IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN
DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
CYNTHIA WIRAWAN NIM: 100200074
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN
DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
CYNTHIA WIRAWAN 100200074
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh,
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP. 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH, MH
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
NIP. 195102061980021001 NIP. 196012221986031003 Edi Yunara, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.
Penulisan skripsi yang berjudul Implementasi Pemberian Bantuan Hukum
Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
(Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan) ini ditujukan untuk memberikan
informasi kepada para pembaca mengenai keberadaan bantuan hukum cuma-cuma
di Indonesia, pengaturan mengenai bantuan hukum cuma-cuma dalam peraturan
yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, dan bagaimanakah implementasinya
dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Selain itu, penulisan skripsi ini
juga ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana
Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan sehingga penulis
berharap agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran
yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan
lebih sempurna lagi ke depannya.
Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada orang tua penulis, Eddi Toni, yang telah membesarkan, mendidik, dan
sampai pada tingkat Strata Satu. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
saudari tercinta penulis, Natalia, Catherine, dan Myra Wirawan yang selalu
mendukung dan menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini. Tidak lupa
juga dengan keluarga besar penulis, terutama keluarga besar Bapak Nulis
Sembiring, S.H., keluarga besar Ama di Jakarta, dan keluarga Bapak Barus, yang
terus menjaga penulis sejak penulis lahir sampai detik ini dan terus
menyumbangkan waktu dan sumber dayanya dalam mendukung penulis selama
penulisan skripsi ini. Demikian pula penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Glenn Tumewu yang terkasih yang telah mendukung
dan mendorong penulis untuk berjuang dalam setiap keadaan di setiap waktu
hingga titik dimana penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga
dengan berbekal pendidikan yang penulis tempuh selama ini dapat
membahagiakan dan membanggakan mereka.
Tak lupa juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. Syahril
Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K).
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II
5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(USU) yang telah membantu memberikan bimbingan bagi penulis dalam
penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas kebaikan hati dan kesabaran beliau dalam mendengarkan
kesulitan penulis dan memberikan masukan bagi penyusunan skripsi ini.
7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(USU) yang telah membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini
sekaligus membantu penulis selama perkuliahan.
8. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penasihat
Akademik dan Dosen Pembimbing I penulis. Di tengah kesibukan Beliau,
Beliau masih dapat meluangkan waktu untuk mengkaji perkembangan hasil
studi penulis hingga selesai. Demikian pula, Beliau telah mendukung dan
membimbing penulis selama penulisan skripsi ini sampai selesai. Untuk itu,
penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
atas segala bantuan dan dukungan yang telah Beliau berikan kepada penulis
selama ini.
9. Bapak Edi Yunara, S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing II
kasih yang sebesar-besarnya atas ilmu yang telah Beliau bagikan pada saat
perkuliahan dan sewaktu memberikan bimbingan bagi penulisan substansi
skripsi ini. Bagi penulis, Beliau merupakan figur yang teladan, tekun, dan
objektif dalam mendidik mahasiswa. Penulisan skripsi ini tidaklah mungkin
dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan, kritik, dan saran dari Beliau.
10. Prof. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing Klinis Hukum
Perdata atas segala bimbingan Beliau selama klinis hukum perdata.
11. Bapak Abul Khair, S.H., M.Hum, selaku Dosen Departemen Hukum Pidana
dan Dosen Pembimbing Klinis Hukum Pidana atas segala bimbingan dan
kebaikan hati Beliau selama perkuliahan dan klinis.
12. Bachtiar Hamzah, S.H., selaku Dosen Pembimbing Klinis Hukum Tata
Usaha Negara atas segala ilmu dan bimbingan Beliau selama klinis.
13. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum, selaku Dosen Departemen Hukum Pidana
atas segala ilmu yang telah diberikan sehingga menambah pengetahuan
penulis, terutama mengenai Penitentiere Recht.
14. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum, selaku Dosen Departemen Hukum Pidana
atas segala ilmu dan bimbingan yang diberikan selama perkuliahan serta
keramahan hatinya terhadap penulis dan rekan-rekan mahasiswa lainnya.
15. Seluruh Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara (USU) atas segala ilmu yang telah menambah pemahaman
16. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas
segala ilmu yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga terselesainya
penulisan skripsi ini.
17. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
18. Bapak Sukanto Tanoto, atas kemurahan hatinya melalui Tanoto Foundation
telah membantu menyokong penulis secara materi sehingga penulis tidak
putus kuliah dan dapat melanjutkan pendidikan penulis sampai akhir.
19. Bapak Amril, S.H., M.Hum selaku Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan;
Bapak Ismail Lubis, S.H. selaku Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum
Medan; dan Ibu Reni Lorensa selaku Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum
Medan, atas keramahan dan pengetahuan yang telah dibagikan dengan murah
hati kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
20. Reszki Ananias Nadeak, Diana Wijaya, dan Dessy Saida yang merupakan
teman stambuk 2010 dan sekaligus sahabat terdekat penulis yang telah
memberikan banyak dukungan, bantuan, dan motivasi selama penulis
mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
dalam suka maupun duka. Penulis akan selalu mengingat kebaikan hati
mereka.
