• Tidak ada hasil yang ditemukan

2

positif untuk menghindari konflik yang destruktif seperti permasalahan, perselisihan, dan pertikaian yang terjadi diantara suami dan istri.

Angka perceraian yang tinggi secara tidak langsung menyiratkan banyaknya anak yang menjadi korban perceraian orangtua. Perceraian umumnya dapat diterima oleh orangtua namun tidak demikian pada anak. Orangtua sudah mengalami proses hingga mengambil keputusan bercerai sebagai keputusan yang matang. Sedangkan kebanyakan anak hanya dapat menerima keputusan akhir orangtua tanpa ada bayangan kondisi keluarga berpisah sebelumnya. Hal ini didukung oleh Bintang (2008) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa perceraian orang tua akan membawa pengaruh langsung bagi anak yang tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat orangtua tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Dengan demikian perceraian orangtua akan menyisakan pengalaman tidak menyenangkan dan traumatis pada anak. Garrison (2010) dalam penelitiannya menambahkan bahwa terjadinya perceraian dalam pernikahan menimbulkan dampak terhadap suami, istri, dan anak. Dampak perceraian tersebut tidak hanya berlangsung beberapa saat setelah perceraian berakhir, bahkan dapat memberikan dampak jangka panjang serta akan mempengaruhi perkembangan anak hingga masa dewasa.

Masa dewasa awal adalah permulaan dari tahap baru dalam kehidupan manusia. Masa ini merupakan tanda bahwa individu sudah dapat mengambil bagian dalam tujuan hidup yang telah dipilih dan menemukan kedudukan dirinya dalam kehidupan (Turner & Helms, 2001). Masa dewasa diawali

3

dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang melibatkan eksperimentasi dan eksplorasi yang disebut sebagai emerging adulthood

(Amett dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Masa dewasa awal juga merupakan masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya (Santrock, 2002).

Seperti pada tahap-tahap kehidupan sebelumnya, individu pada masa dewasa awal juga akan dihadapkan pada sekumpulan tugas perkembangan. Jika tugas tersebut berhasil dijalankan maka akan menimbulkan rasa bahagia dan memicu keberhasilan pada tugas-tugas selanjutnya, namun jika tugas tersebut gagal maka akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas selanjutnya (Havighurst dalam Hurlock, 1980). Hurlock (1980) menambahkan bahwa tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal dititikberatkan pada aspek karier dan membina sebuah hubungan sosial yang lebih berarti. Pada aspek karier, individu diharapkan dapat meniti sebuah pekerjaan yang dapat mendukung gaya hidupnya. Sedangkan pada aspek hubungan sosial, individu diharapkan mampu membangun sebuah keintiman dengan lawan jenis agar kelak dapat memilih pasangan hidup dan membangun rumah tangga.

Robert J. Sternberg dalam triangular theory of love (teori segitiga cinta) mengartikan cinta sebagai segitiga yang memiliki tiga komponen, yaitu keintiman, gairah, dan komitmen (Sternberg & Barnes, 1988). Keintiman merupakan perasaan dalam suatu hubungan yang meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan ketertarikan. Keintiman mendorong individu untuk selalu

4

melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya. Gairah merupakan ekspresi hasrat dan kebutuhan seksual yang menyebabkan seseorang merasa ingin dekat secara fisik. Komitmen merupakan ketetapan seseorang untuk bertahan bersama sesuatu atau seseorang sampai akhir.

Keintiman dan komitmen relatif stabil dalam hubungan dekat, sementara gairah cenderung tidak stabil. Dalam hubungan romantis jangka pendek gairah lebih berperan, sedangkan dalam hubungan romantis jangka panjang keintiman dan komitmen memainkan peranan yang lebih besar. Namun pada individu dewasa awal hambatan yang dominan muncul adalah keintiman, hal ini terjadi karena individu lebih banyak mengalami kesulitan dalam membentuk kedekatan emosional. Penelitian Cherlin, Chase-Lansdale, & McRae (dalam Sager, 2009) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan masalah-masalah emosional yang berhubungan dengan perceraian ketika anak mencapai usia dewasa awal. Dampak perceraian tersebut semakin tampak ketika mulai menjalin keintiman pada masa dewasa awal. Hal tersebut didukung oleh Franklin, dkk (dalam Sager, 2009) yang menyatakan bahwa terlepas dari berapa pun usia anak saat orangtua bercerai, dampak perceraian orangtua akan menonjol pada masa dewasa awal ketika anak mulai membangun hubungan romantis terhadap lawan jenisnya.

Santrock (2002) mengemukakan bahwa hubungan pernikahan orangtua akan mempengaruhi individu dalam membentuk hubungan dengan lawan jenis, sehingga individu tidak mampu mengembangkan keintiman yang sesuai. Hurlock (1980) menambahkan bahwa hubungan antar anggota

5

keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan pola sikap dan perilaku individu dalam membina hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan keluarga termasuk ayah dan ibu merupakan lingkungan pertama seorang individu melakukan sosialisasi, tak terkecuali individu dengan orangtua bercerai. Penelitian lain yang dilakukan oleh Nihayah, dkk (2013) menunjukkan bahwa religiusitas dan cinta memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pernikahan. Variabel keintiman, gairah, komitmen, keyakinan, pengalaman, ritual, pengetahuan, konsekuensi, dan usia pernikahan menjelaskan bervariasinya variabel kepuasan pernikahan sebesar 35,4%. Berdasarkan penelitian tersebut variabel yang dominan terhadap kepuasan pernikahan adalah variable keintiman.

