• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. Kartu Pintar

Menurut Winanti (2009) dalam Ayu Risqiana Ulfa (2017: 43) media kartu pintar merupakan alat permainan kreatif dan inovatif yang digunakan untuk bermain, mengaktifkan peserta didik, dan dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Kartu yaitu karya pendidik atau peserta didik terbuat dari kertas kartun, kertas bekas, kertas HVS, yang diberi gambar yang menarik yang dipadukan dengan permainan memasangkan huruf, kata, angka. Pintar yaitu pandai, cerdik dan mahir.

Berdasarkan pengertian tersebut permainan kartu pintar adalah permainan yang mengaktifkan peserta didik untuk melatih kreativitasnya.

Format media kartu pintar berbasis cetakan ini adalah :

a. Jika paragraf panjang sering digunakan, wajah satu kolom lebih sesuai, sebaliknya jika paragraf tulisan pendek-pendek, wajah dua kolom akan lebih sesuai.

b. Isi yang berbeda supaya dipisahkan dan dilabel secara visual.

c. Taktik dan strategi pembelajaran yang berbeda sebaiknya dipisahkan dan dilabel secara visual.

Gambar 2.1 Kartu Pintar IPA (Hermina, 2013) dalam Ayu Risqiana Ulfa (2017: 43)

Penggunaan media kartu pintar menurut Hermina (2013) Kartu pintar ini seperti permainan yang harus dimainkan oleh 4 peserta didik.

Setiap kartu berisi rangkuman materi (Gambar 2.1). Sedangkan menurut Iwan (2012) dalam Ayu Risqiana Ulfa (2017: 43) langkah-langkah pemakaiannya kartu pintar pada pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:

Pada halaman 1

Gambar 2.2 Tampak depan kartu pintar (Iwan, 2012) dalam Ayu Risqiana Ulfa (2017: 44)

a. Digunakan untuk mengetahui banyak sisi, banyak rusuk, banyak titik sudut, banyak simetri lipat pada suatu bidang. Selain itu terdapat bonus tambahan satuan panjang dan satuan ukur berat beserta dengan keterangannya (Gambar 2.2)

b. Putar dan arahkan panah penunjuk ke rumus bidang yang di cari.

c. Pastikan panah penunjuk berada di garis tengah rumus yang dituju.

d. Setelah tepat berada di rumus yang dituju, akan muncul angka jumlah banyaknya sisi, banyaknya rusuk, banyaknya titik sudut,

banyaknya simetri putar yang sesuai dengan bidang yang dicari.

Pada halaman 2:

a. Digunakan untuk mengetahui rumus keliling luas atau luas permukaan atau luas alas, volume pada suatu bidang. selain itu terdapat bonus tambahan satuan waktu.

b. Putar dan arahkan panah penunjuk ke rumus bidang yang dicari.

c. Pastikan panah penunjuk berada digaris tengah rumus bidang yang dicari.

d. Setelah tepat berada di rumus yang dituju, akan muncul rumus keliling, luas/ luas permukaan/ luas alas, volume yang sesuai dengan rumus bidang yang di cari.

e. Untuk lebih jelas makna dari simbol, rumus, bisa dilihat dikotak keterangan

Gambar 2.3 Contoh Media Kartu Pintar Pokok Bahasan Energi Panas Sehingga, dapat disimpulkan langkah-langkah media kartu pintar IPA berbasis cetakan adalah sebagai berikut :

Pada halaman 1

a. Digunakan untuk mengetahui berbagai energi panas, seperti sumber energi panas, sifat energi panas, perpindahan energi panas, dan benda penghantar panas.

b. Putar dan arahkan panah penunjuk ke bagian yang dicari.

c. Setelah tepat berada ke arah yang dituju, akan terdapat kartu

untuk penjelasannya (Gambar 2.3).

