• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA KOMUNIKASI IBU DAN ANAKNYA YANG MENDERITA CEREBRAL PALSY (Studi Deskriptif Kualititatif Pola Komunikasi Ibu pada Anak Penderita Kelayuan Fungsi Otak di Surabaya).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA KOMUNIKASI IBU DAN ANAKNYA YANG MENDERITA CEREBRAL PALSY (Studi Deskriptif Kualititatif Pola Komunikasi Ibu pada Anak Penderita Kelayuan Fungsi Otak di Surabaya)."

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Deskr iptif Kualititatif Pola Komunikasi Ibu pada Anak Penderita Kelayuan Fungsi Otak di Sur abaya)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pada J ur usan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univer sitas

Pembangunan Nasional Veteran Sur abaya

Oleh :

ANDHITA NURLAILA AYU SORAYA NPM. 0843010020

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

(Studi Deskriptif Kualitatif tentang Pola Komunikasi Ibu pada Anak Penderita Kelayuan Fungsi Otak di Sur abaya)

Disusun Oleh :

ANDHITA NURLAILA AYU SORAYA NPM. 0843010020

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Pembimbing Utama

Dr s. Syaifuddin Zuhr i M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1

Mengetahui, DEKAN

(3)

(Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Ibu dan Anaknya yang Menderita Kelayuan Fungsi Otak di Surabaya)

Oleh :

ANDHITA NURLAILA AYU SORAYA NPM. 0843010020

Telah dipertahankan dihadapan dan diteriman oleh tim penguji skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Surabaya

Pembimbing Utama Tim Penguji

Ketua

Dr s. Syaifuddin Zuhr i M.Si

NPT. 3 7006 94 0035 1 J uwito, S.Sos, M.Si

NPT. 3 6704 95 00361 Sekertaris

Dr s. Syaifuddin Zuhr i M.Si

NPT. 3 7006 94 0035 1 Anggota

Dr. Catur Sur atnoaji, Msi NPT. 368 04 9 400 281 DEKAN

(4)

ANDHITA. 0843010020. POLA KOMUNIKASI IBU PADA ANAK PENDERITA CEREBRAL PALSY (Studi Deskr iptif K ualitatif Pola Komunikasi Ibu pada Anak Pender ita Kelayuan Fungsi

Otak di Sekolah L uar Biasa Yayasan Pembinaan Anak Cacat Sur abaya)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi ibu pada anak yang menderita cerebral palsy di Sekolah Luar Biasa Penyandang Cacat Surabaya. Dalam penelitian ini penulis menyandingkannya dengan teori komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi proses pengiriman pesan dari komunikator kepada komunikan dengan efek atau umpan balik yang langsung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana data diperoleh berdasarkan pengalaman pribadi narasumber. Data disajikan secara detail dan mendalam untuk memahami pola komunikasi yang terjadi.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa pola komunikasi yang dominan terjadi pada hubungan ibu dan anak penderita cerebral palsy ini ialah pola komunikasi authoritative, yaitu pola komunikasi demokratis. Artinya, para ibu menerima kondisi anak apa adanya dan berusaha segala cara yang baik dalam memfasilitasi tumbuh kembang anaknya dengan control seimbang dan tidak menyakiti hati anak.

Kata kunci : pola komunikasi, hubungan ibu dan anak, cerebral palsy

ABSTRACT

ANDHITA. 0843010020. COMMUNICATION PATTERNS IN CHILDREN MOTHER CEREBRAL PALSY (Qualitative Descr iptive Study of Communication Patter ns in Childr en Mother Br ain Disfunction in Patients Special School Development Foundation for Disabled Childr en Sur abaya)

This study aims to determine how the communication patterns of mothers in children with cerebral palsy at the School of Extraordinary People With Disabilities Surabaya. In this study the authors used by interpersonal communication theory, communication is the process of sending messages from the communicator to the communicant with the effects or the direct feedback. This study used a qualitative descriptive method, where data is obtained based on personal experience sources. Data are presented in detail and depth to understand the communication patterns that occur.

The results of this study concluded that the dominant patterns of communication that occurs in the relationship between mother and child with cerebral palsy it is authoritative communication patterns, ie patterns of democratic communication. That is, the mother receives the child's condition is and tried every way in facilitating the development of the child to control balance and not hurt the child.

(5)

Segala puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Dengan limpahan rahmat, karunia serta hidayah-Nya, Skripsi yang berjudul “POLA KOMUNIKASI IBU PADA ANAK PENDERITA CEREBRAL PALSY” dapat selesai guna memenuhi syarat mencapai gelar sarjana Ilmu Komunikasi, FISIP – UPN Veteran Jawa Timur.

Dalam proses penyelesaian Skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut :

1. Muhammad SAW untuk inspirasi “perjuangan” memaknai hidup.

2. Prof. DR. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor UPN “Veteran” Jatim.

3. Dra. Ec. Hj Suparwati, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik (FISIP) UPN “Veteran” Jatim.

4. Juwito, S.Sos, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP

UPN “Veteran” Jatim.

5. Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu

Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Jatim, sekaligus merangkap sebagai dosen

pembimbing. Segenap saran perbaikan, ilmu dan energy yang tercurah, menjadi

spirit yang menemani penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

6. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi maupun Staf Karyawan FISIP

hingga UPN “Veteran” Jatim.

7. Keluargaku tercinta : Bapak, Mama, Abang, Kak Ifa, Iman dan Ucup serta

(6)

pengertiannya, sehingga penulis dapat merasakan menjadi manusia luar biasa. Maaf bila harus meletakkan semua cerita bersama kawan-kawan sampai di sini.

Walau kebersamaan kita tidak intens lagi, sejarah tentangku biarkan menjadi

spirit untuk generasi berikutnya yang jauh lebih baik, amin.

9. Kawan-kawan terbaikku : Indr a Pr asetya, sobat lama yang tak pernah lelah

memotivasi dan berjuang bersama selama bertahun-tahun. Maaf, bila waktuku

bersamamu mengurusi para Kohai tidak bisa lama. Etha Wicaksono, Kr isha

Ciesa, Tiqa Lestiana dan Tanti, terimakasih untuk pengalaman bersama

selama di UPN. Semoga kebersamaan kita lebih dari sekedar kehadiran secara

fisik dan spirit persahabatan senantiasa mempererat tali silaturahmi di antara

kita. Tyas Hika r i, terimakasih sudah ditemani berjuang ketemu Pak Udin di

tiap waktu sibuknya. Juga bersedia membantuku pontang-panting mencari data.

10. Hilman War dhana Adam. Terimakasih atas shock therapy kecil yang sempat menjatuhkan semangatku dan justru sebagai pemicu selesainya skripsi ini.

Terimakasih juga karena kamu mau menyelesaikannya.

11. Kawan-kawan di My Secr et Gar den. Terimakasih pengertian, inspirasi hidup dan dukungannya. Eltaft, RW2, Aulia Ar t, terimakasih juga dukungan,

kegembiraan dan kerjasamanya. I never forget all of our story.

12. Keluarga Nabila, Keluarga Olan, Keluarga Argo, Keluarga Ryan dan Keluarga

Dani. Terimakasih dukungannya dengan menjadi narasumberku yang berharga.

13. Para pengelola, pengajar, siswa dan orangtua terkasih di SLB YPAC Surabaya.

(7)

bentuk bantuan yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran

selalu penulis harapkan demi tercapainya hal terbaik dari skripsi ini. Besar harapan

penulis, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat sekaligus menambah

pengetahuan bagi berbagai pihak. Amin.

Surabaya, 30 Mei 2012

(8)

Halaman

HALAMAN J UDUL ...i

HALAMAN PERSETUJ UAN UJ IAN LISAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. KAJ IAN PUSTAKA ... 11

2.1 Landasan Teori ... 11

2.1.1 Komunikasi ... 11

2.1.2 Komunikasi Interpersonal ... 12

2.2 Komunikasi Keluarga ... 24

2.3 Pengertian Pola Komunikasi ... 27

2.3.1 Pola Komunikasi dalam Keluarga ... 28

2.3.2 Pengertian Keluarga ... 32

(9)

ix

2.6 Cerebral Palsy ... 34

2.6.1 Manifestasi Klinis dan Spesifikasi Cerebral Palsy ... 38

2.7 Kerangka Berpikir ... 42

BAB III. METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Definisi Operasional ... 43

3.1.1 Komunikasi Ibu dan Anak ... 43

3.2 Subyek dan Informan Penelitian ... 44

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.4 Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian dan Penyajian Data ... 49

4.1.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 49

4.1.2 Identitas Responden ... 55

4.1.3 Penyajian Data ... 57

4.2 Analisis Data ... 58

4.3 Pembahasan ... 84

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

5.1 Kesimpulan ... 85

5.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(10)

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Komunikasi interpersonal atau biasa disebut komunikasi antarpribadi, adalah komunikasi yang terjalin atau berlangsung antara dua orang atau sekelompok kecil orang. Dengan pengertian lain, komunikasi antarpribadi yaitu proses pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh seseorang lainnya dengan efek atau umpan balik yang langsung (Liliweri, 1997:12).