Penelitian Bruce, Flora, & Stacey (2004) menunjukkan perbedaan tingkat keintiman antara individu dengan orangtua bercerai dengan individu dengan orangtua tidak bercerai. Individu yang berasal dari keluarga utuh memiliki tingkat keintiman yang lebih tinggi dengan pasangannya daripada individu yang berasal dari keluarga bercerai. Hal ini disebabkan individu yang berasal dari keluarga yang bercerai memiliki tingkat ketakutan yang lebih tinggi untuk membangun hubungan intim dengan pasangannya daripada individu yang berasal dari keluarga yang utuh. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa individu dengan orangtua tidak bercerai atau berasal dari keluarga utuh memiliki tingkat keintiman yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan orangtua bercerai.

6

Keintiman digambarkan oleh Erikson (dalam Santrock, 2002) sebagai penemuan diri sendiri pada diri orang lain. Saat individu membentuk persahabatan yang sehat dan relasi yang akrab dengan orang lain maka keintiman akan dicapai, namun jika tidak maka akan terjadi isolasi. Ketidakmampuan untuk membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain dapat berbahaya bagi kepribadian individu. Hal itu mungkin menyebabkan seseorang menolak, mengabaikan, atau menyerang orang-orang yang dianggap mereka membuat frustasi. Perkembangan sosio-emosional pada dewasa awal mencangkup mengenai bagaimana seseorang mulai mencintai lawan jenisnya dan memiliki hubungan dekat dengan lawan jenisnya tersebut, kemudian biasanya akan melanjutkannya pada pernikahan yaitu keinginan untuk berkeluarga (Santrock, 2002). Kondisi ini mungkin akan berbeda jika dialami oleh dewasa awal dengan orangtua bercerai. Hal tersebut disebabkan individu memperhatikan pernikahan orangtua dan perikahan tersebut merupakan indikator bagi individu untuk meniru perilaku orangtua serta mengkaitkannya dengan pernikahannya kelak. Dalam hal ini perceraian orangtua cenderung meningkatkan keturunannya membentuk sifat dan orientasi antar individu yang dapat mengganggu keintiman di masa dewasa.

Ramaiah (2003) mengemukakan bahwa pernikahan yang seharusnya menjadi hal yang dinantikan dapat menjadi kecemasan bagi perempuan yang berasal dari keluarga tidak harmonis. Kecemasan akan pernikahan tersebut terjadi karena adanya rasa tidak aman dari keluarga asal, perasaan-perasaan

7

yang ditekan selama masa anak-anak, dan tidak mendapat teladan mengenai pernikahan yang baik dari orangtua. Penelitian yang dilakukan oleh Heler & Wood (1998) menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda secara signifikan dalam merasakan keintiman dengan pasangannya. Hal ini karena perempuan merasakan tingkat keintiman yang lebih tinggi kepada pasangannya dibandingkan laki-laki.

Amato (2012) dalam penelitiannya menambahkan bahwa perceraian yang dialami orangtua cenderung meningkatkan perceraian pada anak-anak mereka. Individu dengan orangtua bercerai cenderung memiliki pandangan yang kompleks terhadap pernikahan. Individu tersebut memperlihatkan kecemasan akan pernikahannya, ragu-ragu memutuskan untuk menikah atau tidak, serta menjadi lebih selektif dalam memilih pasangan. Hal ini dapat terjadi karena individu mengamati pernikahan orangtuanya, dan kondisi pernikahan tersebut dijadikan patokan oleh individu terhadap relasi dengan pasangannya. Berdasarkan uraian yang diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perceraian memberikan dampak yang begitu besar terhadap keintiman dewasa awal baik dalam hubungan dengan lawan jenis maupun tahapan yang lebih serius yaitu pernikahan.

Keintiman akan didapat jika individu memiliki kedekatan emosional terhadap pasangannya. Kedekatan emosional ini dapat tercapai jika hubungan antar individu terjalin dengan baik dimana individu mampu mengenali kebutuhan pasangan dan saling memahami satu sama lain. Dengan demikian hubungan yang baik dengan pasangan akan memicu kedekatan emosional

8

sehingga dapat meningkatkan keintiman. Hal tersebut kemudian dapat diawali dengan jalinan komunikasi yang baik dan efektif dengan pasangan. Menurut Lazarus ( dalam Prabaningsih, 1999) komunikasi merupakan salah satu hal yang memegang peranan dalam kehidupan manusia. Tingkatan yang paling penting dalam komunikasi adalah komunikasi antar pribadi atau komunikasi interpersonal yang diartikan sebagai relasi individual dengan orang lain dalam konteks sosialnya.

