E. Pemberi Bantuan Hukum
2. Pokrol (Pengacara Praktek)
Tugas dan kedudukan pokrol (pengacara praktek) diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965. Syarat-syarat menjadi pokrol diatur dalam Pasal 3 Peraturan tersebut, antara lain:
a. Warganegara Indonesia;
86
b. Lulus ujian yang diadakan oleh Kepala Pengadilan Negeri tentang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, pokok hukum perdata dan pidana; c. Sudah mencapai usia 21 tahun dan belum mencapai umur 60 tahun; d. Bukan pegawai negeri atau yang disamakan dengan pegawai negeri.
Mereka yang ingin menjadi pokrol sebagai mata pencahariannya harus lulus terlebih dahulu dari ujian yang diselenggarakan oleh Pengadilan Negeri yang bahannya telah disiapkan oleh Pengadilan Tinggi setempat. Permohonan dan pendaftaran ujian pokrol dilakukan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Mereka yang lulus ujian tersebut sebelum menjalankan pekerjaannya harus mendaftarkan diri di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang meliputi tempat kediamannya dan diambil sumpahnya dengan membayar biaya yang ditentukan.
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa perbedaan antara advokat dan pokrol hanyalah tergantung pada pengangkatannya saja sedangkan tugas kewajibannya adalah sama. Tugas dan kewajiban pokrol sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 adalah untuk menegakkan hukum dengan jalan memberi nasihat, mewakili dan/atau membantu seseorang, sesuatu badan atau sesuatu pihak di luar maupun di dalam pengadilan.
Perbedaan lain antara advokat dan pokrol dikemukakan oleh Daniel S. Lev sebagai berikut.
“The only characteristic pokrol bambu share in common is that they do not have law degrees and they cannot call themselves advocates. Beyond this, they are a highly variegated group, disparate in origin, legal knowledge, and profesional style. Like advocates, their primary (but not exclusive) operational focus tends to be the court. They can be roughly classified in order of origin, expertise, and style as follows:
a. The former court official or administrator. Because of his contacts and practical knowledge of judicial procedure, this kind of pokrol is particularly effective and often sought after by enterprising advocates offices. Many retired court clerks and some pensioned judges without full law degrees become pokrol; b. The ungraduated law student. The fact that a man once studied
law may win him some clients and he gains experience with each case. Generally, however, he has neither the doctrinal knowledge of the advocate nor the practical knowledge of the former judicial administrator;
c. The amateur (but often highly profesionalized) generalist. More than any other, it is this kind of practitioner who represents this genre of pokrol. He is likely to have begun his career in the inheritance case, say-because of a reputation for clevernessor claimed connections with the right circles. He often has extraordinary personality characteristics, in that he must be willing to face up to high officials. It is this that sometimes makes the pokrol a potential political leader or challenger to political authority in the villages. His awareness of national law occasionally lends him politically advantageous weapons to which other village leaders have little or no access. As an attorney, this kind of pokrol has probably read the procedural code but often does not understand it fully with the result that in court he may develop great nuisance value. Pokrol of this sort will be found drumming up cases in villages and it is not rare for litigants to end up having spent a great deal more sorts of trial work become quiet profesional in time and live entirely from law practice. Occasionally they develop a fine sence of their functions within the legal system, the kind of sence trained advocates are supposed to acquire in law school or apprenticeship.
d. The amateur specialist. This breed became prevalent after the revolution though prototypes probably existed in the colony too. Amateur specialist work with the only one kind of issue, such as minor corruption case. Most of this type of pokrol were the school teachers;
e. The influential or intimidating one-shotter. Litigants sometimes ask powerful relatives or friends –an army officer, a police official, a well known local figure– to represent them in court on the of ten correct assumption that a judge will be cowed or merely favorably impressed.”87
87
Fungsi utama dari pokrol adalah untuk membela di ruang persidangan. Walaupun pokrol ada banyak jenisnya, namun ada satu karakteristik yang sama- sama mereka miliki. Mereka lebih cenderung untuk beroperasi di kelompok- kelompok masyarakat yang terendah dalam lapisan sosial masyakat sehingga mereka lebih dekat dengan masyarakat miskin. Apabila para advokat umumnya berasal dari kalangan elite yang strata sosialnya lebih tinggi dan menempuh pendidikan tinggi, umumnya pokrol malah berasal dari desa-desa kecil. Kebanyakan advokat menangani klien-klien besar sedangkan pokrol menangani sisanya.88 Menurut M. Yahya Harahap, semua perbedaan tersebut berimplikasi pada tarif jasa hukum yang diberikan dimana tarif imbalan jasa pokrol jauh lebih rendah dibandingkan dengan advokat.89
Namun demikian, seiring dengan bertambah banyaknya sarjana hukum di Indonesia, mulai banyak para ahli hukum yang mempertanyakan keberadaan pokrol. Misalnya, Prof. Subekti mengatakan bahwa sudah tiba waktunya untuk meniadakan ujian-ujian pokrol bagi orang yang bukan sarjana hukum dan menganjurkan agar profesi pengacara diisi oleh orang-orang yang berijazah sarjana hukum dengan mengajukan permohonan kepada Menteri.90
Menindaklanjuti pendapat-pendapat tersebut, maka sewaktu diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, ditentukan dalam Pasal 32 ayat 1 dan 2 bahwa advokat, penasihat hukum, pengacara praktek (pokrol) dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang tersebut mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana
88 Ibid. 89
M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 350.
90
diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Khusus bagi pengangkatan sebagai pengacara praktek yang pada saat Undang-Undang tersebut mulai berlaku masih dalam proses penyelesaian diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Hal ini berarti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, maka istilah “pokrol” tidak lagi dipergunakan dan sebaliknya dipergunakan istilah “advokat”. Demikian pula dengan tata cara pengangkatan serta persyaratannya disesuaikan dengan tata cara pengangkatan dan persyaratan untuk menjadi advokat.