Komunikasi antarpribadi sangat penting bagi kebahagiaan hidup kita. Johnson (1981) menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia.

Pertama, komunikasi antar pribadi membantu perkembangan intelektual

dan sosial kita. Perkembangan kita sejak bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin luasnya ketergantungan kita pada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan proses itu, perkembangan intelektual dan sosial kita sangan ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain itu.

Kedua, identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi

(11)

Ketiga, dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. Tentu saja, pembandingan sosial (social comparison) semacam itu hanya dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.

Keempat, kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh

kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant figures) dalam hidup kita. Bila hubungan kita dengan orang lain diliputi berbagai masalah, maka tentu kita akan menderita, merasa sedih, cemas, frustasi.

Bila kemudian kita menarik diri dan menghindar dari orang lain, maka rasa sepi dan terasing yang mungkin kita alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan hanya penderitaan emosional atau batin. Bahkan mungkin juga penderitaan fisik.

Agar merasa bahagia, kita membutuhkan konfirmasi dari orang lain, yakni pengakuan berupa tanggapan dari orang lain yang menunjukkan bahwa diri kita normal, sehat dan berharga. Lawan dari konfirmasi adalah diskonfirmasi, yakni penolakan dari orang lain berupa tanggapan uang menunjukkan bahwa diri kita abnormal, tidak sehat dan tidak berharga. Semuanya itu hanya kita peroleh lewat komunikasi antarpribadi, komunikasi dengan orang lain (Supratiknya, 1995 : 10).

(12)

manusia. Dan suatu kesimpulan yang bisa terlihat dari berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa komunikasi antarpribadi mempunyai hubungan erat dengan sikap dan perilaku manusia.

Komunikasi interpersonal atau individu adalah komunikasi yang terjadi dalam keluarga. Di mana kondisi ini berlangsung dalam sebuah interaksi pribadi, yaitu antara suami dan istri, ayah terhadap anak, ibu kepada anak, serta anak dengan anak. Komunikasi keluarga berlangsung timbal balik dan bergantian. Bisa dari orangtua ke anak, dari anak ke orangtua atau dari anak ke anak.

Dalam komunikasi keluarga, tanggungjawab orangtua adalah mendidik anak. Maka, komunikasi yang terjadi dalam keluarga bernilai pendidikan. Ada sejumlah norma yang diwariskan orangtua pada anak. Misalnya norma agama, norma akhlak, norma sosial, norma etika dan estetika serta norma moral (Bahri, 2004:37).

Sebuah keluarga akan berfungsi optimal bila di dalamnya terdapat pola komunikasi terbuka, sikap saling menerima, mendukung, rasa aman dan nyaman serta memiliki kehidupan spiritual terjaga (Kriswanto, 2005:9). Oleh karena itu komunikasi dalam keluarga diharapkan efektif untuk membangun suasana keluarga, karakter anak serta penguatan pasangan antara ayah dan ibu.

(13)

pengirim, karena pengirim gagal mengkomunikasikan maksudnya dengan tepat (Supratiknya, 1995 : 34).

Komunikasi efektif penting dalam keluarga. Hampir 80% waktu kita digunakan untuk berkomunikasi. Baik tidaknya keluarga, sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya komunikasi yang ada di dalamnya (www.republika.co.id : June 16, 2006 20:05:23 PM).

Dalam konteks ini, peneliti bermaksud mengetahui komunikasi yang terjalin pada orangtua, khususnya ibu yang memiliki anak penderita kelayuan fungsi otak atau cerebral palsy (CP). Komunikasi efektif penting diterapkan pada ibu yang memiliki anak penderita cerebral palsy. Karena ibu merupakan orangtua yang melahirkan dan paling dekat membimbing anak dalam kehidupan sehari-hari. Dari ibu pula pendidikan pertama manusia dimulai. Ibu memiliki peran vital dalam kehidupan seorang anak.

Cerebral palsy masuk dalam kategori difable daksa. Difable kepanjangan

dari different ability people atau orang dengan kemampuan berbeda. Tidak lagi menggunakan istilah “cacat”. Istilah “cacat” sudah mulai dikikis. Kata atau istilah “cacat”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti rusak. Kata ini pada dasarnya hanya tepat diberikan pada barang atau benda mati.

(14)

Begitu juga dalam Bahasa Inggris, ada kata disability yang artinya ketidakmampuan.

Karena itulah, pada 1998, beberapa aktifis gerakan penyandang cacat mengenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan cacat, yaitu difable. Istilah

difable bermakna orang yang berbeda kemampuan, sehingga yang ada sebenarnya

hanyalah perbedaan, bukan kecacatan (Fuad, 2010).

Data jumlah difable di Indonesia 2009 mencatat ada 11.580.117 orang yang terdiri atas difable netra sebanyak 3.474.035 orang, difable daksa sebanyak 3.010.830 orang, difable rungu sebanyak 2.547.626 orang, difable mental sebanyak 1.289.614 orang. Sisanya difable kronis sebanyak 1.158.012 orang (www.jpn.com, Jum'at, 03 Desember 2010 , 17:44:00).

Dalam kategori difable daksa, terdiri dari berbagai macam jenis perbedaan kondisi fisik. Salah satunya cerebral palsy. Cerebral palsy atau CP adalah gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan nonprogresif akibat kelainan pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Cerebreal palsy atau paralisis otak merupakan kelainan dengan beberapa tipe dan tingkatan dapat terjadi segera sebelum lahir, pada waktu lahir atau sesaat setelah lahir.

(15)

paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik. Kelainan ini bermanifestasi mulai pada masa bayi, anak-anak dan menetap seumur hidupnya, secara klinis berupa gangguan terhadap fungsi otot volunteer dan persepsi serta kadang disertai gangguan mental (www.srcibd.com).

Kelainan tersebut ada kondisi seumur hidup yang mempengaruhi komunikasi antara otak dan otot. Hal ini menyebabkan keadaan permanen dan sikap gerakan yang tidak terkoordinasi. Umumnya beberapa ahli mengartikan bahwa cerebral palsy sebagai kondisi yang ditemukan pada anak berupa kejang atau kekauan disertai mobilitas dan kemampuan bicara rendah.

Karena kesulitan berkomunikasi ini, penyampaian pesan dari ibu selaku komunikator terhambat kepada anak penderita cerebral palsy sebagai komunikan. Begitu pula sebaliknya. Padahal, mereka tinggal dalam satu rumah dengan intensitas kebutuhan berkomunikasi tinggi sebagai antar anggota keluarga. Hal ini menjadi persoalan utama yang menarik bagi peneliti untuk mengetahui cara berkomunikasi mereka di dalam hambatan salah satu unsur proses komunikasi tidak berfungsi maksimal.

(16)

Dalam kondisi fisik dan saraf yang tidak sempurna, fakta keluarga tidak bisa menerima kondisi berbeda yang dialami anak demikian banyak ditemukan. Salah satunya Riska, 18, siswa Sekolah Luar Biasa YPAC Surabaya. Kesehariannya di rumah ia dihadapkan pada ibunya yang menuntut harus bisa segala hal yang diajarkan padanya. Di sekolahpun, bila ia tidak bisa memahami materi pelajaran, Si Ibu akan melontarkan kata celaan, seperti “goblok” dan lainnya.

Kebiasaan ini yang membuat Riska sering mengumpat celaan sama pada teman-temannya di sekolah. Riska juga tidak bisa mengungkapkan pendapat-pendapatnya dan harus menuruti ibunya. Perasaan tidak setuju pun harus ditelannya dalam-dalam, agar ibunya tidak selalu mengatakannya bodoh.

