• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERILAKU AGRESIF REMAJA di STM RAKSANA MEDAN

SKRIPSI

Oleh

Theresia Gustina Manalu 091121073

FAKULTAS KEPERAWATAN

(2)
(3)

PRAKATA

Segala puji dan syukur kepada Tuhan YME yang atas berkat rahmat dan

karunianya memberikan saya motivasi terbesar dalam hidup ini, beserta keluarga

dan para sahabat yang memberikan teladan terindah sehinga saya mampu

melangkah untuk menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Pola Asuh Orang Tua

Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan”.

Penyusunan skripsi ini telah banyak banyak mendapat bantuan, bimbingan

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada :

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu

Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Lufthiani, S.Kep, Ns., sebagai dosen Pembimbing Skripsi dan juga

pembimbing akademik yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan

pikiran serta memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini

dan juga memberi motivasi, semangat, dan dukungan kepada saya selama

proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Salbiah S.Kp, M.Kep, selaku dosen Pembimbing Skripsi II yang telah

banyak memberi masukan-masuka n yang bermanfaat bagi skripsi ini.

4. Ibu Jenny Purba, S.Kep, MNS, selaku dosen Penguji yang telah banyak

(4)

5. Drs. A. Siagian selaku kepala sekolah STM Raksana Medan yang telah

memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di STM Raksana

Medan.

6. Seluruh dosen Pengajar S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

yang telah banyak memberikan pendidikan kepada saya selama proses

perkuliahan dan staf nonakademik yang membantu memfasilitasi saya secara

administratif.

7. Teristimewa kepada seluruh keluarga saya, kepada Ayahanda P. Manalu,

ibunda tercinta N. Simbolon dan kepada abang saya Ryo T. Manalu, Bob

Richardo Manalu dan Alex Candra S. yang terus memberikan motivasi dan

doa yang tiada henti yang begitu berarti bagi saya.

8. Kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa/i ekstensi stambuk 2009 teristimewa

buat Eridha Nonita Sebayang, Ririn Suwinul Arifin, Herma Lumban Gaol dan

Sarah Damayanti Saragih yang selalu setia mendampingi penulis baik dalam

suka dan duka. Dan tak pernah henti menasehati penulis dan memberi

motivasi untuk belajar dan segera menyelesaikan kuliah dengan baik. Dan

semua teman-teman seperjuangan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan berpartisipasi dalam

penelitian saya.

9. Semua Pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat seluruhnya disebutkan

namanya satu persatu yang telah banyak membantu saya baik dalam

penyelesaian skripsi ini maupun dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas

(5)

Semoga Tuhan YME senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat

dari-Nya kepada semua pihak yang telah membantu saya.. Harapan saya semoga

skripsi ini bermanfaat dalam memberikan informasi di bidang kesehatan terutama

keperawatan.

Medan, Januari 2011

(6)

DAFTAR ISI

1.4.2. Pendidikan Keperawatan ... 6

1.4.3. Penelitian Keperawatan... 6

Bab 2. Tinjauan Pustaka ... 7

2.3.1. Tahap perkembangan remaja... 17

2.4. Pengertian perilaku ... 19

2.4.1. Ruang lingkup perilaku ... 19

2.5. pengertian perilaku agresif ... 23

2.5.1. Tipe-tipe agresifitas ... 24

2.5.1.1. Agresifitas emosional verbal ... 25

2.5.1.2. Agresifitas fisik sosial ... 25

2.5.1.3. Agresifitas fisik asosial ... 25

2.5.1.4. Agresifitas destruktif ... 25

2.5.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif ... 26

2.5.3. Cara mengatasi perilaku agresif ... 30

Bab 3. Kerangka Konseptual ... 32

3.1. Kerangka Konseptual ... 32

(7)

Bab 4. Metodelogi Penelitian ... 35

4.1. Desain Penelitian ... 35

4.2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

4.2.1. Populasi ... 35

4.2.2. Sampel ... 35

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 36

4.4. Pertimbangan Etik ... 37

4.5. Instrumen Penelitian... 38

4.5.1. Kuesioner Data Demografi... 38

4.5.2. Kuesioner Pola Asuh Orang Tua ... 38

4.5.3. Kuesioner Perilaku Agresif Remaja ... 39

4.6. Validitas dan Reabilitas Instrumen ... 40

4.7. Pengumpulan Data ... 41

4.8. Analisa Data... 42

Bab 5. Hasil dan pembahasan... ... 43

5.1. Hasil Penelitian ... 43

5.1.1. Karateristik Responden Penelitian ... 43

5.2. Pembahasan ... 48

Lampiran-lampiran ... 60

1. Formulir Persetujuan Menjadi Responden ... 61

2. Instrumen Penelitian ... 62

3. Konten Validiti Indeks ... 65

4. Reliabilitas Pola Asuh Orang Tua ... 68

5. Reliabilitas Perilaku Agresif Remaja ... 69

6. Data Demografi ... 70

7. Frequency Tabel Pola Asuh Orang Tua ... 72

8. Frequency Tabel Perilaku Agresif ... 76

9. Taksasi Dana ... 79

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Remaja ... 43

Tabel 5.2. Distribusi Frekue nsi Pola Asuh Orang Tua ... 44

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua ... 45

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Perilaku Agresif Remaja... 46

(9)
(10)

Judul : Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan

Nama : Theresia Gustina Manalu

Nim : 091121073

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2011

Abstrak

Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle adolescence) dengan rentang usia 15-18 tahun. Meningkatnya perilaku agresif tercermin dalam banyaknya kasus tawuran antara pelajar yang meresahkan masyarakat sehingga mengakibat perkelahian dan menimbulkan korban jiwa. Pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak, dan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak. Tujuan penelitian untuk pola asuh orangtua dan perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan tahun 2010. Jenis penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian sebanyak 50 remaja yang berperilaku agresif dari hasil pengambilan data melalui kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Juli Tahun 2010. Analisa data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pola asuh orangtua paling banyak yang otoriter yaitu 86,0%, dan paling sedikit dengan pola asuh permisif yaitu 14,0%. Tindakan otoriter yang paling banyak di sebabkan karena orangtua tidak pernah bersikap sabar dan ramah pada anaknya dan remaja seluruhnya berperilaku agresif (100%).Untuk itu di sarankan bagi para orangtua agar bisa menjalin komunikasi yang baik dan terbuka dengan anaknya, sehingga orangtua mengetahui dan memahami setiap masalah anaknya.