Pada halaman 2

a. Digunakan untuk mengetahui berbagai energi bunyi, seperti sumber energi bunyi, sifat energi bunyi, dan perambatan energi bunyi.

b. Putar dan arahkan panah penunjuk ke bagian yang dicari.

c. Setelah tepat berada ke arah yang dituju, akan terdapat kartu untuk penjelasannya.

Kartu pintar fisika yang akan dibuat dan diterapkan memiliki spesifikasi hampir sama dari beberapa penelitian di atas, namun disini lebih menekankan pada isi materi yang menggunakan rumus-rumus atau konsep-konsep yang sulit dipahami oleh peserta didik.

Azhar Arsyad (2011: 38) media kartu pintar berbasis cetakan mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan media kartu pintar berbasis cetakan adalah sebagai berikut :

a. Peserta didik dapat belajar dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing.

b. Dapat mengulangi materi dalam media cetakan, peserta didik akan mengikuti urutan pikiran secara logis.

c. Perpaduan teks dan gambar dalam halaman cetak dapat menambah daya tarik, serta dapat memperlancar pemahaman informasi yang disajikan dalam dua format, verbal dan visual.

d. Peserta didik akan berpartisipasi/berinteraksi dengan aktif.

e. Materi tersebut dapat direproduksi secara ekonomis.

Selain beberapa kelebihan media kartu pintar berbasis cetakan tersebut, media ini juga mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah:

a. Sulit menampilkan gerak dalam halaman media cetakan

b. Pembagian unit-unit pelajaran sedemikian rupa sehingga tidak terlalu panjang dan dapat membosankan peserta didik

c. Jika tidak dirawat dengan baik media cetakan akan rusak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa media kartu pintar berbasis cetakan akan lebih berguna untuk pembelajaran jika memperhatikan format penggunaannya serta hendaknya dapat dirawat dengan baik agar tidak mudah rusak. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan media kartu pintar karena akan lebih menarik bagi peserta didik dan efektif untuk digunakan.

3. Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe MAM ( Make A Match) Menurut Yatim Riyanto (2009:267) pembelajaran kooperatif adalah:

“Model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik (Academic Skill), sekaligus keterampilan social (Social Skill) termasuk interpersonal skill.”

a. Pengertian Model Pembelajaran MAM (Make A Match)

Model Pembelajaran Make A Match merupakan bagian dari pembelajaran Cooperatif Learning. Model pembelajaran Cooperatif Learning didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Anita Lie, 2003:27).

Model pembelajaran Cooperatif Learning tipe Make A Match adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan kemampuan sosial terutama kemampuan bekerjasama, berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan kartu (Wahab, 2007 : 59). Hal ini sejalan dengan pendapat Isjoni (2007: 77) menyatakan bahwa Make A Match merupakan model pembelajaran mencari pasangan sambil mempelajari konsep dalam suasana yang menyenangkan.

Anita Lie (2008: 56) menyatakan bahwa model pembelajaran Cooperatif Learning tipe Make A Match atau memcocokan pasangan merupakan teknik belajar yang memberi kesempatan peserta didik untuk bekerja sama dengan orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan pendidikan. Suyatno (2009 : 72) mengungkapkan bahwa model Cooperatif Learning tipe Make A Match

adalah model pembelajaran dimana pendidik menyiapkan kartu yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian peserta didik mencocokkan kartunya.

Komalasari (2010: 85) menyatakan bahwa model Cooperatif Learning tipe Make A Match merupakan model pembelajaran yang mengajak peserta didik mencari jawaban terhadap suatu pertanyaan suatu konsep melalui suatu permainan kartu dalam batas waktu yang ditentukan.

Model Cooperatif Learning tipe Make A Match adalah teknik mencari pasangan, peserta didik digabung suruh mencari pasangan dari kartu yang mereka pegang (Lorna Curran dalam Miftahul Huda, 2011: 113). Pendapat lain menurut Huda (2012: 135) mengatakan Cooperatif Learning tipe Make A Match merupakan salah satu pendekatan konseptual yang mengajarkan peserta didik memahami konsep pembelajaran secara aktif, kreatif, interaktif, efektif, dan menyenangkan bagi peserta didik sehingga mudah dipahami dan bertahan lama dalam struktur kognitif peserta didik.

Model Cooperatif Learning tipe Make A Match merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan kepada peserta didik. Penerapan model ini dimulai dari teknik yaitu peserta didik disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan soal dan jawaban sebelum batas waktunya, peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin untuk meningkatkan minat belajarnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Cooperatif Learning tipe Make A Match merupakan model pembelajaran dimana pendidik menyiapkan kartu yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian peserta didik mencari pasangan kartunya

.

b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Make A Match

Menurut Tharmizi dalam Novia (2015:12) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan teknik Cooperatif Learning tipe Make A Macth sebagai berikut:

1. Membuat potong-potongan kertas sejumlah peserta didik yang ada dalam kelas.

2. Mengisi kertas-kertas tersebut dengan soal atau jawaban sesuai materi yang telah diberikan.

3. Mencocokan semua kartu sehingga akan tercampur antara soal dan jawaban.

4. Membagikan soal atau jawaban kepada peserta didik

5. Memberi setiap peserta didik satu kertas dan menjelaskan bahwa ini adalah aktivitas yang dilakukan berpasangan. Separuh peserta didik akan mendapatkan soal dan separuhnya akan mendapatkan jawaban.

6. Meminta semua peserta didik untuk duduk membentuk huruf U atau berhadapan.

7. Meminta peserta didik menemukan pasangan mereka. Jika ada yang sudah menemukan pasangan, minta mereka untuk duduk berdekatan, terangkan juga agar mereka tidak memberi tahu materi yang mereka dapatkan kepada teman yang lain.

8. Menambahkan langkah-langkah model Cooperatif Learning tipe Make A Match yaitu setiap peserta didik menerima potongan kertas, mereka diberi waktu untuk memikirkan jawaban atau soal dari kertas yang diterimanya. Setiap peserta didik yang dapat menemukan pasangannya dengan tepat sebelum batas waktu diberi poin atau nilai.

9. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar setiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumya.

10. Mendiskusikan soal yang telah diterima dengan kelompok pasangan.

11. Demikian seterusnya dan kesimpulan / penutup (Novia, 2015:12) Sedangkan menurut Komalasari (2010:83−84) langkah-langkah penerapan model Cooperative Learning tipe Make A Match sedikit berbeda yakni sebagai berikut:

1. Pendidik menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.

2. Setiap peserta didik mendapat satu buah kartu.

3. Tiap peserta didik memikirkan soal/jawaban dari kartu yang dipegang.

4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang

cocok dengan kartunya (soal jawaban).

5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

6. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

7. Demikian seterusnya dan kesimpulan/penutup (Komalasari, 2010:83−84)

Namun ada lagi pendapat yang lebih sederhana dari Yatim Riyanto (2009:267) yang mempunyai langkah –langkah umum pembelajaran kooperatif tipe Make A Match adalah:

a. Pemberian informasi seperti penyampaian tujuan pembelajaran serta skenario pembelajaran

b. Mengorganisasikan peserta didik dalam kelompok kooperatif c. Membimbing peserta didik untuk melakukan kegiatan/

berkooperatif

d. Evaluasi atau mencocokkan kartu.

e. Pemberiankan kesimpulan dan penguatan.

Dari tiga pendapat para ahli di atas maka peneliti menggunakan langkah-langkah yang sama menurut Yatim Rianto yaitu :

a. Pemberian informasi seperti penyampaian tujuan pembelajaran serta skenario pembelajaran

b. Mengorganisasikan peserta didik dalam kelompok kooperatif c. Membimbing peserta didik untuk melakukan kegiatan/

berkooperatif

d. Evaluasi atau mencocokkan kartu.

e. Pemberiankan kesimpulan dan penguatan.

c. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Make A Match Kelebihan dan kelemahan model Cooperative Learning tipe Make A Match menurut Miftahul Huda (2013: 253-254) adalah meningkatkan aktivitas belajar peserta didik, metode ini menyenangkan, meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap materi yang dipelajari dan meningkatkan motivasi belajar peserta didik, efektif sebagai sarana melatih keberanian peserta didik untuk tampil presentasi dan melatih kedisiplinan peserta didik menghargai waktu untuk belajar.