Hal serupa juga bisa saja dialami para penderita cerebral palsy lainnya. Keadaan berbeda secara fisik dan mental menjadi penghambat pertumbuhan daya komunikasi mereka. Bila sejak kecil hambatan seperti ini tidak dapat ditangani dengan baik oleh ibu dalam membantu tumbuh kembang anak penderita cerebral

palsy, anak-anak tersebut tidak dapat berkembang maksimal terutama dalam

berkomunikasi.

(17)

Kadang masalah tidak berhenti pada rendahnya kemampuan berkomunikasi anak saja. Peran serta ibu yang tidak intens dalam pendidikan di keluarga turut mempengaruhi kualitas komunikasi antar anggota keluarga yang memiliki anak penderita cerebral palsy. Ibu bekerja, sehingga anak hanya diasuh oleh pengasuh rumah tangga.

Pagi dibangunkan oleh pengasuh. Lalu dimandikan, makan disuapi, ke toilet dituntun, sampai mengantar dan menunggu di sekolah dilakukan bersama pengasuh. Ibu hanya bertemu pandang dengan sedikit komunikasi. Ibu hanya mengetahui sekilas perkembangan anaknya.

Bahkan ada pula ibu yang merasa malu dengan kondisi anaknya. Sejak anak didiagnosis dokter menderita cerebral palsy, rasa khawatir, was-was dan malu muncul dalam diri orangtua. Mereka berharap anaknya tumbuh dan beraktifitas normal. Mereka berharap anaknya tumbuh membanggakan dengan segudang prestasi.

Kondisi seperti ini justru semakin memperkecil peluang komunikasi antara ibu dengan anak. Fungsi pengasuh justru menggantikan fungsi ibu secara penuh. Dengan keterbatasan pendidikan pengasuh rumah tangga, mereka tidak optimal membantu tumbuh kembang anak, terutama dalam hal berkomunikasi. Minimnya akses informasi para pengasuh rumah tangga tidak memungkinkan mereka mengetahui kondisi anak penderita cerebral palsy.

(18)

mengenal lingkungan sekitar, ataupun belajar secara akademik. Dengan kata lain, peran orangtua tidak bisa digantikan seenaknya oleh pengasuh.

Sisi lain, ibu menyerahkan pendidikan-pendidikan penting tersebut di atas kepada para guru di sekolah luar biasa. Walaupun ibu ikut mengantarkan ke sekolah, masih ada pula yang menuntut agar anaknya dapat bersikap seperti anak normal. Masih rendahnya sikap menerima ibu terhadap kondisi anak-anak mereka.

Fenomena-fenomena itu yang menjadi bahan observasi peneliti. Peneliti tertarik mengetahui bagaimana pola komunikasi yang terjalin antara ibu dengan anak penderita cerebral palsy. Pola komunikasi ibu yang memiliki anak penderita cerebral palsy tentu sangat berbeda dengan pola komunikasi ibu yang memiliki anak normal. Hal ini mengharuskan orangtua melakukan penyesuaian diri dalam mendidiknya, sehingga akan membantu perkembangan anak penderita cerebral

palsy. Ibu sebagai orang terdekat dalam kehidupan anak dapat membantu

(19)

1.2Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat ditarik rumusan masalah mengenai “Bagaimanakah pola komunikasi yang terjalin antara ibu kepada anak penderita kelayuan fungsi otak di Surabaya?”

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui pola komunikasi ibu pada anak penderita kelayuan fungsi otak di Surabaya.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Ilmu Pengetahuan

1. Memberikan sumbangsih literatur bidang ilmu komunikasi yang berkaitan dengan tema pola komunikasi dalam ranah difable.

2. Menjadi media informasi perkembangan sosial budaya dalam ranah kontruksi sosial masyarakat.

1.4.2 Praktis

1. Menjadi wacana, renungan dan media belajar para orangtua yang memiliki anak difable (Different Ability People) atau anak dengan kemampuan berbeda.

(20)

KAJ IAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Komunikasi

Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicatio yang berarti “pemberitahuan” atau “pertukaran pikiran”. Secara garis besar, proses komunikasi haruslah unsur-unsur kesamaan makna agar terjadi suatu pertukaran pikiran dan pengertian antara komunikator (penyebar pesan) dan komunikan (penerima pesan) (Suprapto, 2009 : 5).

Sedangkan definisi komunikasi yang relevan diungkapkan oleh Gerald R. Miller, bahwa komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadarai untuk mempengaruhi perilaku penerima. Didukung pula oleh Carl I. Hovland yang mengatakan komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan) (Mulyana, 2001 : 62).

(21)

2.1.2 Komunikasi Interper sonal

Komunikasi antarpribadi pada dasarnya merupakan jalinan hubungan interaktif antara seorang individu dan individu lain di mana lambang pesan efektif digunakan, terutama lambang bahasa. Penggunaan lambang-lambang bahasa verbal, terutama yang bersifat lisan, di dalam kenyataan seringkali disertai dengan bahasa isyarat terutama gerak atau bahasa tubuh, seperti senyuman, tertawa, dan menggeleng atau menganggukkan kepala (Parwito, 2007 : 2).

Komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih, baik secara organisasi maupun pada kerumunan orang. Para ahli teori komunikasi mendefinisikan komunikasi antarpribadi secara berbeda. Menurut Hardjana (2003 : 85), komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula.

(22)

informasi berupa kata-kata kepada penerima dengan menggunakan medium suara manusia (human voice).

Sementara Trenholm dan Jensen (1995 : 26) mendefiniskan komunikasi antarpribadi sebagai komunikasi antara dua orang yang berlangsung secara tatap muka. Nama lain dari komunikasi ini adalah diadik (dyadic). Komunikasi diadik biasanya bersifat spontan dan informal. Partisipan satu dengan yang lain saling menerima umpan balik secara maksimal. Partisipan berperan secara fleksibel sebagai pengirim dan penerima. Segera setelah orang ketiga bergabung di dalam interaksi, berhentilah komunikasi antarpribadi dan menjadi komunikasi kelompok kecil (small group communication).

Saluran komunikasi antarpribadi dapat dighunakan untuk melihat struktur keluarga. Karena saluran komunikasi ini paling tinggi frekuensinya digunakan untuk berkomunikasi. Beberapa anggota keluarga lebih banyak menggunakan waktunya untuk berbicara dengan yang lain.

(23)

Adapun bentuk khusus dari komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi, yaitu :

1. Komunikasi Diadik (dyadic communication)

Yakni komunikasi yang berlangsung antar dua orang. orang pertama adalah komunikator yang menyampaikan pesan dan seorang lagi adalah komunikan yang menerima pesan tersebut. Dalam komunikasi ini, komunikator selalu memusatkan perhatiannya hanya pada diri komunikan, sehingga ketika dialog terjadi antara keduanya selalu berlangsung serius dan intensif.

2. Komunikasi Triadik (triadic communication)

Yakni komunikasi antarpribadi yang pelakunya terdiri dari tiga orang, yaitu seorang komunikator dan dua orang komunikan. Jika A yang menjadi komunikator, maka ia pertama akan menyampaikan komunikasi kepada B, kemudian kalau dijawab atau ditanggapi akan beralih kepada komunikan C secara berdialogis.

Dibandingkan dengan komunikasi triadik, komunikasi diadik lebih efektif. Hal itu dikarenakan komunikator memusatkan perhatiannya kepada seorang komunikan, sehingga komunikator dapat menguasai frame of reference

(24)

Ini disebabkan proses komunikasi yang berlangsung efektif, seperti yang dapat dijelaskan pada gambar sebagai berikut :

Gambar 1. Model Komunikasi Interpersonal secara umum

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa komponen-komponen komunikasi antapribadi adalah sebagai berikut (Devito, 2007 : 10) :

1. Pengirim – Penerima

Dalam komunikasi interpersonal paling tidak melibatkan dua orang. Tiap orang terlibat dalam komunikasi antarpribadi memfokuskan dan mengirimkan pesan sekaligus menerima dan memahami pesan. Fungsi pengirim dan penerima pesan dilakukan oleh setiap orang yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi.

Pengirim – Penerima Encoding - decoding

Gangguan

Pengirim – Penerima Encoding - Decoding

EFEK Pesan - Pesan

EFEK

(25)

2. Encoding – Decoding

Pesan yang akan disampaikan dikode atau diformulasikan terlebih dulu dengan menggunakan kata, symbol dan sebagainya. Sebaliknya tindakan untuk menginterpretasikan dan memahami pesan-pesan yang diterima disebut decoding. Pengirim pesan-pesan juga bertindak sebagai penerima pesan, maka fungsi decoding-encoding dilakukan oleh setiap orang yang terlibat.