(11)

Judul : Pola Asuh Orang Tua Dan Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan

Nama : Theresia Gustina Manalu

Nim : 091121073

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2011

Abstrak

Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle adolescence) dengan rentang usia 15-18 tahun. Meningkatnya perilaku agresif tercermin dalam banyaknya kasus tawuran antara pelajar yang meresahkan masyarakat sehingga mengakibat perkelahian dan menimbulkan korban jiwa. Pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak, dan salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak. Tujuan penelitian untuk pola asuh orangtua dan perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan tahun 2010. Jenis penelitian deskriptif. Sampel dalam penelitian sebanyak 50 remaja yang berperilaku agresif dari hasil pengambilan data melalui kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Juli Tahun 2010. Analisa data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian diperoleh bahwa pola asuh orangtua paling banyak yang otoriter yaitu 86,0%, dan paling sedikit dengan pola asuh permisif yaitu 14,0%. Tindakan otoriter yang paling banyak di sebabkan karena orangtua tidak pernah bersikap sabar dan ramah pada anaknya dan remaja seluruhnya berperilaku agresif (100%).Untuk itu di sarankan bagi para orangtua agar bisa menjalin komunikasi yang baik dan terbuka dengan anaknya, sehingga orangtua mengetahui dan memahami setiap masalah anaknya.

(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan sebuah sistem yang digerakkan oleh anggota

berdasarkan asas saling menghormati, menghargai, dan mendukung peran

masing-masing sehingga tercipta sinergi dan keteraturan. Keluarga sebagai sebuah sistem

merupakan tempat seorang remaja membentuk dan mengembangkan kepribadian

dalam karakter. Sebagai contoh, dua orang remaja yang tinggal bersebelahan

rumah namun mempunyai kepribadian dan karakter yang sangat berbeda karena

mereka dibesarkan dengan sistem pola asuh yang berbeda (Surbakti, 2008).

Faktor lingkungan juga memainkan peran yang tidak kecil terhadap

pembentukan kepribadian remaja, jika para remaja bertumbuh di tengah-tengah

lingkungan yang tidak sehat, dapat dipastikan mereka juga akan bertumbuh

menjadi pribadi yang tidak sehat yang selalu menciptakan kekacauan. Sebaliknya,

jika mereka bertumbuh di tengah-tengah lingkungan sosial yang sehat, mereka

juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang sehat yang menciptakan kedamaian

(Surbakti, 2008).

Melalui orang tua anak beradaptasi dengan lingkungan dan mengenal dunia

sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini

disebabkan karena orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi

anak. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan

(13)

Di dalam mengasuh anak terdapat pendidikan, sopan santun, membentuk

latihan-latihan tanggung jawab dan sebagainya. Disini peran orang tua sangat

penting, karena secara langsung ataupun tidak orang tua melalui tindakannya akan

membentuk watak anak dan menentukan sikap anak serta tindakanya di kemudian

hari. Masing-masing orang tua tentu mempunyai pola asuh tersendiri dalam

mengarahkan anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan

orang tua, mata pencarian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan

sebagainya (Ramadhan,2009). Dan salah satu faktor yang mempengaruhi

agresivitas adalah pola asuh dan perilaku mereka terhadap anak (Hurlock, 1993).

Macam-macam pola asuh yang diterapkan orang tua ini sangat bergantung

pada bentuk-bentuk perilaku penyimpangan anak. Orang tua dapat memilih pola

asuh yang tepat untuk anaknya. Orang tua yang salah menerapkan pola asuh akan

membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Diharapkan orang tua

dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau menerapkan pola asuh yang

tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang anak

(Ramadhan, 2009).

Remaja pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga

remaja ingin mencoba-coba, mengkhayal dan merasa gelisah, serta berani

melakukan pertentangan jika dirinya merasa disepelekan atau tidak dianggap.

Untuk itu, mereka sangat perlu keteladanan, konsistensi, serta komunikasi yang

tulus dan empatik dari orang dewasa. Seringkali remaja melakukan

(14)

ketidakkonsistenan di masyarakat yang dilakukan oleh orang dewasa/ orang tua

(Ali dan Asroli, 2009).

Perilaku agresif sering terjadi pada kalangan remaja madya (middle

adolescence) dengan rentang usia 15- 18 tahun, dimana tanggung jawab hidup

yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja yang mampu memikul sendiri juga

masalah tersendiri bagi remaja madya. Karena tuntutan peningkatan tanggung

jawab tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya tetapi juga dari

masyarakat sekitarnya. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi

remaja, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau

buruk. Akibatnya, remaja ingin sering kali ingin membentuk nilai- nilai mereka

sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di

kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa di

sekitarnya ingin memaksakan nilai- nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa

disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka (Ali dan Asroli, 2009).

Di Amerika Serikat lebih dari 16.000 pembunuhan terjadi setiap tahunnya,

lebih dari 95.000 tindak perkosaan setiap tahun, dan lebih dari 11 juta tindak

kekerasan secara keseluruhan dalam kasus kejahatan saja (U.S. Department of

Justice, 2002). Angka ini belum termasuk kejahatan yang belum dilaporkan

(Soetjiningsih, 2004). Di Amerika Serikat lebih dari 5000 orang dewasa dan

remaja setiap tahun mati karena bunuh diri. 123/100.000 pada kelompok umur ini

yaitu (18,8%) dari seluruh kematian remaja (15-24 tahun).

Tawuran pelajar secara kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat

(15)

tawuran hanya sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa

yang jumlahnya mencapai 1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan

dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap biasa. Jumlah korban tewas akibat

tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini

belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah

meresahkan masyarakat dan secara material banyak fasilitas umum yang rusak,

seperti dalam kasus pembakaran atau pelemparan bus umum (Bow, 2008).

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering

terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat

157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan

menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal

13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang

menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban

meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah

perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu

hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Ida Novianti,

2008).

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik/ menganggap penting

untuk meneliti tentang pola asuh orang tua dan perilaku agresif remaja .

1.2. Tujuan Penelitian 1.2.1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi pola asuh orang tua pada perilaku agresif remaja di STM

(16)

1.2.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

a. Mengidentifikasi pola asuh demokratis orang tua pada remaja di STM

Raksana Medan.

b. Mengidentifikasi pola asuh otoriter orang tua pada remaja di STM

Raksana Medan.

c. Mengidentifikasi pola asuh permisif orang tua pada remaja di STM

Raksana Medan.

d. Mengidentifikasi perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana bentuk pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja di

STM Raksana Medan.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Praktek Keperawatan

Dapat dijadikan sebagai informasi dan bahan pertimbangan bagi praktek

keperawatan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pola asuh orang

tua dan perilaku agresif pada remaja.

1.4.2. Pendidikan Keperawatan

Dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berharga bagi

(17)

penelitian di masa mendatang. Selain itu juga menyediakan informasi mengenai

pola asuh orang tua dan perilaku agresif pada remaja.