Kelemahan model Cooperatif Learning tipe Make A Match antara lain ialah strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang terbuang, pada awal-awal penerapan metode, banyak peserta didik yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya, pendidik tidak mengarahkan peserta didik dengan baik, akan banyak pendidik yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan, pendidik harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada peserta didik yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu dan menggunakan metode ini secara terus menerus akan menimbulkan kebosanan.

Menurut Anita Lie (2002: 46) kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kelompok berpasangan adalah kelebihannya meningkatkan partisipasi peserta didik, cocok untuk tugas sederhana, lebih banyak kesempatan untuk kontribusi masing-masing anggota kelompok, interaksi lebih mudah, lebih mudah dan cepat membentuknya. Sedangkan kekurangannya ialah banyak kelompok yang melapor dan perlu di monitor dan lebih sedikit ide yang muncul

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa model pembelajaran tipe ini memiliki kelebihan dan kekurangannya. Yang mana kelebihannya meningkatkan partisipasi peserta didik, interakasi antar peserta didik, efektif untuk membuat pembelajaran yang menyenangkan. Sedangkan kekurangannya yakni sering kali kurang bimbingan dari pendidik dan menggunakan model ini secara terus menerus juga membuat peserta didik menjadi bosan.

d. Manfaat Model Pembelajaran Make A Match

Manfaat model pembelajaran Cooperatif Learning tipe Make A Match menurut Mifta Huda (2013: 255) adalah:

1. Dapat memotivasi peserta didik untuk saling membantu pembelajaranya satu sama lain.

2. Menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap kelompoknya untuk melakukan yang terbaik.

3. Meningkatkan interaksi sosial yang dibutuhkan untuk bekerja secara efektif.

4. Dapat memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas sesuatu masalah yang mereka dapati saat pembelajaran berlangsung.

5. Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan ketrampilan berpendapat.

Dari pembahasan di atas maka dapat diketahui banyak manfaat dari menggunakan model pembelajaran Cooperatif Learning tipe Make A Macth yakni, interaksi antar peserta didik terjaga, partisipasi peserta didik muncul dan efektif untuk mengali cara belajar peserta didik.

4. Hasil Belajar

Hasil belajar menurut Nana Sudjana (2005: 22) adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajar. Menurut Horward Kingley yang dikutip Nana Sudjana (2005:22) membagi tiga macam hasil belajar, yaitu keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, serta sikap dan cita-cita. Dalam pendidikan nasional ada tujuan pendidikan yakni tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar. Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah efektif, dan ranah psikomotoris (Nana Sudjana, 2005: 22).

Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Dalam proses pembelajaran, hasil belajar merupakan hal yang penting karena dapat menjadi petunjuk untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan peserta didik dalam kegiatan belajar dapat diketahui melalui evaluasi. Penilaian hasil belajar sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Pada umumya tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar

yang dilakukan oleh Bloom, yaitu cognitive, affective dan psychomotor (Majid Abdul, 2014:44).

a. Ranah Kognitif (Pengetahuan)

Ranah kognitif adalah ranah yang mengembangkan kemampuan dan keterampilan intelektual. Dalam hubungannya dengan satuan pelajaran, ranah kognitif memegang tempat utama, terutama dalam tujuan pengajaran di SD, SMP dan SMU. Menurut Abdul Majid (2014:25) aspek kognitif dibedakan atas enam jenjang, yaitu:

1) Pengetahuan, dalam jenjang ini seseorang dituntut dapat mengenali atau mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya.

2) Pemahaman, kemampuan ini menuntut peserta didik memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus menghubungkan dengan hal-hal lain.

3) Penerapan, adalah jenjang kognitif yang menuntut kesanggupan menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret.