3. Pesan-Pesan

Pesan ini bisa berbentuk verbal, seperti kata-kata atau nonverbal seperti symbol, bahasa tubuh, serta gabungan antara bentuk verbal dan nonverbal.

4. Saluran

Saluran ini berfungsi sebagai media yang menghubungkan pengirim atau penerima pesan atau informasi. Saluran komunikasi personal baik yang bersifat langsung perorangan maupun kelompok lebih persuasive dibandingkan dengan saluran media massa. Hal ini disebabkan karena :

(26)

b. Penyampaian pesan melalui saluran komunikasi personal dapat dilakukan secara rinci dan lebih fleksibel dengan kondisi layak. c. Keterlibatan khalayak cukup tinggi.

d. Komunikator dapat secara langsung mengetahui reaksi, umpan balik dan tanggapan atas isi pesan yang disampaikan.

e. Komunikator dapat dengan segera memberikan penjelasan apabila terdapat kesalahpahaman atau kesalahan persepsi dari pihak khalayak atas pesan yang disampaikan.

5. Gangguan (noise)

Gangguan atau noise seringkali ada dalam komunikasi antarpribadi. Adapun gangguan itu terdiri dari :

a. gangguan fisik, biasanya berasal luar dan mengganggu transmisi pesan seperti kegaduhan, interupsi, jarak dan sebagainya.

b. Gangguan psikologis, gangguan ini timbul karena adanya perbedaan gagasan dan penilaian subyektif di antara orang yang terlibat dalam komunikasi, seperti perbedaan nilai, sikap dan sebagainya.

(27)

6. Umpan balik (feedback)

Pengirim dan penerima secara terus-menerus bergantian memberikan umpan balik dalam berbagai cara, baik verbal maupun nonverbal. Umpan balik bersifat positif apabila dirasa saling menguntungkan. Bersifat netral apabila tidak menimbulkan efek. Bersifat negative jika merugikan.

7. Konteks

Ada dua dimensi konteks dalam komunikasi antarpribadi, yaitu :

a. Dimensi fisik, mencakup tempat di mana komunikasi berlangsung.

b. Dimensi sosial psikologi, mencakup hubungan yang memperhatikan masalah status, peranan yang dimainkan, norma-norma kelompok masyarakat, keakraban, formalitas dan sebagainya.

8. Bidang Pengalaman (field of experience)

(28)

9. Efek

Dibandingkan bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh mengubah sikap, perilaku kepercayaan dan opini komunikan. Hal ini disebabkan komunikasi dilakukan dengan tatap muka.

Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang dinamis. Dengan tetap mempertahankan kedinamisannya, Hardjana (2003 : 86) menjelaskan komunikasi interpersonal mempunyai ciri-ciri tetap sebagai berikut :

1. Komunikasi interpersonal adalah verbal dan nonverbal.

Artinya pesannya dikemas dalam bentuk verbal dan nonverbal. Dalam komunikasi itu, seperti pada komunikasi umumnya, selalu mencakup dua unsur pokok: isi pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal.

2. Komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu.

(29)

b. Perilaku menurut kebiasaan (script behavior), yaitu perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu khas, dilakukan pada situasi tertentu dan dimengerti orang. misalkan ucapan “Selamat datang” kepada teman yang datang, “Apa kabar” pada waktu berjumpa dengan teman dan sebagainya. Dalam bentuk nonverbal, misalnya berjabat tangan dengan teman, mencium tangan orangtua atau memeluk kekasih. Perilaku seperti itu sering kita lakukan tanpa terlalu mempertimbangkan artinya dan terjadi secara spontan karena sudah mendarah daging.

c. Perilaku sadar (contrived behavior), yaitu perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada. Perilaku itu dipikirkan dan dirancang sebelumnya, dan disesuaikan dengan orang yang akan dihadapi, urusan yang harus diselesaikan, dan situasi serta kondisi yang ada.

3. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berproses pengembangan (development process).

(30)

4. Komunikasi interpersonal mengandung umpan balik, interaksi dan koherensi.

Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka, oleh karena itu, kemungkinan umpan balik besar sekali. Dalam komunikasi itu penerima pesan dapat langsung menanggapi dengan menyampaikan umpan balik. Dengan demikian, di antara pengirim dan penerima pesan terjadi interaksi yang satu mempengaruhi yang lain dan keduanya saling mempengaruhi dan member serta menerima dampak.

Pengaruh itu terjadi pada dataran kognitif-pengetahuan, efektif-perasaan dan behavioral-perilaku. Semakin berkembang komunikasi interpersonal itu, semakin intensif umpan balik dan interaksinya karena peran pihak-pihak yang terlibat berubah peran dari penerima pesan menjadi pemberi pesan dan sebaliknya dari pemberi pesan menjadi penerima pesan.

(31)

5. Komuniasi interpersonal berjalan menurut peraturan tertentu.

Agar berjalan baik, komunikasi interpersonal hendaknya mengikuti peraturan tertentu. Peraturan itu ada yang intrinsik dan ada yang ekstrinsik. Peraturan intrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarakat untuk mengatur cara orang harus berkomunikasi satu sam lain. Peraturan ini menjadi patokan perilaku dalam komunikasi interpersonal.

Sedangkan peraturan ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan oleh situasi atau masyarakat. Peraturan ekstrinsik oleh situasi , misalnya pada waktu melayat, nada bicara dalam komunikasi interpersonal berbeda dengan ketika pesta, komunikasi interpersonal ketika berada di masjid berbeda dengan di lapangan.

Peraturan ekstrinsik oleh masyarakat misalnya komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh dua orang yang sedang pacaran di rumah, tidak berlangsung melebihi pukul 9 malam. Peraturan ekstrinsik sering menjadi pembatasan komunikasi.

6. Komunikasi interpersonal adalah kegiatan aktif.

(32)

7. Komunikasi interpersonal saling mengubah.

Komunikasi interpersonal juga berperan untuk saling mengubah dan mengembangkan. Melalui komunikasi, pihak yang terlibat komunikasi dapat saling member inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas bersama. Karena itu, komunikasi interpersonal merupakan wahana untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan dan kepribadian.

Rumanti (2002 : 105) juga menambahkan bahwa komunikasi interpersonal menciptakan rasa saling pengertian, kepercayaan, saling menghargai, mempererat hubungan sosial atau kerja. Mampu mengatasi konflik menjadi sesuatu yang membangun. Oleh karena itu, komunikasi interpersonal dianggap sebagai komunikasi efektif dalam penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan.

Komunikasi interpersonal yang efektif menurut Billie J. Walstroom dalam Liliweri (2002 : 209) dipengaruhi beberapa faktor, antara lain :

1. Menghormati pribadi orang lain. 2. Mendengarkan dengan senang hati. 3. Mendengarkan tanpa menilai.

(33)

6. Bersikap tegas.

7. Kompetensi komunikasi.

Jadi, dalam konteks ini komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka antara komunikator kepada komunikan dalam menyampaikan pesan. Dengan komunikasi interpersonal, proses penyampaian pesan lebih efektif mengubah perilaku tanpa meninggalkan unsur kemanusiaan seperti empati, saling menghargai, menghormati dan terbuka antara partisipan komunikasi.

2.2 Komunikasi Keluar ga

Berbagai literatur banyak mengungkapkan bahwa komunikasi antarpribadi kerap terjadi dalam keluarga. Karena waktu seseorang lebih banyak bertemu dengan keluarga dan berkomunikasi dalam rumah atau lingkup keluarga. Hal berlangsung intens, ada timbal balik dan silih berganti dari orangtua kepada anak maupun sebaliknya.

(34)

Dalam komunikasi keluarga, peran orangtua sangat penting. Kualitas komunikasi yang terjalin di antara anggota keluarga dipengaruhi kualitas komunikasi yang dimiliki oleh orangtua. Komunikasi akan sukses bila orangtua memiliki kredibilitas di mata anaknya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar komunikasi di keluarga bisa efektif (www.republika.co.id: March 31,2008: 11:29) :

1. Respek

Komunikasi harus diawali dengan saling menghargai. Adanya penghargaan biasanya akan menimbulkan kesan serupa atau timbale balik dari si penerima.