1.4.3. Penelitian Keperawatan

Dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan mengenai pola asuh

orang tua dan perilaku agresif pada remaja sehingga memberikan ide selanjutnya

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Orang Tua

Orang tua adalah ayah dan ibu adalah figur atau contoh yang akan selalu

ditiru oleh anak-anaknya (Mardiya, 2000).

2.2. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan

bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan

oleh anak dari segi negatif maupun positif (Rusdijana, 2006).

Di dalam kehidupan masyarakat, keluarga merupakan unit terkecil yang

memiliki peranan besar bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. Keluarga

memiliki fungsi penting yang berkaitan dengan peranya sebagai media sosialisasi.

Sosialisasi bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar mematuhi

kaidah-kaidah dan nilai yang dianut. Proses mengetahui kaidah-kaidah-kaidah-kaidah dan

nilai-nilai yang dianut inilah untuk pertama kali diperoleh dalam keluarga. Perilaku

yang benar dan tidak menyimpang untuk pertama kalinya juga dipelajari dari

keluarga. (Soekanto, 2004).

Pendidikan keluarga memiliki peranan yang penting. Hal ini karena

pendidikan merupakan sarana untuk menghasilkan warga masyarakat yang baik.

(19)

keluarga tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik (Yustinasusi,

2010).

2.2.1. Macam - Macam Pola Asuh Orang Tua 2.2.1.1. Pola Asuh Demokratis

Mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali

pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan,

dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang

demokratis mungkin merangkul anak dengan mesra dan berkata ”kamu tahu,

kamu tak seharusnya melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kamu bisa

menangani situasi tersebut lebih baik lain kali”. Orang tua demokratis

menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku

konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa, mandiri

dan sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki orang tua yang otoritatif sering

kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi;

mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman

sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik

(Santrock, 2007).

Pola asuh yang seimbang (demokratis) akan selalu menghargai

individualitas akan tetapi juga menekankan perlunya aturan dan pengaturan.

Mereka sangat percaya diri dalam melakukan pengasuhan tetapi meraka

sepenuhnya menghargai keputusan yang diambil anak, minat dan pendapat serta

perbedaan kepribadiannya. Orang tua dengan pola asuh model ini, penuh dengan

(20)

dalam menjaga aturan bersedia memberi hukuman ringan tetapi dalam situasi

hangat dan hubungan saling mendukung. Mereka menjelaskan semua tindakan

dan hukuman yang mereka lakukan dan meminta pendapat anak. Anak dari orang

tua yang demikian akan merasa tenang dan nyaman. Mereka akan menajdi paham

kalau mereka disayangi tetapi sekaligus mengerti terhadap apa yang diharapkan

dari orang tua. Jadi anak sejak pra sekolah hingga dewasa akan menunjukkan

sikap lebih mandiri, mampu mengontrol dirinya, biasa bersikap tegas (Mardiya,

2000).

Pola asuh demokratis merupakan bentuk perlakuan orang tua saat

berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak

usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri

anaknya merupakan gaya pengasuhan demokratis. Orang tua yang demokratis

bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk

dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional, orang tua

demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu

mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan

melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran (Hidayat, 2009). Orang tua yang

bergaya demokratis bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan

seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha

membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan

perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga

menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan

(21)

dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan

menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang

demokratis. Dalam keluarga yang demokratis, keputusan-keputusan yang penting

akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali

berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan

alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila

alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang demokratis

akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan

alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola

interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak

untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada

suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Orang tua yang

demokratis selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan

pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung

jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya.

Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam

perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah

laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang demokratis. Dalam

mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orang tua yang demokratis

akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan

yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong

untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari

(22)

orang tua yang demokratis akan memunculkan keberanian, motivasi dan

kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya (Santrock, 1985).

Pola pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial,

meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja. Para

remaja yang hidup dalam keluarga yang demokratis akan menjalani kehidupannya

dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki

pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak

anarkis (Baumrind, 1967 dalam Hidayat, 2009). Mereka juga akan memiliki

kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang

baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan

lingkungannya.

2.2.1.2. Pola asuh Otoriter

Pola yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak

untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka.

Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan

meminimalisir perdebatan verbal. Contohnya, orang tua yang otoriter mungkin

berkata,”lakukan dengan caraku atau tak usah.” Orang tua yang otoriter mungkin

juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa

menjelaskannya dan menunjukkan amarah pada anak. Anak dari orang tua yang

otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri

dengan orang lain, tidak mampu memulai aktifitas, dan memiliki kemampuan

komunikasi yang lemah. Putra dari orang tua yang otoriter mungkin berperilaku

(23)

Pola otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada

umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua

yang berpola asuh otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap

peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa-basi, tanpa penjelasan kepada

anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut,

cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma

yang berlaku. Orang tua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan

cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orang tua demikian sulit menerima

pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk

mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi

semua peraturannya (Hidayat, 2009).

Orang tua otoriter meyakini bahwa seorang anak akan menerima dengan

baik setiap perkataan atau setiap perintah orang tuanya, setiap anak harus

melaksanakan tingkah laku yang dipandang baik oleh orang tuanya. Orang tua

otoriter akan mencoba mengontrol remaja dengan peraturan-peraturan yang

mereka tetapkan, selalu memberi perintah tanpa mau memberikan penjelasan.

Orang tua otoriter selalu menuntut, kurang memberikan otonomi pada anaknya,

dan seringkali gagal memberikan kehangatan kepada anaknya (Hidayat, 2009).

Orang tua otoriter selalu berusaha mengarahkan, menentukan, dan menilai

tingkah laku dan sikap anaknya sesuai dengan standar peraturan yang

ditetapkannya sendiri. Standar dimaksud biasanya didasarkan pada standar yang

absolut seperti nilai-nilai ajaran dan norma-norma agama, sehingga menutup

(24)

pengasuhan orang tua yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik dan

perlawanan seorang anak, terutama saat anak sudah menginjak masa remaja, atau

sebaliknya akan menimbulkan sikap ketergantungan seorang remaja terhadap

orang tuanya (Rice, 1996), anak remaja akan kehilangan aktivitas kreatifnya, dan

akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya

dengan lingkungan sosial (Santrock, 1985), remaja cenderung akan mengucilkan

dirinya, kurang berani dalam menghadapi tantangan tugas dan tidak merasa

bahagia (Hidayat, 2009).

