• Tidak ada hasil yang ditemukan

L. plantarum mar8

L. plantarum mar8 diisolasi dari buah markisa yang merupakan salah satu makanan asli Indonesia, dan telah terbukti mempunyai sifat probiotik. Pengujian sifat probiotik yang telah dilakukan diantaranya uji ketahanan terhadap pH rendah, ketahanan terhadap garam empedu, aktivitas antagonistik terhadap bakteri patogen, pengujian kemampuan menurunkan kolesterol dan uji klinis secara in vivo ke dalam tubuh tikus (Gunawan 2003 dan Yulianto 2004).

Karakteristik Probiotik

Karakteristik suatu isolat bakteri untuk dapat dikategorikan sebagai probiotik antara lain, mampu bertahan pada kondisi asam lambung dan tahan terhadap garam empedu, memiliki aktivitas antagonis terhadap bakteri patogen serta menempel pada permukaan usus.

Ketahanan terhadap Asam Lambung. Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu isolat untuk dapat menjadi probiotik. Hal ini disebabkan bila isolat tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan manusia, maka ia harus mampu bertahan dari pH asam lambung yaitu sekitar 2,5 (Jacobsen et al. 1999). Getah lambung terdiri atas air (97–99%), musin (lendir) serta garam anorganik, enzim pencernaan (pepsin serta renin) dan lipase. Chou dan Weimer (1999) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan mulai saat bakteri masuk sampai keluar dari lambung sekitar 90 menit. Jadi isolat yang diseleksi untuk digunakan sebagai probiotik harus mampu bertahan dalam keadaan asam lambung selama sedikitnya 90 menit.

BAL adalah mikroorganisme fermentatif yang dapat hidup pada kisaran pH yang luas. Pertahanan utama sel bakteri dari lingkungannya adalah membran

seluler yang terdiri atas struktur lemak dua lapis. Bila sel bakteri terpapar pada kondisi yang sangat asam, maka membran sel dapat mengalami kerusakan dan berakibat hilangnya komponen-komponen intraseluler, seperti Mg, K dan lemak dari sel. Biasanya kerusakan ini menyebabkan kematian pada sel. Kondisi ini dapat dideteksi dengan cara mengukur konsentrasi komponen intraseluler yang keluar dari dalam sel.

Toleransi BAL yang cukup tinggi terhadap asam juga disebabkan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Bagi BAL gradien proton yang besar tidak menguntungkan sebab translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut.

BAL tidak hanya tumbuh dengan lambat pada pH rendah, tapi kerusakan akibat asam dan hilangnya viabilitas juga dapat terjadi pada sel bakteri yang terpapar pada pH rendah. Tiap galur memiliki ketahanan yang berbeda terhadap asam atau pH rendah. Contohnya Lactobacillus lebih toleran terhadap pH rendah daripada laktokoki dan streptokoki. Zavaglia et al. (1998) telah menguji ketahanan isolat klinis Bifidobacteria bila terpapar pada pH 3,0 selama 1 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 11 dari 25 isolat klinis Bifidobacteria berhasil hidup dalam kondisi pH rendah, dengan ketahanan lebih besar dari 1%. Jacobsen et al. (1999) menguji ketahanan 47 isolat BAL dari berbaga i sumber pada pH 2,5. Dari 47 isolat tersebut hanya 29 isolat yang mampu bertahan pada pH 2,5 dan tidak ada satupun yang mampu tumbuh setelah inkubasi 4 jam. Chou dan Weimer (1999) menyeleksi 7 isolat Lactobacillus acidophilus dan hasilnya menunjukkan bahwa semua isolat tahan terhadap pH 3,5 selama 90 menit.