2. Empati

Empati adlaah kemampuan menempatkan diripada situasi dan kondisi yang dihadapi orang lain. Syarat utama dari sikap empati adalah kemampuan mendengar dan mengerti orang lain sebelum didengar dan dimengerti orang lain.

(35)

3. Audibel

Berarti dapat didengarkan atau bisa dimengerti dengan baik. Sebuah pesan harus dapat disampaikan dengan cara atau sikap yang bisa diterima oleh si penerima pesan. Raut muka cerah, bahasa tubuh yang baik, kata-kata sopan atau cara menunjuk, termasuk ke dalam komunikasi yang audible ini.

4. Jelas

Pesan yang disampaikan harus jelas maknanya dan tidak menimbulkan banyak pemahaman, selain harus terbuka dan transparan.

5. Rendah hati

Sikap rendah hati mengandung makna saling menghargai, tidak memandang rendah, lemah lembut, sopan dan penuh pengendalian diri.

E.B Surbakti (2008 : 211) menyebut komunikasi keluarga sebagai komunikasi tatap muka, karena hampir semua komunikasi di dalam rumah tangga terjadi secara oral atau lisan. Hal ini selain lebih mudah dilakukan, juga berhadapan langsung muka dengan muka, sehingga reaksi komunikasi langsung diketahui pada saat komunikasi sedang berlangsung.

(36)

bermanfaat dibandingkan dengan penyediaan fasilitas materi tanpa memahami keinginan anak. Sementara sentuhan kehangatan komunikasi semestinya menjadi cerminan keluarga (Sumartono, 2004 : 40).

Dari pemaparan di atas, dapat dimengerti bahwa komunikasi keluarga yang baik bukan dilihat dari kuantitas semata, namun kualitas komunikasi itu sendiri dan kepercayaan yang terbangun antar anggota keluarga. Selain itu juga orangtua membiasakan berkomunikasi dalam keluarga tanpa meninggalkan rasa kasih sayang yang dapat membantu tumbuh kembang optimal anak dan membangun suasana bahagia di dalam lingkungan rumah.

2.3Pengertian Pola Komunikasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV, Pusat Bahasa 2008, pola berarti system, cara kerja, bentuk atau struktur yang tetap. Sedangkan pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Bahri, 2004:1).

Menurut Tarmudji (1998 : 27), pola komunikasi berarti gambaran sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya.

(37)

proses-proses pengiriman dan penerimaan pesan yang menjadi bagian penting dalam komunikasi antar pribadi.

2.3.1 Pola Komunikasi dalam Keluar ga

Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk hubungan dua orang taua lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Djamarah, 2004:1). Menurut Suprajitno (2004 : 33), pola komunikasi keluarga menjelaskan cara keluarga berkomunikasi, siapa yang mengambil keputusan utama dan bagaimana peran anggota keluarga dalam menciptakan komunikasi.

Pola komunikasi keluarga mencakup verbal dan nonverbal, termasuk intonasi, pesan dan maksud. Lebih rinci, komunikasi ini mencakup siapa yang berbicara dengan siapa, siapa yang mendengarkan, siapa yang mencari umpan balik, dan siapa yang memvalidasi pesan (Christensen dan Kenney, 2009 : 92).

Dimensi pola komunikasi ada dua macam, yaitu pola yang berorientasi pada konsep dan pola yang berorientasi pada social yang mempunyai hubnungan berlainan (Sunarto, 2006:1) tubs dan Moss mengatakan bahwa pola komunikasi atau hubungan itu dapat dicirikan oleh komplementaris atau simetri.

(38)

berinteraksi atas dasar kesamaan. Dominasi bertemu dengan dominasi, atau kepatuhan dengan kepatuhan (Tubbs dan Moss, 2001:26)

Tiga pola komunikasi hubungan orangtua dan anak :

1. Authoritarian (cenderung bersikap bermusuhan)

Dalam pola hubungan ini sikap acceptance rendah, namun kontrolnya tinggi. Suka menghukum secara fisik, bersikap mengkomando, mangharuskan atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, bersikap kaku, cenderung emosional dan bersikap menolak. Sedang di pihak anak, mudah tersinggung, penakut, pemurung, dan merasa tidak bahagia, mudah terpengaruh stress, tidak mempunyai arah masa depan jelas serta tidak bersahabat.

2. Permissive (cenderung bersikap membebaskan)

Sikap acceptande orangtua tinggi. Namun kontrolnya rendah, memberi kebebasan pada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya. sedangkan anak bersikap impulsive serta agresif, kurang memiliki rasa percaya diri, suka mendominasi, tidak jelas arah hidupnya dan prestasinya rendah.

(39)

Dalam hal ini sikap acceptance dan kontrolnya tinggi. Bersifat responsive terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk. Sedangkan anak bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya diri, mampu mengendalikan diri, bersipak sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tahu tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup jelas dan berorientasi terhadap prestasi (Yusuf, 2001:51).

Keluarga yang antar anggotanya memiliki interaksi yang baik adalah keluarga kohesif. Pola komunikasi di dalam keluarga tersebut berlangsung terbuka. Anggota keluarga seing melakukan kegiatan bersama, dan saling membantu satu sama lain ketika ada anggota keluarganya yang sedang menghadapi kesulitan (Zahra, 2005 : 11).

(40)

Proses komunikasi berjalan baik jika antara komunikator dan komunikasn ada rasa percaya, terbuka dan sportif untuk saling menerima satu sama lain (Rakhmat, 2002:129) sikap yang dapat mendukung kelancaran komunikasi dengan anak-anak adalah :

1. Mau mendengarkan, sehingga anak lenih berani membagi perasaan sesering mungkin sampai pada perasaan dan permasalahan yan gmendalam dan mendasar

2. Menggunakan empati untuk pandangan yang bernbeda denghan menunjukkan perhatian melalui isyarat verbal dan nonverbal saat berkomunikasi.

3. Memberikan kebebasan dan doorongan sepenuhnya pada anak untuk mengutarakan pikiran atau perasaannnnya dan kebebeasan anaka dpat menanggap dengan positif tanpa adanya unsure keterpaksaan.

Hastuti dalam Kartono, 1994:154, akibat dari pola komunikasi ini adalah :

1. Pikiran anak akan berkembang, karena anak dapat mengungkapkan isi hatinya atau pikirannya dan pdata mengemukkakan usu serta berpendapat berdasarkan penalarannya.

2. Orangtua atau anggota keluarga lainnya akan mengetahui dan mengikuti perkembangan jalan pikiran anak dan perasaan anak selanjutnya.

(41)

yang dibangun dalam keluarga, meruntuhkan batas antar anggota, membangun kepribadian dan tingkah laku anak yang baik, saling mendukung, dan membantu optimal tumbuh kembang anak. Jika hal-hal tersebut terwujud, potensi konflik dalam keluarga cenderung rendah. Bila ada konflik, akan cepat diselesaikan bersama dala musyawarah keluarga untuk menghasilkan keputusan terbaik bagi keluarga pula.

2.3.2 Pengertian Keluar ga

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Dalam hubungan darah, merupakan kesatuan yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dimensi sosial, keluarga merupakan satu kesatuan yang diikat adanya saling berhubungan, berinteraksi, saling mempengaruhi, walaupun tidak mempunyai hubungan darah (Bahri, 2004 : 16).

Keluarga memiliki peranan penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama ataupun sosial budaya yang diberikan merupakan factor kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat (Yusuf, 2004 : 37).

(42)

pertamanya. Di dalam keluarga pula tempat manusia mencurahkan seluruh otoritas hidupnya.

2.4Pengertian Ibu

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, ibu memiliki arti sebagai wanita yang telah melahirkan seseorang. Dalam makna berpasangan, ibu ialah orang yang telah bersuami. Seorang ibu adalah orang yang tetap tinggal ketika orang-orang lain meninggalkan kita (Gichara, 2010 : 1).

Ibu ialah seorang perempuan dewasa yang pernah melahirkan atau memiliki anak. Ada dua macam ibu yang sudah umum dikenal yaitu ibu biologis dan ibu asuh. Ibu biologis merupakan wanita yang telah melahirkan seorang anak dari hasil perkawinan secara biologis atau badaniah. Ibu biologis biasa disebut dengan ibu kandung. Sedangkan ibu asuh adalah wanita yang mengasuh dan merawat seorang anak, walau tidak memiliki keterikatan genetis dengan anak tersebut.

