• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis tentang panjang berat sangat penting dalam perikanan sebagai informasi dasar untuk biologi perikanan dan dinamika populasi sehingga dapat menentukan pola pemanfaatan dan pengelolaan yang sesuai dengan sumberdaya perikanan yang ada. Hubungan panjang tubuh dan berat badan berguna untuk menilai pertumbuhan dari individu-individu dan menentukan stok dari spesies yang sama (King 2007 dalam Hossain 2010).

Adapun hal-hal yang mempengaruhi proses pertumbuhan adalah: kematangan gonad, pemijahan, umur, penyakit, parasit, makanan, suhu perairan dan faktor-faktor kimia yang berada dalam perairan. Menurut Lee dan Kim (1992) pertumbuhan ikan demersal juga sangat dipengaruhi oleh pola gerak ikan tersebut. Ikan demersal memiliki pola gerakan yang relatif lebih sedikt dari ikan pelagis, hal ini menyebabkan kandungan eritrosit dan haemoglobin pada ikan demersal lebih rendah dari pada ikan pelagis sehingga pertumbuhan bobot ikan demersal

cenderung lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya. Ikan demersal ekonomis penting yang diukur pada penelitian ini rata-rata menghasilkan pola pertumbuhan alometrik negatif. Hasil penelitian ini bertentangan dengan pernyataan Lee dan Kim (1992). Perbedaan ini mungkin turut dipengaruhi oleh karakteristik daerah penangkapan ikan di pantai Barat Sumatera.

Pola gerakan arus yang kuat dan siklus pasang surut yang lebih ekstrim pada paparan benua di laut tropis memberikan dampak terhadap kelimpahan sumberdaya ikan disekitarnya (Gross, 1990). Pernyataan ini juga mendukung hasil penelitian di pantai Barat Sumatera. Ikan demersal khususnya pada famili kakap putih dan kakap merah memiliki bobot yang relatif lebih kecil dibandingkan famili kerapu sunu dan kuwe. Sifat Katadormus yang dimiliki ikan kakap menyebabkan ikan ini melakukan migrasi dalam jarak yang lebih jauh saat terjadi perubahan arus yang ekstrim. Pola migrasi ikan kakap memberikan peluang tertangkap yang lebih besar pada saat ukuran ikan belum mengalami length first at maturity.

5.3.1 Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus)

Hasil penelitian menunjukkan persamaan regresi linear setelah melakukan transformasi (ln), dimana y = ln berat ikan (gram) dan x = Ln panjang total ikan (cm). Hasil pengukuran sampel diperoleh hubungan panjang dan berat ikan kakap merah dengan alat tangkap bubu : y = 2,557x – 2,544 dengan nilai R2=0,969, dan dengan alat tangkap pancing adalah y = 2,591x – 2,718 dengan nilai R2= 0,897.

Dari persamaan tersebut diperoleh nilai b dari ikan kakap merah yang ditangkap dengan bubu (2,557) dan ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pancing (2,591) sehingga dapat disimpulkan nilai b lebih kecil dari 3. Berarti ikan kakap merah yang didaratkan di Sibolga memiliki pola pertumbuhan alometrik

negatif yang artinya bahwa pertumbuhan panjang tidak seimbang dengan pertumbuhan beratnya (Gambar 16).

Gambar 16 Grafik hubungan panjang berat ikan kakap merah yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b).

Hasil penelitian Andamari et al., (2004) yang dilaksanakan di perairan Sape dan Kupang menyatakan ikan kakap merah yang didaratkan pada daerah ini memiliki nilai b kecil dari 3 dengan pola pertumbuhan alometrik negatif. Pertumbuhan ikan pada suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain: ukuran makanan yang dimakan, jumlah ikan pada perairan tersebut, jenis makanan yang tersedia, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen) serta kondisi ikan (umur, keturunan dan genetik) (Sukimin et al., 2002 dalam Nugraha dan Mardlijah 2006). Sesuai dengan penelitian di pantai Barat Sumatera, ikan kakap merah yang tertangkap pada bubu dan pancing memiliki pola pertumbuhan bobot yang lebih lambat dari pola pertumbuhan panjang. Hal ini dipengaruhi oleh sifat ikan yang mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh.