Isolat BAL dari dadih yang berhasil diisolasi oleh Elida (2002) ternyata menunjukkan ketahanan yang cukup tinggi saat dipaparkan pada pH 3,5 selama 24 jam. BAL yang diisolasi dari dadih tersebut (Lactobacillus brevis ae4, Streptococcus lactis subsp. diacetylactis abk1, Leuconostoc mesenteroides abk1 dan Leuconostoc paramesenteroides dk7) memiliki ketahanan terhadap asam

berkisar antara 70-90 % dengan penurunan sebesar 1 log dari jumlah awal 108 CFU/ml. Sedangkan isolat BAL dari tempoyak mempunyai ketahanan yang lebih rendah yaitu sebesar 40 % pada pH 2,5 yang berarti bahwa BAL yang diisolasi dari tempoyak tersebut lebih sensitif terhadap asam (Wirawati 2002).

Kusumawati (2002) melakukan seleksi BAL asal makanan fermentasi Indonesia dan hasilnya menunjukkan hampir semua isolat memiliki ketahanan yang baik untuk tumbuh pada pH rendah dengan penurunan jumlah koloni pada pH rendah dibandingkan kontrol tidak sampai 1 unit log/ml, kecuali Lactobacillus p lantaru m FNCC 107 mengalami penurunan 1,1 unit log/ml. Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis BAL yang diisolasi dari feses bayi. Dari 17 isolat ternyata terdapat 13 yang mengalami penurunan jumlah koloni kurang dari 1 unit log/ml (paling resisten) , sedangkan 4 isolat lainnya mengalami penurunan jumlah koloni antara 1,5 – 3,5 unit log/ml (resisten).

Ketahanan terhadap Garam Empedu (Bile Salt). Lactobacillus adalah mikroflora normal yang terdapat di dalam saluran pencernaan manusia dan mempunyai ketahanan yang bervariasi terhadap garam empedu. Ketahanan isolat klinis BAL terhadap garam empedu juga merupakan syarat penting untuk probiotik.

Asam empedu disintesis dalam hati dari kolesterol, menghasilkan senyawa asam empedu primer. Asam empedu ini berkonjugasi dengan glisin atau taurin dan disekresikan ke dalam kantung empedu sebagai asam empedu terkonjugasi. Asam empedu di dalam kantung empedu dilepaskan ke dalam lumen duodenum dalam bentuk misel dengan asam lemak dan gliserol yang dihasilkan oleh pence rnaan lipase pankreatik. Menurut Corzo dan Gilliland (1999), antara 5.500 sampai 35.500 mg asam empedu terkonjugasi disekresikan ke dalam usus kecil manusia setiap harinya untuk membantu absorpsi lemak makan, kolesterol, vitamin hidrofobik dan senyawa larut lemak yang lain. Asam empedu terkonjugasi diserap dari usus kecil (sekitar 97%) dan dikembalikan ke dalam hati. Sebagian kecil dari asam empedu (250–400 mg) yang tidak terserap hilang dari tubuh manusia sebagai asam empedu bebas di feses. Mekanisme di ma na asam empedu diserap dalam usus kecil dan kolon, disintes is kembali dan disekresikan lagi dikenal sebagai sirkulasi hepatik.

Laktobasili yang paling bersifat resisten terhadap garam empedu terdapat pada bagian atas usus halus (jejunum). Hal ini juga dila porkan oleh Ray (1996) dan Drouault et al. (1999), bahwa jumlah BAL yang terdapat di jejunum lebih rendah dibanding ileum, caecum dan kolon (Tabel 1). Hal ini disebabkan konsentrasi garam empedu pada bagian jejunum paling tinggi daripada ileum, karena lokasinya paling dekat bila garam empedu masuk ke dalam saluran usus.

