POLA ASUH ORANG TUA DAN PERILAKU AGRESIF REMAJA di STM RAKSANA MEDAN
SKRIPSI
Oleh
Theresia Gustina Manalu 091121073
FAKULTAS KEPERAWATAN
PRAKATA
Segala puji dan syukur kepada Tuhan YME yang atas berkat rahmat dan
karunianya memberikan saya motivasi terbesar dalam hidup ini, beserta keluarga
dan para sahabat yang memberikan teladan terindah sehinga saya mampu
melangkah untuk menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Pola Asuh Orang Tua
Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan”.
Penyusunan skripsi ini telah banyak banyak mendapat bantuan, bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu
Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Lufthiani, S.Kep, Ns., sebagai dosen Pembimbing Skripsi dan juga
pembimbing akademik yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran serta memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini
dan juga memberi motivasi, semangat, dan dukungan kepada saya selama
proses penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Salbiah S.Kp, M.Kep, selaku dosen Pembimbing Skripsi II yang telah
banyak memberi masukan-masuka n yang bermanfaat bagi skripsi ini.
4. Ibu Jenny Purba, S.Kep, MNS, selaku dosen Penguji yang telah banyak
5. Drs. A. Siagian selaku kepala sekolah STM Raksana Medan yang telah
memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di STM Raksana
Medan.
6. Seluruh dosen Pengajar S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
yang telah banyak memberikan pendidikan kepada saya selama proses
perkuliahan dan staf nonakademik yang membantu memfasilitasi saya secara
administratif.
7. Teristimewa kepada seluruh keluarga saya, kepada Ayahanda P. Manalu,
ibunda tercinta N. Simbolon dan kepada abang saya Ryo T. Manalu, Bob
Richardo Manalu dan Alex Candra S. yang terus memberikan motivasi dan
doa yang tiada henti yang begitu berarti bagi saya.
8. Kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa/i ekstensi stambuk 2009 teristimewa
buat Eridha Nonita Sebayang, Ririn Suwinul Arifin, Herma Lumban Gaol dan
Sarah Damayanti Saragih yang selalu setia mendampingi penulis baik dalam
suka dan duka. Dan tak pernah henti menasehati penulis dan memberi
motivasi untuk belajar dan segera menyelesaikan kuliah dengan baik. Dan
semua teman-teman seperjuangan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan berpartisipasi dalam
penelitian saya.
9. Semua Pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat seluruhnya disebutkan
namanya satu persatu yang telah banyak membantu saya baik dalam
penyelesaian skripsi ini maupun dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas
Semoga Tuhan YME senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat
dari-Nya kepada semua pihak yang telah membantu saya.. Harapan saya semoga
skripsi ini bermanfaat dalam memberikan informasi di bidang kesehatan terutama
keperawatan.
Medan, Januari 2011
DAFTAR ISI
1.4.2. Pendidikan Keperawatan ... 6
1.4.3. Penelitian Keperawatan... 6
Bab 2. Tinjauan Pustaka ... 7
2.3.1. Tahap perkembangan remaja... 17
2.4. Pengertian perilaku ... 19
2.4.1. Ruang lingkup perilaku ... 19
2.5. pengertian perilaku agresif ... 23
2.5.1. Tipe-tipe agresifitas ... 24
2.5.1.1. Agresifitas emosional verbal ... 25
2.5.1.2. Agresifitas fisik sosial ... 25
2.5.1.3. Agresifitas fisik asosial ... 25
2.5.1.4. Agresifitas destruktif ... 25
2.5.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif ... 26
2.5.3. Cara mengatasi perilaku agresif ... 30
Bab 3. Kerangka Konseptual ... 32
3.1. Kerangka Konseptual ... 32
Bab 4. Metodelogi Penelitian ... 35
4.1. Desain Penelitian ... 35
4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 35
4.2.1. Populasi ... 35
4.2.2. Sampel ... 35
4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36
4.4. Pertimbangan Etik ... 37
4.5. Instrumen Penelitian... 38
4.5.1. Kuesioner Data Demografi... 38
4.5.2. Kuesioner Pola Asuh Orang Tua ... 38
4.5.3. Kuesioner Perilaku Agresif Remaja ... 39
4.6. Validitas dan Reabilitas Instrumen ... 40
4.7. Pengumpulan Data ... 41
4.8. Analisa Data... 42
Bab 5. Hasil dan pembahasan... ... 43
5.1. Hasil Penelitian ... 43
5.1.1. Karateristik Responden Penelitian ... 43
5.2. Pembahasan ... 48
Lampiran-lampiran ... 60
1. Formulir Persetujuan Menjadi Responden ... 61
2. Instrumen Penelitian ... 62
3. Konten Validiti Indeks ... 65
4. Reliabilitas Pola Asuh Orang Tua ... 68
5. Reliabilitas Perilaku Agresif Remaja ... 69
6. Data Demografi ... 70
7. Frequency Tabel Pola Asuh Orang Tua ... 72
8. Frequency Tabel Perilaku Agresif ... 76
9. Taksasi Dana ... 79
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Remaja ... 43
Tabel 5.2. Distribusi Frekue nsi Pola Asuh Orang Tua ... 44
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua ... 45
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Perilaku Agresif Remaja... 46
Judul : Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan
Nama : Theresia Gustina Manalu
Nim : 091121073
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun : 2011
Abstrak
Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle adolescence) dengan rentang usia 15-18 tahun. Meningkatnya perilaku agresif tercermin dalam banyaknya kasus tawuran antara pelajar yang meresahkan masyarakat sehingga mengakibat perkelahian dan menimbulkan korban jiwa. Pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak, dan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak. Tujuan penelitian untuk pola asuh orangtua dan perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan tahun 2010. Jenis penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian sebanyak 50 remaja yang berperilaku agresif dari hasil pengambilan data melalui kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Juli Tahun 2010. Analisa data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pola asuh orangtua paling banyak yang otoriter yaitu 86,0%, dan paling sedikit dengan pola asuh permisif yaitu 14,0%. Tindakan otoriter yang paling banyak di sebabkan karena orangtua tidak pernah bersikap sabar dan ramah pada anaknya dan remaja seluruhnya berperilaku agresif (100%).Untuk itu di sarankan bagi para orangtua agar bisa menjalin komunikasi yang baik dan terbuka dengan anaknya, sehingga orangtua mengetahui dan memahami setiap masalah anaknya.