Seorang remaja yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga atau orang

tua otoritarian cenderung menunjukkan sikap yang patuh dan akan menyesuaikan

dirinya pada standar-standar tingkah laku yang sudah ditetapkan oleh orang

tuanya, namun di balik itu sesungguhnya mereka merasa menderita dengan

kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan dan lebih

menderita secara somatis dibandingkan kelompok teman sebayanya. Sikap-sikap

remaja yang demikian akhirnya akan menyebabkan remaja cenderung untuk selalu

tergantung pada orang tuanya, cenderung kurang mampu mengambil keputusan

untuk dirinya sendiri, serta cenderung tidak mampu untuk bertanggung jawab atas

apa yang telah dilakukannya disebabkan semuanya disandarkan pada aturan dan

kehendak orang tuanya. Semua itu menunjukkan bahwa seorang remaja yang

berada dalam asuhan orang tua yang otoriter akan tumbuh menjadi anak yang

tidak mandiri dalam hidupnya kelak (Hidayat, 2009).

Pola pengasuhan otoriter diterapkan orang tua dengan mengendalikan anak

(25)

dituntut untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua,

menekankan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun, sedangkan orang tua

tidak pernah berbuat salah. Kebanyakan anak dari pola pengasuhan ini melakukan

tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman (Yustinasusi, 2010).

2.2.1.3. Pola asuh Permisif

Pola pengasuhan ini, dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun

tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua seperti ini membiarkan

anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya anak tidak pernah belajar

mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan

keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan

cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat

dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri.

Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar

menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan

perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan,

dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (Santrock, 2007).

Pola asuh permisif merupakan perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan

anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan tanpa kontrol atau

pengawasan yang ketat. Orang tua yang permisf akan memberikan kebebasan

penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya.

Sekiranya orang tua membuat sebuah peraturan tertentu namun anak-anaknya

tidak menyetujui atau tidak mematuhinya, maka orang tua yang permisif

(26)

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orang tua

yang permisif jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha

untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar suatu

peraturan tersebut. Orang tua yang seperti demikian umumnya membiarkan

anaknya (terutama anak remajanya) untuk menentukan tingkah lakunya sendiri,

mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orang tua

dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anak remajanya (Baumrind, 1967

dalam Hidayat, 2009). Sedikit, atau bahkan tanpa menggunakan kontrol terhadap

anak remajanya, lemah dalam cara-cara mendisiplinkan anak. Pola pengasuhan

demikian dipilih, karena mereka menganggap bahwa remaja harus memiliki

kebebasannya sendiri secara luas, bukan harus dikontrol oleh orang dewasa.

Orang tua yang permisif bersikap lunak, lemah dan pasif dalam persoalan

disiplin. Mereka cenderung tidak menempatkan tuntutan-tuntutan pada tingkah

laku anak remajanya, memberikan kebebasan yang lebih tinggi untuk bertindak

sesuai dengan kehendak anak remajanya sendirinya. Kontrol atau pengendalian

yang ketat terhadap remaja menurut pandangan orang tua yang permisif adalah

sebuah pelanggaran terhadap kebebasan yang dapat menganggu perkembangan

seorang remaja (Steinberg, 1993). Menurut Baumrind, remaja yang berada dalam

pengasuhan orangtua yang permisif sangat tidak matang dalam berbagai aspek

psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati (impulsive), tidak patuh,

dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan

dengan keinginan-keinginan sesaatnya. Mereka juga terlalu menuntut, sangat

(27)

tekun dalam belajar di sekolah. Tingkah laku sosial remaja ini kurang matang,

kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat

jelek, dan tidak mampu mengarahkan diri dan tidak bertanggung jawab (Hidayat,

2009).

Meskipun di satu sisi pola pengasuhan yang permisif dapat memberikan

remaja kebebasan bertingkah laku, namun di sisi lain tidak selalu dapat

meningkatkan tingkah laku bertanggung jawab. Remaja yang mendapatkan

kebebasan tanpa adanya pembatasan yang jelas cenderung bersifat suka menang

sendiri dan mengutamakan kepentingan dirinya sendiri. Kurangnya bimbingan

dan pengarahan dari orang tua menyebabkan mereka merasa tidak aman, tidak

punya orientasi, dan penuh keraguan. Jika remaja menafsirkan bahwa kelonggaran

pengawasan dari orang tua mereka sebagai bentuk dari tidak adanya perhatian

atau penolakan terhadap diri mereka, maka mereka akan menyalahkan orang

tuanya sebab dipandang telah lalai memperingatkan dan menuntun mereka (Rice,

1996).

2.3. Pengertian Remaja

Remaja adalah suatu masa di mana individu berkembang dari saat pertama

kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai

kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola

identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, terjadi peralihan dari

ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih

(28)

Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat berbagai

definisi tentang remaja, yaitu:

1. Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefinisikan remaja adalah bila

seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan

12-20 tahun untuk anak laki-laki.

2. Menurut Undanng Undang No.4 tahun 1979 mengenai Kesejahteraan Anak,

remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.

3. Menurut Undang Undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah

mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat

untuk tinggal.

4. Menurut Undang Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, anak dianggap sudah

remaja apabila sudah matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak

perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.

5. Menurut Departemen Pendidikan Nasional anak dianggap remaja bila anak

sudah berumur 18 tahun, yang sesuai saat lulus Sekolah Menengah.

6. Menurut WHO remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun

(Soetjiningsih,2004).

2.3.1 Tahap Perkembangan Remaja

Tahap 1. Remaja awal 12-15 Tahun (early adolesccence)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan

perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang

menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran

(29)

dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan

yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ”ego”

menyebabkan para remaja sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.

Tahap 2. Remaja madya 15-18 Tahun (middle adolescence)

Pada saat ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau

banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan ”narcistic”, yaitu

mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat- sifat

yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebinggungan

karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak perduli,

ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan

sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipoes Complex

(perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat

hubungan dengan kawan-kawan dari lawan jenis.

Tahap 3. Remaja akhir 18-21 Tahun ( late adolescence)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai

dengan pencapaian 5 (lima) hal, yaitu:

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan

dalam pengalaman-pengalaman baru.

c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan

(30)

e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum (the public) (Sarwono, 2010).

2.4 Pengertian Perilaku

Perilaku adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan

dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau

genetika.

2.4.1 Ruang Lingkup Perilaku

Menurut Benjamin Bloom, seorang psikolog pendidikan, membedakan

adanya tiga bidang perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Kemudian

dalam perkembangannya, domain perilaku yang diklasifikasikan oleh Bloom

dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu:

Tingkat 1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pandengaran, penciuman, rasa dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

(31)

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam)

tingkatan:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami (comprehansion)

Memahami diartikan sebagai suatau kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapart

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip

(32)

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat

dilihat dari pengggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan , dan sebagainya.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menujukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan untuk

menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat

merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya

terhadap suatu teori atau rumusan –rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi dan

penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo, 2003).

Tingkat 2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis

sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum

merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi

tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan

(33)

kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

penghayatan terhadap objek.

Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan:

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2003).

Tingkat 3. Tindakan atau praktek (practice)

Tindakan ini merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk

tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah

dimiliki (Notoatmodjo, 1985).

Tindakan mempunyai 4 (empat) tingkatan:

1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

(34)

2. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh adalah indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (mecanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai

praktek tingkat tiga.

4. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan

baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2.5. Pengertian Perilaku agresif

Istilah agresif beasal dari bahasa Inggris adalah agression adalah suatu kata

yang berarti menyerang atau serangan. Kata agresif berasal dari bahasa Latin

uggred yang berarti menyerang, kata ini menyiratkan bahwa setiap orang siap

untuk memaksakan kehendak mereka atas orang tua atau objek lain walaupun itu

berarti bahwa kerusakan fisik atau psikologis mungkin ditimbulkan sebagai

akibat. Agresif erat hubungannya dengan kemarahan karena kemarahan terjadi

jika orang tidak memperoleh apa yang mereka inginkan. Emosi kurang mungkin

akan berkembang bila orang merasa ada ancaman bahwa mereka tidak akan

(35)

pemaksaan kehendak atas orang atau objek lain dan kemarahan akan berkembang

menuju agresif.

Menurut Tim Kesehatan Jiwa Indonesia, perilaku agresif merupakan salah

satu gangguan tingkah laku terutama apabila agresif dilakukan secara berulang

dan menetap, sedikitnya berlangsung selama 6 bulan. Tingkah laku agresif

menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi orang lain dengan cara tindakan

kekerasan, pemukulan, pengeroyokan, pemerkosaan dan tidak merasa bersalah

apabila orang lain menderita. Agresif seperti yang telah dikemukakan oleh

beberapa ahli memiliki persamaan yang mendasar yaitu pada tingkah laku

merusak baik fisik, psikis, maupun benda-benda yang berada disekitarnya.

Agresif selalu menunjukan tingkah laku yang kasar, menyerang dan

melukai. Tingkah laku agresif secara sosial adalah tingkah laku menyerang orang

lain baik penyerangan secara verbal maupun fisik. Penyerangan secara verbal

misalnya mencaci, mengejek atau memperolok, sedangkan secara fisik misalnya

mendorong, memukul dan berkelahi. Perilaku agresif adalah termasuk tingkah

laku yang menggangu hubungan sosial yaitu melanggar aturan, permusuhan

secara terang-terangan (mengganggu anak-anak yang lebih kecil atau lemah,

mengganggu bintang, suka berkelahi) maupun secara diam-diam (pendendam,

pemarah, pencuri, pembohong) (Indrawati, 2005).

2.5.1. Tipe-tipe agresifitas

Ada berbagai bentuk agresi yang terjadi pada diri individu salah satu

diantaranya adalah agresifitas emosional verbal, agresifitas fisik sosial, agresifitas

(36)

2.5.1.1. Agresifitas Emosional Verbal

Meliputi marah atau membenci orang lain (meskipun perasaan itu dilakukan

dengan kata-kata), mengutuk, perang mulut, mengkritik, menghina,

memperingatkan dengan kasar, menyalahkan dan memtertawakan, mencetuskan

agresif melawan kritik-kritik sosial.

2.5.1.2. Agresifitas Fisik Sosial

Meliputi berkelahi atau membunuh dalam membela diri atau membela

seseorang yang dicintai, membalas dendam terhadap penghinaan suatu

ketidakadilan tanpa suatu pancingan serta menghukum orang yang melakukan

tindakan yang tercela dan berjuang untuk negaranya sendiri atau negara sahabat

dalam suatu peperangan.

2.5.1.3. Agresifitas Fisik Asosial

Meliputi perbuatan menodong, menyerang, melukai atau membunuh orang

lain, merampok melakukan tindakan kejahatan, memulai berkelahi tanpa alasan

jelas dan pantas, membalas sakit hatinya dengan kekejaman dan pengerusakan

yang berlebihan berjuang melawan wewenang yang sah misalnya orang tua,

atasan, guru atau pemerintah, melakukan tindak sadisme, mengkhianati dan

berusaha melawan negaranya sendiri.

2.5.1.4. Agresifitas Destruktif

Meliputi tindakan menyerang atau membunuh binatang, memecah,

membanting, menghancurkan, membakar atau merusak sesuatu, melukai orang,

(37)

2.5.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif

Tingkah laku agresif lebih dipandang sebagai tingkah yang dipelajari,

manusia mempelajari tingkah laku agresif dengan cara pengamatan respon tingkah

laku model mereka. Asumsi dasar teorinya adalah sebagian besar tingkah laku

individu diperoleh sebagai hasil melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku

orang ditampilkan oleh individu- individu lain yang menjadi model tingkah laku

agresif yang diamati individu ternyata dapat menambah jumlah agresifitas si

pengamat hal ini didukung oleh penelitiannya yang berkesimpulan bahwa

anak-anak mendapat model imitasi orang dewasa yang berwujud tingkah laku agresif

pada suatu kesempatan anak-anak juga akan bertingkah laku sesuai dengan model

yang dilihatnya. Semua orang dan anak khususnya mempunyai kecenderungan

yang kuat untuk meniru orang lain. Imitasi atau meniru dapat terjadi pada setiap

jenis perilaku, termasuk agresif. Anak yang mengamati orang lain melakukan

tindakan agresif atau mengendalikan agresifnya akan meniru orang tersebut. Anak

belajar melakukan agresif secara verbal seperti berteriak, mengutuk dan mencela,

dan tidak melakukan kekerasan seperti tidak memukul orang lain, melempar batu

atau meledakkan gedung. Anak juga belajar kapan masing-masing perilaku

tersebut boleh dilakukan. Jadi perilaku agresif anak dibentuk dan ditentukan oleh

pengamatannya terhadap orang lain. Semua anak didalam mengimitasi tingkah

laku agresif tidak hanya sekedar mencontoh dari modelnya saja, untuk sampai

pada tingkah laku agresif juga tergantung dari norma yang melingkunginya. Bila

seorang anak diajarkan bahwa tingkah laku itu dapat di terima maka perilaku itu

(38)

agresif adalah jelek atau tidak baik maka tingkah laku tidak akan berkembang.

Perilaku agresif tidak muncul dengan sendirinya pada diri seseorang namun

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku

agresif (Berkowitz, 1967 dalam Hidayat, 2009).

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresif :

1. Amarah

Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf

parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang

biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau

mungkin juga tidak (Davidoff, 1991 dalam Indrawati, 2006). Pada saat marah ada

perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan

biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka

terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya

agresi adalah suatu respon terhadap marah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan,

atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing agresi. Ejekan,

hinaan dan ancaman merupakan pancingan yang jitu terhadap amarah yang akan

mengarah pada agresi.