2.5Pengertian Anak

(43)

Anak merupakan rahmat Tuhan untuk diamanatkan kepada orangtuanya yang membutuhkan pemeliharaan, penjagaan, kasih sayang dan perhatian. Masa anak-anak merupakan periode perkembangan yang cepat dan terjadinya perubahan dalam banyak aspek perkembangan (Yusuf, 2006 : 12).

Anak secara kualitatif maupun kuantitatif tidak sama dengan orang dewasa. Bahwa anak adalah orang dewasa dala bentuk kecil, sehingga memperlakukan anak (memberi hukuman, mengajar disiplin) sama dengan memperlakukan orang dewasa (Sarwono, 2006 : 37).

Maka anak ialah makhluk manusia pemberian Tuhan pada orangtua yang masih rentan untuk dirawat, dijaga, dikasihi, dilindungi dan diberi pendidikan layak. Tentunya tidak sama dengan manusia dewasa. Jadi anak memilik perlakuan sendiri dan tidak sama dengan memperlakukan orang dewasa.

2.6 Cerebral Palsy

(44)

Pada 1964 World Commission on Cerebral Palsy mengemukakan definisi CP adalah suatu kelainan dari fungsi gerak dan sikap tubuh yang disebabkan karena adanya kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. CP merupakan jenis cacat pada anak yang terbanyak dijumpai.

CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan group penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai penyebab yang berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai bentuk CP, riwayat kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.

Sebab-sebab yang dapat menimbulkan CP pada umulnnya secara kronologis dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Prenatal :

a. Gangguan pertumbuhan otak b. Penyakit metabolisme c. Penyakit plasenta

d. Penyakit ibu : toksemia gravidarum, toksopiasmosis, rubella, sifilis dan radiasi

2. Natal :

a. Partus lama

(45)

c. Prematuritas

d. Penumbungan atau lilitan talipusat e. Aspirasi isi lambung dan usus

f. Sedasi (penekanan pada saat kelahiran) berat pada ibu

3. Postnatal :

a. Penyakit infeksi : virus ensefalitis

b. Lesi oleh trauma, seperti fraktur tengkorak

c. Hiperbilirubinemia/kernikterus (sakit kuning karena kekurangan cairan)

d. Gangguan sirkulasi darah seperti emboli/trombosis otak.

Sedangkan Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain adalah :

1. Letak sungsang. 2. Proses persalinan sulit.

(46)

3. Apgar score rendah.

Apgar score yang rendah hingga 10 – 20 menit setelah kelahiran.

4. Berat bayi lahir rendah dan prematuritas. 5. Kehamilan ganda.

6. Malformasi SSP.

Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali / kepala mengecil). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.

7. Perdarahaan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.

Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.

8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang. 9. Kejang pada bayi baru lahir (Saharso, 2006).

(47)

kandungan, ketika baru lahir dan atau berusia kanak-kanak, berkembang tidak progresif dan gejala dominan terlihat pada bentuk tubuh dan gerak fisik anak. Sedangkan faktor yang berpotensi besar menyebabkan CP antara lain, letak bayi sungsang, proses persalinan sulit, kondisi bayi prematur, kehamilan ganda, pendarahan ketika kehamilan dan kejang pada bayi atau anak.

2.6.1 Menifestasi Klinis dan Spesifikasi Cerebral Palsy

Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum. Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia.

1. Spastisitas.

(48)

2. Atetosis.

Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan-gerakan abnormal yang timbul spontan dari lengan, tungkai atau leher yang ditandai dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu "kranio-kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi. Kerusakan terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh asfiksi berat atau jaundice.

3. Ataksia.

Bayi atau anak dengan ataksia menunjukkan gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan dan adanya kekauan fungsi anggota tubuh. Anak berjalan dengan langkah lebar, terdapat intention tremor meliputi ± 5%. Lokalisasi lesi yakni di serebelum.

4. Rigiditas.

(49)

Gangguan Pendengar an

Terdapat pada 5 – 10 % anak dengan Cerebral Palsy. Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata.

Gangguan Bicara

Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

Gangguan Mata

Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25 % penderita Cerebral Palsy menderita kelainan mata.

Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral Palsy mengemukakan klasifikasi sebagai berikut.

a. Spastik

Adanya penambahan pada stretch reflex dan deep tendon

(50)

b. Atetosis

Karakteristiknya ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai cacing, involunter, tidak terkontrol dan tidak bertujuan.

c. Rigiditas.

Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan kontinu, baik dalam otot agonis maupun antagonis. Menggambarkan adanya sensasi membongkokkan "pipa timah"(lead pipe rigidity).

d. Ataksia.

Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam ambulasi.

e. Tremor.

Gerakan-gerakan involunter, tidak

terkendali, reciprocal dengan irama yang teratur.

f. Campuran (Saharso, 2006 : 47-48).

(51)

2.6Kerangka Berpikir

Usia anak-anak adalah masa dimana semua fungsi organ dan jaringan tubuh mengalami perkembangan. Perkembangan mental, pola pikir dan kecerdasan juga berkembang pesat pada masa ini. Anak-anak yang menderita

cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak besar, mengalami

hambatan-hambatan, baik fisik maupun mental di masa pertumbuhannya. Peran ibu dan keluarga sangat vital berkontribusi maksimal dalam tumbuh kembang dan pendidikan anak. Masalah dapat timbul jika ibu menganggap remeh atau bahkan tidak peduli dengan anak CP.

Oleh karena itu peneliti mengadakan penelitian mengenai pola komunikasi ibu pada anak penderita CP atau kelumpuhan otak besar di Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti menggunakan metode in depth interview sebagai teknik pengumpulan data, karena teknik tersebut memungkinkan menggali pola komunikasi ibu kepada anak CP dan interaksi langsung antar subyek penelitian.

Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir

Ibu Pola Komunikasi :

1. Permissive

(membebaskan)

2. Authoritarian

(otoriter)

3. Authoritative

(demokratis)

(52)

METODE PENELITIAN

Dalam metode penelitian ini akan diuraikan mengenai definisi operasional, subyek dan informa penelitian, teknik pengambilan data dan teknik analisis data.

3.1 Definisi Operasional

3.1.1 Pola Komunikasi Ibu dan Anak

Agar mempermudah menjelaskan penelitian ini, pola komunikasi yang terdiri dari permissive (membebaskan), authoritarian (otoriter), dan authoritative

(demokratis) yang diterapkan oleh ibu pada anak penderita cerebral palsy (CP) di Surabaya.

Permissive atau membebaskan dalam hal ini menyangkut perhatian dan

pengawasan ibu terhadap anak. Dalam konteks komunikasi, ibu selalu memanjakan dan mengasihani kondisi anak. Anak diserahkan pada orang lain atau pengasuh untuk merawat. Biasanya anak hanya diberi fasilitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa ada ibu di sampingnya.

Authoritarian atau otoriter menyangkut sikap ibu berupa batasan hal-hal apa

(53)

mengakibatkan anak menjadi penakut, rendah diri, merasa terbuang, mudah tersinggung dan mudah tertekan.

Sedangkan authoritative atau demokratis, meliputi sikap ibu yang memberikan perhatian terfokus pada anaknya yang “istimewa” mulai dari komunikasi sehari-hari, keinginan anak hingga pendidikan. Sikap ini akan merangsang anak mengontrol dirinya sendiri dengan keterbatasannya.

Pola-pola hubungan komunikasi ibu dan anak tadi akan muncul dalam penelitian yang akan dilakukan. Pola komunikasi keluarga mencakup verbal dan nonverbal, termasuk intonasi, pesan dan maksud. Lebih rinci, komunikasi ini mencakup siapa yang mendengarkan, siapa yang berbicara dengan siapa, siapa yang mencari umpan balik dan siapa yang memvalidasi pesan (Christensen dan Kenney, 2009 : 92). Hal ini bisa muncul salah satu yang dominan, atau lebih dari satu pola tersebut yang mewarnai interaksi dan komunikasi ibu dan anak.

3.2 Subjek dan Informan Penelitian

1. Subyek penelitian

(54)

Peneliti memilih anak usia 10-13 tahun, karena pada masa ini anak mengalami pertumbuhan fisik, psikomotorik dan psikologis serta masih sangat rentan dan bergantung pada ibu sebagai orangtua yang menjadi pendamping. Selain itu, pada usia itu anak-anak sudah bisa mengungkapkan pendapat mereka sendiri.