Judul : Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan
Nama : Theresia Gustina Manalu
Nim : 091121073
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun : 2011
Abstrak
Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle adolescence) dengan rentang usia 15-18 tahun. Meningkatnya perilaku agresif tercermin dalam banyaknya kasus tawuran antara pelajar yang meresahkan masyarakat sehingga mengakibat perkelahian dan menimbulkan korban jiwa. Pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak, dan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak. Tujuan penelitian untuk pola asuh orangtua dan perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan tahun 2010. Jenis penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian sebanyak 50 remaja yang berperilaku agresif dari hasil pengambilan data melalui kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Juli Tahun 2010. Analisa data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pola asuh orangtua paling banyak yang otoriter yaitu 86,0%, dan paling sedikit dengan pola asuh permisif yaitu 14,0%. Tindakan otoriter yang paling banyak di sebabkan karena orangtua tidak pernah bersikap sabar dan ramah pada anaknya dan remaja seluruhnya berperilaku agresif (100%).Untuk itu di sarankan bagi para orangtua agar bisa menjalin komunikasi yang baik dan terbuka dengan anaknya, sehingga orangtua mengetahui dan memahami setiap masalah anaknya.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keluarga merupakan sebuah sistem yang digerakkan oleh anggota
berdasarkan asas saling menghormati, menghargai, dan mendukung peran
masing-masing sehingga tercipta sinergi dan keteraturan. Keluarga sebagai sebuah sistem
merupakan tempat seorang remaja membentuk dan mengembangkan kepribadian
dalam karakter. Sebagai contoh, dua orang remaja yang tinggal bersebelahan
rumah namun mempunyai kepribadian dan karakter yang sangat berbeda karena
mereka dibesarkan dengan sistem pola asuh yang berbeda (Surbakti, 2008).
Faktor lingkungan juga memainkan peran yang tidak kecil terhadap
pembentukan kepribadian remaja, jika para remaja bertumbuh di tengah-tengah
lingkungan yang tidak sehat, dapat dipastikan mereka juga akan bertumbuh
menjadi pribadi yang tidak sehat yang selalu menciptakan kekacauan. Sebaliknya,
jika mereka bertumbuh di tengah-tengah lingkungan sosial yang sehat, mereka
juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang sehat yang menciptakan kedamaian
(Surbakti, 2008).
Melalui orang tua anak beradaptasi dengan lingkungan dan mengenal dunia
sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini
disebabkan karena orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi
anak. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan
Di dalam mengasuh anak terdapat pendidikan, sopan santun, membentuk
latihan-latihan tanggung jawab dan sebagainya. Disini peran orang tua sangat
penting, karena secara langsung ataupun tidak orang tua melalui tindakannya akan
membentuk watak anak dan menentukan sikap anak serta tindakanya di kemudian
hari. Masing-masing orang tua tentu mempunyai pola asuh tersendiri dalam
mengarahkan anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan
orang tua, mata pencarian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan
sebagainya (Ramadhan,2009). Dan salah satu faktor yang mempengaruhi
agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak (Hurlock, 1993).
Macam-macam pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung
pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak. Orang tua dapat memilih pola
asuh yang tepat untuk anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan
membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Diharapkan orang tua
dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang
tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak
(Ramadhan, 2009).
Remaja pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga
remaja ingin mencoba-coba, mengkhayal dan merasa gelisah, serta berani
melakukan pertentangan jika dirinya merasa disepelekan atau tidak dianggap.
Untuk itu, mereka sangat perlu keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang
tulus dan empatik dari orang dewasa. Seringkali remaja melakukan
ketidakkonsistenan di masyarakat yang dilakukan oleh orang dewasa/ orang tua
(Ali dan Asroli, 2009).
Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle
adolescence) dengan rentang usia 15- 18 tahun, dimana tanggung jawab hidup
yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja yang mampu memikul sendiri juga
masalah tersendiri bagi remaja madya. Karena tuntutan peningkatan tanggung
jawab tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya tetapi juga dari
masyarakat sekitarnya. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi
remaja, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau
buruk. Akibatnya, remaja ingin sering kali ingin membentuk nilai- nilai mereka
sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di
kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa di
sekitarnya ingin memaksakan nilai- nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa
disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka (Ali dan Asroli, 2009).
Di Amerika Serikat lebih dari 16.000 pembunuhan terjadi setiap tahunnya,
lebih dari 95.000 tindak perkosaan setiap tahun, dan lebih dari 11 juta tindak
kekerasan secara keseluruhan dalam kasus kejahatan saja (U.S. Department of
Justice, 2002). Angka ini belum termasuk kejahatan yang belum dilaporkan
(Soetjiningsih, 2004). Di Amerika Serikat lebih dari 5000 orang dewasa dan
remaja setiap tahun mati karena bunuh diri. 123/100.000 pada kelompok umur ini
yaitu (18,8%) dari seluruh kematian remaja (15-24 tahun).
