Bab 4. Metodelogi Penelitian
5.2. Pembahasan
5.2.1. Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja Agresif
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di STM Raksana Medan terhadap 50 remaja yang berperilaku agresif didata memiliki orang tua dengan pola asuh otoriter sebanyak 43 remaja (86,0%) dan terdapat 7 remaja (14,0%) memiliki orang tua yang berpola asuh demokratis (Tabel 5.3).
Pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua yang berpola asuh otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orang tua yang demikian tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua peraturannya. Orang tua otoritarian meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan baik setiap perkataan atau setiap perintah orang tuanya, setiap anak harus melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orang tuanya (Hidayat, 2009).
Pola asuh orang tua yang otoriter dirasakan remaja seperti membuat batasan diri atau mengekang kebebasan anak untuk mengekspresikan jati dirinya. Remaja cenderung berusaha untuk bisa bebas dan tidak terikat dengan aturan-aturan dan kedisiplinan yang dirasakan menekan dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukadji (1998) bahwa pendidikan disiplin yang otoriter dengan
penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main).
Pola asuh orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas anak (Hurlock, 1993). Data ini juga didukung dari analisis pada tabel 5.2 item pola asuh yang diketahui hasilnya 66,0% orang tua tidak pernah tidak memberikan aturan, 70,0% tidak ramah dan sabar, 68,0% tidak mengajak anak memecahkan masalah, 68,0% tidak memberikan masukan pada anak, 68,0% tidak menyisihkan waktu untuk berkumpul bersama anak, 68,0% tidak pernah tidak menuntut anak melakukan tugas tepat pada waktunya, 72,0% tidak menghargai kemampuan anak. Hal ini menyebabkan pola asuh yang diterapkan orang tua berpola asuh otoriter, dimana hasil studi ini didukung dengan pendapat Santrock (2007) yang menyatakan pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka, dan anak dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku agresif.
Menurut pendapat Ramadhan (2009) bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak. Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat untuk anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Diharapkan orang tua dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak.
Para remaja sangat mengginginkan komunikasi yang hangat dan akrab, keterbukaan dalam menyampaikan setiap aspirasi dan permasalahnnya baik mengenai lingkungan sekolah maupun di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali dan Asori (2009) bahwa keadaan remaja, umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga remaja ingin mencoba-coba, mengkhayal dan merasa gelisah, serta berani melakukan pertentangan jika dirinya merasa disepelekan atau tidak dianggap. Untuk itu, mereka sangat perlu keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang tulus dan empatik dari orang dewasa. Seringkali remaja melakukan perbuatan-perbuatan menurut normanya sendiri karena terlalu banyak menyaksikan ketidakkonsistenan di masyarakat yang dilakukan oleh orang dewasa.
Pola pengasuhan orang tua yang otoriter sangat berpotensi menimbulkan konflik dan perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atausebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap orang tuanya (Rice, 1996). Anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan
dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa bahagia (Baumrind, 1967 dalam Hidayat, 2009).
Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orang tua otoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu tergantung pada orang tuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan kehendak orang tuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang berada dalam asuhan orang tua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dalam hidupnya kelak (Hidayat, 2007).
Menurut asumsi peneliti bahwa pola pengasuhan otoriter yang di terapkan orangtua pada anak remajanya dikarenakan, para orang tua merasa takut anak-anak remajanya terjerumus ke dalam lingkungan dan pergaulan yang negatif, sehingga menganggap bahwa jalan terbaik yang harus di lakukan orangtua yaitu dengan membatasi setiap pergaulan remajanya dengan lingkungan sosialnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Yustinasusi (2010) bahwa pola pengasuhan otoriter diterapkan orang tua dengan mengendalikan anak karena kepentingan orang tua
untuk kemudahan pengasuhan. Anak dinilai dan dituntut untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua, menekankan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun, sedangkan orang tua tidak pernah berbuat salah. Kebanyakan anak dari pola pengasuhan ini melakukan tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman.