• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Spesies Tumbuhan Asing Invasif

5.2.3 Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif

Pola penyebaran spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di Kampus IPB Darmaga memiliki pola penyebaran mengelompok (clumped), sesuai dengan nilai indeks penyebaran Morishita yang diperoleh dari hasil analisis data

pola penyebaran spesies-spesies tersebut. Data mengenai nilai Indeks Morishita disajikan secara lengkap pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai Indeks Penyebaran Morishita spesies tumbuhan asing invasif No.

Nama Spesies Indeks

Morishita Pola Penyebaran

1. Agratum conyzoides L. 0,61 Mengelompok

2. Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Robins 0,58 Mengelompok

3. Clidemia hirta G. Don. 0,52 Mengelompok

4. Elaeis guineensis Jacq 0,54 Mengelompok

5. Lantana camara L. 0,58 Mengelompok

6. Mikania micrantha H. B. K. 0,52 Mengelompok

7. Mimosa pudica Duchass. & Walp. 0,66 Mengelompok

8. Piper aduncum L. 0,67 Mengelompok

9. Rubus moluccanus L. 0,63 Mengelompok

10. Spathodea campanulata Beauv. 0,69 Mengelompok

11. Swietenia macrophylla King. 0,61 Mengelompok

Nilai indeks Morishita menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan dalam suatu komunitas. Menurut Morishita (1965) diacu dalam Krebs (1972), apabila nilai indeks Morishita>0, maka pola penyebaran spesies tersebut adalah mengelompok (Gambar 17). Pola penyebaran dari spesies tumbuhan asing invasif yang mengelompok erat kaitannya dengan faktor lingkungan dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkannya. McNaughton dan Wolf (1990) mengemukakan bahwa kondisi iklim dan faktor ketersediaan hara merupakan faktor lingkungan yang paling berperan dalam penyebaran suatu spesies di alam. Ketersediaan unsur hara yang cukup pada sekitar induk tanaman akan menyebabkan tumbuhan cenderung membentuk pola penyebaran mengelompok.

Gambar 17 Penyebaran mengelompok pada tumbuhan. Kelapa sawit (Elaeis guineensis)(A) dan Tembelekan (Lantana camara)(B).

Soegianto (1994) juga menyatakan bahwa pola penyebaran organisme di alam jarang ditemukan dalam pola yang seragam, tetapi umumnya mempunyai pola penyebaran mengelompok. Hal ini dikarenakan adanya naluri-naluri dari individu-individu spesies tersebut untuk mencari lingkungan tempat hidup yang sesuai dengan kebutuhannya. Lebih jauh, Ewusie (1980) juga mengemukakan, pada umumnya pengelompokkan dalam berbagai tingkat pertumbuhan suatu spesies merupakan pola yang paling sering ditemukan apabila mengkaji sebaran individu di alam. Pola penyeberan spesies asing invasif di Kampus IPB Darmaga menunjukkan pola yang sama, namun untuk perjumpaanya di setiap lokasi contoh penelitian menunjukkan frekuensi yang berbeda-beda setiap spesies (Tabel 7). Tabel 7 Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di Kampus IPB Darmaga

No. Nama Spesies Lokasi ditemukan*

1. Elaeis guineensis Jacq. 1,2,3,4,5,7,8, 9,10

2. Mikania micrantha H. B. K. 1,2,3,4,5,6,8,10

3. Clidemia hirta G. Don. 1,2, 4,5,6,9

4. Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Robins 2,3,6,10

5. Piper aduncum L. 5,8,9,10

6. Lantana camara L. 2,5,6

7. Mimosa pudica Duchass. & Walp. 2,3,10

8. Ageratum conyzoides L. 1,3,10

9. Rubus moluccanus L. 5,9

10. Spathodea campanulata Beauv. 3,4

11. Swietenia macrophylla King. 1

Keterangan *: 1. Arboretum Fahutan, 2. Arboretum Hutan Tropika, 3. Arboretum Lanskap, 4. Hutan Al-Hurriyyah, 5. Hutan Cikabayan, 6. Tegakan Karet Rusunawa, 7. Tegakan Karet Asrama C4 Silva, 8. Tegakan Jati Sengked, 9. Tegakan Pinus Cangkurawok, 10. Tegakan Sengon Rektorat.

Spesies yang paling tinggi frekuensi ditemukannya di lokasi penelitian adalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis) dan Sembung rambat (Mikania micrantha) dengan frekuensi masing-masing sembilan dan delapan lokasi dari sepuluh lokasi yang diteliti. Sementara spesies dengan frekuensi paling sedikit adalah Mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla), dengan frekuensi hanya satu lokasi dari sepuluh lokasi yang diteliti.

Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif dilihat dari segi ditemukannya spesies tersebut di setiap lokasi contoh penelitian berbeda-berbeda jumlahnya. Lokasi dengan spesies tumbuhan asing invasif terbanyak adalah Arboretum Hutan Tropika, Arboretum Lanskap, Hutan Cikabayan, dan Tegakan Sengon Rektorat,

dengan masing-masing sebanyak enam spesies. Sedangkan lokasi yang paling sedikit yaitu Tegakan Karet di depan Asarama C4 Sylva dengan dua spesies. Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif untuk tiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Peta Penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di setiap lokasi penelitian di Kampus IPB Darmaga.

Elaeis guineensis berdasarkan Tabel 7 dan Gambar 18 tersebar hampir di seluruh lokasi contoh penelitian di Kampus IPB Darmaga. Penyebaran spesies ini di Kampus IPB Darmaga diduga disebabkan oleh Bajing kelapa (Callosciurus notatus) atau satwa pengerat lainnya. Hal ini sejalan dengan Meyer et al. (2008) yang mengungkapkan bahwa penyebaran E. guineensis di Lembah Tahiti dan Raiatea banyak disebabkan oleh tikus hutan dan babi hutan.

