SORONG, PAPUA BARAT PADA MUSIM TIMUR 2010
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2. TINJAUAN PUSTAKA
4.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Sail Banda Cruise
dan data citra satelithanya pada koordinat titik 4A 126o59’52,8” BT dan 6o17’7,8” LS (Laut Banda); titik 5A 119o2’31,6” BT dan 9o3’42,5” LS (Laut Sawu); serta titik 6A 116o24’22,0” BT dan 9o1’49,1” LS (perairan selatan Lombok), sedangkan untuk lokasi yang lain diduga tidak terjadi
upwelling dengan mengacu kepada nilai SPL-nya yang bernilai relatif sedang.
4.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Sail Banda Cruise.
Pengambilan data in situ SPL dan salinitas dari Sail Banda Cruise dibagi ke dalam dua tahap, yakni tahap I dimulai dari perairan utara Jawa Tengah hingga Laut Banda dan tahap II dimulai dari Laut Seram hingga perairan utara Jawa Tengah. Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Sail Banda
ditampilkan pada Gambar 9.
Gambar 9 menunjukkan lintasan pengambilan data in situ SPL dan salinitas Sail Banda Cruise, dimulai dari Laut Jawa di bagian utara Jawa Tengah, Laut Flores, Laut Banda, dan Laut Seram. Pada Gambar 9 terlihat bahwa pada Musim Timur 2010 perairan barat Indonesia memiliki kisaran nilai SPL yang relatif lebih tinggi dari pada perairan timur Indonesia, sedangkan kisaran salinitas
28
menunjukkan hal yang sebaliknya.
Gambar 9. Peta sebaran SPL (atas) dan salinitas (bawah) pada Sail
BandaCruise (25Juli–10 Agustus 2010). Biru (SPL=25,0–26,3 oC; S=25,3–27,3); hijau (SPL=26,3–27,6 oC; S=27,3–29,3); dan merah (27,6–29,0 oC; S=29,3–31,3)
Pada Musim Timur 2010 terlihat jelas bahwa massa air yang bersalinitas relatif tinggi menyusup masuk sampai ke pertengahan laut Jawa sehingga pada saat ini bisa dikatakan seluruh perairan Indonesia di sebelah timur, mulai dari sebelah utara Jawa Timur hingga Laut Seram didominasi oleh air yang bersalintas relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya musim kemarau menyebabkan pengenceran di Paparan Sunda terjadi lebih sedikit sehingga air bersalinitas tinggi dari perairan timur Indonesia dapat menyusup masuk hingga Laut Jawa (Nontji, 2005). Grafik pola sebaran SPL dan salinitas rata-rata harian pada Sail Banda Cruise ditunjukkan pada Gambar 10.
2B
2B 1B
1B 1B 2B
Gambar 10. Grafik pola sebaran SPL dan salinitas pada Sail Banda Cruise
tahap I 25–30 Juli 2010 (atas) dan tahap II 5–10 Agustus 2010 (bawah). Tanda lingkaran menunjukkan daerah dugaan fenomena
upwelling
Gambar 10 menunjukkan pola sebaran SPL dari perairan utara Jawa Tengah (Laut Jawa) ke arah Laut Banda pada Musim Timur 2010 cenderung menurun (Sail Banda Cruise Tahap I), sedangkan pada Sail Banda Cruise Tahap II menunjukkan pola sebaran SPL dari Laut Seram ke arah perairan utara Jawa Tengah cenderung kembali meningkat. Pola sebaran salinitas menunjukkan pola yang berlawanan dengan pola SPL pada kedua tahap Sail Banda Cruise. Kisaran nilai SPL pada Musim Timur 2010 dari perairan utara Jawa Tengah hingga Laut Seram yang didapat dari Sail Banda Cruise adalah sekitar 25,0–29,0 oC dengan rata-rata sebesar 27,0 oC, sedangkan kisaran nilai salinitasnya sekitar 29,0–30,8 dengan rata-rata sebesar 29,8. Nilai SPL tertinggi (29,0 oC) terdapat di perairan utara Jawa Tengah, sedangkan nilai terendah (25,0 oC) terdapat di Laut Banda.
Laut Jawa Laut Banda Laut Jawa
30
Nilai salinitas tertinggi (30,8) terdapat di Laut Banda, sedangkan nilai salinitas terendah (29,0) terdapat di perairan utara Jawa Tengah.