Ikan kakap memiliki karakteristik yang unik dalam melakukan migrasi, ikan ini mampu beradaptasi sampai pada kedalaman 200 meter dan akan beruaya menuju pantai saat akan melakukan pemijahan (Simbolon 2011). Sesuai dengan penelitian Lee dan Kim (1992), ikan yang cenderung tinggal menetap akan memiliki pola pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan ikan yang sering berpindah. Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa pola pertumbuhan panjang ikan kakap merah lebih cepat jika dibandingkan dengan pola pertambahan beratnya. y = 2.557x ‐2.544 R² = 0.969 3 6 9 3 3.5 4 ln - W ln- TL y = 2.591x ‐2.718 R² = 0.897 3 6 9 3 3.5 4 ln - W ln - TL (a) (b)

5.3.2 Ikan kakap putih (Lates calcarifer)

Hasil pengukuran sampel ikan kakap putih yang berjumlah 75 ekor tanpa melihat komposisi jenis kelamin yang tertangkap dengan bubu diperoleh persamaan regresi: y = 2,656x – 2,991 dengan nilai R2= 0,893 dan hasil pengukuran ikan yang tertangkap dengan pancing diperoleh persamaan regresi: y=2,486x –2,2297 dengan nilai R2=0,898 (Gambar 17).

Gambar 17 Grafik hubungan panjang berat ikan kakap putih yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b).

Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai b untuk hasil tangkapan bubu sebesar 2,656 dan untuk hasil tangkapan pancing sebesar 2,486. Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa ikan kakap putih yang didaratkan di Sibolga yang berasal dari alat tangkap bubu dan pancing memiliki pola pertumbuhan alometrik

negatif yang artinya bahwa pertambahan bobot ikan kakap putih tidak secepat pertambahan panjangnya. Perbandingan nilai b berdasarkan jenis alat tangkap menunjukkan bahwa alat tangkap bubu memiliki koefisien pertumbuhan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil tangkapan pancing nelayan. Untuk nilai keeratan hubungan atau (R2) alat tangkap bubu dan pancing memiliki nilai yang relatif sama.

y = 2.656x ‐2.991 R² = 0.893 3 6 9 3 3.5 4 ln - W ln - TL y = 2.486x ‐2.297 R² = 0.898 3 6 9 3 3.5 4 ln - W ln - TL (a) (b)

Perhitungan panjang berat ikan dapat diduga berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan mengenai ikan tentang pertumbuhan, kemontokan dan perubahan dari lingkungan (Effendi 1991).

Kemampuan ikan kakap putih dalam mentoleransi perbedaan salinitas air laut memberikan pengaruh dalam migrasi ikan tersebut. Sesuai dengan penelitian Lounghurst dan Pauly (1987), kakap putih yang berada di sekitar karang merupakan ikan yang telah berada pada usia dewasa. Ikan kakap akan menuju perairan laut saat berumur dewasa dan akan melakukan perkawinan, sedangkan saat akan memijah ikan kakap putih akan bergerak menuju pantai. Penangkapan ikan kakap putih denga bubu dan pancing tentunya ditujukan untuk memperoleh ikan dewasa, karena pengoperasian alat tangkap ini dilakukan pada daerah karang yang memiliki kedalaman mencapai 70 meter.

Hasil tangkapan nelayan Pantai Barat Sumatera menujukkan bahwa ikan kakap yang diperoleh memiliki pola pertumbuhan bobot yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya. Secara ekologi dimungkinkan migrasi yang dilakukan kakap sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan disekitarnya. Ikan ini merupakan kelompok ikan predator aktif yang melakukan aktivitas dengan sifat nocturnal. Ikan kakap putih masuk pada bubu dimungkinkan karena faktor mencari makanan. Ikan kakap putih telah terlebih dahulu melihat adanya mangsa dalam bubu dengan ukuran yang lebih kecil, sehingga ikan mencoba masuk dan tidak dapat keluar kembali. Ikan yang telah masuk ke dalam bubu tentunya adalah ikan yang telah memasuki ukuran dewasa.