21. Teman-teman stambuk 2010, yang merupakan teman-teman akrab dan teman
satu klinis penulis, yaitu Anggie Yosephine Sinaga, Ekpi Yossara Simbolon,
Frisdar Rio Marbun, Paul Brena Tarigan, dan Rory Eka Putra. Terima kasih
atas segala pelajaran dan pertemanan yang tetap dijaga bersama.
22. Teman-teman organisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
yaitu Bang Jesaya Syahkata, Bang Anggie, Bang Jeffri, Kak Inggri, Bang
Chrispo, Bang Sastro, Ruth Sonya, Scott, Riswan, dan lainnya yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan membantu
penulis dalam melewati masa-masa yang sulit dalam hidup penulis.
23. Adik-adik junior Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang
telah akrab dan dekat dengan penulis serta membantu memberikan semangat
bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, seperti Yuniarta, Stella,
Samuel, Jaka, Natalia, Tulus, dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu.
24. Segenap Advokat dan Staf Kantor Chow & Associates Law Firm, yaitu
Bapak Gindra Tardy, Bapak Remadiun Siahaan, Ibu Tuti, Pak Razak, Pak
Efendi, Pak Robin, Kak Jane, Kak Ivory, Mbak Nini, Pak Ishu, dan Pak
Hilali, atas ilmu, pengalaman, kesabaran, serta kebaikan hati dalam
membimbing penulis selama mengikuti magang. Penulis merasakan
kehangatan dan kekeluargaan selama bersama mereka.
25. Teman-teman Lifegroup. Terima kasih atas pertemanan yang menyenangkan.
Salam Hormat,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... vii
ABSTRAK... ix
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... B. Perumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Manfaat Penelitian... E. Keaslian Penulisan... F. Tinjauan Pustaka... 1. Bantuan Hukum... 2. Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico/Prodeo)... 3. Bantuan Hukum Struktural... 4. Penerima dan Pemberi Bantuan Hukum... 5. Perkara Pidana... G. Metode Penelitian... 1. Jenis Penelitian... 2. Sumber Data... 3. Teknik Pengumpulan Data... 4. Analisa Data... H. Sistematika Penulisan... 1 9 10 10 11 13 13 15 16 17 20 21 21 21 22 23 24 BAB II KEBERADAAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA... 26
A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia... B. Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya... C. Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Bantuan Hukum... D. Fungsi dan Tujuan Bantuan Hukum... E. Pemberi Bantuan Hukum... 1. Advokat atau Pengacara... 2. Pokrol (Pengacara Praktek)... 3. Fakultas Hukum... 4. Lembaga Bantuan Hukum... 5. Organisasi Advokat... F. Pendanaan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum...
BAB III PENGATURAN MENGENAI BANTUAN HUKUM DALAM BEBERAPA PERATURAN YANG PERNAH DAN MASIH BERLAKU DI INDONESIA... 90
A. Peraturan yang Berlaku Pada Zaman Hindia Belanda... 1. Reglement op de Rechtelijke Organisatie en het Belied der Justitie
(R.O.) Stb. 1847 No. 23... 2. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)Stb. 1941 No. 44... 3. Regeling van de Bijstand en de Vertegenwordiging van Partijen in de Burgerlijke Zaken voor Landraden Stb. 1927 No. 496...
B. Peraturan yang Berlaku Setelah Kemerdekaan…... 1. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor 1 Tahun 1965 tanggal 28
Mei 1965... 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Dicabut Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman)... 3. Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)... 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat jo
Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma... 5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
jo Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum... 90 90 95 98 99 99 101 106 111 114
BAB IV IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN HUKUM MEDAN)... 125 BAB V PENUTUP ... 143
A. Kesimpulan... B. Saran...
143 146
IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN
DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM MEDAN) ABSTRAK
Cynthia Wirawan* Syafruddin Kalo**
Edi Yunara***
Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin penghargaan terhadap hak untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum. Namun, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Seringkali, sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico).
Berdasarkan hal tersebut, batasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimanakah keberadaan bantuan hukum di Indonesia, bagaimanakah pengaturan mengenai bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, dan bagaimanakah implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan, dan metode penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan teknik wawancara.
Keberadaan bantuan hukum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama ada sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, bantuan hukum mulai mendapatkan kepastian dengan lahirnya berbagai peraturan dan lembaga pemberi bantuan hukum. Meskipun demikian, beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku mengenai bantuan hukum tidak mengatur secara khusus prosedur bantuan hukum sampai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang mengatur secara khusus mengenai bantuan hukum. Namun demikian, implementasinya di Kota Medan masih sangat kurang dan perlu ditingkatkan lagi agar pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma dapat terwujud dengan lebih baik.
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan ** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan *** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan
IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN
DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN
HUKUM MEDAN) ABSTRAK
Cynthia Wirawan* Syafruddin Kalo**
Edi Yunara***
Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin penghargaan terhadap hak untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum. Namun, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Seringkali, sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico).
Berdasarkan hal tersebut, batasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimanakah keberadaan bantuan hukum di Indonesia, bagaimanakah pengaturan mengenai bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, dan bagaimanakah implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan, dan metode penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan teknik wawancara.