Tabel 1 Populasi kelompok bakteri utama pada usus manusia (Ray 1996) Jumlah bakteri (log10 CFU/ml) Kelompok Bakteri

Jejunum Ileum Kolon Feses

Lactobacillus

Gram positif, tidak berspora, anaerob 3 2 5 2 6 5 6 6 Enterococcus 3 5 7 7 Bacteroides 3 3 7 9 Enterobacteriaceae 3 4 6 8

Menurut Smet et al. (1995) beberapa Lactobacillus mempunyai enzim dengan aktivitas untuk menghidrolisis garam empedu (bile salt hydrolase, BSH). Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisika-kimia yang dimiliki oleh garam empedu, sehingga tidak bersifat racun bagi BAL. Semakin tinggi konsentrasi garam empedu, maka jumlah sel Lactobacillus yang mati juga akan meningkat (Ngatirah et al. 2000 ; Kusumawati 2002). Hal ini disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim β-galaktosidase terhadap garam empedu, sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel. Bila permeabilitas membran sel meningkat maka banyak materi intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bila hal ini berlangsung terus-menerus akan menyebabkan lisis sel bakteri.

Kusumawati (2002) melaporkan bahwa isolat BAL yang diisolasi dari makanan fermentasi asal Indonesia menunjukkan perbedaan ketahanan untuk tumbuh pada lingkungan yang mengandung garam empedu 1% dan 5% , dimana perbedaan tersebut bersifat beragam untuk masing-masing galur. Pada konsentrasi 1%, Lactobacillus acidophilus FNCC 116 memiliki selisih log yang terkecil yaitu

0.73 unit log/ml dan pada konsentrasi 5% Lactobacillus plantarum To22 (isolat tempoya k) memiliki selisih log yang terkecil yaitu 0.68 unit log/ml, dimana hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan beberapa galur yang lain.

Menurut Wirawati (2002), ketahanan isolat BAL asal tempoyak terhadap garam empedu 0.3% berkisar antara 34.8% - 100%. Berdasarkan kisaran tersebut terlihat bahwa isolat BAL asal tempoyak relatif tahan terhadap garam empedu. Bahkan L.plantarum To 8 tidak menunjukkan penurunan selama inkubasi 24 jam. Evanikastri (2003) menguji ketahanan 17 isolat klinis bakteri asam laktat terhadap garam empedu 0.5%. Hasilnya menunjukkan bahwa Lactobacillus G1 mempunyai ketahanan yang baik terhadap garam empedu kemudian disusul berturut-turut oleh F1, G2, M, Kk, Nkp, En6, K, F2 dan Ae1 (penurunan log < 1.0 cfu/ml). Lactobacillus N merupakan isolat yang paling sensitif terhadap 0.5% garam empedu.

Enkapsulasi

Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusa n (coating) suatu bahan. Bahan yang dibungkus atau bahan yang ditangkap umumnya disebut sebagai bahan inti atau bahan aktif atau bahan internal. Zat-zat yang terkurung di dalam mikrokapsul dapat berwujud padat, cair atau gas dengan sifat permukaan hidrofilik atau hidrofobik. Struktur yang menyelimuti bahan mikrokapsul disebut dinding, kulit atau film pelindung yang berguna untuk melindungi inti dari kerusakan dan inti dapat terlepas pada saat kondisi yang memungkinkan (Young et al. 1993).

Mosilhey (2003) mendefinisikan enkapsulasi sebagai teknologi pengemasan zat padat, cair atau gas dalam kapsul berukuran kecil yang dapat melepaskan isinya dalam lingkungan tertentu. Mikrokapsul ini dapat berukuran dari submikron hingga beberapa milimeter dan memiliki berbagai bentuk tergantung pada bahan dan metode yang digunakan untuk membuatnya. Secara umum, mikrokapsul memiliki kemampuan untuk memodifikasi dan meningkatkan bentuk dan sifat substansi. Bahkan lebih spesifik, mikrokapsul memiliki kemampuan untuk mengawetkan substansi dan melepaskannya ketika diperlukan.

Enkapsulasi produk pangan telah lama diaplikasikan pada berbagai bahan tambahan pangan (BTP). Proses enkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipid, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, warna dan garam (Risch 1995).

