• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kelompok Keluarga dengan Status Pendidikan Orangtua Sar jana

Dalam kelompok ini akan dijelaskan bagaimana pola komunikasi yang terbangun antara ibu dan anaknya yang menderita CP. Berikut informan 2 dan informan 3 akan dijelaskan di bawah ini :

Infor man 2

Hubungan Bu Keken pada Argo juga dibangun seperti ini. Hanya saja Bu Keken adalah pribadi yang tegas dan praktis. Sehingga lebih banyak waktunya dihabiskan di depot usahanya bersama suaminya. Kedekatan dengan Argo hanya pada waktu belajar dan hari Sabtu dan Minggu. Karena hanya pada hari itu Bu Keken tidak membuka depot. Meski Argo anak yang mandiri, ia selalu bisa menghargai ibunya. Ia tetap sayang pada ibunya walau waktu untuknya sedikit. Waktu lainnya ia habiskan bersama kakak dan saudara kembarnya, Jati.

Dalam kondisi seperti Argo, bagi Bu Keken tidak banyak hal besar yang dilakukan untuk anaknya dalam kesehariannya. Karena Argo anak yang mandiri. Hal-hal kecil bisa ia lakukan sendiri. Bu Keken sangat memahami kondisi anaknya. Makanya ia tidak ingin terlalu banyak terlibat dalam hal-hal sepele. Berikut pernyataan tentang pemahaman kondisi Argo yang menderita CP :

Infor man 2

“ Iya, saya tahu Argo itu anaknya seperti apa. Apalagi dia laki-laki dan mandiri. Saya bersyukur punya anak laki-laki seperti Argo. Banyak yang bisa dia lakukan sendiri.” Bu Keken

(Inter view : Sabtu, 12 Mei 2012, pukul 09.00)

Kr oscek 2

Ketika peneliti bertanya hal-hal apa saja yang bisa dilakukan sendiri, ia menjawab : “ Bisa makan sendiri, isi akuarium ikan, main. “ Argo

(Inter view : Senin, 14 Mei 2012, pukul 10.00)

Secara klinis, CP yang diderita Argo tidak lebih parah dari kelima anak dari ibu informan. Ia hanya lemah pada kedua kaki yang membatasi kemampuan berjalannya. Dan kelemahan itu diatasi dengan terapi intens yang dilakukan Argo di sekolah.

Bu Keken dan suami memiliki pandangan luas terhadap pendidikan anak-anaknya, termasuk pada Argo. Ia tidak memanjakan, juga tidak memaksa Argo menuruti kemauannya. Ia membiasakan Argo mandiri. Maka ia tumbuh menjadi anak yang memiliki motivasi tinggi untuk bisa berjalan seperti anak normal. Argo pun tidak menuntut Bu Keken selalu hadir di dekatnya untuk membantunya, karena ia bisa melakukannya sendiri.

Pendidikan demokratis yang dibangun Bu Keken menjadikan anaknya tidak canggung untuk berpendapat, baik pada ibunya dan ayahnya. Segala keinginannya selalu diungkapkan pada ibunya. Seperti pernyataan tentang kebebasan berpendapat anak pada ibunya di bawah ini :

Infor man 2

“ Iya, dia selalu bilang sama saya. Kadang kalau saya ndak ada, dia bilang sama ayahnya. Kalau ada yang dia suka juga langsung bilang. “ Bu Keken

(Inter view : 12 Mei 2012, pukul 09.00) Kr oscek 2

Ketika peneliti bertanya tentang kebebasan mengungkapkan keinginannya, ia menjawab : “ Iya, kalau minta apa-apa bilang ibu.” Argo

(Inter view : Senin, 14 Mei 2012, pukul 10.00)

Ruang untuk anak-anaknya bebas berpendapat dibuka oleh Bu Keken dalam rangka agar ia mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh anaknya. Waktunya yang singkat bertemu dengan anaknya di rumah, membuatnya tidak mengetahui semua hal detail tentang anaknya.

Argo bebas berpendapat dan mengungkapkannya pada ibunya. Bu Keken juga selalu menanggapi dan menjelaskan baik-buruknya sebagai pertimbangan Argo terhadap pendapatnya. Jadi Argo dibiasakan untuk memilah yang penting dan yang tidak penting. Termasuk permintaan-permintaannya pada ibunya. Ada yang diluluskan dan ada yang tidak diluluskan. Semua tergantung pembicaraan mereka.Dengan mendengarkan anaknya, Bu Keken bisa memfasilitasi kebutuhan mereka. Jadi ia berusaha tetap intens memperhatikan anaknya walau waktunya sangat sedikit dalam sehari untuk bertemua anaknya, kecuali pada Sabtu dan Minggu.