Keberadaan bantuan hukum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama ada sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, bantuan hukum mulai mendapatkan kepastian dengan lahirnya berbagai peraturan dan lembaga pemberi bantuan hukum. Meskipun demikian, beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku mengenai bantuan hukum tidak mengatur secara khusus prosedur bantuan hukum sampai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang mengatur secara khusus mengenai bantuan hukum. Namun demikian, implementasinya di Kota Medan masih sangat kurang dan perlu ditingkatkan lagi agar pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma dapat terwujud dengan lebih baik.
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan ** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan *** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum
(rechtstaat). Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus
dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.
Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan
lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam
tradisi Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey
dengan sebutan rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang
disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.1
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap
negara hukum yang disebutnya dengan istilah rule of law, yaitu:
1. Supremacy of law;
2. Equality before the law;
1
3. Due process of law. 2
Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut
di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip rule of law yang
dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern.
Bahkan, oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip negara
hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak
(independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin
dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.3
Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara
yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan perlindungan
terhadap hak asasi manusia.4
2 Ibid.
Sebagai negara hukum, Indonesia dalam peraturan
perundang-undangannya menjamin penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,
termasuk hak untuk memperoleh keadilan (access to justice) dan persamaan di
muka hukum (equality before the law). Hal ini diatur secara konstitusional dalam
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyebutkan, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan ditegaskan
kembali dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”
3
Ibid, hlm. 2.
4
Ketentuan tersebut mengindikasikan makna bahwa pemerintah tidak
mengistimewakan seseorang atau kelompok orang tertentu dan
mendiskriminasikan seseorang atau kelompok orang tertentu lainnya. Dengan
demikian, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak yang sama dalam memperoleh
keadilan dan persamaan di muka hukum.
Selaras dengan pemahaman tersebut, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia memberikan jaminan secara konstitusional terhadap golongan
lemah dan miskin yang sekiranya paling rentan terhadap diskriminasi dan
ketidakadilan, yakni dalam Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan
anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya pengaturan ini dalam
konstitusi Negara Republik Indonesia, maka perlindungan terhadap fakir miskin
dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara.
Salah satu perwujudan jaminan perlindungan terhadap keadilan dan
persamaan di muka hukum, terutama bagi fakir miskin, adalah melalui bantuan
hukum cuma-cuma, yang disebut pro bono publico atau prodeo.
Pada dasarnya, hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau
pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi setiap orang dan
merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang.
Keadilan, menurut Aristoteles, harus dibagikan oleh negara kepada semua orang
dan hukum mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai pada semua
orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, mereka harus
diperlakukan sama (audi et alteram partem). Jika orang mampu dapat dibela
publico. Pembelaan ini dilakukan tanpa memperhatikan latar belakang individu
yang bersangkutan, seperti agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata
sosio-ekonomi, warna kulit, dan gender. 5
Jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum sendiri telah diakui secara
internasional dalam Universal Declaration of Human Rights dan International
Covenant on Civil and Political Rights Pasal 16 dan 26 yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.6
Penyediaan bantuan hukum pro bono publico (legal aid) bagi warga
miskin oleh negara sebenarnya telah mempunyai akar sejarah yang panjang.
Konsep ini sudah dikenal sejak zaman Romawi Kuno. Pada masa itu, bantuan
hukum adalah suatu bentuk jasa menolong sesama umat manusia yang berada
dalam kesusahan hukum. Bantuan hukum pada masa itu diberikan oleh Patronus,
yaitu suatu figur tokoh masyarakat yang dihargai sekali oleh masyarakat dimana
masyarakat yang kesusahan datang mengadu dan meminta perlindungan, baik
dalam soal ekonomi, perkawinan, sosial, dan lain-lain. Akan tetapi, motivasi
Patronus dalam memberikan bantuan pada waktu itu tidak bersifat profesional
melainkan untuk merebut sebanyak mungkin pengaruh dan kekuasaan dalam
masyarakat.
Sejak Magna Charta (1215) di Inggris, motivasi pemberian bantuan
hukum tidak lagi didasarkan pada kekuasaan. Di dalam peradilan accusatoir yang
menganut sistem jury, seorang pihak berperkara harus diwakili oleh seorang
5
Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 2.
6
Barrister, yang biasanya adalah putra-putra laki-laki kedua dari kaum bangsawan
yang tidak dapat menggantikan kedudukan dan kekayaan ayahnya karena
merupakan hak anak laki-laki pertama. Anak kedua biasanya mencari karir dalam
angkatan perang atau hukum sebagai the legal profession. Mereka sudah kaya,
tidak butuh uang, hanya butuh kehormatan. Mereka tidak sudi menerima upah,
melainkan harus dalam bentuk honorarium (eereloon).7
Pada abad pertengahan, bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu
(pro bono publico) mendapat pengaruh dari kebiasaan Agama Kristen, yaitu
charity yang merupakan suatu dorongan bagi manusia untuk memberikan derma.