Enkapsulasi dapat dilakukan pada bakteri, yang bertujuan untuk memberikan kondisi yang mampu mempertahankannya dari kondisi yang tidak menguntungkan seperti panas dan bahan kimia (Frazier & Westhoff, 1998). Keuntungan dari proses enkapsulasi antara lain menurunkan reaktivitas bahan inti dengan lingkungan luar (misalnya: cahaya, oksigen, dan air), menurunkan laju evaporasi atau transfer bahan inti ke lingkungan luar, mempermudah penanganan bahan inti, mengendalikan pelepasan bahan inti untuk mencapai penundaan yang tepat, menyembunyikan rasa bahan inti, dan melarutkan bahan inti jika digunakan dalam jumlah yang sangat kecil, namun tetap mencapai penyebaran yang merata dalam bahan pembawanya.

Metode Enkapsulasi

Spray Drying. Spray drying merupakan teknologi yang sangat dikenal dalam industri pangan yang memiliki laju produksi tinggi dan biaya operasional yang rendah. Metode ini umum digunakan untuk membuat tambahan pangan yang kering, stabil dan memiliki volume kecil. Selain itu spray drying digunakan juga untuk mengawetkan dan mengkonsentrasikan mikroorganisme. Namun mikroorganisme rentan terhadap panas dan kerusakan dehidrasi selama spray drying. Karenanya, survival mikroorganisme harus mendapat banyak perhatian jika spray drying dilakukan untuk membuat kultur kering mikroba (Lian et al. 2002 dan Mosilhey 2003).

Proses spray drying mengubah masukan berupa cairan emulsi atau pembentuk fase dispersi menjadi produk kering. Cairan kemudian diubah menjadi bagian-bagian yang sangat kecil dengan menggunakan roda yang berputar dan menyemburkan butiran yang langsung kontak dengan aliran udara yang panas (atomisasi dengan sejumlah udara panas). Waktu kontak antara udara pengering dengan droplet di dalam ruangan pengering berlangsung sangat singkat, hanya

beberapa detik saja sehingga sedikit sekali kemungkinan terjadinya degradasi karena panas (Filkova dan Mujumdar 1995).

Lian et al. (2002) menyatakan bahwa pada semua perlakuan bahan enkapsulasi, spray drying menghasilkan pengurangan Bifidobacteria dengan reduksi populasi sekitar 1,0-2,0 log/g berat kering. Tanpa melihat strain dan bahan enkapsulasi, mikrokapsul yang dihasilkan mengandung Bifidobacteria dengan jumlah populasi sekitar 109-1010 cfu/g berat kering. Mosilhey (2003) juga melaporkan bahwa spray drying dengan berbagai bahan enkapsulasi menyebabkan penurunan sel L. acidophilus sekitar 1,0-2,0 log/g berat kering. Mikrokapsul yang dihasilkan setelah spray drying mengandung L.acidophilus dengan populasi sekitar 108-109 cfu/g berat kering, memenuhi jumlah untuk digunakan sebagai probiotik. Begitu pula yang dilakukan Harmayani et al. (2001) dengan metode spray drying untuk pengawetan kultur Lactobacillus sp diperoleh viabilitas sel dari 1011 cfu/ml menjadi 108 cfu/g.

Freeze Drying. Freeze drying atau pengeringan beku merupakan pengeringan yang terbaik untuk mencegah terjadinya perubahan kimia dan meminimumkan kehilangan nutrien selama proses pengeringan berlangsung, tetapi freeze drying memiliki kekurangan yaitu alatnya sangat mahal, proses kerjanya lama, dan memerlukan biaya besar untuk operasionalnya (Filkova dan Mujumdar 1995). Pengawetan kultur bakteri dengan metode freeze drying akan menghasilkan viabilitas sel yang lebih baik. Johnson dan Etzel (1995) menyatakan bahwa dengan proses freeze drying diperoleh viabilitas sel L.helveticus sebesar 1010 cfu/ml dari jumlah awal 1012 cfu/ml. Demikian pula Harmayani et al. (2001) melakukan pengawetan Lactobacillus sp dengan metode freeze drying diperoleh viabilitas selnya dari 1011 cfu/ g dari jumlah awal 1013 cfu/ ml.