Pada Gambar 10 terlihat adanya anomali yang terjadi dimana nilai SPL relatif rendah, tetapi salinitasnya justru bernilai relatif tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya fenomena upwelling yang biasanya terjadi pada saat Musim Timur di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Pada Gambar 7 daerah
upwelling diduga terjadi pada garis yang diberi keterangan tanda lingkaran tepat pada tanggal 31 Juli 2010 dan 6 Agustus 2010 dimana terlihat terjadinya anomali. Daerah dugaan upwelling tersebut masing-masing tepat berada di koordinat titik 1B 124o15’7,0” BT dan 5o57’47,4” LS serta titik 2B 123o13’19,5” BT dan 4o4’32,4” LS dimana keduanya tepat berada di Laut Banda. Nilai SPL dan salinitas pada lokasi tersebut masing-masing bernilai 25,0 oC dan 30,0; serta 25,3
o
C dan 30,8.
Citra satelit Aqua-MODIS yang diambil tepat pada periode Sail Banda Cruise menunjukkan nilai SPL pada kedua titik tersebut masing-masing bernilai 27,7 oC dan 27,8 oC dengan kisaran sekitar 25,2–31,8 oC dengan rata-rata sebesar 29,0 oC sehingga nilai SPL pada kedua titik tersebut dapat dikatakan bernilai relatif lebih rendah dari pada daerah sekitarnya. Data citra satelit sebaran
klorofil-a pada periode dan lokasi yang sama perlu digunakan sebagai pendukung untuk membuktikan dugaan terjadinya upwelling pada lokasi-lokasi tersebut. Konsentrasi kandungan klorofil-a pada kedua titik tersebut masing-masing
bernilai 0,17 dan 0,13 mg/m3. Nilai ini terbilang relatif tinggi dikarenakan kisaran nilai kandungan klorofil-a pada periode tersebut adalah sebesar 0,05–9,62 mg/m3
dengan rata-rata sebesar 0,35 mg/m3. Koordinat daerah dugaan upwelling yang sudah di-overlay dengan citra satelit Aqua-MODIS pada periode yang sama ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Sebaran SPL (atas) dan klorofil-a (bawah) dari citra Aqua- MODIS periode 28 Juli–4 Agustus 2010. Tanda silang menunjukkan daerah dugaan upwelling
Hasil yang didapatkan dari kedua data citra satelit ini sesuai dengan hasil pengamatan SPL dan salinitas secara in situ pada Sail Banda Cruise sehingga pada kedua lokasi tersebut diduga kuat terjadi upwelling.
4.3 Pola Sebaran Klorofil-a pada Sail Banda Cruise
Peta sebaran klorofil-a berdasarkan cruise track Indomix ditampilkan pada Gambar 12.
1B
1B
2B
32
Gambar 12. Peta sebaran klorofil-a periode 25 Juli–10 Agustus 2010. Biru (0,8– 1,6 mg/m3); hijau (1,6–2,4 mg/m3); dan merah (2,4–3,2 mg/m3)
Pada Gambar 12 terlihat bahwa pada Musim Timur 2010 pola sebaran klorofil-a mengalami fluktuasi dari perairan utara Jawa Tengah hingga Laut Seram. Secara umum perairan barat Indonesia terlihat memiliki kandungan klorofil-a yang relatif lebih tinggi dari pada perairan timur Indonesia.
Gambar 13 menunjukkan pola sebaran kandungan konsentrasi klorofil-a dari perairan utara Jawa Tengah (Laut Jawa) ke arah Laut Banda pada Musim Timur 2010 cenderung menurun (Sail Banda Cruise Tahap I), sedangkan pada
Sail Banda Cruise Tahap II menunjukkan pola sebaran konsentrasi klorofil-a dari Laut Seram ke arah perairan utara Jawa Tengah juga sama cenderung menurun sehingga dapat dikatakan pola sebaran konsentrasi klorofil-a tidak konsisten.
Kisaran kandungan konsentrasi klorofil-a harian pada Musim Timur 2010 (Gambar 13) dari perairan utara Jawa Tengah hingga Laut Seram yang didapat dari Sail Banda Cruise adalah sekitar 1,95–2,69 mg/m3, kisaran nilai ini tergolong relatif tinggi berdasarkan teori yang ada. Nilai kandungan konsentrasi klorofil-a tertinggi (2,69 mg/m3) terdapat di perairan utara Jawa Tengah, sedangkan konsentrai klorofil-a terendah (1,95 mg/m3) juga terdapat di perairan utara Jawa
Tengah. Data in situ kandungan konsentrasi klorofil-a pada daerah dugaan
upwelling yang telah ditemukan sebelumnya masing-masing adalah sebesar 2,06 mg/m3dan 2,14 mg/m3.