Pada waktu itu, para lawyers yang bekerja dalam profesi bantuan hukum ini telah
menggunakan honor sehingga hanya orang yang mampulah pada akhirnya yang
betul-betul bisa membela kepentingannya. Tetapi orang yang tidak mampu sama
sekali tidak bisa memanfaatkan hukum yang ada pada saat itu. Oleh karena itu,
pada zaman itu, atas dasar motivasi dan faktor charity, nobility (kemuliaan),
chivalry (kstaria), dan juga pandangan-pandangan intelektual yang berkembang,
banyak terjadi perubahan dalam usaha untuk memberikan kesempatan yang sama
pada orang miskin untuk mendapatkan bantuan hukum. Caranya yang ada pada
saat itu ada 2 (dua), yaitu:
1. Advocatus pauparum atau poorman advocates atau advokat bagi orang
miskin. Yang mengangkat mereka adalah gereja, diberi honor atau gaji oleh
gereja asal mereka menolong orang-orang yang miskin di wilayah gereja itu;
7
2. Privileges, yakni pemberian fasilitas-fasilitas tertentu kepada orang miskin,
seperti misalnya boleh beracara di muka pengadilan tanpa membayar.
Pemberian bantuan hukum berdasarkan nilai kemanusiaan tersebut
kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan profesi hukum
sehingga motivasi pemberian bantuan hukum berubah menjadi kedermawanan
profesi, yang pada gilirannya menjadi tanggung jawab profesi (profesional
responsibility).8
Berdasarkan tanggung jawab profesi inilah, mulai banyak bermunculan
organisasi-organisasi bantuan hukum di banyak negara sepanjang abad ke-19. Di
Belanda, misalnya, pada tahun 1889, didirikan Bureau van Consultatie in
Strafzaken di Den Haag yang berlangsung sampai tahun 1916. Di Arnhem juga
didirikan biro yang sama pada tahun 1891. Di Amsterdam juga dibentuk suatu
biro bantuan hukum dari organisasi Toynbee pada tahun 1892 yang dinamakan
Ons Huins. Selama kurun waktu tersebut juga banyak dibentuk biro-biro hukum
perburuhan (Bureaus voor Arbedsrecht) yang didirikan oleh organisasi-organisasi
buruh. Biro-biro tersebut memberikan konsultasi hukum dengan biaya yang
sangat rendah. Selama tahun 1904, biro-biro tersebut telah memberikan 2477
konsultasi hukum. Sebanyak 51 advokat secara sukarela melaksanakan bantuan
hukum, sebatas pada masalah pengendalian konflik. Banyak masalah perburuhan
maupun sewa-menyewa ditangani oleh perorangan menurut inisiatif
masing-masing advokat.
8
Hal yang serupa juga terjadi di negara-negara lain, seperti di Jerman,
Inggris, Amerika Serikat, dan Chili. Organisasi-organisasi bantuan hukum yang
didirikan di negara-negara tersebut diberikan secara cuma-cuma (pro bono
publico) kepada individu ataupun kelompok-kelompok yang lemah dan tidak
mampu secara ekonomi. 9
Sejak terjadinya Revolusi Perancis abad ke-19, pemberian bantuan hukum
mengalami revolusi pula. Pada saat itu mulai banyak bermunculan teori-teori
negara demokrasi. Di antaranya adalah teori kontrak sosial, yaitu bahwa negara
merupakan suatu perwujudan dimana rakyat memberikan kekuasaannya kepada
negara berupa hak-hak tertentu (hak kewarganegaraannya). Sebagai
konsekuensinya, negara berkewajiban untuk, bukan saja melindungi warga
negaranya terhadap sesama warga negara, melainkan juga berkewajiban
mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negaranya, salah
satunya dengan cara memberikan bantuan hukum.10
Pengakuan terhadap konsep bantuan hukum probono yang baru ini
mencapai puncaknya dengan dimasukkannya ketentuan ini dalam Universal
Declaration of Human Rights. Dengan adanya pengakuan terhadap hak untuk
mendapatkan bantuan hukum, maka bantuan hukum tidak lagi dipandang sebagai
suatu perwujduan rasa belas kasihan semata melainkan sebagai suatu hak rakyat
yang harus dilindungi dan dipertahankan oleh negara. Ketentuan ini kemudian
diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional oleh banyak negara di
seluruh dunia, termasuk Indonesia.
9
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum – Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 57, et seq.
10
Hak atas bantuan hukum merupakan non-derogable rights, artinya hak
tersebut bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara
dalam keadaan apapun.11 Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, tidak
hanya ketika menghadapi persoalan hukum di pengadilan. Bantuan hukum dapat
dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, perburuhan, dan
lain-lain. Untuk bantuan hukum dalam perkara pidana dapat diberikan sejak
dilakukannya pemeriksaan di tingkat penyidikan.12
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang
Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, di
Indonesia didominasi oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Lembaga Bantuan Hukum, dan Organisasi-Organisasi Advokat dengan segala
macam keterbatasannya. Sementara negara dan badan-badan peradilan tidak
memberikan perhatian penuh terhadap kurangnya penyediaan bantuan hukum
cuma-cuma ini kepada masyarakat tidak mampu.13
Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum memberikan suatu penegasan terhadap hak warga negara, terutama
masyarakat miskin, untuk memperoleh bantuan hukum, khususnya dalam perkara
pidana, sebagai upaya negara dalam memberikan keadilan dan persamaan di muka
hukum. Namun demikian, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan
dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya
bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Misalnya saja, dalam perkara pidana, sering
11
Siti Aminah, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 34.
12
Daniel Panjaitan, Op. cit., hlm. 51.