Strategi inilah yang diterapkan juga pada Argo. Dengan begitu ia tahu bahwa anaknya memiliki bakat di teknologi computer dan matematika. Maka ia berusaha

memfasilitasi anaknya dengan computer untuk mengeksplor daya pikirnya di bidang teknologi, sesuai dengan cita-cita Argo yang ingin menjadi ahli computer.

Bu Keken juga tidak lupa memberikan arahan dan pengertian pada Argo tentang kondisinya. Ia selalu membicarakan tiap keputusan penting seperti jadwal terapi agar Argo cepat bisa jalan. Berikut pernyataan tentang pemberian arahan ibu untuk Argo :

Infor man 2

“ Ya, saya kasih tahu seperlunya saja. Supaya dia ngerti apa yang bisa dia lakukan sendiri. Selebihnya, saya, ayahnya dan saudaranya yang bantu.” Bu Keken

(Inter view : Sabtu, 12 Mei 2012, pukul 09.00) Kr oscek 2

Ketika peneliti bertanya tentang pemberian arahan ibu pada Argo, ia menjawab: “Iya, soal sekolah. Kadang aku suka sekolah soalnya ada temen.” Argo

(Inter view : Senin, 14 Mei 2012, pukul 10.00)

Bu Keken berusaha memberi ruang untuk Argo memahami dirinya sendiri. Untuk menjadi anak yang mandiri, Bu Keken merangsang Argo untuk melakukan hal yang ia bisa lakukan dulu. Ketika usahanya tidak tercapai karena keadaan fisiknya, baru orang-orang di lingkungan keluarganya membantu.

Perlakuan seperti ini yang membuat Argo tumbuh mandiri. Ini juga memudahkan Bu Keken meninggalkan Argo di rumah dan ia fokus di depot bersama suaminya. Mereka tidak terlalu akrab, tapi Argo tidak merasa canggung mengungkapkan rasa sayang pada ibunya.

Bu Keken juga selalu terlibat langsung dalam keputusan untuk Argo. Kadang Argo juga dilibatkan untuk memberitahu bahwa orangtuanya memiliki rencana untuk dirinya. Hal terbut terkutip dalam pernyataan Bu Keken berikut ini :

Infor man 2

“ Keputusan saya dan ayahnya yang buat. Kadang Argo juga dilibatkan. Tapi kalau sudah rewel, lebih baik tidak usah bilang ke anaknya. Kebanyakan kalau urusan penting, berdua saja

sama ayahnya.” Bu Keken

(Inter view : Sabtu, 12 Mei 2012, pukul 09.00)

Kadang mereka sekeluarga liburan ke tempat wisata. Hal ini membiasakan Argo bertemu banyak orang baru. Ini merangsang kepercayaan diri Argo agar tumbuh optimal dengan kondisinya. Nilai lebihnya adalah, kegiatan ini juga membiasakan seluruh anggota keluarga tampil di depan umum bersama Argo dan tidak malu dengan keberadaan Argo. Semua kegiatan yang dirancang seperti ini berjalan mulus. Argo menjadi semakin mandiri, percaya diri dan berprestasi.

Infor man 3

Kemudian adan hubungan Bu Catur dengan putranya Olan. Bu Catur sangat menyayangi Olan. Begitupun sebaliknya. Kekurangan sekaligus jadi kelebihan Olan adalah hambatan penyerta yang dideritanya adalah autis. Ia cerdas dan mampu berpikir lebih baik dari kawan-kawan di kategorinya. Ia juga lebih bisa diajak bicara, jika autisnya terpendam. Namun jika autisnya muncul, egoisnya juga muncul.