Gambar 13. Grafik pola sebaran konsentrasi klorofil-a periode 25 Juli–10
Agustus 2010. Sail Banda Cruise tahap I (atas) dan tahap II (bawah)
Kandungan konsentrasi klorofil-a di perairan bersifat temporal dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dari fitoplankton, sedangkan fitoplankton sangat mudah terbawa oleh arus karena sifatnya yang melayang di permukaan perairan. Fitoplankton sendiri merupakan produser dalam rantai makanan di laut sehingga apabila banyak ikan herbivor maka biomassa fitoplanktonnya pun akan berkurang. Hasil pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a ini menunjukkan bahwa pada Musim Timur 2010 kandungan konsentrasi klorofil-a tidak terkonsentrasi pada
Laut Banda Laut Jawa
Laut Jawa Laut Seram
34
daerah-daerah upwelling saja, tetapi menyebar ke perairan lainnya karena sangat dipengaruhi oleh adanya transpor Ekman yang membawa massa air bergerak menuju arah barat daya.
4.4 Pola Sebaran Total Suspended Solid pada Sail Banda Cruise
Peta sebaran konsentrasi TSS berdasarkan cruise track Indomix ditampilkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Peta sebaran TSS periode 25 Juli–10 Agustus 2010. Biru (6,9–10,3 mg/L); hijau (10,3–13,7 mg/L); dan merah (13,7–17,1 mg/L)
Pada Gambar 14 terlihat bahwa pada Musim Timur 2010 pola sebaran TSS mengalami fluktuasi dari perairan utara Jawa Tengah hingga Laut Seram. Secara umum perairan barat Indonesia terlihat memiliki kandungan konsentrasi TSS yang relatif lebih rendah dari pada perairan timur Indonesia.
Gambar 15 menunjukkan pola sebaran konsentrasi TSS dari perairan utara Jawa Tengah (Laut Jawa) ke arah Laut Banda pada Musim Timur 2010 cenderung meningkat (Sail Banda Cruise tahap I), sedangkan pada Sail Banda Cruise tahap II menunjukkan pola sebaran konsentrasi TSS dari Laut Seram ke arah perairan utara Jawa Tengah cenderung kembali menurun. Kisaran konsentrasi TSS harian
pada Musim Timur 2010 dari perairan utara Jawa Tengah hingga Laut Seram yang didapat dari Sail Banda Cruise adalah berkisar 9,5–14,6 mg/L dengan rata-rata sebesar 2,3 mg/L. Nilai konsentrasi TSS tertinggi (14,6 mg/L) terdapat di Laut Banda dekat pesisir, sedangkan konsentrai TSS terendah (9,5 mg/L) terdapat di perairan utara Jawa Tengah. Data in situ kandungan konsentrasi TSS pada daerah dugaan upwelling yang telah ditemukan sebelumnya masing-masing adalah sebesar 14,6 mg/L dan 12,53 mg/L, nilai ini tergolong relatif tinggi jika mengacu dari kisaran nilai konsentrasi yang didapat.
Gambar 15. Grafik pola sebaran konsentrasi TSS periode 25 Juli–10 Agustus 2010. Sail Banda Cruise tahap I (kiri) dan tahap II (kanan)
Konsentrasi TSS di perairan sangat dipengaruhi oleh limpasansungai sehingga kandungan konsentrasi TSS di perairan pesisir pantai akan lebih tinggi
Laut Jawa
Laut Jawa Laut Banda
36
dari pada laut lepas. Di laut lepas salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi TSS di antaranya adalah jasad fitoplankton yang mati sehingga pada daerah upwelling kandungan konsentrasi TSS-nya akan relatif lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya.
4.8 Profil Tinggi Paras Laut dari Citra Jason-2
Profil TPL di perairan bersifat dinamis selalu berubah-ubah tergantung dari kekuatan angin yang bertiup diatasnya serta sangat dipengaruhi oleh mencairnya es di kutub. Adanya fenomena upwelling dan downwelling pun sangat mempengaruhi profil TPL di laut. Pada daerah upwelling dimana terjadi divergensi arus yang kuat menyebabkan daerah tersebut mengalami kekosongan massa air sehingga menyebabkan nilai TPL-nya menjadi bernilai rendah bahkan mencapai minus, sedangkan pada daerah downwelling menunjukkan hal yang sebaliknya.