13
terjadi sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa
tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh
penasihat hukum secara cuma-cuma, seperti dalam contoh kasus La Noki Bin La
Kede dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 367/K/Pid/1998
tanggal 29 Mei 1998, yang akhirnya bebas demi hukum karena tidak didampingi
oleh penasihat hukum pada saat penyidikan.
Hal tersebut menjadi suatu tantangan bagi Pemerintah Republik Indonesia
dan penegak hukum untuk memberikan suatu jaminan pemenuhan akan
kebutuhan terhadap suatu sarana yang dapat menyediakan perlindungan hukum
terhadap orang miskin atau tidak mampu guna memperoleh kesetaraan di muka
hukum. Salah satu wujud dari hal tersebut adalah dengan adanya pengaturan
mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico).
Dengan adanya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, diharapkan
proses hukum menjadi adil bagi rakyat miskin sehingga mereka dapat
memperoleh kesempatan untuk membela kepentingannya di muka hukum.
Dengan adanya bantuan hukum, diharapkan dapat mencegah perlakuan yang tidak
adil dan tidak manusiawi sehingga tercapai proses hukum yang adil dan
terjaminnya pemenuhan hak konstitusional bagi golongan yang tidak mampu.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Keberadaan Bantuan Hukum Cuma-Cuma di Indonesia?
2. Bagaimanakah Pengaturan Mengenai Bantuan Hukum cuma-cuma dalam
3. Bagaimanakah Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro
Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
Berdasarkan Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui keberadaan bantuan hukum cuma-cuma di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai bantuan hukum cuma-cuma (pro
bono publico) dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pemberian bantuan hukum
cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis.
Hasil penelitian ini berguna sebagai sumbangan referensi bagi kalangan
pemberian bantuan hukum cuma-cuma dalam perkara pidana, khususnya di
Kota Medan.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat luas, terutama bagi
masyarakat miskin yang berperkara yang kurang mengetahui fungsi dan
manfaat dari pemberian bantuan hukum cuma-cuma sehingga mereka
dapat memanfaatkan pemberian bantuan hukum cuma-cuma guna
mendapatkan jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi mereka
apabila mereka berperkara.
b. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran dan motivasi bagi
pemberi bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma
secara berkesinambungan sebagai bentuk pelayanan pada masyarakat.
c. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Pemerintah
Republik Indonesia guna melakukan revisi yang diperlukan terhadap
peraturan perundang-undangan berkaitan dengan bantuan hukum sehingga
dapat lebih mengakomodir kepentingan hukum masyarakat miskin.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan yang berjudul Implementasi Pemberian Bantuan Hukum
Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum
pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
Berdasarkan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan
Pusat Universitas Sumatera Utara serta pada media online yang dilakukan oleh
penulis, maka diketahui bahwa judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh orang
lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun di lingkungan
universitas/perguruan tinggi lain dalam wilayah Republik Indonesia, dan
walaupun ada, substansi pembahasannya berbeda dengan yang dipaparkan dalam
skripsi ini.
Beberapa judul skripsi yang memiliki topik yang sama yang pernah ditulis,
antara lain:
1. Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Bagi Terdakwa
yang Tidak Mampu (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo) oleh Teguh
Triyanto, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.
2. Pelaksanaan Kewajiban Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum
Cuma-Cuma Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma
oleh Eka Purnama Sari, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2009.
3. Tinjauan Kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam Melakukan Bantuan
Hukum Secara Cuma-Cuma (Probono) Terhadap Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum oleh Jonathan Marpaung, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2012.
Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini dapat
ketentuan-ketentuan atau etika penulisan skripsi yang harus dijunjung tinggi bagi
peneliti atau akademisi.
F. Tinjauan Pustaka 1. Bantuan Hukum
Istilah Bantuan Hukum diterjemahkan dari 3 (tiga) istilah, antara lain
Legal Aid, Legal Assistance, dan Legal Service. Ketiga istilah tersebut memiliki
makna yang berbeda.
Pertama, Legal Aid, adalah pemberian jasa di bidang hukum kepada
seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara yang dilakukan secara
cuma-cuma. Bantuan hukum dalam Legal Aid lebih dikhususkan bagi yang tidak
mampu dalam masyarakat miskin. Dengan demikian, motivasi utama dalam
konsep Legal Aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan
dan hak asasi rakyat kecil yang miskin dan buta hukum.
Kedua, Legal Assistance, yang mengandung pengertian yang lebih luas
dari Legal Aid. Legal Assistance merupakan pemberian bantuan hukum, baik
kepada mereka yang tidak mampu secara cuma-cuma maupun kepada mereka
yang mampu dengan menerima pembayaran honorarium.