Oleh karena itu, Bu Catur dan keluarga lebih memilih menerapkan pola pendidikan dan komunikasi bersahabat pada Olan. Ia harus sabar dalam menjelaskan apa

kemauannya. Ia menyadari betul kelebihan dan kekurangan anaknya. Maka ia tahu apa yang bisa dilakukan anaknya. Seperti pernyataan berikut ini :

Infor man 3

“ Iya. Harus dari hati. Selalu ada menyiapkan Olan agar tidak tergantung pada orang lain.” Bu Catur

(Inter view : Selasa, 15 Mei 2012, pukul 09.00)

Kr oscek 3

Ketika peneliti bertanya tentang hal-hal apa saja yang bisa dilakukannya sendiri, ia menjawab : “ Bantu mama masak.” Olan

(Inter view : Selasa, 15 Mei 2012, pukul 10.00)

Walaupun Bu Catur selalu menuruti kemauan Olan, ia tidak pernah lupa mengajarkan Olan mandiri. Dalam kesehariannya, ia menyelipkan kegiatan-kegiatan rumah dengan pesan moral kemandirian agar anaknya bisa melakukan hal-hal menyangkut dirinya sendiri dengan baik. Termasuk mengajari memasak, walau baru tahap melihat kesibukan di dapur. Keluarganya juga bahu-membahu menunjukkan pada Olan tentang kemandirian. Bahkan ayahnya yang supersibuk pun meluangkan waktu untuk cuci piring dibantu Olan.

Pendidikan semacam ini memang sudah layak dilakukan pada anak berusia 10 tahun seperti Olan. Dengan kondisi fisik Olan memang tidak mudah mengajarkan hal demikian, tapi Bu Catur punya keyakinan kuat dalam mendidik anaknya itu dengan datangnya keajaiban dari Tuhan.

Oleh karena itu Bu Catur tidak pernah lelah memberikan dukungan kepada Olan. Memberikan arahan dan penjelasan tentang kondisinya yang demikian. Termasuk perkembangannya yang intens menjalani terapi di sekolah. Berikut pernyataan tentang pemberian arahan Bu Catur untuk Olan :

Infor man 3

“ Pernah. Sering malah.” Bu Catur (Inter view : Selasa, 15 Mei 2012, pukul 09.00)

Pola komunikasi demokratis yang dibangun Bu Catur pada Olan, tetap juga diperlukan pengingatan arahan atau penjelasan mengenai kondisinya. Walaupun Bu Catur jarang menunggu Olan di sekolah, ia harus selalu tahu dari tantenya yang menunggu Olan tentang perkembangan terapi Olan. Ia tidak pernah ketinggalan momen berharga prestasi Olan di sekolah. Jadi ia tahu, apa saja yang masih harus dilakukan Olan untuk kemajuannya. Tentunya dengan cara memotivasi dengan kasih sayang, tanpa perlu paksaan.

Ini yang menyebabkan Olan pun berusaha memahami mamanya. Ia seringkali mengungkapkan rasa sayang pada mamanya dan berjanji berusaha pintar di sekolah untuk meraih cita-cita demi membahagiakan mamanya. Untuk itulah mamanya selalu terlibat langsung pada tiap keputusan untuk Olan. Seperti pernyataannya berikut ini :

Infor man 3

“ Iya. Yang penting saya yakin mukzizat pasti ada . makanya kakak dan ibu saya support ke Olan. Kami harus merintis sesuatu yang nantinya akan diwariskan pada Olan.” Bu Catur

Dalam pola hubungan komunikasi Bu Catur dan Olan, Si Ibu mengerti sekali tentang apa yang harus dilakukannya pada anaknya yang menderita CP. Sehingga tidak ada salah pengertian, terutama menerjemahkan kemauan dan tingkah anak. Ibu juga harus pandai mengontrol emosi agar tidak keluar hal-hal negative, baik verbal maupun nonverbal.

Seperti Bu Catur yang memang kesakitan ketika dicakar dan dicubit Olan ketika autisnya kumat. Ia tidak membalas, tidak mengeluarga kalimat negative, tidak menunjukkan kemarahan. Dengan begitu Olan melihat dirinya aman dan menganggap mamanya tidak berbahaya baginya. Itulah yang membuat Olan sayang dengan mamanya dan lama-kelamaan ia bisa mengontrol autisnya.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi yang terjalin antara ibu yang memiliki status pendidikan tinggi dan anaknya yang menderita CP terbangun pola komunikasi authoritative. Pola komunikasi Authoritative meliputi sikap penerimaan dan control ibu pada anaknya yang menderita CP seimbang. Ibu dan anak mempunyai kedudukan sama untuk berpendapat dan melakukan sesuatu yang dianggap baik. Ada kalanya anak mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya dan ibunya mendengarkan serta menanggapi. Ada kalanya ibu memberi arahan terbaik dan anaknya mendengarkan serta mempertimbangkannya.