Pada Gambar 16 terlihat daerah dugaan upwelling tersebar di perairan Indonesia dan posisinya berubah dari periode 4–19 Juli 2010 ke 25 Juli–10 Agustus 2010 sehingga dapat dikatakan posisi daerah dugaan upwelling relatif bersifat dinamis. Perairan-perairan yang dilewati oleh cruise track Indomix yang diduga mengalami upwelling berdasarkan citra Jason-2 periode 4–19 Juli 2010 adalah Laut Halmahera, Laut Banda, Laut Sawu, dan perairan selatan Lombok. Hal ini menguatkan hasil dugaan daerah upwelling berdasarkan pembahasan sebelumnya yang menyatakan upwelling diduga terjadi di koordinat 126o59’52,8” BT dan 6o17’7,8” LS (Laut Banda); 119o2’31,6” BT dan 9o3’42,5” LS (Laut Sawu); serta 116o24’22,0” BT dan 9o1’49,1” LS (perairan selatan Lombok). Pada perairan-perairan yang dilewati cruise track Sail Banda periode 25 Juli–10
Agustus 2010 berdasarkan citra Jason-2 diduga upwelling terjadi di selatan Selat Makasar dan Laut Banda, namun berdasarkan pembahasan sebelumnya
berdasarkan data in situ dan data citra Aqua-MODIS daerah dugaan upwelling
hanya terjadi di Laut Banda pada koordinat 124o15’7,0” BT dan 5o57’47,4” LS serta 123o13’19,5” BT dan 4o4’32,4” LS.
Gambar 16. Profil 2 dimensi TPL pada Musim Timur 2010 periode 4–19 Juli 2010 (atas) dan 25 Juli–10 Agustus 2010 (bawah)
4.6 Pola Pergerakan Angin
Pada Gambar 17 terlihat bahwa pada dua periode Musim Timur tahun 2010 pola pergerakan angin dominan berasal dari arah tenggara (Benua Australia) menuju Benua Asia. Namun, di perairan Laut Seram, Laut Halmahera, Laut Maluku, dan Selat Makasar angin berbelok arah menuju utara (Samudra Pasifik). Angin Musim Timur ini tidak banyak menurunkan hujan, karena hanya melewati
38
laut kecil dan jalur sempit seperti Laut Timor, Laut Arafura, dan bagian selatan Papua, serta Kepulauan Nusa Tenggara. Oleh karena itu, di Indonesia sering menyebutnya sebagai musim kemarau (Wyrtki, 1961).
Gambar 17. Pola pergerakan angin pada Musim Timur 2010 periode 4–19 Juli 2010 (atas) dan 25 Juli–10 Agustus 2010 (bawah)
Sebaran asal arah angin bertiup pada dua periode Musim Timur 2010 ditunjukan oleh wind rose pada Gambar 18.
Gambar 18. Windrose sebaran asal angin bertiup pada Musim Timur 2010 periode 4–19 Juli 2010 (kiri) dan 25 Juli–10 Agustus 2010 (kanan)
Pada Gambar 18 terlihat bahwa windrose pada periode Indomix Cruise
menunjukkan angin bertiup dominan berasal dari arah tenggara kemudian disusul dari arah timur, dan sebagian kecil dari arah selatan. Pada windrose periode Sail Banda Cruise menunjukkan bahwa arah asal angin bertiup sudah mengalami perubahan yaitu mulai terlihat beberapa angin yang bertiup dari arah barat daya walaupun masih sangat kecil serta terlihat angin yang bertiup dari arah selatan mulai bertambah banyak.
Sebaran frekuensi kecepatan angin pada dua periode Musim Timur 2010 ditunjukan oleh histogram pada Gambar 19.
Gambar 19. Histogram sebaran kecepatan angin pada Musim Timur 2010. Periode 4–19 Juli 2010 (kiri) dan 25 Juli–10 Agustus 2010 (kanan)
Pada Gambar 19 terlihat bahwa histogram pada periode Indomix Cruise
menunjukkan kecepatan angin dominan berada pada kelas dengan selang kelas 3,6–5,7 m/det sebesar 27,7% kemudian disusul oleh kecepatan angin pada kelas dengan selang kelas 0,5–2,1 m/det sebesar 26,9%. Kecepatan angin yang paling rendah berada pada selang kelas 8,8–11,1 m/det sebesar 5,9%. Pada periode Sail Banda Cruise menunjukkan kecepatan angin dominan masih berada pada selang
40
kelas 3,6–5,7 m/det namun frekuensinya meningkat menjadi 31,1% disusul kecepatan angin pada kelas dengan selang kelas 0,5–2,1 m/det sebesar 25,2%. Kecepatan angin yang paling rendah masih berada pada selang kelas 8,8– 11,1 m/det namun frekuensinya menurun menjadi 0,8%.