Pengoperasian pancing yang dilakukan nelayan Sibolga biasanya berlangsung pada malam hari. Pengoperasian alat ini sering sekali dikombinasikan dengan alat tangkap lain. Besar kemungkinan ikan kakap putih yang tertangkap pada pancing merupakan ikan yang aktif mencari makan pada saat malam. Sesuai dengan pernyataan Lee dan Kim (1992), pencarian ikan pada malam hari dilakukan untuk menangkap spesies ikan nocturnal yang mencari makan. Pancing sering dioperasikan di sekitar karang yang merupakan habitat ikan kakap berukuran dewasa. Secara ekologi ikan kakap yang mendiami ekosistem karang merupakan ikan dari kelompok konsumen tingkat tinggi atau ikan karnivora utama. Untuk mencapai tingkatan seperti ini pada rantai makanan di ekosistem

terumbu karang, ikan kakap putih setidaknya harus memiliki ukuran yang relatif lebih besar dari pada jenis ikan karang lainnya. Sistem rantai makanan yang terjadi pada ekosistem karang telah mempengaruhi hasil tangkapan pancing dan bubu nelayan Sibolga. Secara tidak langsung hasil tangkapan nelayan bubu dan pancing seharusnya telah berada pada ukuran layak tangkap.

5.3.3 Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus)

Hubungan panjang berat ikan kerapu sunu yang tertangkap dengan alat tangkap bubu adalah: y = 2,131x –1,305 dengan nilai R2= 0,909. Sedangkan hubungan panjang berat ikan kerapu sunu yang tertangkap dengan alat tangkap pancing adalah: y = 2,212x – 1,452 dengan nilai R2= 0,915 (Gambar 18).

Gambar 18 Grafik hubungan panjang berat ikan kerapu sunu yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b).

Pada hubungan tersebut diperoleh nilai b lebih kecil dari 3 yang berarti bahwa pertumbuhan ikan kerapu sunu dalam penelitian ini bersifat alometrik negatif yang artinya pertambahan berat lebih lambat dari pertambahan panjangnya. Perbandingan nialai b antara bubu dan pancing menunjukkan nilai koefisien pertumbuhan hasil tangkapan pancing lebih tinggi daripada bubu. Untuk

y = 2.131x ‐1.305 R² = 0.909 3 6 9 3 3.5 4 ln - W ln - TL y = 2.212x ‐1.452 R² = 0.915 3 6 9 3 3.5 4 ln - W ln - TL (a) (b)

nilai keeratan hubungan panjang dan bobot, nilai determinan (R2) relatif hampir sama.

Hasil penelitian hubungan panjang berat ikan yang didaratkan di Sibolga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Andamari (2005) pada perairan Sulawesi dan Maluku diperoleh nilai b = 3 yang berarti bahwa pertumbuhan ikan kerapu sunu tersebut bersifat isometrik yang artinya pertambahan bobot seimbang dengan pertambahan panjangnya. Pertumbuhan panjang pada kerapu sunu di pantai Barat Sumatera lebih cepat jika dibandingkan dengan bobot dimungkinkan karena pengaruh karakteristik daerah penangkapan.

Karakteristik daerah penangkapan ikan di pantai Barat Sumatera banyak dilakukan pada paparan Samudera Hindia yang merupakan lautan terbuka. Posisi daerah penangkapan seperti ini telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola gerakan arus dan kelimpahan fitoplankton di sekitarnya. Menurut Gross (1990), pola arus pada laut terbuka sangat dipengaruhi oleh gerakan massa air yang dibawa oleh proses pasang surut. Pergerakan angin akibat perbedaan suhu juga memberikan pengaruh terhadap gelombang pada permukaan air. Selain arus, gerakan massa air ini sering membawa palakton dan nutrien lain yang menjadi makanan bagi ikan-ikan kecil. Secara tidak langsung proses pergerakan arus juga sangat mempengaruhi ketersediaan makanan bagi ikan demersal yang berada di sekitar karang.

Bentuk topografi yang memiliki karang dengan lereng terjal memberikan pola gerakan arus yang lebih lemah terhadap ekosistem karang. Pengoperasian bubu dan pancing oleh nelayan Sibolga untuk menangkap kerapu sunu dioperasikan hanya di sekitar ekosistem karang. Ketersediaan makanan pada ekosistem karang akan menyebabkan ikan kerapu sunu mendiami habitat tersebut dalam waktu yang lebih lama. Ikan kerapu sunu mampu hidup pada perairan dengan kedalaman 120 meter, hal ini mempengaruhi pola kemampuan gerak ikan dalam mencari makanan. Semakin lama ikan kerapu sunu mendiami sebuah habitat maka akan meningkatkan pola pertumbuhan berat ikan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan pertambahan panjang yang lebih dominan dari berat disebabkan karena ikan kerapu sunu pada pantai Barat Sumatera lebih banyak

melakukan migrasi jika dibandingkan dengan ikan kerapu pada daerah Sulawesi seperti hasil penelitian Andamari (2005).