Secara teori memang pola komunikasi demokratis merupakan pola komunikasi paling tepat. Namun, masih banyak orangtua, khususnya ibu yang menerapkan system otoriter dan permisif. Dari hasil penelitian yang dilakukan, ibu demokratis dengan anak CP terjadi pada ibu yang berpendidikan perguruan tinggi. Tingginya tingkat pendidikan

ibu membuat mereka lebih mengetahui tentang CP dan membuat mereka lebih sigap, respek, dan tanggap dalam mendidik anak.

Jika dalam satu keluarga menggunakan pola demokratis ini sebagai acuan pola hubungan antara orangtua dengan anak, khususnya anak penderita CP, maka hubungan interpersonal anatara ibu dengan anak dapat terjalin dengan baik karena kedudukan anatara anak dengan orangtua sejajar dalam berkomunikasi. Orangtua menjadi komunikator dan anak menjadi komunikasi, begitu sebaliknya. Secara emosional antara anak dengan ibu akan terjadi kedekatan, memeiliki inisiatif yang positif serta sopan santun dan budi pekerti yang baik.

B. Kelompok Keluarga dengan Status Pendidikan Orangtua Sekolah Menengah Atas

Sedangkan dalam kelompok keluarga ini Dalam kelompok ini akan dijelaskan bagaimana pola komunikasi yang terbangun antara ibu dan anaknya yang menderita CP. Berikut informan 1, informan 4 dan informan 5 akan dijelaskan di bawah ini :

Infor man 1

Dalam kasus ini, Bu Deni adalah seorang ibu rumah tangga. Mengenai sakit permanen yang diderita putrinya, ia menerima apa adanya. Bu Deni dan Nabila memang mempunyai hubungan dekat. Mereka saling bicara jika ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Bila juga selalu mengungkapkan apa yang dia suka dan tidak suka pada ibunya.

Sehari-harinya Bu Deni mengaku cerewet dalam mengurus Bila. Bila bukan anak yang mudah diberitahu. Seringkali rasa lelah merawat Bila, dapat memacu emosi Bu Deni. Terutama jika Bila tidak menurut, Bu Deni biasanya mencubit, memukul dengan telapak tangan terbuka, atau mendorong kepala Bila. Setelah itu Bila hanya bisa menangis. Seperti pada pernyataan berikut :

Infor man 1

“ Kadang saya ancam meninggalkannya. Ibu-ibu di sini cenderung jengkel memperlakukan anaknya sama. Saya pikir cuma saya saja yang jahat, ternyata yang lain juga

begitu. Kalau sudah emosi, saya cubit, cubit beneran. Saya ceples (memukul dengan telapak tangan terbuka), ceples beneran. Kadang saya jendhul (mendorong kepala). Gitu itu bikin

stress.” Bu Deni

(Inter view : Selasa, 8 Mei 2012, pukul : 09.00) Kr oscek 1

Ketika peneliti menanyakan apakah ada hukuman jika Bila tidak mau menurut ibunya, ia menjawab :

“ Iya. Dicubit di tangan.” Nabila

(Inter view : Rabu, 9 Mei 2012, pukul : 10.00)

Bu Deni menggunakan tindakan fisik sebagai pilihan untuk mengatasi ketidakmauan Bila. Dalam kondisi Bila, ia berada pada manifestasi klinis rigiditas, yaitu dampak kerusakan non motorik yang terlihat pada retardasi mental

(keterbelakangan mental) atau keterlambatan berpikir. Bila kadang tidak mengerti mengapa ibunya memberikan perintah atau sesuatu yang harus diturutinya. Bila hanya tidak setuju atau tidak mau mengerjakan jika tidak sesuai dengan keinginannya.

Keinginan Bila dan Bu Deni yang tidak sama, akan menimbulkan pemberontakan kecil oleh Bila. Sama-sama ingin menang. Namun, posisi Bu Deni sebagai ibu yang hanya satu-satunya orang yang dapat membantu Bila, ia merasa di atas Bila dan harus dituruti. Jika Bila tetap menolak, cubitan, ceplesan dan lainnya jadi penentu yang menyelesaikan konflik tersebut.

