektor pembawa untuk menyebar penyakit.

Di lokasi untuk buang air besar, di ketahui 63 orang (69,2%) menyatakan tersedia air untuk menyiram dan membersihkan, tetapi 28 orang (30,8%) yang menyatakan tidak tersedia air di lokasi buang air besar karna kondisi jalan setapak yang licin tidak memungkinkan membawa air ke lokasi buang air besar sehingga

tinja tidak di siram dan juga tidak tertutup. Responden tersebut membersihkan dubur di lokasi yang tersedia air yang biasa di gunakan untuk mandi.

Menurut Pedoman Pelaksanaan STBM tahun 2011, Indikator Pencapaian Stop Buang Air Besar Sembarangan terkait Jumlah dan Persentase Penduduk Tidak Buang Air Besar Sembarangan dengan indikator keberhasilan 100% (Kemenkes, 2011). Dari hasil penelitian berdasarkan tabel 4.7 di ketahui bahwa pelaksanaan Pilar pertama STBM di Lolowua belum berhasil.

5.3.2 Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)

Pilar kedua STBM tentang Cuci Tangan Pakai Sabun belum dilaksanakan di Desa Lolowua, diketahui dari hasil wawancara 91 responden (100%) yang menjawab bahwa Program Cuci Tangan Pakai Sabun tidak di laksanakan di desa Lolowua. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kabupaten Nias bahwa saat ini kegiatan STBM yang dilaksanakan hanya program STBM pilar pertama.

Penelitian tetap di lakukan untuk dapat mengetahui gambaran pelaksanaan Cuci Tangan Pakai Sabun dengan pengamatan di lapangan dan wawancara terhadap responden di desa Lolowua. Mayoritas responden menyatakan bahwa waktu mencuci tangan hanya dilakukan sebelum makan dan setelah BAB/BAK. Menurut responden tersebut, mencuci tangan sebelum makan sangat penting agar kuman-kuman yang ada di tangan tidak masuk ke dalam tubuh. Mayoritas responden ketika makan tidak menggunakan sendok melainkan langsung menggunakan tangan, sehingga penting untuk menjaga kebersihan tangan sewatu makan. Responden juga merasa penting untuk mencuci tangan setelah BAB/BAK karna ada perasaan jijik dan responden tahu bahwa ada kuman yang dapat

mengakibatkan penyakit apabila tangan tidak di cuci bersih. Sementara menurut Peraturan Menteri Kesehatan no 3 tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, waktu penting perlunya CTPS, antara lain: sebelum makan, sebelum mengolah dan menghidangkan makanan, sebelum menyusui, sebelum memberi makan bayi/balita, sesudah buang air besar/kecil, sesudah memegang hewan/unggas.

Mayoritas responden menerapkan mencuci tangan menggunakan air mengalir, mencuci tangan menggunakan sabun, membasuh kedua tangan saat mencuci tangan. Tetapi responden yang menggosok seluruh bagian tangan sampai berbusa saat mencuci tangan hanya 40 orang (44,0%). Demikian juga responden yang membersihkan sampai ujung jari dan selah bawah kuku saat mencuci tangan hanya 40 orang (44,0%). Mayoritas responden yang membilas sampai bersih dari sisa sabun saat mencuci tangan sebanyak 65 orang (71,4%), dan yang mengeringkan tangan setelah mencuci tangan sebanyak 69 orang (75,8%). Hal ini terjadi karna responden tahu bahwa cuci tangan itu perlu dilakukan tetapi tidak tahu cara mencuci tangan yang baik dan benar seperti yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan no 3 tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Di ketahui juga perilaku cuci tangan pakai sabun pada masyarakat merupakan kebiasaan yang di dukung dengan tersedianya air dan perlengkapan ctps seperti sabun, baskom, gayung serta kain/handuk untuk mengeringkan tangan. Sejalan dengan penelitian Mulyani (2008) yang menyatakan proporsi perilaku untuk mencuci tangan lebih banyak pada fasilitas yang baik dibandingkan dengan proporsi perilaku cuci tangan pada fasilitas yang kurang baik. Tapi tidak sejalan dengan penelitian Widya Utami (2010) yang menyatakan

tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan fasilitas CTPS dengan kebiasaan CTPS.