Ketiga, Legal Service, yang lebih tepat diartikan sebagai pelayanan hukum
ketimbang bantuan hukum. Menurut M. Yahya Harahap, hal ini disebabkan
karena pada konsep dan ide Legal Service terkandung makna:
a. Memberikan bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya
penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang
berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber
dana dan posisi kekuasaan;
b. Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat
yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh
aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang
dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan
yang kaya dan miskin;
c. Di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak
yang diberikan hukum kepada setiap orang, Legal Service dalam
operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan
dengan jalan perdamaian.14
Menurut Abdurrahman, pengertian pelayanan hukum mempunyai banyak
aspek dan sifatnya jauh lebih luas daripada bantuan hukum. Pelayanan hukum
dapat diberikan oleh banyak orang, baik para ahli hukum maupun para penggerak
masyarakat, politisi, pimpinan-pimpinan informal maupun formal. Pelayanan
hukum tidak hanya menyangkut penyelesaian suatu kasus, tetapi juga meliputi
pemulihan hak yang dilanggar dan usaha-usaha untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak penguasa untuk kepentingan golongan
miskin.15
14
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 344.
15
Bantuan hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah bantuan
hukum yang diterjemahkan dari istilah Legal Aid, yaitu pemberian bantuan hukum
kepada masyarakat miskin dan buta hukum secara cuma-cuma/gratis. Pemberian
bantuan hukum secara cuma-cuma ini kemudian disebut Pro Bono Publico dalam
Bahasa Inggris dan Prodeo dalam Bahasa Belanda.
2. Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico/Prodeo)
Bantuan hukum cuma-cuma (Legal Aid/Pro Bono Publico/Prodeo)
mempunyai beragam definisi. Black’s Law Dictionary mendefinisikan bantuan
hukum cuma-cuma sebagai “country wide system administered locally by legal
services is rendered to those in financial need and who cannot afford private
counsel.”
Di sisi lain, The International Legal Aid menyatakan sebagai berikut.
“The legal aid work is an accepted plan under which the services of the legal profession are made available to ensure that no one is deprived of the right to receive legal advice or, where necessary legal representation before the courts or tribunals, especially by reason of his or her lack of financial resources.”16
Menurut Clarence J. Dias, bantuan hukum adalah segala bentuk layanan
oleh kaum profesi hukum guna menjamin agar tidak seorang pun dalam
masyarakat yang terampas haknya untuk menerima nasihat hukum atau
16
memperoleh wakil/kuasa yang akan membela kepentingannya di muka pengadilan
hanya karena tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup (miskin).17
Penjelasan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi
pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan
(yang tidak mampu).
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum menentukan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan
oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan
hukum.
3. Bantuan Hukum Struktural
Yayasan Lembaga Bantuan hukum Indonesia (YLBHI) memberikan
definisi mengenai bantuan hukum struktural sebagai usaha-usaha pengembangan
dialog antara pekerja bantuan hukum di satu pihak dan masyarakat yang miskin
dan tertindas yang harus diperlakukan sebagai mitra YLBHI di pihak lain agar
tercapai pengertian bersama tentang kenyataan adanya ketidakadilan yang dialami
oleh masyarakat miskin dan tertindas sebagai kelompok-kelompok yang terdapat
dalam konteks sosial politik masyarakat Indonesia dan turut serta dalam perbaikan
terhadap keadaan yang tidak adil tersebut sehingga tujuan dari dialog yang
17
dimaksud adalah memformulasikan ukuran-ukuran yang dapat memperbaiki
kondisi-kondisi kemiskinan dan ketidakadilan tersebut.18
Menurut T. Mulya Lubis, konsep bantuan hukum yang struktural mencoba
mengaitkan kegiatan bantuan hukum itu dengan upaya merombak tatanan sosial
yang tidak adil. Jadi sasarannya tidak lagi sekedar membantu individual dalam
sengketa yang dihadapinya, tetapi lebih mengutamakan sengketa yang
mempunyai dampak struktural. Di sini bantuan hukum dijadikan sebagai kekuatan
pendorong ke arah tercapainya perombakan tatanan sosial sehingga kita akan
memiliki pola hubungan yang lebih adil dalam masyarakat.19
Bantuan hukum struktural erat kaitannya dengan pembangunan hukum.
Pembangunan hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh berbagai
kelompok sosial dalam masyarakat untuk mempengaruhi pembentukan,
konseptualisasi, penerapan dan pelembagaan hukum dalam suatu proses politik.20
4. Penerima dan Pemberi Bantuan Hukum
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum menegaskan bahwa penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok
orang miskin. Penerima bantuan hukum menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau kelompok
orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak
18
Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 33.
19
T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 68.
20
dasar tersebut meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan
pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman menggunakan istilah “pencari keadilan yang tidak
mampu” dimana dalam Penjelasan Pasal 56 disebutkan bahwa pencari keadilan
yang tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara
ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk menangani dan
menyelesaikan masalah hukum.
Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum menggunakan
istilah “pemohon bantuan hukum” yang diartikan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai
pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang
yang secara ekonomis tidak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana
ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau
program jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaimana
diatur lebih lanjut dalam pedoman, yang memerlukan bantuan untuk menangani
dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010, Pos Bantuan Hukum adalah ruang
yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan Negeri (Pengadilan TUN dan
Pengadilan Agama) bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan
hukum kepada pemohon bantuan hukum untuk pengisian formulir permohonan
hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan
memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa advokat. Sedangkan yang
dimaksud dengan Advokat Piket berdasarkan Pasal 1 angka 4 adalah advokat
yang bertugas di Pos Bantuan Hukum berdasarkan pengaturan yang diatur di
dalam kerjasama kelembagaan Pengadilan dengan Lembaga Penyedia Bantuan
Hukum.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011,
pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan
Undang-Undang tersebut.