Bu Deni menyadari kekurangan dan kelebihan dalam diri Nabila. Namun, ia tidak pernah sedikitpun berpikir untuk meninggalkan Bila. Seperti pada pernyataan ketika peneliti bertanya tentang penarikan dirinya dalam hubungannya dengan Bila sebagai berikut :

Infor man 1

“ Ya sempet, emosi-emosi begitu. Tapi hanya sesaat. Emosi sesaat saja. Kalau sampai begitu ya ndak pernah, mbak. Namanya juga orangtua. Nggak pernah kepikiran meninggalkan

anaknya.” Bu Deni

(Inter view : Selasa, 8 Mei 2012, pukul 09.00) Kr oscek 1

Ketika peneliti bertanya apakah Bila pernah merasa ibunya tidak sayang padanya, ia menjawab :

“Pernah. Waktu ibu marah. Tapi sebenernya aku sayang.” Nabila (Inter view : Rabu, 9 Mei 2012, pukul 10.00)

Dalam hal ini rasa memiliki Bu Deni pada anaknya sangat besar. Di awal ia menyatakan menerima anaknya apa adanya. Ia pun konsisten melengkapi jawaban dari peneliti tentang penarikan diri tersebut. Bu Deni menyadari kapasitas dirinya sebagai

Tapi kembali lagi pada hakikatnya seorang ibu pada anak. Rasa sayang tidak bisa lepas begitu saja, bahkan di kala orang sulit mengontrol kemarahannya. Bu Deni mengaku, di tengah kemarahannya pada Bila, ada rasa kasihan ketika melihat anaknya menangis atau sedang tidur. Tuturnya, inilah seni memiliki anak istimewa seperti Nabila dan anak-anak istimewa lainnya.

Semua yang terbaik untuk Bila, bagi Bu Deni harus diturut oleh Bila. Namun, ada beberapa hal menyangkut keadaan fisik yang tidak memungkinkan Bila menuruti ibunya, Bu Deni memilih diam dan mengatasinya sendiri. Hal tersebut dikuatkan dengan pernyataan yang diucapkan ketika peneliti bertanya tentang keharusan Bila menuruti ibunya sebagai berikut :

Infor man 1

“ Kadang tidak bisa. Contohnya kadang kalau buang air kecil, dia ndak bisa menahan. Jadi terpaksa mengompol, lalu bilang saya. Ya mau bagaimana lagi.” Bu Deni

(Inter view : Selasa, 8 Mei 2012, pukul : 09.00) Kr oscek 1

Ketika peneliti menanyakan tentang ketidakpatuhan Bila pada ibunya, ia menjawab : “ Iya. Kalau disuruh tidur siang nggak mau. Maunya main terus.” Nabila

(Inter view : Rabu, 9 Mei 2012, pukul 10.00)

Pemberontakan kecil yang dilakukan Bila seringkali tidak sesuai dengan suasana hati Bu Deni. Terutama ketika lelah, inginnya Bu Deni adalah merawat Bila dengan mudah. Nyatanya tidak juga begitu. Karena hal tersebut bisa kontras dengan keinginan Bila.

Di usia menginjak remaja, Bila ingin semakin banyak waktu bertemu kawan-kawannya. Seperti diungkap Bila, ia ingin waktu tidur siangnya dihabiskan dengan bermain bersama kawan-kawannya. Karena hanya waktu itu saja yang ia miliki yang dapat digunakan untuk bermain. Selebihnya ia harus pergi mengaji dan malamnya ia belajar di rumah bersama ibunya. Kesempatan dalam mengaji yang masih bertemu kawannya pun terasa kurang baginya. Apalagi jika membahas tentang boyband

SMA*SH yang sedang digandrunginya. Suara ibunya pun jangan harap ia dengarkan.

Namun, untungnya Bu Deni tidak kaku dalam merawat Bila. Seperti yang ia ungkapkan di atas, ia memahami betul kekurangan Bila. Termasuk kekurangan fisik yang sebenarnya berkali-kali Bu Deni mengajarkan pada anaknya agar bisa melakukan atau menggerakkan sendiri, tapi Bila belum sepenuhnya bisa. Hal ini masih dimaklumi oleh Bu Deni walau dalam hatinya lelah memikirkan putrinya.

Dalam keluarga Bu Deni, antara Bu Deni dan suaminya sepakat mendidik Bila dengan dominasi Bu Deni dibanding suaminya kepada Bila. Yang penting bagi Bu Deni, ada beberapa hal menyangkut kondisinya yang Bila harus mau menuruti ibunya. Dalam hal ini, Bu Deni turun tangan mendorong Bila melakukannya. Seperti hal-hal penting menyangkut sekolahnya. Ini didukung dengan pernyataan Bu Deni sebegai berikut :

Infor man 1

“ Kalau soal sekolah itu ya, seperti menata jadwal pelajaran dan mengerjakan PR. Kadang dia malas. Tapi ya harus dikerjakan.” Bu Deni

Sebenarnya Bu Deni tidak ingin menyakiti atau memarahi Bila. Tapi ia harus bisa tegas mendidik Bila sesuai dengan keinginannya, yaitu agar Bila bisa mandiri. Bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Bu Deni harus menekan perasaan kasihan pada Bila jika sedang merawat atau sedang bersama Bila. Agar anaknya tidak manja, agar anaknya tidak menjadi anak cacat yang tidak bisa apa-apa.