4) Analisis, adalah kemampuan yang menuntut seseorang untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu kedalam unsur-unsur atau komponen pembentuknya.

5) Sintesis, jenjang ini menuntut seseorang untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara menggabungkan berbagai faktor.

Hasil yang diperoleh dapat berupa: tulisan, rencana atau mekanisme.

6) Evaluasi, adalah jenjang yang menuntut seseorang untuk dapat menilai suatu situasi, keadaan, pertanyataan atau konsep berdasarkan suatu kriteria tertentu (Abdul Majid, 2014:45).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kemampuan ranah kognitif yaitu kemampuan daya fikir seseorang tentang hal yang

dipelajarinya yang dimulai dari enam tingkatkan yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi.

b. Ranah Afektif (Sikap)

Secara umum ranah afektif diartikan sebagai internalisasi sikap yang menunjuk kearah pertumbuhan batiniah yang terjadi bila individu menjadi sadar tentang nilai yang diterima dan kemudian mengambil sikap, kemudian menjadi bagian dari dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah lakunya. Menururt Abdul Majid (2014:48) jenjang kemampuan dalam ranah afektif yaitu:

1) Menerima, diharapkan peserta didik peka terhadap eksistensi fenomena atau rangsangan tertentu. Kepekaan ini diawali dengan penyadaran kemampuan untuk memperhatikan dan menerima.

Kata-kata operasional yang digunakan antara lain: menanyakan, memilih, mendeskripsikan, memberikan, mengikuti, menyebutkan.

2) Menjawab, peserta didik tidak hanya peka pada suatu fenomena tetapi juga bereaksi terhadap salah satu cara. Penekananya pada kemauan peserta didik untuk menjawab secara sukarela, membaca tanpa ditugaskan.

3) Menilai, diharapkan pesrta didik dapat menilai suatu objek fenomena atau tingkah laku tertentu dengan cukup konsisten.

4) Organisasi, tingkat ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan /memecahkan masalah, membentuk suatu sistem nilai (Abdul Majid, 2014:48).

Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa ranah afektif yaitu ranah yang berhubungan dengan sikap atau tingkah laku seseorang yang memiliki beberapa tingkatan, yaitu: menerima, menjawab, menilai dan mengorganisasi.

Pada penelitian ini, aspek-aspek yang akan dinilai untuk ranah afektif yaitu: 1) Bersikap jujur adalah perilaku yang dapat dipercaya perkataan, tindakan dan pekerjaan. 2) Berkerja sama adalah suatu

usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. 3) Percaya diri adalah kondisi mental atau psikologi seseorang yang member keyakinan kuat untuk berbuat atau bertindak. 4) Bertanggung jawab berhubungan dengan sikap peserta didik dalam berdiskusi untuk menyelasikan tugas yang telah dibagi dalam kelompok masing-masing.

c. Ranah Psikomotor (Keterampilan)

Berkaitan dengan psikomotor, Bloom berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Dave dalam Abdul Majid (2014:52) mengatakan bahwa hasil belajar psikomot dapat dibedakan menjadi lima tahap, yaitu:

1) Imitasi, adalah kemampuan melakukan kegaitan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan dilihat atau diperhatikan sebelumnya.

2) Manipulasi, kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum pernah dilihat, tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja.

3) Presisi, adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan yang akurat sehingga mampu menghasilkan prosuk kerja.

4) Artikulasi, adalah kemampuan melakukan kegiatan yang kompleks dan tepat sehingga hasil kerjanya merupakan sesuatu yang utuh.

5) Naturalisasi, adalah kemampuan melakukan kegiatan secara reflek, yakni kegiatan yang melibatkan fisik saja sehingga efektifitas kerja tinggi (Majid Abdul, 2014:52).

Dari uraian di atas tentang ranah psikomotor, dapat diketahui bahwa ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan keterampilan seseorang yang menggunakan gerakan, dimana kemampuan ini memiliki lima tingkatan yang telah dipaparkan di atas.