2. Kesenjangan generasi

Adanya perbedaan atau jurang pemisah antara generasi anak dengan orang

tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal

dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak

diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak.

(39)

bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti

masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, seks bebas, dll.

3. Suhu udara yang panas

Suhu udara panas merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya

kekerasan. Ini tercermin pada masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan

masyarakat madura yang cenderung memiliki sifat yang keras yang dapat memicu

kekerasan.

4. Peran Belajar Model Kekerasan.

Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat

ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron,

sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara

khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down,

UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa

acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang

mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh

terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Pendapat ini sesuai dengan yang

diutarakan (Davidoff, 1991 dalam Indrawati,2006) yang mengatakan bahwa

menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan

menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan

tersebut.

5. Frustrasi

Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai

(40)

merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal

adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu

menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera

terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan

berperilaku agresi.

6. Proses Pendisplinan yang Keliru

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama

dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai

pengaruh yang buruk bagi remaja Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat

remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membeci

orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada

akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan

ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya.

Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat

pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang

bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat

memenuhi kebutuhan yang mendasar (cth: dilarang untuk keluar main)

(41)

2.5.3. Cara mengatasi perilaku agresif a. Hukuman dan pembalasan

Rasa takut terhadap hukuman atau pembalasan bisa menekan perilaku

agresif. Tipe orang rasional menurut teori intensif, akan memperhitungkan akibat

agresi di masa mendatang dan berusaha untuk tidak melakukan perilaku agresi

bila ada kemungkinan akan mendapatkan hukuman.

b. Mengurangi frustasi

Teknik yang lebih baik adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya

serangan dan frustasi. Diharapkan setiap masyarakat berusaha menjamin adanya

tingkat kesamaan hak untuk mendapatkan keperluan hidap seperti makanan,

pakaian, perumahan dan kehidupan keluarga. Alasan utamanya adalah untuk

menghindari gangguan kekerasan yang berskala besar dalam kehidupan

sehari-hari terutama dari kelompok-kelompok yang frustasi.

c. Hambatan yang dipelajari

Yaitu dengan belajar mengendalikan perilaku agresif kita sendiri tidak

peduli apakah kita akan diancam dihukum atau tidak. Hambatan agresi yang

dipelajari secara umum dapat disebut kecemasan agresi (rasa salah agresi). Orang

akan merasa cemas bila mendekati tanggapan berupa agresif. Orang tua yang

manggunakan penalaran dan penghindaran afeksi sebagai teknik disiplin akan

menghasilkan anak yang memiliki kecemasan agresi yang lebih banyak

(42)

d. Pengalihan (Displacement)

Prisip dasar pengalihan adalah bahwa semakin banyak kecemasan antar

sasaran dengan sumber frustasi sebenarnya semakin kuat dorongan agresif

individu terhadap sasaran.

e. Katarsis

Gagasan yang terakhir adalah bahwa perasaan marah dapat dikurangi

melalui pengungkapan agresi. Freud menyebut proses ini katarsis (pembersihan)

dalam istilah umum, proses tersebut mencakup “pelepasan energi” atau

“penyingkirannya dari sistem anda”. Inti gagasan katarsis adalah bahwa bila orang

merasa gagresif tindakan agresi yang dilakukannya akan mengurangi intensitas

perasaannya. Hal ini pada gilirannya, akan mengurangi kemungkinan untuk

(43)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti

(Setiadi, 2007). Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi pola asuh otoriter orang tua terhadap perilaku agresif remaja.

Pola asuh merupakan bentuk atau sistem dalam menjaga, merawat dan mendidik

seorang anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu, dan pola asuh

anak yang akan membawa dampak baik positif maupun negatif pada

perkembangan anak.

Berdasarkan tinjauan pustaka, adapun faktor yang mempengaruhi pola

asuh orang tua, yaitu terjadinya perilaku agresif pada remaja.

Kerangka penelitian pola asuh orang tua terhadap perilaku agresif pada

remaja di STM Raksana Medan.

Pola Asuh Orang Tua 1. Pola asuh

demoktratis 2. Pola asuh

otoriter 3. Pola asuh

permisif

(44)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 1. Variable Operasional Penelitian Variabel Defenisi

(45)
(46)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam

mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data

(Nursalam,2003). Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk

melihat pola asuh orang tua yang yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku

agresif pada remaja (Notoatmodjo, 2002).

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi

Populasi adalah kesuluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II yang ada di STM Raksana

Medan. Berdasarkan hasil dari survei awal, didapatkan data dari pihak kepala

sekolah, jumlah populasi remaja di STM Raksana Medan 338 siswa (STM

Raksana, 2009).

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,2006).

Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

tehnik purposive sampling, yaitu suatu tehnik penetapan sampel dengan cara

(47)

(tujuan/ masalah dalam penelitian) sehingga sampel tersebut dapat mewakili

karateristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Jumlah sampel dalam

penelitian ini, jika populasinya kurang dari 100 sebaiknya diambil semua

sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Tetapi jika jumlah

subjeknya besar, dapat diambil 10-15% atau 10-25%. Karena tergantung dari

kemampuan penelitian dilihat dari waktu, tenaga dan dana jumlah sampel yang

diambil yaitu 15% dari populasi, jadi jumlah sampel sebesar 50 siswa (Arikunto,

2006).

Kriteria sampel yang diteliti adalah siswa dengan rentang usia 15-18 tahun

(kelas II), memiliki perilaku yang agresif (sering melanggar peraturan sekolah:

suka cabut, mengucapkan kata-kata kasar, bersikap melawan guru, suka berkelahi

dengan teman). Dimana dalam pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan

kuesioner kepada seluruh siswa kelas II STM Raksana Medan dibantu dengan

guru BP, kemudian dari hasil kuesioner yang dibagikan, siswa yang berperilaku

agresif diangkat menjadi responden, sedangkan siswa yang tidak berperilaku

agresif tidak diangkat sebagai responden.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di STM Raksana Medan, dengan pertimbangan

lokasi sekolah yang terjangkau, jumlah sampel yang memadai, efesiensi waktu

(48)

4.4 Pertimbangan Etik

Penelitian dilakukan setelah mendapatkan izin penelitian dari Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan kepala sekolah STM Raksana

Medan. Peneliti mengakui hak-hak responden dalam menyatakan kesediaan atau

ketidaksediaan untuk dijadikan subjek penelitian. Jika responden bersedia diteliti

maka terlebih dahulu harus menandatangani lembar persetujuan (Informed

Concent). Jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan

memaksa dan tetap menghormati haknya. Penelitian ini, juga memperhatikan etik

yaitu sebagai berikut:

a. Informed Concent

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti yang

memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian,

bila subjek menolak maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati

hak-hak subjek.

b. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama

responden, tetapi lembar tersebut diberikan kode.

c. Confidentiality

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti. Hanya kelompok data

(49)

4.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh

informasi dari responden, peneliti menggunakan kuesioner berupa data demografi,

kuesioner pola asuh orang tua dan perilaku agresif remaja.