Subyek anak penderita CP juga dibagi dalam dua kelompok yaitu CP dengan IQ <90 dan CP dengan IQ rata-rata 90. Hal ini dimaksudkan untuk membandingkan perlakuan dan pola komunikasi yang diterapkan ibu pada anaknya, maupun sebaliknya.

2. Informan penelitian

Informan penelitian terdiri dari lima ibu yang memiliki anak penderita CP. Informan memiliki ketentuan mengalami dan memahami permasalahan yang terjadi sesuai substansi penelitian ini. Lebih rinci, informan adalah ibu yang tinggal satu rumah bersama anaknya yang menderita CP. Hal ini dimaksud untuk mengetahui seberapa dalam penjelasan informan yang diperoleh dalam menjawab permasalahan.

(55)

sehingga dapat menghasilkan data berupa kata dan serta memberikan inspirasi bagi narasumber untuk melakukan tindakan yang seharusnya.

Screening question yang dilakukan untuk mendapatkan informan yang

bervariasi (usia, tingkat status, pendidikan dan agama) sesuai dengan syarat dan ketentuan peneliti. Berikut ini merupakan syarat untuk menjadi seorang informan dalam penelitian ini, antara lain, ibu yang tinggal serumah dengan anak penderita

cerebral palsy berusia 10-13 tahun, dengan tingkat status sosial ekonomi

kalangan manapun, latar belakang pendidikan apapun, pekerjaan yang beragam, ataupun yang tidak bekerja seperti ibu rumah tangga.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti memiliki rancangan teknik pengumpulan data pertama melalui observasi. Metode ini dilakukan dengan menitikberatkan dari informasi yang ditangkan oleh panca indera peneliti dalam tiap kehadirannya di dekat narasumber atau informan, baik di sekolah maupun di rumah. Tiap kehadiran, peneliti akan membuat catatan pengalaman berinteraksi bersama mereka.

(56)

mengenai fenomena yang diteliti, tidak sekedar menjawab pertanyaan (Moleong, 2002 : 183).

Dengan teknik ini diharapkan informan dapat lebih terbuka dan berani memberikan jawaban dan respon terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Kelebihan lain ialah, peneliti secara personal dapat bertanya langsung dan mengamati respon, terutama nonverbal informan lebih detail. Sesuai dengan sifat tersebut, teknik in-depth-interview dipandang sesuai dengan penelitian yang ingin dicapai. Sebagai penelitian kualitatif, penelti harus dapat menampilkan kekayaan dan kerincian data. Teknik ini juga menghasilkan respon lebih akurat dalam membahas topic yang sensitive. Adanya hubungan dekat peneliti dengan informan mempermudah menggali topic yang masih dianggap tabu dalam pendekatan lain.

Sedangkan kelemahan teknik ini adalah kecendrungan menggeneralisasi. Wawancara biasanya dilakukan dengan sampel yang kecil dan tidak acak. Wawancara dilakukan tanpa standar tertentu, masing-masing informan dapat memberikan berbagai versi jawaban dari sebuah pertanyaan. Bahkan sangat mungkin terjadi bias dari peneliti. Dalam proses wawancara, sikap atau pendirian peneliti tanpa sengaja baik verbal maupun nonverbal terkomunikasikan. Hal ini mempengaruhi validitas jawaban dari informan.

(57)

tidak terganggu dan lancar, secara teknis wawancara akan dicatat dalam notes

dan dilengkapi recorder.

Kemudian disempurnakan dengan studi literatur. Literatur ini berupa buku atau sumber bacaan lain terkait fokus penelitian. Kegiatan pencarian sumber sekunder ini pun perlu menjadi penunjang dalam mengolah data yang didapat untuk kemudian divalidasi.

3.4 Teknik Analisis Data

(58)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambar an Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data

4.1.1 Gambar an Umum Objek Penelitian

Hubungan ibu dan anak merupakan hubungan vital dalam keluarga dan harus terjalin untuk membentuk dinamika sebuah keluarga. Komunikasi ibu dan anak menjadi titik awal perkembangan karakter anak. Pola komunikasi akan membentuk pribadi dan karakter anak. Pola komunikasi yang baik terjalin, akan membentuk anak berkarakter positif. Sedangkan pola komunikasi yang buruk, akan membentuk karakter negatif pada anak.

Dalam hal ini di dalam antara ibu dan anak perlu adanya pola komunikasi. Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih dengan cara tepat, sehingga pesan yang dimaksudkan dapat dipahami. Dengan demikian, yang dimaksud pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat (Bahri, 2004 : 1). Fenomena ini menjadi semakin penting ketika ibu dihadapkan pada kenyataan kehadiran anak yang menderita Cerebral Palsy (CP).

(59)

Berikut adalah deskripsi tentang para ibu yang menjadi informan penelitian pola komunikasi ibu pada anak penderita CP :

Infor man 1

Informan satu terdiri dari Ibu yang berusia 43 tahun. Namanya Deni. Seorang ibu rumah tangga yang mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas. Ia memiliki dua orang putri berusia 21 tahun dan 12 tahun. Tempat tinggalnya di daerah Kertajaya Surabaya. Suaminya sehari-hari bekerja sebagai sopir taxi.

Putrinya yang berusia 21 tahun sedang berkuliah di Universitas Muhammadiyah Malang dan duduk di semester lima. yang berusia 12 tahun bernama Nabila dan menderita CP. Status CP yang diderita Nabila yaitu Diplegia Spatic. Jadi kerusakan motorik yang dialami berdampak pada kelambatan berpikir normal, kekakuan pada jari tangan dan disfungsi kedua kaki. Hambatan penyerta yang dialami yaitu retardasi mental yang tidak parah, sehingga Nabila masih bisa berbicara normal, hanya lambat, berpikirnya lambat, dan gerakannya juga lambat.

Setiap hari, waktu Bu Deni dominan untuk Nabila. Mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi, fokusnya untuk Nabila. Oleh karena itu hubungan keduanya sangat akrab. Segala hal yang Nabila alami, Bu Deni selalu tahu. Ia berusaha memahami apa yang dialami anaknya. Untuk itu ia memiliki cara khusus menangani Nabila. Ia pun menerapkan pendidikan khusus agar Nabila juga memahami apa yang diinginkan ibunya.

(60)

kadang membiarkan saja. Jika Nabila melakukan sesuatu yang dianggap memiliki kemajuan terhadap tumbuh kembangnya, Bu Deni memberi ucapan apresiasi agar lebih memotivasi anaknya.

Infor man 2

Informan kedua bernama Bu Keken, 40 tahun. Ia seorang wirausaha depot bersama suaminya di daerah tempat tinggalnya di Kertajaya. Bu Keken tergolong orang yang praktis dan cekatan, sehingga ia merasa waktunya 24 jam dalam sehari tidak cukup melakukan kegiatannya. Bu Keken memiliki tiga orang anak, yang sulung perempuan berusia 14 tahun dan bersekolah di sekolah menengah pertama tingkat dua di Surabaya. Sedangkan yang bungsu kembar lelaki berusia 10 tahun.

Si bungsu ini salah satunya menderita CP, namanya Sawung Argo. Status CP yang diderita Argo yaitu Diplegia Spastic. Kondisnya hanya kelayuan pada fungsi kedua kaki. Fungsi berpikirnya dan bicaranya normal. Argo salah satu anak CP yang bisa mengontrol kemarahannya.

Dalam hubungan Bu Keken dengan Argo, intensitas pertemuan mereka terbatas. Waktu sibuknya di depot mengharuskan Bu Keken melepas Argo sendiri di sekolah. Di rumah, pertemuan mereka terjadi pada saat Bu Keken memaksa Argo belajar dan Bu Keken menemaninya sampai selesai belajar. Pada saat senggang yang jarang, Argo mengganti air akuarium ikannya bersama Bu Keken.

(61)

ayahnya. Bu Keken mengaku hanya lebih suka hal-hal praktis dalam merawat Argo, karena Argo sendiri adalah anak yang mandiri. Namun, keluarga ini juga sangat mendukung tumbuh kembang Argo agar mandiri. Mereka sering liburan ke area publik dan membiasakan Argo bertemu dengan banyak orang baru dengan segala reaksi yang mereka perlihatkan ketika melihat Argo. Hal itu dilakukan agar Argo menjadi anak yang percaya diri dengan keadaannya.