Tawuran pelajar secara kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat
tawuran hanya sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa
yang jumlahnya mencapai 1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan
dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap biasa. Jumlah korban tewas akibat
tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini
belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah
meresahkan masyarakat dan secara material banyak fasilitas umum yang rusak,
seperti dalam kasus pembakaran atau pelemparan bus umum (Bow, 2008).
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering
terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat
157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan
menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal
13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang
menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban
meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah
perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu
hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Ida Novianti,
2008).
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik/ menganggap penting
untuk meneliti tentang pola asuh orang tua dan perilaku agresif remaja .
1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi pola asuh orang tua pada perilaku agresif remaja di STM
1.2.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
a. Mengidentifikasi pola asuh demokratis orang tua pada remaja di STM
Raksana Medan.
b. Mengidentifikasi pola asuh otoriter orang tua pada remaja di STM
Raksana Medan.
c. Mengidentifikasi pola asuh permisif orang tua pada remaja di STM
Raksana Medan.
d. Mengidentifikasi perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana bentuk pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja di
STM Raksana Medan.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Praktek Keperawatan
Dapat dijadikan sebagai informasi dan bahan pertimbangan bagi praktek
keperawatan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pola asuh orang
tua dan perilaku agresif pada remaja.
1.4.2. Pendidikan Keperawatan
Dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berharga bagi
penelitian di masa mendatang. Selain itu juga menyediakan informasi mengenai
pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja.
1.4.3. Penelitian Keperawatan
Dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan mengenai pola asuh
orang tua dan perilaku agresif pada remaja sehingga memberikan ide selanjutnya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Orang Tua
Orang tua adalah ayah dan ibu adalah figur atau contoh yang akan selalu
ditiru oleh anak-anaknya (Mardiya, 2000).
2.2. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan
bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan
oleh anak dari segi negatif maupun positif (Rusdijana, 2006).
Di dalam kehidupan masyarakat, keluarga merupakan unit terkecil yang
memiliki peranan besar bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Keluarga
memiliki fungsi penting yang berkaitan dengan peranya sebagai media sosialisasi.
Sosialisasi bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai yang dianut. Proses mengetahui kaidah-kaidah-kaidah-kaidah dan
nilai-nilai yang dianut inilah untuk pertama kali diperoleh dalam keluarga. Perilaku
yang benar dan tidak menyimpang untuk pertama kalinya juga dipelajari dari
keluarga. (Soekanto, 2004).
Pendidikan keluarga memiliki peranan yang penting. Hal ini karena
pendidikan merupakan sarana untuk menghasilkan warga masyarakat yang baik.
keluarga tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik (Yustinasusi,
2010).
2.2.1. Macam - Macam Pola Asuh Orang Tua 2.2.1.1. Pola Asuh Demokratis
Mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali
pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan,
dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang
demokratis mungkin merangkul anak dengan mesra dan berkata ”kamu tahu,
kamu tak seharusnya melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu bisa
menangani situasi tersebut lebih baik lain kali”. Orang tua demokratis
menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku
konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa, mandiri
dan sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki orang tua yang otoritatif sering
kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi;
mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman
sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik
(Santrock, 2007).
Pola asuh yang seimbang (demokratis) akan selalu menghargai
individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan.
Mereka sangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka
sepenuhnya menghargai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta
perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan
dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi
hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan
dan hukuman yang mereka lakukan dan meminta pendapat anak. Anak dari orang
tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menajdi paham
kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang diharapkan
dari orang tua. Jadi anak sejak pra sekolah hingga dewasa akan menunjukkan
sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas (Mardiya,
2000).
Pola asuh demokratis merupakan bentuk perlakuan orang tua saat
berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak
usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri
anaknya merupakan gaya pengasuhan demokratis. Orang tua yang demokratis
bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk
dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional, orang tua
demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu
mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan
melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran (Hidayat, 2009). Orang tua yang
bergaya demokratis bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan
seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha
membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan
perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga
menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan
dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan
menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang
demokratis. Dalam keluarga yang demokratis, keputusan-keputusan yang penting
akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali
berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan
alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila
alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang demokratis
akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan
alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola
interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak
untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada
suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Orang tua yang
demokratis selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan
pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung
jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya.
Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam
perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah
laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang demokratis. Dalam
mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orang tua yang demokratis
akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan
yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong
untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari
orang tua yang demokratis akan memunculkan keberanian, motivasi dan
kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya (Santrock, 1985).
Pola pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial,
meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja. Para
remaja yang hidup dalam keluarga yang demokratis akan menjalani kehidupannya
dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki
pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak
anarkis (Baumrind, 1967 dalam Hidayat, 2009). Mereka juga akan memiliki
kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang
baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan
lingkungannya.
2.2.1.2. Pola asuh Otoriter
Pola yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak
untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka.
Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan
meminimalisir perdebatan verbal. Contohnya, orang tua yang otoriter mungkin
berkata,”lakukan dengan caraku atau tak usah.” Orang tua yang otoriter mungkin
juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa
menjelaskannya dan menunjukkan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang
otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri
dengan orang lain, tidak mampu memulai aktifitas, dan memiliki kemampuan
komunikasi yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku
Pola otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada
umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua
yang berpola asuh otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap
peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada
anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut,
cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma
yang berlaku. Orang tua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan
cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orang tua demikian sulit menerima
pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk
mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi
semua peraturannya (Hidayat, 2009).
Orang tua otoriter meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan
baik setiap perkataan atau setiap perintah orang tuanya, setiap anak harus
melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orang tuanya. Orang tua
otoriter akan mencoba mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang
mereka tetapkan, selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan.
Orang tua otoriter selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya,
dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya (Hidayat, 2009).