Lembaga Bantuan Hukum merupakan sebuah lembaga yang bersifat
non-profit yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bantuan hukum
kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, terutama masyarakat
yang tidak mampu, buta hukum, dan tertindas.
Pasal 1 angka 13 KUHAP menentukan bahwa penasihat hukum adalah
seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan
undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.
Kata “advokat” berasal dari Bahasa Latin advocare yang berarti, “to
defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.” Sedangkan dalam Bahasa
Inggris, advokat disebut advocate yang berarti, “to speak in favour of or defend by
argument, to support, indicate or recommend publicly.”
Advokat merupakan orang yang berprofesi membela yang diartikan
“One who assists, defends, or pleads for another. One who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal, a counselor. A person learned in the law and duly admitted to practice who assists his client with advice and pleads for him in open court. An assistant, adviser, a pleader of causes.” 21
Deklarasi Montreal merumuskan advokat sebagai, “A person qualified and
authorized to practice before the courts and to advise and represent his clients in
legal matters.”
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 disebutkan
bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa (dan/atau bantuan)
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pokrol (pengacara praktek) adalah mereka yang sebagai mata pencaharian
(beroep) menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak-pihak
yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan advokat.
Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei
1965 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pokrol adalah mereka yang
memberikan bantuan hukum sebagai mata pencaharian tanpa pengangkatan oleh
Menteri Kehakiman dan yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan
tersebut.
5. Perkara Pidana
Apabila terjadi suatu perbuatan pidana, maka berarti muncul perkara
pidana sehingga terhadap orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut harus
21
dijatuhi sanksi pidana setelah diproses sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan 2 jenis penelitian, antara lain:
a. Penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka
sebagai bahan penelitiannya. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali
hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas;22
b. Penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada
kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat. dan
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 sumber data, antara lain:
a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung
dari masyarakat, dalam penulisan ini adalah wawancara.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak
langsung dalam bentuk dokumen atau literatur dan terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
22
1) Bahan hukum primer.
Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai
otoritas yang mengikat dan terdiri dari suatu norma atau kaidah dasar
yang mana yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan bantuan hukum.
2) Bahan hukum sekunder.
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum berupa publikasi
hukum yang bukan bersifat dokumen resmi, meliputi buku teks, jurnal,
pendapat para ahli hukum, dan sumber elektronik.
3) Bahan hukum tersier.
Merupakan bahan hukum penunjang yang pada dasarnya meliputi
bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti bibliografi hukum, direktori
pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus
hukum, dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data
melalui studi pustaka (library research), yaitu dengan meneliti sumber data
sumber-sumber elektronik lainnya; observasi; dan field research berupa wawancara
dengan pihak-pihak yang berperan dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma.
4. Analisa Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat dilakukan dengan cara
melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian memasukkan
pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.
Data yang berasal dari studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak LBH
Medan dan Pengadilan Tinggi Medan kemudian dianalisis berdasarkan metode
kualitatif dengan melakukan:
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum
(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi
terhadap bahan hukum tersebut;
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis,
dalam hal ini yang berhubungan dengan bantuan hukum;
c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan
kemudian diolah;
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau
peraturan perundang-undangan dengan hasil wawancara kemudian
dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang
H. Sistematika Penulisan
Adapun skripsi ini terdiri dari bab-bab yang diuraikan secara terperinci
dan disusun secara hierarki sehingga yang satu dengan yang lainnya saling
berkaitan. Adapun bab-bab tersebut ialah sebagai berikut:
1. BAB I
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan dan
manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
2. BAB II
Bab ini membahas mengenai sejarah bantuan hukum di Indonesia, konsep dan
perkembangan bantuan hukum, ruang lingkup dan jenis-jenis bantuan hukum,
tujuan dan fungsi bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, serta pendanaan
dan tata cara pemberian bantuan hukum.
3. BAB III
Bab ini membahas mengenai pengaturan bantuan hukum dalam beberapa
peraturan yang pernah berlaku pada zaman Hindia-Belanda dan pengaturan
bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang berlaku setelah kemerdekaan,
termasuk di antaranya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
KUHAP dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum.
4. BAB IV
Bab ini membahas mengenai implementasi pemberian bantuan hukum
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan
Hukum.
5. BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek
BAB II
KEBERADAAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA
A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia
Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh masyarakat Barat sejak zaman
Romawi dimana pada waktu itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral
dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk
menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan/atau menerima imbalan atau
honorarium.
Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai
menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis dengan mulai lebih
menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan
kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan dan hingga awal abad ke-20,
bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di
bidang hukum tanpa suatu imbalan.23
Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga
hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Dia baru dikenal di
Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia.
Bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar
dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman
Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda
tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan
kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisatic
23
en het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.24 Dalam peraturan
hukum inilah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat
diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di
Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.25
Pada masa itu, penduduk Indonesia dibedakan atas 3 golongan
berdasarkan Pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling (IS), antara lain:
1. Golongan Eropa.
Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang bukan
Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan
Eropa yang diakui undang-undang.
2. Golongan Timur Asing.
Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan
termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Bumiputera.