Pada penelitian ini, aspek-aspek yang akan dinilai untuk ranah psikomotor yaitu: 1) Menyiapkan, berkaitan dengan kemampuan mengenali dan menyiapkan alat yang digunakan sesuai dengan pedoman yang disediakan serta penentuan variabel pengamatan juga tepat. 2) Mencoba, berkaitan dengan kemampuan melakukan percobaan berdasarkan prosedur dengan teliti. 3) Mengolah, berhubungan dengan kemampu untuk mengolah suatu data sesuai dengan teori yang tepat dan dilakukan sebanyak Tabel yang ada. 4) Menyajikan, berkaitan dengan mampu mempresentasi hasil kegiatan yang dilakukan dengan maksimal dan penyajian data dilampirkan secara lengkap.

Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Dalam proses pembelajaran, hasil belajar merupakan hal yang penting karena dapat menjadi petunjuk untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan peserta didik dalam kegiatan belajar dapat diketahui melalui evaluasi.

Penilaian hasil belajar sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Pada umumya tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom pada 1956, yaitu cognitive, affective dan psychomotor (Abdul Majid, 2014:44).

5. Materi Fisika

Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dalam Alfi Anafidah (2017 : 30), Fisika bukan hanya memiliki sumbangan nyata terhadap perkembangan teknologi, namun juga mendidik peserta didik di dalam pembelajarannya untuk bertindak atas dasar pemikiran kritis, analitis, logis, rasional, cermat, dan sistematis, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berprilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri.

Selain itu Wirtha dan Rapi dalam Alfi Anafidah (2017 : 30) menjelaskan hakekat fisika merupakan kumpulan pengetahuan, cara berfikir, dan penyelidikan. Penekanan pembelajaran sains, dalam hal ini fisika di

sekolah-sekolah masih terbatas pada penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip. Perlu adanya perubahan dalam cara belajar sains dari diberi tahu menjadi mencari tahu, dari belajar untuk memahami konsep sains menjadi belajar untuk menguasai proses sains (Alfi Anafidah 2017 : 30)

Dari uraian di atas tentang pembelajaran dan fisika , dapat ditarik diketahui bahwa pembelajaran fisika adalah proses belajar mengajar yang dilakukan oleh pendidik untuk mendidik peserta didik di dalam proses pembelajaran. Serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berprilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Paparan KI, KD, indikator, dan tujuan pembelajaran seperti pada Tabel 2.1 di bawah ini:

Tabel 2.1 Paparan KI, KD, Indikator dan Tujuan Pembelajaran Kompetensi Inti Kompetensi

Dasar

menerapkan

mempresentasi kannya

Penelitian ini, yaitu untuk menerapkan model Cooperative Learning tipe Make A Match berbantuan kartu pintar fisika untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada materi elastisitas kelas XI SMA. Alasan kenapa penulis mengangkat materi ini dalam penelitian karena penulis sudah melihat dan memahami KI, KD pada materi Elastisitas ini, materi ini sangat sesuai dengan tujuan penulis yaitu untuk menghasilkan Media pembelajaran berbasis Kartu Pintar Fisika dengan model Cooperative Learning tipe Make A Match.

6. Pembelajaran Konvensional

Konvensional berasal dari kata konvensionil yang artinya menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan. Menurut Ibrahim dan Nana Syaodih dalam Syaodih (2003:40) bahwa pembelajaran konvensional adalah kegiatan belajar yang bersifat menerima atau menghafal pada umumnya diberikan secara klasik, peserta didik yang berjumlah kurang lebih 40 orang, pada

Konvensional berasal dari kata konvensionil yang artinya menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan. Menurut Ibrahim dan Nana Syaodih dalam Syaodih (2003:40) bahwa pembelajaran konvensional adalah kegiatan belajar yang bersifat menerima atau menghafal pada umumnya diberikan secara klasik, peserta didik yang berjumlah kurang lebih 40 orang, pada

Dokumen terkait