Hal ini diungkapkan Bu Deni pada peneliti ketika ditanya tentang harapan apa yang ingin dicapai untuk Bila jika anaknya tersebut mau menuruti keinginannya, seperti yang dipaparkan dalam pernyataan berikut ini :

Infor man 1

“ Biar bisa sendiri, tidak bergantung, punya tanggungjawab. Agar bisa seperti anak-anak lainnya. Tidak usah muluk-muluk. Jika seandainya saya dan bapaknya tidak ada, dia bisa

melakukan sendiri.” Bu Deni

(Inter view : Selasa, 8 Mei 2012, pukul 09.00)

Bagi Bu Deni caranya sudah tepat, karena perkembangan Bila juga baik. Ia berharap Bila tetap mau menuruti keinginannya memberikan yang terbaik bagi Bila. Semua ujung dari keinginan dan kemauan Bu Deni mendidik Bila yang cenderung otoriter, ada pada besarnya cita-cita Bu Deni untuk Bila menjadi anak yang mandiri. Fisiknya yang lemah pada kaki, jari tangan dan otot leher, membuat Bila banyak tergantung pada orang lain dalam melakukan sesuatu. Apalagi retardasi mental ringan yang dideritanya, mengharuskan Bila lebih giat belajar agar kelak hidupnya tidak susah seperti ibu dan bapaknya sekarang. Itulah yang diinginkan Bu Deni.

Namun Bu Deni tidak menyadari bahwa pola hubungan komunikasi yang dibangunnya sedemikian rupa, telah membawa dampak bagi perkembangan Nabila

yang lain seperti semakin mudah tersinggung, tidak percaya diri dan mudah memberontak pada orangtua. Tanda-tanda pemberontakan semakin besar ketika dalam proses observasi, ketika Bila disuruh makan siang oleh ibunya. Ia menolak, karena asyik main kartu gambar SMA*SH. Bu Deni pun marah, karena sejak pagi Bila belum makan, kalau telat makan ia bisa menangis kelaparan. Bukannya menurut, Bila malah ikut marah pada ibunya.

Begitu juga ketika keasyikan bermain dengan kawan-kawannya di rumah. Tidak mau tidur siang, diwarnai pertengkaran Bu Deni dan Bila. Dan ketidakpercayaan diri Bila untuk menunjukkan kegemaran bernyanyinya pada orang lain, karena ibunya kurang setuju dan mengejek bahwa suaranya fals dan tidak enak didengar. Semua ini terjadi ketika Bila masih berusia 12 tahun. Ke depan, jika pola hubungan ini masih dipakai Bu Deni dalam mendidik Bila, kekurangan Bila akan semakin membuatnya bergantung pada kehadiran orang lain, terutama ibunya.

Infor man 5

Hal ini juga terungkap pada hubungan komunikasi antara Bu Khotimah pada Dani. Semua aturan khusus dibuat oleh Bu Khotimah untuk Dani. Bu Khotimah berpendapat semua aturan dan rencana sudah sesuai untuk kebutuhan Dani. Maka dari itu, Dani harus menuruti kemauan ibunya.

Kondisi klinis Dani lebih parah dari Nabila. Kedua kakinya lumpuh, otot jari tangannya lemah, otot lehernya juga tidak berfungsi untuk menyangga kepala pada mestinya. Ia harus mencari posisi kepala tertentu jika ingin melihat obyek di depannya.

Bicaranya wajar, hanya kepercayaan dirinya yang rendah membuatnya takut dan tidak bersahabat dengan orang baru dikenalnya.

Sehari-hari Bu Khotimah selalu berdekatan fisik dengan Dani. Seringkali Dani cerita pengalaman di sekolah pada ibunya. Namun tidak menjamin Dani mau menuruti kemauan ibunya. Ia juga menolak jika ada pendapat dari ibunya yang tidak sesuai dengan kemauannya. Jika persitiwanya ringan, ia hanya marah atau nggondok. Namun, jika peristiwanya besar dan keinginannya besar, Dani bisa sampai menangis. Bila sudah begitu, hukumannya adalah masuk kamar dan tidur. Karena Bu Khotimah sendiri juga

Dokumen terkait