Orang tua otoriter selalu berusaha mengarahkan, menentukan, dan menilai
tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang
ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang
absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup
pengasuhan orang tua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan
perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau
sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap
orang tuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan
akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya
dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan
dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa
bahagia (Hidayat, 2009).
Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orang
tua otoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan
dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orang
tuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan
kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih
menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap
remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu
tergantung pada orang tuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan
untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas
apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan
kehendak orang tuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang
berada dalam asuhan orang tua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang
tidak mandiri dalam hidupnya kelak (Hidayat, 2009).
Pola pengasuhan otoriter diterapkan orang tua dengan mengendalikan anak
dituntut untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua,
menekankan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun, sedangkan orang tua
tidak pernah berbuat salah. Kebanyakan anak dari pola pengasuhan ini melakukan
tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman (Yustinasusi, 2010).
2.2.1.3. Pola asuh Permisif
Pola pengasuhan ini, dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun
tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua seperti ini membiarkan
anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya anak tidak pernah belajar
mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan
keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan
cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat
dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri.
Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar
menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan
perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan,
dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (Santrock, 2007).
Pola asuh permisif merupakan perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan
anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan tanpa kontrol atau
pengawasan yang ketat. Orang tua yang permisf akan memberikan kebebasan
penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya.
Sekiranya orang tua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya
tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orang tua yang permisif
Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orang tua
yang permisif jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha
untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu
peraturan tersebut. Orang tua yang seperti demikian umumnya membiarkan
anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri,
mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orang tua
dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya (Baumrind, 1967
dalam Hidayat, 2009). Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap
anak remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak. Pola pengasuhan
demikian dipilih, karena mereka menganggap bahwa remaja harus memiliki
kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa.
Orang tua yang permisif bersikap lunak, lemah dan pasif dalam persoalan
disiplin. Mereka cenderung tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah
laku anak remajanya, memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak
sesuai dengan kehendak anak remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian
yang ketat terhadap remaja menurut pandangan orang tua yang permisif adalah
sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan
seorang remaja (Steinberg, 1993). Menurut Baumrind, remaja yang berada dalam
pengasuhan orangtua yang permisif sangat tidak matang dalam berbagai aspek
psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh,
dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan
dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat
tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang,
kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat
jelek, dan tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Hidayat,
2009).
Meskipun di satu sisi pola pengasuhan yang permisif dapat memberikan
remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat
meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan
kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang
sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan
dan pengarahan dari orang tua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak
punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran
pengawasan dari orang tua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian
atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orang
tuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice,
1996).
2.3. Pengertian Remaja
Remaja adalah suatu masa di mana individu berkembang dari saat pertama
kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai
kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola
identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari
ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih
Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat berbagai
definisi tentang remaja, yaitu:
1. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila
seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan
12-20 tahun untuk anak laki-laki.
2. Menurut Undanng Undang No.4 tahun 1979 mengenai Kesejahteraan Anak,
remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
3. Menurut Undang Undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah
mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat
untuk tinggal.
4. Menurut Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, anak dianggap sudah
remaja apabila sudah matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak
perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.
5. Menurut Departemen Pendidikan Nasional anak dianggap remaja bila anak
sudah berumur 18 tahun, yang sesuai saat lulus Sekolah Menengah.
6. Menurut WHO remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun
(Soetjiningsih,2004).
2.3.1 Tahap Perkembangan Remaja
Tahap 1. Remaja awal 12-15 Tahun (early adolesccence)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang
menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran
dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan
yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ”ego”
menyebabkan para remaja sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.
Tahap 2. Remaja madya 15-18 Tahun (middle adolescence)
Pada saat ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan ”narcistic”, yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat- sifat
yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebinggungan
karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak perduli,
ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan
sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex
(perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat
hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.
Tahap 3. Remaja akhir 18-21 Tahun ( late adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai
dengan pencapaian 5 (lima) hal, yaitu:
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan
dalam pengalaman-pengalaman baru.
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan
e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (the public) (Sarwono, 2010).
2.4 Pengertian Perilaku
Perilaku adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan
dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau
genetika.
2.4.1 Ruang Lingkup Perilaku
Menurut Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan
adanya tiga bidang perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Kemudian
dalam perkembangannya, domain perilaku yang diklasifikasikan oleh Bloom
dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu:
Tingkat 1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pandengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam)
tingkatan:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (comprehansion)
Memahami diartikan sebagai suatau kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapart
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat
dilihat dari pengggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat
bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan , dan sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan untuk
menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan –rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi dan
penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).
Tingkat 2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis
sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek.
Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan:
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).
Tingkat 3. Tindakan atau praktek (practice)
Tindakan ini merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk
tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah
dimiliki (Notoatmodjo, 1985).
Tindakan mempunyai 4 (empat) tingkatan:
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
2. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah indikator praktek tingkat dua.
3. Mekanisme (mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktek tingkat tiga.
4. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).
2.5. Pengertian Perilaku agresif
Istilah agresif beasal dari bahasa Inggris adalah agression adalah suatu kata
yang berarti menyerang atau serangan. Kata agresif berasal dari bahasa Latin
uggred yang berarti menyerang, kata ini menyiratkan bahwa setiap orang siap
untuk memaksakan kehendak mereka atas orang tua atau objek lain walaupun itu
berarti bahwa kerusakan fisik atau psikologis mungkin ditimbulkan sebagai
akibat. Agresif erat hubungannya dengan kemarahan karena kemarahan terjadi
jika orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan. Emosi kurang mungkin
akan berkembang bila orang merasa ada ancaman bahwa mereka tidak akan
pemaksaan kehendak atas orang atau objek lain dan kemarahan akan berkembang
menuju agresif.