Proses freeze drying menggunakan bahan-bahan kriogenik yang melindungi bakteri dari kerusakan selama pengeringan beku. Bahan pangan yang diawetkan dengan freeze drying biasanya membentuk struktur porous yang memungkinkan bahan untuk direhidrasi kebentuk semula dengan cepat, sehingga bahan pangan harus dilindungi agar tidak mengabsorbsi uap air dari udara. Walaupun prinsip keseluruhan kerja dari bahan kriogenik tersebut belum begitu jelas tetapi efektivitasnya cukup terbukti (Johnson dan Etzel 1995).

Bahan Enkapsulasi

Penggunaan bahan enkapsulasi (coating) perlu diperhatikan, karena bahan-bahan tertentu belum tentu cocok dengan bahan-bahan jenis lainnya. Menurut Swaisgood (1991) penggunaan bahan enkapsulasi biasanya berupa hidrokoloid yaitu polimer rantai panjang dengan berat molekul yang tinggi, dapat larut atau terdispersi didalam air, be rfungsi sebagai pengental dan memberikan efek membentuk gel. Menurut Young et al. (1993) untuk bahan-bahan yang menggunakan metode spray drying maka bahan enkapsulasi tersebut harus memperlihatkan kemampuan kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan mengemulsi, dapat membentuk lapisan film, kemampuan mengering dan menghasilkan konsentrat larutan dengan viskositas yang rendah. Swaisgood (1991) menyimpulkan bahwa penggunaan bahan enkapsulasi yang banyak digunakan umumnya adalah pati modifikasi, gum arabik, karagenan, alginat, walaupun bahan-bahan lain juga dapat digunakan.

Metode enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas bakteri probiotik dibandingkan dengan sel bebas tanpa enkapsulasi. Enkapsulasi dengan alginat dapat digunakan dan aman untuk melindungi bakteri probiotik saat berada dalam saluran pencernaan (Chandramouli et al. 2003).

Penelitian telah menunjukkan bahwa kalsium alginat melindungi kultur lebih baik yang ditunjukkan dengan peningkatan survival bakteri, di bawah kondisi pengujian yang berbeda-beda dibanding ketika bakteri diuji tanpa dienkapsulasi (Sultana et al. 2000).

Gum arab merupakan hidrokoloid yang dihasilkan dengan eksudasi alami dari pohon akasia dan merupakan bahan enkapsulasi efektif karena memiliki kelarutan air yang tinggi, viskositas yang rendah dan larutan terkonsentrasi relatif terhadap hidrokoloid lainnya dan memiliki kemampuan untuk berperan sebagai emulsifier minyak dalam air. Gum arab terdiri dari susunan banyak cabang dari gula sederhana galaktosa, arabinosa, ramnosa dan asam glukoronat dan juga mengandung sedikit komponen protein (2%) yang terikat secara kovalen dalam susunan molekulnya (Mosilhey 2003) .

Gum arab merupakan hidrokoloid yang sangat mudah larut dalam air panas maupun air dingin, membentuk larutan dengan viskos itas rendah, akan tetapi tidak larut pada alkohol dan pelarut organik lainnya. Gum arab digunakan secara luas