Komunikasi interpersonal dirasa penting untuk dimiliki oleh pasangan dibandingkan bentuk-bentuk komunikasi lainnya karena komunikasi interpersonal merupakan bentuk komunikasi yang biasanya dilakukan antara dua individu secara tatap muka yang bertujuan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku lawan komunikasi dengan umpan balik secara langsung. Dalam komunikasi interpersonal terdapat proses transaksi pesan yang bersifat dua arah, dan perhatian masing-masing pihak tidak semata-mata tertuju pada pesan, melainkan juga pada perilaku lawan komunikasi. Menurut Berger (dalam Little John, 1989) komunikasi interpersonal juga ditandai dengan individu yang saling mengenal, sehingga dapat menimbulkan rasa kedekatan antara kedua pihak. DeVito (1997) menambahkan bahwa komunikasi interpersonal yang baik dan efektif ditandai dengan adanya keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif, dan kesamaan antara kedua belah pihak. Komunikasi interpersonal dirasa penting dilakukan terhadap pasangan karena masing-masing pasangan dapat mengungkapkan pendapat dan pandangannya secara jelas sehingga pasangan dapat saling memahami. Tanpa adanya

9

komunikasi interpersonal yang baik dan efektif antara pasangan dapat memicu terjadinya kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan munculnya sejumlah permasalahan bagi kedua belah pihak. Individu yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi akan kesulitan dan merasa cemas ketika harus melakukan komunikasi interpersonal, sehingga tidak mampu mencerminkan rasa kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Masalah kecemasan komunikasi interpersonal telah diteliti oleh Mariani (1991) yang menemukan bahwa 8% dari 189 mahasiswa mengalami kecemasan akan komunikasi interpersonal. Untuk mengatasi kecemasan yang menjadi hambatan dalam komunikasi interpersonal Markman (dalam Kanfer dan Goldstein, 1997) melakukan teknik modifikasi perilaku-kognitif yang menunjukkan bahwa teknik tersebut efektif mengatasi kecemasan komunikasi interpersonal.

Penelitian Dewi & Sudhana (2013) mengungkapkan ada hubungan yang kuat antara variabel komunikasi interpersonal dan variabel keharmonisan pernikahan. Hasil analisis data tersebut menunjukkan korelasi anatara kedua variabel dengan nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,649, menunjukkan bahwa adanya hubungan yang searah yaitu bernilai positif. Dimana semakin tinggi skor komunikasi interpersonal maka akan mengakibatkan semakin tinggi pula skor pada keharmonisan pernikahan. Penelitian lain mengenai komunikasi adalah penelitian yang dilakukan oleh Emmers-Sommers (2004) yang menunjukkan bahwa kualitas komunikasi menjadi indikator yang lebih baik daripada kuantitas komunikasi

10

untuk sebuah keintiman dalam hubungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas komunikasi dirasa sangat penting dalam menjalankan keintiman dalam sebuah hubungan dengan lawan jenis bahkan hingga jenjang pernikahan. Namun penelitian tersebut tidak secara spesifik dialami oleh dewasa awal dengan orangtua bercerai. Penelitian yang dilakukan oleh Yudistriana, Basuki, & Harsanti (2010) mengungkapkan bahwa terdapat faktor adanya keterbukaan kepada pasangan yang dapat mempengaruhi keintiman pada pria dewasa awal. Keterbukaan sendiri merupakan salah satu aspek penting komunikasi interpersonal.

Peneliti tertarik untuk menemukan hubungan antara komunikasi interpersonal dengan keintiman terhadap pasangan, khususnya pada dewasa awal dengan orangtua bercerai. Mengingat adanya hambatan mengenai keintiman yang dialami dewasa awal dengan orangtua bercerai karena orangtua tidak memberikan gambaran mengenai hubungan terhadap lawan jenis pada individu. Selain itu minimnya penelitian mengenai komunikasi interpersonal pada dewasa awal yang memiliki hambatan terhadap keintiman menjadi langkah awal bagi peneliti untuk mencari jawaban mengenai hubungan kedua variabel tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah komunikasi interpersonal dapat mempengaruhi tingkat keintiman pasangan pada dewasa

11

awal dengan orangtua bercerai, mengingat adanya hambatan dalam membangun keintiman tersebut?”.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara komunikasi interpersonal dengan keintiman terhadap pasangan pada dewasa awal dengan orangtua bercerai.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat memperkaya wawasan dan pemahaman mengenai komunikasi interpersonal dan kaitannya dengan keintiman serta dapat memperkaya referensi ilmiah dalam bidang psikologi khususnya psikologi keluarga dan perkembangan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dengan masalah serupa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan dampak dari perceraian bagi kehidupan anak-anak mereka,

12

terutama dalam membina keintiman terhadap lawan jenis pada masa dewasa awal.

b. Bagi dewasa awal, khususnya dewasa awal dengan orangtua bercerai, dapat memberikan informasi mengenai keintiman terhadap pasangan dan komunikasi interpersonal serta dapat memanfaatkan informasi tersebut sebagai pertimbangan terhadap segala tindakan yang akan diambil selanjutnya sehingga dapat mencoba menanggulangi masalah yang mungkin tampak mengenai hal tersebut.

13

BAB II

Dokumen terkait