Di ketahui dari hasil penelitian berdasarkan tabel 4.9 terdapat 38 orang (41,8%) responden yang berhasil menerapkan CTPS dengan kesadaran sendiri walaupun tidak ada program CTPS di desa Lolowua. Akan tetapi dalam Pedoman Pelaksanaan STBM tahun 2011, Indikator Pencapaian Cuci Tangan Pakai Sabun yaitu setiap anggota keluarga cuci tangan pakai sabun pada waktu-waktu kritis dengan indikator keberhasilan 100% (Kemenkes, 2011), sehingga pelaksanaan Pilar kedua STBM di desa Lolowua tidak berhasil.

5.3.3 Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMMRT)

Pilar 3 STBM yaitu Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga belum dilaksanakan di desa Lolowua diketahui dari hasil wawancara responden yang menyatakan bahwa program Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga tidak dilaksanakan di Desa Lolowua. Seperti yang telah di tuliskan sebelumnya, bahwa Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kabupaten Nias menyatakan bahwa hanya pilar pertama yang di laksanakan di desa Lolowua.

Penelitian tetap di lakukan untuk dapat mengetahui gambaran pelaksanaan Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga di desa Lolowua. Mayoritas responden melaksanakan pengolahan air minum dan makanan dengan baik, hal tersebut dapat dilihat ketika bahan baku air minum terlihat keruh maka masyarakat akan melakukan pengendapan secara alami atau dengan menyaring air dengan kain yang bertujuan agar air terlihat jernih dan tidak kotor. Sejalan dengan Fardiaz (1992), yang menyatakan air bersih dikatakan memenuhi syarat fisik jika

tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Warna air dapat terjadi karena adanya bahan-bahan terlarut. Air berbau bisa disebabkan adanya bahan-bahan kimia, plankton, bahan organik dan mikroorganisme anaerobik yang ada didalam air.

Air minum yang digunakan masyarakat Lolowua juga selalu diolah dengan cara merebus air hingga mendidih untuk menghilangkan bibit penyakit. Hal ini sejalan dengan pedoman STBM pilar ketiga dimana Pengolahan air minum di rumah tangga dilakukan untuk mendapatkan air dengan kualitas air minum.

Air yang sudah diolah menjadi air minum disimpan dalam wadah tertutup dan wadah air minum yang digunakan dibersihkan secara rutin (minimal seminggu sekali). Hal ini sesuai dengan pedoman STBM pilar ketiga yang menyatakan setelah pengolahan air, tahapan selanjutnya menyimpan air minum dengan aman untuk keperluan sehari-hari.

Makanan yang sudah disajikan selalu tertutup dan wadah makanan yang akan digunakan selalu bersih. Menurut Depkes RI (2003) bahwa Penyimpanan makanan jadi harus memperhatikan suhu dan kelembaban sesuai dengan persyaratan jenis makanan dan cara penyimpanannya yang tertutup. Menurut Jeni yang dikutip oleh Purnawijayanti (2001), untuk menciptakan kondisi sanitasi yang baik pada pengolahan makanan, perlu dilakukan pencucian peralatan yang digunakan. Hal ini harus dilakukan untuk menghilangkan sisa-sisa makanan dan kemungkinan adanya mikroba yang melekat pada peralatan.

Berdasarkan tabel 4.11 di ketahui bahwa 79 orang (86,8%) responden dengan kesadaran sendiri telah berhasil menerapkan pengelolaan air minum dan makanan dengan aman walaupun tidak ada program PAMMRT di desa Lolowua.

Akan tetapi Menurut Pedoman Pelaksanaan STBM tahun 2011, Indikator Pencapaian Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga yaitu:

a. Jumlah dan persentase rumah tangga melakukan pengelolaan air minum dengan aman dengan indikator keberhasilan 100%

b. Jumlah dan persentase rumah tangga melakukan pengelolaan makanan yang aman dengan indikator keberhasilan 100% (Kemenkes, 2011).

Meskipun mayoritas responden dapat melaksanakan pengelolaan air minum dan makanan dengan aman tetapi tidak seperti yang di harapkan dalam Pedoman Pelaksanaan STBM tahun 2011, sehingga pelaksanaan pilar ketiga tidak berhasil.

5.3.4 Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PSRT)

Pilar keempat STBM tentang Pengamanan Sampah Rumah Tangga tidak dilaksanakan di Desa Lolowua, diketahui dari hasil wawancara 91 responden (100%) yang menjawab bahwa program pengamanan sampah rumah tangga belum dilaksanakan di Desa Lolowua, hal ini sesuai juga dengan pernyataan Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kabupaten Nias.