4.5.1 Kuesioner Data Demografi

Kuesioner tentang data demografi meliputi nomor responden, usia, jenis

kelamin, suku bangsa dan agama. Data demografi ini bertujuan untuk membantu

peneliti mengetahui latar belakang dari responden yang bisa berpengaruh terhadap

penelitian ini (Lampiran 2).

4.5.2 Kuesioner Pola Asuh Orang Tua

Kuesioner Pola Asuh Orangtua bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh

orangtua yang bagaimana yang berpengaruh terhadap perilaku agresif pada remaja

dan disusun dari tinjauan pustaka. Pada kuesioner pola asuh orangtua

menggunakan Skala Likert dengan pertanyaan mulai dari pertanyaan Tidak

Pernah (TP), Kadang Kadang (KK), dan Selalu (SL), dimana setiap pernyataan

bernilai 1 (satu), tergantung dari berapa banyak pilihannya. Nilai tergantung dari

berapa banyak pilihannya. Nilai tertinggi dari pernyataan tersebut menjadi

penentuan pola asuh dari orang tua remaja tersebut. Di mana bila pernyataan

Tidak Pernah (TP) lebih tinggi maka pola asuh orang tuanya otoriter, bila

pernyataan Kadang-kadang (KK) yang lebih tinggi maka pola asuh orang tuanya

adalah demokrasi, dan bila Selalu (SL) yang lebih tinggi maka pola asuh orang

(50)

4.5.2 Kuesioner Perilaku Agresif Remaja

Kuesioner perilaku agresif remaja bertujuan untuk mengidentifikasi

perilaku agresif yang bagaimana yang dilakukan remaja, penyebab remaja

berperilaku agresif, dan disusun dari tinjauan pustaka. Pada kuesioner perilaku

agresif pada remaja menggunakan skala likert dengan pertanyaan mulai dari

pertanyaan Tidak Pernah (TP) yang bernilai 0, Kadang Kadang (KK) yang

bernilai 1, Sering (SL) yang bernilai 2.

Nilai tertinggi yang diperoleh adalah 30 dan nilai terendah adalah 0

(Lampiran2).

skala ukur yang digunakan dalam variabel ini adalah skala interval, dimana

nilainya dengan menggunakan rumus statistik menurut Sudjana (2002) :

Rentang kelas P = ───────── Banyak kelas

Dimana P= panjang kelas dengan rentang sebesar 30 ( selisih nilai tertinggi dan

nilai terendah). Dan banyak kelas sebanyak 2 kelas (berperilaku agresif atau

tidak). P= 5, maka didapatkan interval pola asuh orang tua terhadap perilaku

agresif remaja adalah sebagai berikut :

16 – 30 : berperilaku agresif

(51)

4.6 Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas adalah sejauh mana instrumen itu dapat mengukur apa yang

dimaksudkan untuk diukur. Secara teori validitas ada tiga macam yaitu validitas

isi, validitas kontrak, validitas berdasarkan kriteria (Saifudin Azwar, 2000). Alat

ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang sama bila digunakan

beberapa kali pada kelompok sampel (Ritonga, 1997). Dalam penelitian ini

digunakan uji validitas isi, yang mana instrumen terlebih dahulu dikonsultasikan

kepada pakar yang paham tentang pola asuh orang tua dan perilaku anak, yaitu

salah satu dosen Fakultas Keperawatan USU khususnya bidang mata kuliah

keluarga yang berpendidikan strata II, dengan hasil Konten Validiti Indeks : 0,9.

(Lampiran 3).

Uji reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat

dipercaya. Hasil suatu pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali

pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil

yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah

(Setiadi, 2007). Uji reliabilitas yang dilakukan digunakan rumus Alpha karena

instrumen berbentuk skala pengukuran psikologis (angket) dengan skor skala

bertingkat. Untuk angket dengan skala bertingkat diuji menggunakan rumus

Alpha (Arikunto, 2006). Dengan uji formula Cronbach Alpha harus >0,7 agar dianggap

reliabel maka kuesioner ini layak digunakan (Polit, & Hungler, 1995).

Menurut Nursalam (2008) uji realibilitas dilakukan terhadap 20 orang yang

memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebagai sampel tetapi tidak akan menjadi

(52)

menggunakan Cronbach Alpha dan diperoleh hasil reliabel pada kuesiner pola

asuh orang tua 0,825 dan pada kuesioer perilaku agresif 0,713 (Lampiran 4).

4.7 Pengumpulan Data

Pada tahap awal peneliti mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian

pada institusi pendidikan Fakultas Keperawatan USU, kemudian permohonan ijin

yang telah diperoleh dikirim ke tempat penelitian di STM Raksana Medan.

Setelah mendapat izin dari kepala sekolah STM Raksana Medan, peneliti

melaksanakan pengumpulan data penelitian.

Peneliti menentukan responden sesuai kriteria yang telah dibuat

sebelumnya, yaitu dengan siswa yang mempunyai perilaku agresif (sering

melanggar peraturan sekolah: suka cabut, bersikap melawan guru, mengucapkan

kata-kata kasar, suka berkelahi dengan teman, dsb) dibantu dengan guru BP.

Kemudian peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, dan

manfaat sebelum menanyakan kesediaannya untuk terlibat. Calon responden yang

bersedia, diminta untuk menandatangani informed consent (Surat Persetujuan

Responden). Kemudian peneliti melakukan penyebaran kuesioner, kuesiner

disebarkan sebanyak 300 kuesioner, dan peneliti memberikan kesempatan kepada

responden untuk mengisi jawaban, setelah selesai diisi, kuesioner dikumpulkan

dan diperiksa kelengkapannya untuk dianalisa sebagai data, sebelum seluruh

kuesioner selesai di analisa, peneliti berhasil mendapatkan 50 responden yang

(53)

4.8 Analisa Data

Setelah dilakukan pengumpulan data maka dilakukan analisa data. Data

yang diperoleh dari setiap responden berupa data demografi yang merupakan hasil

kuesioner dari peneliti kepada remaja di STM Raksana Medan dan.

Setelah data terkumpul maka peneliti akan melakukan analisa data melalui

beberapa tahap, dimulai dari editing untuk memeriksa kelengkapan data,

kemudian coding dengan memberi kode untuk memudahkan melakukan tabulasi,

selanjutnya entry dengan memasukkan data kekomputer dan dilakukan

pengolahan data dengan menggunakan tehnik komputerisasi.

a. Statistik univariat

Statistik univariat adalah prosedur untuk menganalisa data dari satu variabel

yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian (Polit& Hungler,1999).