Penyebaran E. guineensis di Kampus IPB Darmaga juga didukung dengan daya tahan tumbuhan tersebut terhadap gangguan baik oleh manusia maupun secara alami. Hal ini terkait dengan pengelolaan kebun percobaan dan ruang terbuka hijau yang ada di Kampus IPB Darmaga. Dalam pengelolaannya, untuk mengurangi vegetasi semak dan supaya terlihat bersih, pengelola kampus sering

melakukan pemotongan tumbuhan bawah di area-area kebun percobaan dan ruang terbuka hijau tersebut. Berdasarkan pengamatan di Tegakan Sengon di depan gedung SEAFAST Centre, spesies ini mampu bertahan dan tumbuh kembali setelah dipotong, sehingga dapat dikatakan keberadaannya dalam komunitas tumbuhan yang ada di Kampus IPB Darmaga tidak terganggu dengan adanya pemotongan tersebut (Gambar 19).

Gambar 19 Bekas pemotongan pada Kelapa sawit (Elaeis guineensis)(A) dan Kondisinya setelah pemotongan(B).

E. guineensis merupakan spesies tumbuhan asing invasif yang menunjukkan sifat invasifnya berdasarkan nilai INP di komunitasnya dan penyebarannya di setiap komunitas tumbuhan yang diteliti di Kampus IPB Darmaga. Hal ini apabila dianalogikan terhadap kawasan konservasi mengindikasikan bahwa perkembangan spesies ini di Indonesia melalui perkebunan-perkebunan besar menjadi ancaman tersendiri secara ekologis bagi kawasan konservasi yang merupakan tempat perlindungan keanekaragam hayati, terutama yang berbatasan langsung atau di sekitar perkebunan tersebut.

Perkembangan perkebunan E. guineensis di Indonesia terus mengalami peningkatan beberapa tahun terkahir. Pada tahun 2003 luas seluruh kebun E. guineensis di Indonesia mencapai 5,237 juta ha, terdiri dari perkebunan pemerintah 0,645 juta ha, perkebunan rakyat 1,827 juta ha, dan perkebunan swasta 2,765 ha (Goenadi et al. 2005). Pada tahun 2005 luas perkebunan E. guineensis di Indonesia mencapai 5,6 juta ha, terdiri dari perkebunan pemerintah 0,7 ha, perkebunan rakyat 1,9 juta ha, dan perkebunan swasta 3,0 juta ha (Tryfino 2006). Serta pada tahun 2009 mencapai 7,3 juta ha (TAMSI & DMSI 2010).

Sebagian besar lahan perkebunan E. guineensis di Indonesia terletak di Pulau Sumatera (69%) dan Kalimantan (26%) (Tryfino 2006). Sementara itu, Pemerintah Repulik Indonesia masih memiliki rencana membangun 850 km perkebunan E. guineensis sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Apabila pembanguan tersebut terealisasi, maka pada tahun 2020 diprediksikan luas perkebunan spesies ini di Indonesia mencapai 9 juta ha, sehingga komposisinya menjadi 35% di Kalimantan dan 56% di Sumatera (Tryfino 2006). Selain itu, di Pulau Sumatera perkembangan perkebunan E. guineensis juga semakin meluas, bahkan beberapa kawasan konservasi juga telah dirambah. Perkembangan dan rencana pembangunan yang signifikan ini tentu akan berkorelasi terhadap kawasan konservasi, terutama yang berbatasan langsung atau bahkan merambah kawasan konservasi yang ada di kedua pulau tersebut (Gambar 20).

Gambar 20 Perkebunan Kelapa sawit (E. guineensis) yang berbatasan dengan hutan (kawasan konservasi) di kalimantan (A) dan pembongkaran E. guineensis yang merambah kawasan TN Tesso Nilo, Riau (B).(sumber: www.mongabay.com dan www.antaranews.com). Pulau Sumatera dan Kalimantan memiliki 19 Taman Nasional dengan 11 diantaranya di Sumatera dan delapan lainnya di Kalimantan, dan kawasan konservasi lainnya berupa Suaka Margasatwa dan Cagar Alam yang menjadi tempat konservasi plasma nutfah dan sumberdaya alam hayati di Indonesia, khususnya pulau Sumatera dan Kalimantan (DJPHKA 2010). Pengembangan perkebunan E. guineensis di kedua pulau tersebut dapat mengancam keanekaragaman hayati di kawasan konservasi yang ada di sekitarnya. Hal ini dikarenakan potensi penyebaran E. guineensis secara alami sangat besar apabila dilihat dari biji yang dihasilkan setiap tandannya.

Buah (biji) rata-rata yang dihasilkan untuk setiap satu tandan E. guineensis adalah 1600 buah, dengan potensi tandan yang dihasilkan untuk tanaman normal mencapai 20-22 tandan per tahun dan tanaman tua sekitar 12-14 tandan per tahun (Liang 2007). Apabila diasumsikan bahwa peluang biji berkecambah dan bertahan hidup sekitar 10% saja setiap tahunnya, maka untuk satu batang E. guineensis dapat menghasilkan sekitar 3200-3520 anakan untuk tanaman normal dan 1920- 2240 anakan untuk tanaman tua. Oleh karena itu, perkembangan perkebunan E. guineensis di Indonesia terutama yang berdekatan dengan kawasan konservasi perlu mendapat perhatian serius, mengingat potensi invasinya yang dapat mengancam kelestarian dan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi tersebut.

BAB VI

Dokumen terkait