Menurut Tim Kesehatan Jiwa Indonesia, perilaku agresif merupakan salah
satu gangguan tingkah laku terutama apabila agresif dilakukan secara berulang
dan menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan. Tingkah laku agresif
menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi orang lain dengan cara tindakan
kekerasan, pemukulan, pengeroyokan, pemerkosaan dan tidak merasa bersalah
apabila orang lain menderita. Agresif seperti yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli memiliki persamaan yang mendasar yaitu pada tingkah laku
merusak baik fisik, psikis, maupun benda-benda yang berada disekitarnya.
Agresif selalu menunjukan tingkah laku yang kasar, menyerang dan
melukai. Tingkah laku agresif secara sosial adalah tingkah laku menyerang orang
lain baik penyerangan secara verbal maupun fisik. Penyerangan secara verbal
misalnya mencaci, mengejek atau memperolok, sedangkan secara fisik misalnya
mendorong, memukul dan berkelahi. Perilaku agresif adalah termasuk tingkah
laku yang menggangu hubungan sosial yaitu melanggar aturan, permusuhan
secara terang-terangan (mengganggu anak-anak yang lebih kecil atau lemah,
mengganggu bintang, suka berkelahi) maupun secara diam-diam (pendendam,
pemarah, pencuri, pembohong) (Indrawati, 2005).
2.5.1. Tipe-tipe agresifitas
Ada berbagai bentuk agresi yang terjadi pada diri individu salah satu
diantaranya adalah agresifitas emosional verbal, agresifitas fisik sosial, agresifitas
2.5.1.1. Agresifitas Emosional Verbal
Meliputi marah atau membenci orang lain (meskipun perasaan itu dilakukan
dengan kata-kata), mengutuk, perang mulut, mengkritik, menghina,
memperingatkan dengan kasar, menyalahkan dan memtertawakan, mencetuskan
agresif melawan kritik-kritik sosial.
2.5.1.2. Agresifitas Fisik Sosial
Meliputi berkelahi atau membunuh dalam membela diri atau membela
seseorang yang dicintai, membalas dendam terhadap penghinaan suatu
ketidakadilan tanpa suatu pancingan serta menghukum orang yang melakukan
tindakan yang tercela dan berjuang untuk negaranya sendiri atau negara sahabat
dalam suatu peperangan.
2.5.1.3. Agresifitas Fisik Asosial
Meliputi perbuatan menodong, menyerang, melukai atau membunuh orang
lain, merampok melakukan tindakan kejahatan, memulai berkelahi tanpa alasan
jelas dan pantas, membalas sakit hatinya dengan kekejaman dan pengerusakan
yang berlebihan berjuang melawan wewenang yang sah misalnya orang tua,
atasan, guru atau pemerintah, melakukan tindak sadisme, mengkhianati dan
berusaha melawan negaranya sendiri.
2.5.1.4. Agresifitas Destruktif
Meliputi tindakan menyerang atau membunuh binatang, memecah,
membanting, menghancurkan, membakar atau merusak sesuatu, melukai orang,
2.5.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif
Tingkah laku agresif lebih dipandang sebagai tingkah yang dipelajari,
manusia mempelajari tingkah laku agresif dengan cara pengamatan respon tingkah
laku model mereka. Asumsi dasar teorinya adalah sebagian besar tingkah laku
individu diperoleh sebagai hasil melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku
orang ditampilkan oleh individu- individu lain yang menjadi model tingkah laku
agresif yang diamati individu ternyata dapat menambah jumlah agresifitas si
pengamat hal ini didukung oleh penelitiannya yang berkesimpulan bahwa
anak-anak mendapat model imitasi orang dewasa yang berwujud tingkah laku agresif
pada suatu kesempatan anak-anak juga akan bertingkah laku sesuai dengan model
yang dilihatnya. Semua orang dan anak khususnya mempunyai kecenderungan
yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi atau meniru dapat terjadi pada setiap
jenis perilaku, termasuk agresif. Anak yang mengamati orang lain melakukan
tindakan agresif atau mengendalikan agresifnya akan meniru orang tersebut. Anak
belajar melakukan agresif secara verbal seperti berteriak, mengutuk dan mencela,
dan tidak melakukan kekerasan seperti tidak memukul orang lain, melempar batu
atau meledakkan gedung. Anak juga belajar kapan masing-masing perilaku
tersebut boleh dilakukan. Jadi perilaku agresif anak dibentuk dan ditentukan oleh
pengamatannya terhadap orang lain. Semua anak didalam mengimitasi tingkah
laku agresif tidak hanya sekedar mencontoh dari modelnya saja, untuk sampai
pada tingkah laku agresif juga tergantung dari norma yang melingkunginya. Bila
seorang anak diajarkan bahwa tingkah laku itu dapat di terima maka perilaku itu
agresif adalah jelek atau tidak baik maka tingkah laku tidak akan berkembang.
Perilaku agresif tidak muncul dengan sendirinya pada diri seseorang namun
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku
agresif (Berkowitz, 1967 dalam Hidayat, 2009).
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresif :
1. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf
parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang
biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau
mungkin juga tidak (Davidoff, 1991 dalam Indrawati, 2006). Pada saat marah ada
perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan
biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka
terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya
agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan,
atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan,
hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan
mengarah pada agresi.
2. Kesenjangan generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah antara generasi anak dengan orang
tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal
dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak
diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.
bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti
masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.
3. Suhu udara yang panas
Suhu udara panas merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya
kekerasan. Ini tercermin pada masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan
masyarakat madura yang cenderung memiliki sifat yang keras yang dapat memicu
kekerasan.