Infor man 3

Informan ketiga bernama Bu Catur, 43 tahun. Seorang pegawai yang memiliki jabatan penting dalam manajerial di sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya. Suaminya seorang pengusaha. Ia memiliki tiga orang anak yang bersekolah di sekolah menengah pertama dan menengah atas. Sedangkan yang bungsu masih bersekolah di sekolah dasar. Nama panggilannya Olan.

Olan berusia 10 tahun dan menderita CP. Status CP yang diderita Olan yaitu

Diplegia Spastic. Secara fisik kelayuan terjadi pada fungsi kedua kaki, kekakuan pada kedua ujung tangan yang ringan dan disorientasi pandangan ketika melihat objek. Olan tergolong cerdas di kelas. Nilai-nilanya tidak pernah dibawah 80. Motivasi belajar dan mandirinya kuat. Ia salah satu anak CP yang tidak mengeluh ketika terapi dan menikmati terapi dengan santai.

(62)

kembang Olan. Dalam keseharian, Bu Catur terlibat langsung dalam merawat Olan dari bangun tidur hingga tidur lagi, walau tidak ikut menunggu Olan di sekolah.

Dengan intensitas besar pertemuan mereka, Olan dianggap anak mama. Karena lebih dekat dengan mamanya. Walau juga dekat dengan ayah, Olan lebih terbuka sama mamanya. Peristiwa, ide atau keinginannya selalu diutarakan pada mamanya. Curhat-curhatan pun menjadi kebiasaan dalam hubungan mereka. Bu Catur sendiri juga tidak menuntut apapun dari Olan. Ia hanya berharap, berikhtiar dan mengapresiasi tumbuh kembang Olan.

Infor man 4

Informan keempat bernama Bu Fatimah, 36 tahun. Ibu muda ini sudah memiliki dua anak lelaki. Si sulung duduk di sekolah menengah pertama, si bungsu di sekolah dasar. Si bungsu inilah yang istimewa. Namanya Ryan, ia menderita CP sejak bayi. Status CP yang diderita Ryan yaitu Diplegia Spastic. Secara fisik Ryan hanya lemah pada kedua kaki, sehingga ia harus terus berada di kursi roda. Namun hambatan penyertanya ialah retardasi mental yang menyebabkan ia mengalami kelambatan berpikir. Kadang ia tidak fokus dengan apa yang dihadapinya.

(63)

semua hal dengan kawan-kawannya. Jadi tidak banyak yang Bu Fatimah tahu tentang putranya, termasuk cita-cita Ryan.

Namun, rasa sayang Bu Fatimah tidak ditangkap banyak oleh Ryan. Kemauan atau perintah dari ibunya yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan Ryan. Kadang Ryan marah, dan menganggap ibunya tidak sayang padanya. Sebaliknya, Bu Fatimah yang tidak mengerti kemauan anaknya kadang marah jika Ryan tidak menurutinya. Kadang ada hukuman ringan untuk Ryan seperti tidak boleh main dalam waktu tertentu. Tapi kadang jika tidak menurut ibunya, ibunya lebih memilih diam sejenak.

Infor man 5

Informan terakhir bernama Bu Khotimah, 37 tahun. Suaminya seorang pegawai pabrik. Bu Khotimah adalah seorang ibu rumah tangga dan memiliki dua anak. Yang sulung berusia 12 tahun, yang bungsu berusia 6 tahun. Si sulung inilah yang menderita CP, namanya Dani.

Status CP yang diderita Dani yaitu Tetraplegia Spastic. Kondisinya lemah pada kedua kaki, kedua telapak tangan dan jari, disorientasi pandangan mata. Hambatan penyertanya ialah retardasi mental, sehingga proses berpikirnya lebih lambat dari anak seusianya yang normal. Dani juga sangat pemalu terhadap orang yang baru dikenalnya. Tapi jika sudah dekat dengan orang atau kawan, cara bercandanya lebih bersemangat dibanding kawan-kawannya yang lain.

(64)

Khotimah pada Dani. Jam belajar, waktu terapi, batas menonton acara televisi, sampai pada apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan Dani. Pada dasarnya Dani anak penurut. Ia selalu menuruti kemauan atau aturan ibunya. Namun, ada kondisi ketika Dani tidak mau menurut dan memberontak marah. Bila sudah demikian, biasanya Bu Khotimah juga terpancing marah dan menyuruh Dani pergi tidur.

4.1.2 Identitas Responden

Secara keseluruhan wawancara berlangsung lancar, dimana sebagian besar informan kooperatif dan terbuka dalam memberikan informasi. Sebagian dari informan mengungkapkan secara mendalam berbagai masalah dalam berinteraksi dengan anaknya. Hanya satu anak yang luar biasa pemalu dengan orang baru, tidak mau berbicara sedikitpun pada peneliti. Secara rinci, kelima informan tersebut adalah sebagai berikut :

Infor man 1

Nama : Deni (Bu Deni) Usia : 43 tahun Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Kertajaya no 49 Suami : Susilo (45 tahun) Anak : - Nabila Rahma (21)

(65)

Infor man 2

Nama : Ken Dedali (Bu Keken) Usia : 40 tahun

Pendidikan : Strata 1

Alamat : Jl. Kertajaya no 91 Suami : Purwanto (40 tahun) Anak : - Ken Syafira (14)

- Sawung Argo (10) - Sawung Jati (10) Pekerjaan : Wirausaha

Infor man 3

Nama : Catur Rengganiati (Bu Catur) Usia : 43 tahun

Pendidikan : Strata 1

Alamat : Jl. Kertajaya Indah Selatan 32 Suami : Rizal Kurniawan (44 tahun) Anak : - Rengga Yudia (21)

- Harfan Syahputra (19) - Melina (15)

(66)

Infor man 4

Nama : Siti Fatimah (Bu Fatimah) Usia : 36 tahun

Pendidikan : SMA

Alamat : Jl. Semolo Waru II/07 Suami : Hartono (40 tahun)

Anak : - Hendra Eka Pradana (13) -Ryan Dwi Pradana (10) Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Infor man 5

Nama : Khotimah (Bu Khotimah) Usia : 37 tahun

Pendidikan : SMA

Alamat : Rungkut Lor VIII no 25 Suami : Didik S (38 tahun)

Anak : - Achmad Romadhoni (12) -Rachma Damayanti (6) Pekerjaan : Ibu rumah tangga

4.1.3 Penyajian Data

(67)

10-13 tahun. Pola komunikasi ibu dengan anak penderita CP merupakan proses hubungan antara ibu dengan anak dalam kondisi memiliki keterbatasan fungsi fisik, cara berpikir dan akses mobilitas serta penerapan pola komunikasinya memiliki dampak pada perilaku anak. Bentuk-bentuk pola komunikasi antara ibu dengan anak memberikan pengaruh pada rasa kepercayaan diri, motivasi hidup, nilai kemandirian dan tanggungjawab terhadap anak penderita CP di SLB YPAC Surabaya.

Penelitian dilakukan selama tiga minggu. Peneliti mengambil 5 orang informan, yaitu 5 ibu dan 5 anak sebagai narasumber kroscek. Data diambil dengan menggunakan

audio dan video recorder dalam wawancara secara mendalam yang dilakukan terhadap

para ibu sebagai informan dan anaknya yang menderita CP. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi sebanyaknya dari informan. Observasi juga dilakukan untuk mengamati perilaku dan perkembangan dari situasi yang diteliti sendiri. Data tersebut akan disajikan dan dianalisis secara kualitatif, sehingga diperoleh gambaran, jawaban serta kesimpulan dari pokok permasalahan.

4.2 Analisis Dat

Gambar

Gambar 1. Model Komunikasi Interpersonal secara umum
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan tugas akhir ini adalah mengetahui cara budidaya selada kepala merah dengan sistem hidroponik NFT dan mengetahui perbandingan hasil produksi dengan perlakuan

kelembagaan dan program pembangunan masyarakat; saat ini pemerintah sudah banyak melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan melakukan pemberdayaan supaya para orang

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak- hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

[r]

Penulisan hukum/skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Strata Satu (S1), Program Studi Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta8. Adapun

005.01.02 Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Mahkamah Agung 01 Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana dalam mendukung pelayanan peradilan Hasil

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mendapatkan kesempatan untuk menyusun dan menyelesaikan skripsi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi karyawan terhadap kepuasan kerja dan aspek yang paling dominan dalam kepuasan kerja karyawan pada PT Mitra Wibowo dan