mari kita selalu berusaha untuk menjadi pioneer dalam kerukunan.
Ketegangan antara umat beragama da- pat dipicu dengan beberapa sebab :
Antara lain pertama dikarenakan pemeluk agama kurang mampu men- gendalikan diri untuk menghargai dan
menghormati serta memandang rendah
selain agama yang dianutnya, kedua
tidak mampu mengendalikan toleransi
antar umat beraganma, ketiga mem-
punyai pengertian dalam menghadapi
masalah perbedaan, ke empat biasanya kurangnya pengetahuan tentang agama yang di peluknya sendiri, kelima mem- punyai rasa curiga kepada agama yang lain keenam semua membawa sifat mengandung misi dakwah.
Toleransi tidak dapat diartikan men-
gakui kebenaran semua agama dan tidak pula dapat diartikan kesediaan untuk mengikuti ibadat-ibadat keagamaan lain.
Toleransi berbeda dengan komfromisme, Komfromisme adalah menerima apa saja yang dikatakan orang lain asal bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan, atau saling memberi dan Menerima demi terwujudnya kebersamaan Toleransi da-
pat diartikan sebagai sikap menenggang,
membiarkan, membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, yang dimiliki seseorag atas yang lainnya.Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain.
Namun begitu, konflik bernuansa agama
masih tetap ada dan belum tersele-
saikan. Kasus Ahmadiyah dan konflik
di Sampang adalah pengingat bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan berat dalam mewujudkan kerukunan umat beragama. Menjembatani per- bedaan antara liberalisme dan radika- lisme agama pun menjadi tantangan
bagi pemerintah, yang mana jika tidak
diselesaikan dapat menimbulkan bom waktu di masa mendatang.
Kata “ pluralisme” diterjemahkan da- lam berbagai interpretasi. Interpretasi popular dari john Hick mengenai plu- ralisme ini adalah anggapan bahwa kebenaran merupakan satu hal yang
kolektif di antara semua agama, dan
seluruh agama bisa menjadi sumber keselamatan, kesempurnaan dan keagun- gan bagi para penganutnya.
Nurchalis Madjid berpendapat bahwa
pluralism tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,yang hanya meng- gambarkan kesan pragmentasi, bukan plu-
ralisme. Pluralisme juga tidak bisa dipahami sekedar “kebaikan negative” yang hanya untuk menyingkirkan kesan fanatisme.
Bahkan pluralisme juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Interpretasi lain tentang pluralisme tersorot kepada dimensi social kehidupan
beragama. Artinya, segenap penganut
agama bisa hidup berdampingan secara damai dalam sebuah masyarakat serta saling menjaga batas-batas dan hak masing-masing.
Menurut pendapat Ali Rabbani, plural- ism agama yang bisa diterima adalah pluralism kehidupan bersama secara rukun. Masing –masing meyakini kebe- naran berada di pihaknya. maka kedzali-
man aqiqah kita akan goyah.
Kebersamaan hidup antara orang islam dengan non muslim telah dicontohkan
oleh Rasulullah ketika beliau dengan para
sahabat mengawali hidup di Madiah setelah hijriah. Rasulullah mengikat perjanjian penduduk Madinah yang
terdiri dari orang-orang kafir dan muslim
untuk saling membantu dan menjaga keamanan kota Madinah dari gang- guan musuh. Rasulullah juga pernah manggadaikan baju besinya kepada orang-orang yahudi.
Kerukunan antar umat beragama di negri ini akan bisa terlaksana dengan baik, bila semua pimpinan agama dan umatnya masing-masing mau menahan diri. Tidak merasa
lebih hebat dari umat lainnya. Namun apabila pemaksaan kehendak dan merasa superior, maka hal itulah yang membuat
tidak rukunnya umat beragama. Bukankah kata rukun itu bermakna ‘satu hati’ untuk saling menghargai dan menghormati
yang lain. (bd)
memberikan layanan atau bantuan untuk meningkatkan kuali- tas mengajar guru di dalam kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa.Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tapi juga untuk pengembangan potensi kualitas guru. Pendapat ini sesuai dengan apa yang dikemu-
kakan Olive bahwa sasaran ( domain ) supervisi pendidikan
ialah mengembangkan kurikulum yang sedang dilaksanakan di madrasah, meningkatkan proses belajar mengajar di madrasah, dan mengembangkan seluruh staf di madrasah.
Permasalahan yang sering muncul kepermukaan bahwa
bagaimana melaksanakan supervisi di lingkungan pendidi-
kan baik di sekolah ataupun di madrasah yang terpenting adalah agar pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif.Suatu sikap yang
menciptakan situasi dan relasi dimana guru-guru merasa aman dan merasa diterima sebagai subjek yang dapat
berkembang sendiri.Untuk itu supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif. Bila demikian, maka prinsip supervisi dilaksanakan sebagaimana dikemukakan Piet Sehartian (2008) adalah :
a. Prinsip Ilmiah : Kegiatan supervisi dilaksanakan ber-
dasarkan data objektif yang diperoleh dalam kenyataan
pelaksanaan proses pembelajaran. Setiap kegiatan supervisi dilaksanakan secara sistematis, terencana, dan kontinu.
b. Prinsip Demokratis : Layanan/bantuan yang diberikan
kepada guru berdasarkan hubungan kemanusiaan yang akrab dan kehangatan sehingga guru-guru merasa aman dalam mengembangkan tugasnya.
c. Prinsip Kerjasama : Mengembangkan usaha bersama
atau menurut istilah supervisi sharing of idea, sharing of experience, memberi support/ mendorong, menstimulasi
guru, sehingga mereka merasa tumbuh bersama.
d. Prinsip Konstruksi dan Kreatif : Setiap guru akan termotivasi dalam mengembangkan potensi kreativitas kalau supervisi mampu menciptakan suasana kerja yang
menyenangkan, bukan melalui cara-cara menakutkan. Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, pengawas yang merencanakan dan melaksanakan tugas pengawasannya dengan baik dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah/madrasah binaannya, sebagai bentuk tanggung jawab dan peran pengawas sebagai pen- jamin mutu pendidikan. Kedua, tugas pengawas sekolah/ madrasah harus didukung penuh oleh Kepala Sekolah/ madrasah, guru serta tenaga kependidikan lainnya.(ms)