4. Peran Belajar Model Kekerasan.
Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat
ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron,
sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara
khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down,
UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa
acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang
mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang
diutarakan (Davidoff, 1991 dalam Indrawati,2006) yang mengatakan bahwa
menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan
menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan
tersebut.
5. Frustrasi
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai
merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal
adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu
menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera
terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan
berperilaku agresi.
6. Proses Pendisplinan yang Keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama
dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai
pengaruh yang buruk bagi remaja Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat
remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci
orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada
akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.
Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan
ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya.
Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat
pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang
bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat
memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main)
2.5.3. Cara mengatasi perilaku agresif a. Hukuman dan pembalasan
Rasa takut terhadap hukuman atau pembalasan bisa menekan perilaku
agresif. Tipe orang rasional menurut teori intensif, akan memperhitungkan akibat
agresi di masa mendatang dan berusaha untuk tidak melakukan perilaku agresi
bila ada kemungkinan akan mendapatkan hukuman.
b. Mengurangi frustasi
Teknik yang lebih baik adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya
serangan dan frustasi. Diharapkan setiap masyarakat berusaha menjamin adanya
tingkat kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidap seperti makanan,
pakaian, perumahan dan kehidupan keluarga. Alasan utamanya adalah untuk
menghindari gangguan kekerasan yang berskala besar dalam kehidupan
sehari-hari terutama dari kelompok-kelompok yang frustasi.
c. Hambatan yang dipelajari
Yaitu dengan belajar mengendalikan perilaku agresif kita sendiri tidak
peduli apakah kita akan diancam dihukum atau tidak. Hambatan agresi yang
dipelajari secara umum dapat disebut kecemasan agresi (rasa salah agresi). Orang
akan merasa cemas bila mendekati tanggapan berupa agresif. Orang tua yang
manggunakan penalaran dan penghindaran afeksi sebagai teknik disiplin akan
menghasilkan anak yang memiliki kecemasan agresi yang lebih banyak
d. Pengalihan (Displacement)
Prisip dasar pengalihan adalah bahwa semakin banyak kecemasan antar
sasaran dengan sumber frustasi sebenarnya semakin kuat dorongan agresif
individu terhadap sasaran.
e. Katarsis
Gagasan yang terakhir adalah bahwa perasaan marah dapat dikurangi
melalui pengungkapan agresi. Freud menyebut proses ini katarsis (pembersihan)
dalam istilah umum, proses tersebut mencakup “pelepasan energi” atau
“penyingkirannya dari sistem anda”. Inti gagasan katarsis adalah bahwa bila orang
merasa gagresif tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitas
perasaannya. Hal ini pada gilirannya, akan mengurangi kemungkinan untuk
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara
konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti
(Setiadi, 2007). Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi pola asuh otoriter orang tua terhadap perilaku agresif remaja.
Pola asuh merupakan bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik
seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu, dan pola asuh
anak yang akan membawa dampak baik positif maupun negatif pada
perkembangan anak.
Berdasarkan tinjauan pustaka, adapun faktor yang mempengaruhi pola
asuh orang tua, yaitu terjadinya perilaku agresif pada remaja.
Kerangka penelitian pola asuh orang tua terhadap perilaku agresif pada
remaja di STM Raksana Medan.
Pola Asuh Orang Tua 1. Pola asuh
demoktratis 2. Pola asuh
otoriter 3. Pola asuh
permisif
3.2. Definisi Operasional
Tabel 1. Variable Operasional Penelitian Variabel Defenisi
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam
mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data
(Nursalam,2003). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk
melihat pola asuh orang tua yang yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku
agresif pada remaja (Notoatmodjo, 2002).
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi
Populasi adalah kesuluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II yang ada di STM Raksana
Medan. Berdasarkan hasil dari survei awal, didapatkan data dari pihak kepala
sekolah, jumlah populasi remaja di STM Raksana Medan 338 siswa (STM
Raksana, 2009).
4.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,2006).
Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
tehnik purposive sampling, yaitu suatu tehnik penetapan sampel dengan cara
(tujuan/ masalah dalam penelitian) sehingga sampel tersebut dapat mewakili
karateristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Jumlah sampel dalam
penelitian ini, jika populasinya kurang dari 100 sebaiknya diambil semua
sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi jika jumlah
subjeknya besar, dapat diambil 10-15% atau 10-25%. Karena tergantung dari
kemampuan penelitian dilihat dari waktu, tenaga dan dana jumlah sampel yang
diambil yaitu 15% dari populasi, jadi jumlah sampel sebesar 50 siswa (Arikunto,
2006).
Kriteria sampel yang diteliti adalah siswa dengan rentang usia 15-18 tahun
(kelas II), memiliki perilaku yang agresif (sering melanggar peraturan sekolah:
suka cabut, mengucapkan kata-kata kasar, bersikap melawan guru, suka berkelahi
dengan teman). Dimana dalam pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner kepada seluruh siswa kelas II STM Raksana Medan dibantu dengan
guru BP, kemudian dari hasil kuesioner yang dibagikan, siswa yang berperilaku
agresif diangkat menjadi responden, sedangkan siswa yang tidak berperilaku
agresif tidak diangkat sebagai responden.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di STM Raksana Medan, dengan pertimbangan
lokasi sekolah yang terjangkau, jumlah sampel yang memadai, efesiensi waktu
4.4 Pertimbangan Etik
Penelitian dilakukan setelah mendapatkan izin penelitian dari Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan kepala sekolah STM Raksana
Medan. Peneliti mengakui hak-hak responden dalam menyatakan kesediaan atau
ketidaksediaan untuk dijadikan subjek penelitian. Jika responden bersedia diteliti
maka terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan (Informed
Concent). Jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan
memaksa dan tetap menghormati haknya. Penelitian ini, juga memperhatikan etik
yaitu sebagai berikut:
a. Informed Concent
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti yang
memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian,
bila subjek menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati
hak-hak subjek.
b. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama
responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.
c. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti. Hanya kelompok data
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh
informasi dari responden, peneliti menggunakan kuesioner berupa data demografi,
kuesioner pola asuh orang tua dan perilaku agresif remaja.