pada industri makanan dan farmasi. Karakteristik utamanya adalah bersifat pembentuk tekstur, pembentuk film, pengikat dan pengemulsi. Gum arab dapat mempertahankan flavor dari makanan yang dikeringkan dengan metode spray drying karena gum ini dapat membentuk lapisan yang dapat melindungi dari oksidasi, absorbsi dan evaporasi (Thevenet 1995). Karena sifat viskositasnya yang rendah dan tidak adanya rasa dan warna, maka gum arab dapat ditambahkan dalam jumlah tertentu tanpa mengganggu sifat organoleptik produk pangan dimana gum arab ditambahkan.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2004 sampai dengan April 2005, di Laboratorium Biosistematika dan Genetika Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berlokasi di dalam Kebun Raya Bogor; Laboratorium Scanning Electron Microscope (SEM) Bidang Zoologi LIPI Cibinong; Laboratorium Layanan Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB); Pilot Plant SEAFAST (Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology) Center, IPB.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan untuk enkapsulasi adalah susu skim (Oxoid), dan gum arab (Oxoid). Medium yang digunakan untuk pembuatan stok kultur adalah medium Glucose Yeast Peptone (GYP) yang berisi antara lain glukosa 10 g, ekstrak khamir 10 g, bacto pepton 5 g, ekstrak daging sapi 2 g, Na asetat H2O 1,4 g, larutan garam 5 ml, tween 80 10 ml, dan H2O 1000 ml. Uji ketahanan terhadap asam menggunakan media GYP, NaCl 0,85% steril dan HCl. Uji ketahanan terhadap garam empedu menggunakan media GYP, NaCl 0,85% steril dan oxgall (Oxoid). Bahan lain yang digunakan adalah Phosphat Buffer Saline (PBS) dan alkohol.

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah BUCHI mini spray dryer, Scanning Electron Microscope (SEM ), sentrifus suhu rendah (refrigerated), refrigerator, otoklaf, waterbath, laminar air flow, inkubator, neraca digital, pH-meter, magnetik stirer, vortex, mikropipet, alat gelas, ose dan bunsen.

Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan sebanyak sepuluh isolat yang berpotensi probiotik, yaitu L. plantarum mar8, L. plantarum dmnd, L. plantarum s4, L. plantarum sgn4, L. plantarum p8, L. plantarum lac3, L. plantarum d4, L. plantarum pdgn3, L. plantarum pdbn6 yang diperoleh dari Laborator ium Mikrobiologi Puslit Biologi LIPI Bogor dan L. plantarum sa28k dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Semua isolat tersebut telah berpotensi sebagai probiotik berdasarkan sifat-sifat antimikroba serta ketahanan terhadap asam dan garam empedu.

Pelaksanaan Penelitian

Secara garis besar penelitian terdiri dari beberapa tahap, meliputi seleksi probiotik tahan panas, produksi biomasa dan suspensi, enkapsulasi probiotik dan analisis.

Persiap an dan Pengawetan Probiotik

Pemurnian dan peremaja an dilakukan untuk memperoleh kultur murni dari probiotik, menggunakan metode Harmayani et al. 2001 dengan modifikasi pada media yang digunakan. Semua probiotik dimurnikan lebih dahulu dengan metode goresan kuadran yang diulangi beberapa kali sampai diperoleh koloni terpisah dengan menggunakan media GYP. P robiotik yang telah dimurnikan, disegarkan dan diperbanyak. Kultur stok dalam agar GYP disimpan pada suhu rendah (suhu 4-5 oC).

Seleksi Probiotik Tahan Panas

Pengujian ketahanan panas merupakan kriteria seleksi untuk memperoleh probiotik yang paling tahan terhadap panas, menggunakan metode tabung (Murhadi 1994) dengan sedikit perubahan yaitu media yang digunakan GYP dan

suhu yang digunakan 100 oC. Dar i sepuluh probiotik yang ada, akan dipilih dua probiotik terbaik yang akan dienkapsulasi.

Perbanyakan probiotik pada medium cair GYP dilakukan dengan menginokulasikan probiotik ke dalam 10 ml media GYP cair steril lalu diinkubasi pada 37 oC selama 24 jam, dan dihitung jumlah awal bakteri sebelum perlakuan pemanasan.