Pada spesies yang sama bisa saja terjadi perbedaan nilai b dimana hubungan panjang dan berat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: jumlah sampel yang dianalisis, variasi ukuran ikan sampel, waktu (musim). Pada umumnya nilai

b berkisar antara 2 sampai 3,5 (Royce, 1984 dalam Andamari, 2005).

Secara umum hasil penelitian pertumbuhan kerapu sunu di pantai Barat Sumatera menunjukkan bahwa koefisien nilai b sangat dipengaruhi oleh pola migrasi ikan di dasar perairan. Alat tangkap pancing dan bubu menangkap ikan kerapu sunu dengan ukuran maksimum 3200 gram dengan panjang 65 cm. Secara ekonomi ikan kerapu sunu pada ukuran seperti ini telah memenuhi permintaan pasar ekspor di Sibolga. Ukuran minimum permintaan pasar pada spesies kerapu sunu adalah 1000 gram.

5.3.4 Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus)

Tanpa membedakan jenis kelamin dari ikan kuwe diperoleh persamaan hubungan panjang berat : y = 2,599x –1,357 dengan nilai R2= 0,722 untuk yang tertangkap dengan alat tangkap bubu dan y = 2,423x –0,756 dengan nilai R2= 0,820 untuk yang tertangkap dengan pancing (Gambar 19).

Gambar 19 Grafik hubungan panjang berat ikan kuwe yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b).

y = 2.599x ‐1.357 R² = 0.722 5 7 9 3 3.5 4 ln - W ln - TL y = 2.423x ‐0.756 R² = 0.802 5 7 9 3 3.5 4 ln - F L ln - TL (a) (b)

Dari persamaan tersebut dapat dikatakan bahwa ikan kuwe yang tertangkap dengan bubu dan pancing memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif dengan nilai b lebih kecil dari 3 (2,599 hasil tangkapan bubu dan 2,433 hasil tangkapan pancing), hal ini menunjukkan bahwa pertambahan bobot dari ikan kuwe tidak secepat pertambahan panjangnya. Berdasarkan nilai keeratan hubungan bobot dengan panjang, hasil tangkapan pancing memiliki nilai determinasi yang lebih tinggi daripada bubu.

Dari perhitungan panjang berat ikan dapat diduga berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai pertumbuhan, kemontokan dan perubahan dari lingkungan (Effendie, 1997). Koefisien regresi yang diperoleh dari hubungan panjang berat tidak hanya berbeda antar spesies tetapi juga kadang berbeda dalam suatu spesies yang sama. Perbedaan ini dapat dikarenakan perbedaan jenis kelamin, kematangan gonad, musim dan kondisi lingkungan seperti polusi (Olurin dan Aderibigbe, 2006 dalam Putri dan Tjahjo, 2010).

Penangakapan di pantai Barat Sumatera dilakukan sepanjang tahun karena hasil tangkapan bubu dan pancing umumnya bervariasi sesuai dengan musim. Pada saat musim timur (Maret sampai Juni) hasil tangkapan nelayan di Sibolga cenderung meningkat. Pada musim ini ikan kuwe yang berukuran kecil sangat sering tertangkap pada bagan tancap (lift net) yang beroperasi di sekitar pinggir pantai. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa tersebut, ikan kuwe banyak yang mengalami proses perkawinan dan memijah di sekitar ekosistem mangrove yang ada disepanjang pantai Barat Sumatera. Sesuai dengan pernyataan Jeyaseelan (1998) ukuran hasil tangkapan ikan karang juga dipengaruhi oleh musim yang sedang berlangsung.

Ikan kuwe memiliki karakteristik berenang secara schooling, hal ini ditunjukkan dengan hasil tangkapan nelayan yang sering tergantung pada musim. Gerakan ikan yang bermigrasi secara aktif telah mempengaruhi pola pertumbuhan ikan kuwe. Sesuai dengan pernyataan Lounghurst dan Pauly (1987) pertumbuhan ikan yang cenderung menetap pada sebuah ekosistem akan lebih didominasi pertambahan bobot daripada ukurannya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, hasil tangkapan kuwe oleh nelayan Sibolga menujukkan bahwa ikan kuwe yang tertangkap pada bubu dan pancing adalah ikan yang melakukan migrasi dalam

jarak yang cukup jauh. Migrasi pada ikan kuwe dimungkinkan karena faktor mencari makanan, berlindung dan memijah saat matang gonad.

Dokumen terkait