4.5.1 Kuesioner Data Demografi
Kuesioner tentang data demografi meliputi nomor responden, usia, jenis
kelamin, suku bangsa dan agama. Data demografi ini bertujuan untuk membantu
peneliti mengetahui latar belakang dari responden yang bisa berpengaruh terhadap
penelitian ini (Lampiran 2).
4.5.2 Kuesioner Pola Asuh Orang Tua
Kuesioner Pola Asuh Orangtua bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh
orangtua yang bagaimana yang berpengaruh terhadap perilaku agresif pada remaja
dan disusun dari tinjauan pustaka. Pada kuesioner pola asuh orangtua
menggunakan Skala Likert dengan pertanyaan mulai dari pertanyaan Tidak
Pernah (TP), Kadang Kadang (KK), dan Selalu (SL), dimana setiap pernyataan
bernilai 1 (satu), tergantung dari berapa banyak pilihannya. Nilai tergantung dari
berapa banyak pilihannya. Nilai tertinggi dari pernyataan tersebut menjadi
penentuan pola asuh dari orang tua remaja tersebut. Di mana bila pernyataan
Tidak Pernah (TP) lebih tinggi maka pola asuh orang tuanya otoriter, bila
pernyataan Kadang-kadang (KK) yang lebih tinggi maka pola asuh orang tuanya
adalah demokrasi, dan bila Selalu (SL) yang lebih tinggi maka pola asuh orang
4.5.2 Kuesioner Perilaku Agresif Remaja
Kuesioner perilaku agresif remaja bertujuan untuk mengidentifikasi
perilaku agresif yang bagaimana yang dilakukan remaja, penyebab remaja
berperilaku agresif, dan disusun dari tinjauan pustaka. Pada kuesioner perilaku
agresif pada remaja menggunakan skala likert dengan pertanyaan mulai dari
pertanyaan Tidak Pernah (TP) yang bernilai 0, Kadang Kadang (KK) yang
bernilai 1, Sering (SL) yang bernilai 2.
Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 30 dan nilai terendah adalah 0
(Lampiran2).
skala ukur yang digunakan dalam variabel ini adalah skala interval, dimana
nilainya dengan menggunakan rumus statistik menurut Sudjana (2002) :
Rentang kelas P = ───────── Banyak kelas
Dimana P= panjang kelas dengan rentang sebesar 30 ( selisih nilai tertinggi dan
nilai terendah). Dan banyak kelas sebanyak 2 kelas (berperilaku agresif atau
tidak). P= 5, maka didapatkan interval pola asuh orang tua terhadap perilaku
agresif remaja adalah sebagai berikut :
16 – 30 : berperilaku agresif
4.6 Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas adalah sejauh mana instrumen itu dapat mengukur apa yang
dimaksudkan untuk diukur. Secara teori validitas ada tiga macam yaitu validitas
isi, validitas kontrak, validitas berdasarkan kriteria (Saifudin Azwar, 2000). Alat
ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang sama bila digunakan
beberapa kali pada kelompok sampel (Ritonga, 1997). Dalam penelitian ini
digunakan uji validitas isi, yang mana instrumen terlebih dahulu dikonsultasikan
kepada pakar yang paham tentang pola asuh orang tua dan perilaku anak, yaitu
salah satu dosen Fakultas Keperawatan USU khususnya bidang mata kuliah
keluarga yang berpendidikan strata II, dengan hasil Konten Validiti Indeks : 0,9.
(Lampiran 3).
Uji reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya. Hasil suatu pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil
yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah
(Setiadi, 2007). Uji reliabilitas yang dilakukan digunakan rumus Alpha karena
instrumen berbentuk skala pengukuran psikologis (angket) dengan skor skala
bertingkat. Untuk angket dengan skala bertingkat diuji menggunakan rumus
Alpha (Arikunto, 2006). Dengan uji formula Cronbach Alpha harus >0,7 agar dianggap
reliabel maka kuesioner ini layak digunakan (Polit, & Hungler, 1995).
Menurut Nursalam (2008) uji realibilitas dilakukan terhadap 20 orang yang
memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebagai sampel tetapi tidak akan menjadi
menggunakan Cronbach Alpha dan diperoleh hasil reliabel pada kuesiner pola
asuh orang tua 0,825 dan pada kuesioer perilaku agresif 0,713 (Lampiran 4).
4.7 Pengumpulan Data
Pada tahap awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian
pada institusi pendidikan Fakultas Keperawatan USU, kemudian permohonan ijin
yang telah diperoleh dikirim ke tempat penelitian di STM Raksana Medan.
Setelah mendapat izin dari kepala sekolah STM Raksana Medan, peneliti
melaksanakan pengumpulan data penelitian.
Peneliti menentukan responden sesuai kriteria yang telah dibuat
sebelumnya, yaitu dengan siswa yang mempunyai perilaku agresif (sering
melanggar peraturan sekolah: suka cabut, bersikap melawan guru, mengucapkan
kata-kata kasar, suka berkelahi dengan teman, dsb) dibantu dengan guru BP.