3. Golongan Bumiputera.
Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi).26
Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu
menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang
lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik
kolonial, dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumiputera menempati
derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing.
24
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 40.
25
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 2.
26
Pasal 163 Indische Staatsregeling, diakses dari
Perbedaan-perbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi sistem
peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2
(dua) sistem peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan
yang dipersamakan yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk
tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung
(Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang
dipersamakan, yang meliputi: Districtgerecht, Regentschapsgerecht, dan
Landraad.
Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem
peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Untuk
Peradilan Eropa berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara
perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya.
Sedangkan bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch Reglement
(HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya.
Apabila diperbandingkan, maka HIR memuat ketentuan perlindungan
terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab
undang-undang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal
kewajiban legal representation by a lawyer (verplichte procureur stelling), baik
dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Tampaknya hal ini lebih
didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang
bersangkutan di dalam kultur hukum mereka di negeri Belanda. Sedangkan tidak
demikian halnya yang diatur untuk golongan Bumiputera. Pemerintah kolonial
mendapatkan bantuan hukum. Kemungkinan untuk mendapatkan pembela atas
permohonan terdakwa di muka pengadilan terbatas kepada perkara yang
menyebabkan hukuman mati saja sepanjang ada advokat atau pembela lain yang
bersedia.27
Berdasarkan hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa bagi orang-orang
Indonesia pada masa itu kebutuhan akan bantuan hukum belum dirasakan
sehingga profesi lawyer yang berasal dari kalangan Bumiputera tidak
berkembang. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para advokat adalah
orang Belanda.28
Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera
pada tahun 1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda.
Awalnya, pemerintah kolonial tidak mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum
di Indonesia karena ada kekhawatiran apabila Penduduk Hindia Belanda belajar
hukum, mereka akan memahami demokrasi, hak asasi manusia, serta negara
hukum, dan pada akhirnya akan menuntut kemerdekaan. Orang Indonesia yang
ingin menempuh pendidikan hukum harus mempelajarinya di Belanda seperti di
Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah pada tahun 1924, Belanda
mendirikan Reschtschoogeschool di Batavia yang kemudian dikenal sebagai
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
27
Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan.,Op. cit., hlm. 21.
28
Tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro
Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo.29 Di antara
mereka, Mr. Besar Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia
yang membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.30
Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di
negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan
hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut
adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap Penjajah.
Menurut Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, maka walaupun
pemberian bantuan hukum ini berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat
komersiil, namun karena ia bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia
yang pada umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat Belanda, maka hal
ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi
mereka yang tidak mampu di Indonesia.31
Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari
pemberian bantuan hukum. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar
tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan
pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk
berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah
pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian
relatif tidak berubah.32
29
Ibid, hlm. 9, et seq.
30
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 12.
31
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 43.
32
Dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan hukum di Indonesia, Abdurrahman
mengutip pendapat Adnan Buyung Nasution sebagai berikut.
“Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan dengan mengganti konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku 1 (satu) hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR.
“Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.”33
Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan
pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat
mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya
sendi-sendi negara hukum.34
“Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat
Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh
Abdurrahman, menyatakan alasannya sebagai berikut.
33
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 44, et seq. 34
gunanya bantuan hukum dan juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa dan hakim itu sendiri, atau jika ada jalan lain, kepada orang kuat lainnya. Pada saat itu pula banyak advokat meninggalkan profesinya.
“Campur tangan kekuasaan eksekutif pada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas negara hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali. Periode ini kiranya merupakan periode pahit bagi sejarah bantuan hukum di Indonesia.”35
Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat dimulainya
era Orde Baru. Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh
Bambang Sunggono dan Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak
Asasi Manusia, menulis sebagai berikut.
“… Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI yang disusul jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.”
Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada digantinya
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang kembali menjamin
kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh kekuatan
dari luar lainnya dalam segala urusan pengadilan.36
35
Abdurrahman, Op. cit., hlm. 46.
36
Selain itu, dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, untuk pertama
kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan hukum.
Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan
bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Juga
ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak
menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan
penangkapan atau penahanan.37
Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide
untuk mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah
didirikan di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta pada tahun 1940
oleh Prof. Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara
Perdata, yang melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada
rakyat yang tidak mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik
hukum.
Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh
Prof. Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi
hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong
yang disetujui oleh Prof. Sujono Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di
Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya.
Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi Lembaga Konsultasi
Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
37
(LKBH). Selain itu, pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.38
Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu
organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, namun awalnya
perkumpulan-perkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan
organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana para
advokat yang berasal dari Jawa Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat
untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di Jawa Tengah.
Selanjutnya, perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di
daerah-daerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya.
Usaha pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat
sudah lama direncanakan sejak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum
Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli
hukum dan advokat sebagai peserta kongres.
Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I
pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang
mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian dikenal dengan
nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr. Loekman
Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres
nasional para advokat Indonesia.
Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik
Indonesia pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untuk
38
ikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang yang
berhubungan dengan lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres
I/Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh
perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30
Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).39
Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan
Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung
Nasution40, yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan PERADIN
tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970, dan mulai berlaku pada
tanggal 28 Oktober 1970.41 Pada tahun 1980, Lembaga Bantuan Hukum ini
berubah nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).42
Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di
daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan
Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa
kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan ut