Pengujian dilakukan dengan cara tabung reaksi yang berisi 4,5 ml media GYP cair dipanaskan dalam penangas air sampai bagian dalam media mencapai suhu 100 oC. Pengukuran suhu dilakukan dengan mencelupkan termometer langsung ke tabung kontrol. Sebanyak 0,5 ml suspensi probiotik uji dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok dengan alat vortex 2-3 detik dan segera dimasukkan ke dalam penangas air selama 1 menit. Setelah pemanasan dilakukan pemupukan pada 37 oC selama 24 jam dan dihitung jumlah koloni untuk masing-masing probiotik . Ketahanan panas probiotik dihitung dengan rumus :

Ketahanan (%) = x 100%

Produksi Biomasa dan Suspensi Probiotik

Dua probiotik dengan ketahanan panas tertinggi yang telah ditumbuhkan pada agar miring GYP, ditumbuhkan kembali pada media GYP cair selama 24 jam pada suhu 37 oC, yang selanjutnya digunakan sebagai kultur antara. Sebanyak 10 ml kultur antara ditumbuhkan pada GYP cair 1000 ml (1:100) yang digunakan untuk produksi biomasa. Selanjutnya biomasa dipanen dengan cara sentrifugasi (5000xg) selama 10 menit pada 4 oC, dan dicuci dua kali dengan buffer fosfat (Harmayani et al. 2001).

Dua probiotik dengan ketahanan panas tertinggi, ditumbuhkan kembali pada media 10% susu skim cair steril selama 24 jam pada suhu 37 oC, yang selanjutnya digunakan sebagai kultur antara. Sebanyak 2,5 ml kultur antara dimasukkan ke dalam 250 ml larutan susu skim 10% steril (b/v), kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC (Yulianto 2004) .

Log jumlah sel setelah pemanasan/ml Log jumlah sel sebelum pemanasan/ml

Probiotik terpilih (2 isolat)

Mikrokapsul Probiotik

Gambar 1 Diagram alir enkapsulasi probiotik dengan metode spray drying

Enkapsulasi Probiotik dan Spray Drying

Kultur probiotik yang digunakan sebelum dienkapsulasi adalah dalam bentuk biomasa dan suspensi. Biomasa yang diperoleh diresuspensikan ke dalam akuades steril dan dienkapsulasi dengan susu skim, gum arab serta campuran susu skim dan gum arab. Perbandingan biomasa dan bahan enkapsulasi yang digunakan adalah sebesar 3:7 (b/b) (Lian et al. 2002).

Probiotik dalam bentuk suspensi yang telah ditumbuhkan dalam susu skim 10% (b/v) langsung dikeringkan dengan spray dryer, kemudian selanjutnya

Seleksi Probiotik Tahan Panas

Produksi Biomasa dan Suspensi

Enkapsulasi dan Spray drying (skim, gum arab dan skim-gum arab)

Penyimpanan pada suhu rendah (4 oC) dan suhu kamar

suspensi dienkapsulasi dengan gum arab dengan perbandingan 1:1 (b/b) (Yulianto 2004).

Kombinasi perlakuan enkapsulasi adalah sebagai berikut : biomasa - susu skim, biomasa - gum arab, biomasa - susu skim - gum arab, suspensi - susu skim dan suspensi - susu skim - gum arab. Campuran dihomogenisasi, kemudian dikeringkan dengan BUCHI mini spray dryer pada suhu inlet 100 oC dan suhu outlet 50 oC.

Penyimpanan Mikrokapsul Probiotik

Probiotik yang sudah dienkapsulasi (mikrokapsul) dimasukkan ke dalam botol steril dan disimpan pada suhu rendah (4 oC) dan suhu kamar selama satu bulan untuk pengujian viabilitas probiotik.

Analisis Ketahanan Probiotik Selama Spray Drying

Uji ketahanan probiotik selama spray drying dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses spray drying dan bahan enkapsulasi terhadap jumlah probiotik yang masih tetap bertahan hidup. Ketahanan probiotik ditentukan dengan membandingkan jumlah sel sesudah pengeringan semprot dan jumlah sel sebelum pengeringan semprot. Untuk penghitungan kuantitatif jumlah probiotik dilakukan dengan metode plate count (Lian et al. 2002)., yaitu probiotik yang dienkapsulasi

Dokumen terkait