Kemudian peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, dan
manfaat sebelum menanyakan kesediaannya untuk terlibat. Calon responden yang
bersedia, diminta untuk menandatangani informed consent (Surat Persetujuan
Responden). Kemudian peneliti melakukan penyebaran kuesioner, kuesiner
disebarkan sebanyak 300 kuesioner, dan peneliti memberikan kesempatan kepada
responden untuk mengisi jawaban, setelah selesai diisi, kuesioner dikumpulkan
dan diperiksa kelengkapannya untuk dianalisa sebagai data, sebelum seluruh
kuesioner selesai di analisa, peneliti berhasil mendapatkan 50 responden yang
4.8 Analisa Data
Setelah dilakukan pengumpulan data maka dilakukan analisa data. Data
yang diperoleh dari setiap responden berupa data demografi yang merupakan hasil
kuesioner dari peneliti kepada remaja di STM Raksana Medan dan.
Setelah data terkumpul maka peneliti akan melakukan analisa data melalui
beberapa tahap, dimulai dari editing untuk memeriksa kelengkapan data,
kemudian coding dengan memberi kode untuk memudahkan melakukan tabulasi,
selanjutnya entry dengan memasukkan data kekomputer dan dilakukan
pengolahan data dengan menggunakan tehnik komputerisasi.
a. Statistik univariat
Statistik univariat adalah prosedur untuk menganalisa data dari satu variabel
yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian (Polit& Hungler,1999).
Pada penelitian ini, analisa data dengan metode statistik univariat untuk
menganalisa variabel independen pola asuh orang tua dengan perilaku agresif
pada remaja di STM Raksana Medan. Analisa ditampilkan dengan menggunakan
skala kategorik dan ditampilkan dalam distribusi frekuensi.
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Pola asuh orang tua dan
perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan Tahun 2010” sebanyak 50
responden dan didapat hasil distribusi responden berdasarkan usia, jenis kelamin,
suku bangsa, dan agama yang diuraikan sebagai berikut :
5.1.1 Karakteristik Responden Penelitian
Pada tabel 5.1 diatas diketahui bahwa bahwa dari 50 remaja yang ada,
mayoritas berusia 16 tahun sebanyak 30 remaja (60,0%), semua remaja berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 50 remaja (100,0%), mayoritas beragama islam
sebanyak 31 remaja (62,0%), mayoritas bersuku batak sebanyak 27 remaja
(54,0%).
Karakteristik pola asuh orangtua remaja di STM Raksana Medan Tahun
2010 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orangtua Pada Remaja Di STM Raksana Medan.
N O.
Perilaku Orang Tua Tidak Pernah Kadang-kadang
Selalu
F % F % F %
1. Cuek pada anak. 12 24,0 34 68,0 4 8,0
2. Membiarkan anak
melakukan
6. Tidak memberikan
aturan.
11. Memberikan masukan pada masalah anak.
34 68,0 11 22,0 5 10,0
12. Menyisihkan waktu untuk berkumpul.
13. Tidak mengajak anak
Berdasarkan tabel 5.2 diatas didapat 30 remaja (60,0%) yang orang tuanya
tidak pernah membiarkan anaknya melakukan keinginannya, 30 remaja (60,0%)
yang orang tuanya tidak pernah membiarkan anak melakukan kesalahan di
sekolah, 33 remaja (66,0 %) yang orang tuanya tidak pernah tidak memberikan
aturan, 35 remaja (70,0%) yang orang tuanya tidak pernah ramah dan sabar, 34
remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah mengajak anak memecahkan
masalah, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah memberikan
masukan dalam masalah anak, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah
menyisihkan waktu untuk berkumpul, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak
pernah tidak menuntut anak melakukan tugas rumah tepat waktu dan 36 remaja
(72,0%) yang orang tuanya tidak pernah menghargai kemampuan anak. Maka
distribusi pola asuh orangtua dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua Remaja Di STM Raksana Medan tahun 2010
No. Pola Asuh Orangtua Jumlah Persentase
1. Otoriter 43 86,0
2. Demokratis 7 14,0
3. Permisif 0 0
Pola asuh orang tua berdasarkan total skor yang diperoleh dari perhitungan
jawaban 50 remaja, maka diperoleh hasil bahwa pola asuh orang tua paling
banyak otoriter yaitu 43 remaja (86,0%) dan paling sedikit pola asuh demokratis
yaitu 7 remaja (14,0%).
Karakteristik perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan Tahun
2010 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Perilaku Agresif Remaja Di STM Raksana Medan MedanTahun 2010
N O .
Perilaku Agresif Remaja Tidak Pernah Kadang-kadang
Selalu
F % F % F %
1. Memaksakan kehendak dan menolak jika orang tua melarang.
4. Mengucapkan kata-kata kasar.
10 20,0 9 18,0 31 62,0
5. Membantah dan tidak menuruti orang tua\guru bila ada perkataan yang tidak sesuai.
7. Tidak mendengarkan orang tua dan
9. Menyalahkan dan menertawakan orang.
4 8,0 11 22,0 35 70,0
Berdasarkan tabel 5.4. diatas didapat 30 remaja (60,0%) memaksakan
kehendak dan menolak jika orang tua melarang, 35 remaja (70,0%) remaja selalu
marah bila kemauan tidak dituruti, 31 remaja (62,0%) mengucapkan kata-kata
kasar, 36 remaja (72,0%) remaja selalu membantah dan tidak menuruti orang tua/
guru bila ada perkataan yang tidak sesuai, 33 remaja (66,0%) remaja selalu
memukul meja dan membanting pintu, 35 remaja (70,0%) remaja selalu
menyalahkan dan menertawakan orang lain , maka distribusi perilaku agresif
remaja dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5.5. Distribusi Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan Tahun 2010
No. Perilaku Agresif Jumlah Persentase
1. Agresif 50 100,0
2. Tidak Agresif 0 0,0
Jumlah 50 100,0
Perilaku agresif remaja berdasarkan total skor yang diperoleh keseluruhan
mempunyai total skor diatas nilai 15 maka diperoleh hasil bahwa seluruh perilaku