Pada penelitian ini, analisa data dengan metode statistik univariat untuk

menganalisa variabel independen pola asuh orang tua dengan perilaku agresif

pada remaja di STM Raksana Medan. Analisa ditampilkan dengan menggunakan

skala kategorik dan ditampilkan dalam distribusi frekuensi.

(54)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Pola asuh orang tua dan

perilaku agresif pada remaja di STM Raksana Medan Tahun 2010” sebanyak 50

responden dan didapat hasil distribusi responden berdasarkan usia, jenis kelamin,

suku bangsa, dan agama yang diuraikan sebagai berikut :

5.1.1 Karakteristik Responden Penelitian

(55)

Pada tabel 5.1 diatas diketahui bahwa bahwa dari 50 remaja yang ada,

mayoritas berusia 16 tahun sebanyak 30 remaja (60,0%), semua remaja berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 50 remaja (100,0%), mayoritas beragama islam

sebanyak 31 remaja (62,0%), mayoritas bersuku batak sebanyak 27 remaja

(54,0%).

Karakteristik pola asuh orangtua remaja di STM Raksana Medan Tahun

2010 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orangtua Pada Remaja Di STM Raksana Medan.

N O.

Perilaku Orang Tua Tidak Pernah Kadang-kadang

Selalu

F % F % F %

1. Cuek pada anak. 12 24,0 34 68,0 4 8,0

2. Membiarkan anak

melakukan

6. Tidak memberikan

aturan.

11. Memberikan masukan pada masalah anak.

34 68,0 11 22,0 5 10,0

12. Menyisihkan waktu untuk berkumpul.

(56)

13. Tidak mengajak anak

Berdasarkan tabel 5.2 diatas didapat 30 remaja (60,0%) yang orang tuanya

tidak pernah membiarkan anaknya melakukan keinginannya, 30 remaja (60,0%)

yang orang tuanya tidak pernah membiarkan anak melakukan kesalahan di

sekolah, 33 remaja (66,0 %) yang orang tuanya tidak pernah tidak memberikan

aturan, 35 remaja (70,0%) yang orang tuanya tidak pernah ramah dan sabar, 34

remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah mengajak anak memecahkan

masalah, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah memberikan

masukan dalam masalah anak, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak pernah

menyisihkan waktu untuk berkumpul, 34 remaja (68,0%) yang orang tuanya tidak

pernah tidak menuntut anak melakukan tugas rumah tepat waktu dan 36 remaja

(72,0%) yang orang tuanya tidak pernah menghargai kemampuan anak. Maka

distribusi pola asuh orangtua dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua Remaja Di STM Raksana Medan tahun 2010

No. Pola Asuh Orangtua Jumlah Persentase

1. Otoriter 43 86,0

2. Demokratis 7 14,0

3. Permisif 0 0

(57)

Pola asuh orang tua berdasarkan total skor yang diperoleh dari perhitungan

jawaban 50 remaja, maka diperoleh hasil bahwa pola asuh orang tua paling

banyak otoriter yaitu 43 remaja (86,0%) dan paling sedikit pola asuh demokratis

yaitu 7 remaja (14,0%).

Karakteristik perilaku agresif remaja di STM Raksana Medan Tahun

2010 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Perilaku Agresif Remaja Di STM Raksana Medan MedanTahun 2010

N O .

Perilaku Agresif Remaja Tidak Pernah Kadang-kadang

Selalu

F % F % F %

1. Memaksakan kehendak dan menolak jika orang tua melarang.

4. Mengucapkan kata-kata kasar.

10 20,0 9 18,0 31 62,0

5. Membantah dan tidak menuruti orang tua\guru bila ada perkataan yang tidak sesuai.

7. Tidak mendengarkan orang tua dan

9. Menyalahkan dan menertawakan orang.

4 8,0 11 22,0 35 70,0

(58)

Berdasarkan tabel 5.4. diatas didapat 30 remaja (60,0%) memaksakan

kehendak dan menolak jika orang tua melarang, 35 remaja (70,0%) remaja selalu

marah bila kemauan tidak dituruti, 31 remaja (62,0%) mengucapkan kata-kata

kasar, 36 remaja (72,0%) remaja selalu membantah dan tidak menuruti orang tua/

guru bila ada perkataan yang tidak sesuai, 33 remaja (66,0%) remaja selalu

memukul meja dan membanting pintu, 35 remaja (70,0%) remaja selalu

menyalahkan dan menertawakan orang lain , maka distribusi perilaku agresif

remaja dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 5.5. Distribusi Perilaku Agresif Remaja di STM Raksana Medan Tahun 2010

No. Perilaku Agresif Jumlah Persentase

1. Agresif 50 100,0

2. Tidak Agresif 0 0,0

Jumlah 50 100,0

Perilaku agresif remaja berdasarkan total skor yang diperoleh keseluruhan

mempunyai total skor diatas nilai 15 maka diperoleh hasil bahwa seluruh perilaku

Gambar

Tabel 1. Variable Operasional Penelitian
Tabel 5.1 Distribusi  Frekuensi Karakteristik Remaja Di STM Raksana
Tabel 5.2 Distribusi  Frekuensi Pola Asuh Orangtua Pada Remaja Di STM
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orang Tua Remaja Di STM
+2

Referensi

Dokumen terkait

dilakukan penelitian tentang “Hubungan antara tipe pola asuh orang tua dengan kemandirian perilaku remaja akhir”...

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang sangat signifikan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosi pada remaja. Artinya variabel pola asuh orang tua

Kecenderungan perilaku delinkuensi pada remaja diukur dengan menggunakan skala kecenderungan perilaku delinkuensi dan pola asuh authoritative orang tua diukur dengan skala

diterapkan oleh orangtua di dalam keluarga akan berdampak terhadap perilaku anak, yang dalam hal ini pola asuh yang diterapkan orangtua yang tidak konsisten atau

Bentuk pola asuh orang tua yang diterapkan di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar dalam mengembangkan mental islami remaja ialah pola

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku anak autis yang ada di Yayasan Tali Kasih Medan, namun pengaruhnya sangat rendah.. Hal ini

Pada penelitian ini pola asuh orang tua yang baik dalam mendidik dan memberikan pola asuh yang baik terhadap anak atau remaja ditujukan pada item soal yang menunjukkan

Pola asuh demokratis lebih banyak diterapkan oleh orang tua, menyusul pola asuh otoriter dan permisif.4 orang tua dengan pola asuh demokratis, 1 orang tua dengan pola asuh otoriter dan