Penelitian tetap di lakukan untuk dapat mengetahui gambaran pelaksanaan Pengamanan Sampah Rumah Tangga di desa Lolowua. Di ketahui dari hasil penelitian, mayoritas responden membuang sampah di sembarang tempat, dan sampah yang terkumpul dalam rumah di buang setiap hari, dalam hal ini dapat ketahui bahwa mayoritas masyarakat desa Lolowua terbiasa untuk membuang sampah, baik berupa sisa pengolahan makanan dan sampah rumah tangga lainnya ke pekarangan belakang rumah dan ada juga responden yang menyatakan mengelola sampah dengan cara membakar sampah. Hal tersebut tidak sesuai

dengan UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Bab X pasal 29 ayat 1 huruf (e) , (f) dan (g) yang menyatakan larangan membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan; larangan melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir; dan/atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.

Responden yang menyediakan tempat penampungan sampah di rumah hanya 19 orang dan tidak memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Sampah yang terkumpul di dalam rumah tersebut tidak di angkut ke tempat pembuangan akhir melainkan langsung di buang ke belakang rumah atau di bakar. Menurut responden di desa Lolowua belum ada pengangkutan sampah yang mengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir, sehingga masyarakat mengelola sendiri sampah rumah tangga mereka dengan cara membakar sampah dan mayoritas membuang sampah jauh ke pekarangan belakang rumah atau kebun.

Berdasarkan tabel 4.13 di ketahui bahwa yang menerapkan Pengamanan Sampah Rumah Tangga (PSRT) dengan kesadaran sendiri hanya 19 orang (20,9%) walaupun tidak ada program pilar keempat di desa Lolowua. Menurut Pedoman Pelaksanaan STBM tahun 2011, Indikator Pencapaian Pengamanan Sampah Rumah Tangga yaitu Setiap Rumah tangga melakukan pengelolaan sampah dengan aman dengan indikator keberhasilan 100% (Kemenkes, 2011), sehingga berdasarkan pedoman tersebut maka target pencapaian pilar keempat STBM di desa Lolowua tidak berhasil.

5.3.5 Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga (PLCRT)

Pilar 5 STBM tentang Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga tidak dilaksanakan di Desa Lolowua diketahui dari hasil wawancara 91 responden (100%) yang menjawab bahwa program Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga tidak dilaksanakan di Desa Lolowua, sesuai juga dengan pernyataan Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kabupaten Nias.

Penelitian tetap di lakukan untuk dapat mengetahui gambaran pelaksanaan Pengamanan Limbah Cair di desa Lolowua. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara dengan responden, di ketahui bahwa mayoritas responden membuang air limbah dari kamar mandi dan dapur tidak tercampur dengan air dari jamban. Di ketahui juga mayoritas masyarakat yang tidak mempunyai kamar mandi dan kloset membuang limbah cair dapur langsung ke tanah sekitar rumah, tetapi air dari siraman Buang Air Besar (BAB) biasanya terbuang langsung di lokasi BAB, misalnya di kebun, parit, kandang, dan lainnya. Masyarakat yang memiliki kamar mandi dan kloset membuang air limbah dari kamar mandi dan dapur tidak tercampur dengan air dari jamban.

Mayoritas responden menyatakan pembuangan air limbah tidak menimbulkan bau, dari pengamatan di ketahui meskipun responden membuang air limbah di tanah, tapi air limbah tersebut di buang jauh ke belakang rumah, dan atau di kebun, sehingga tidak menimbulkan bau yang mengganggu disekitar rumah. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang membuang air limbah langsung ke pekarangan sehingga menimbulkan bau di sekitar rumahnya. Selain menimbulkan bau, tanah sekitar rumah juga terlihat lembab.

Mayoritas responden menyatakan saluran pembuangan air limbah tidak terhubung dengan got atau saluran pembuangan lainnya. Dari pengamatan, saluran pembuangan atau got hanya terdapat di rumah yang dekat di pinggir jalan saja. Beberapa responden menyalurkan air limbah lewat pipa sehingga air limbah masuk ke dalam parit yang berjarak ± 10 meter dari rumah. Sebagian besar responden membuang air limbah langsung ke tanah .

Berdasarkan tabel 4.15 bahwa hanya 20 orang (22,0%) yang menerapkan Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga dengan kesadaran sendiri walaupun tidak ada program pilar ke lima di desa Lolowua. Menurut Pedoman Pelaksanaan STBM tahun 2011, Indikator Pencapaian Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga terkait jumlah dan persentase rumah tangga mengelola limbah cairnya dengan aman yaitu dengan indikator keberhasilan 100% (Kemenkes, 2011), sehingga berdasarkan pedoman tersebut maka pilar kelima tidak berhasil.

Dokumen terkait