4.7 Pola Pergerakan Transpor Ekman
Pola pergerakan transpor Ekman pada dua periode Musim Timur 2010 (cruise Indomix dan Sail banda) ditampilkan pada Gambar 20.
Gambar 20. Pola pergerakan transpor Ekman pada Musim Timur 2010 periode 4–19 Juli 2010 (atas) dan 25 Juli–10 Agustus 2010 (bawah)
Pada Gambar 20 transpor Ekman pada periode 4–19 Juli 2010 bergerak dengan kecepatan berkisar dari 8,8x10-4–6,8x10-2 m/det, sedangkan rata-ratanya adalah sebesar 2,8x10-2 m/det. Pada periode 25 Juli–10 Agustus 2010
sebesar 2,7x10-2 m/det. Dengan demikian dapat dikatakan kecepatan transpor Ekman mengalami penurunan dari bulan Juli memasuki bulan Agustus 2010.
Pada perairan Indonesia di bagian selatan garis khatulistiwa arah transpor Ekman akan dibelokkan 90° ke arah kiri dari arah wind stress sehingga dalam pola transpor Ekman pada Gambar 20 terlihat bahwa arah transpor Ekman dominan menuju barat daya karena pada periode tersebut arah angin dominan berasal dari tenggara. Pola transpor Ekman pada kedua periode Musim Timur 2010 mengindikasikan adanya pergerakan massa air laut dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia melewati perairan Indonesia.
Transpor Ekman akan membawa sejumlah massa air tidak terkecuali fitoplankton yang melayang di permukaan perairan tersebut sehingga sebaran konsentrasi klorofil-a akan sangat ditentukan oleh arah dari transpor Ekman. Pada daerah dugaan upwelling kandungan konsentrasi klorofil-a seharusnya
menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan perairan lainnya. Namun, dikarenakan adanya transpor Ekman ini maka konsentrasi klorofil-a akan
disebarkan ke perairan lainnya sehingga perairan yang lain akan ikut subur pula. Dengan demikian, adanya fenomena coastal upwelling yang umumnya terjadi di pantai-pantai benua, turut berperan penting dalam menjaga ketersediaan fitoplankton di laut lepas karena adanya pengaruh dari transpor Ekman ini.
42
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pada Musim Timur 2010 perairan Pelabuhan Sorong, Papua Barat yang dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Pasifik memiliki nilai SPL dan salinitas yang relatif lebih tinggi dari pada perairan selatan Lombok yang dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia. Perairan utara Jawa tengah memiliki nilai SPL yang relatif lebih tinggi dibandingkan Laut Seram, sedangkan salinitas
menunjukkan pola yang sebaliknya. Kisaran nilai in situ SPL pada Indomix Cruise adalah 24,4–30,3 °C dengan rata-rata 28,9 °C, sedangkan kisaran nilai SPL dari citra Aqua-MODIS pada periode yang sama menunjukan kisaran 25,5–32,0 °C dengan rata-rata 30,3 °C. Nilai salinitas berkisar 32,4–33,6 dengan rata-rata 33,1. Pada periode Sail Banda Cruise nilai in situ harian SPL berkisar antara 25,0–29,0 °C dengan rata-rata sebesar 27,0 °C, sedangkan kisaran nilai SPL dari citra Aqua-MODIS adalah sebesar 25,2–31,8 °C dengan rata-rata 29,0 °C. Nilai salinitas berkisar antara 29,2–30,8 dengan rata-rata 29,8.
Kandungan konsentrasi klorofil-a di perairan bersifat temporal dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dari fitoplankton, sedangkan fitoplankton sangat mudah terbawa oleh arus karena sifatnya yang melayang di permukaan perairan. Pada Musim Timur 2010 pola pergerakan transpor Ekman dominan menuju arah barat daya. Hal ini mengindikasikan bahwa selama musim Timur 2010 terjadi perpindahan massa air dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Kandungan konsentrasi klorofil-a yang didapatkan berdasarkan data in situ pada Sail Banda Cruise berkisar 1,95–2,69 mg/m3 dengan rata-rata sebesar 2,30 mg/m3, sedangkan kandungan konsentrasi klorofil-a berdasarkan citra Aqua-MODIS periode 4–19
Juli 2010 (Indomix Cruise)-dan 25 Juli–10 Agustus 2010 (Sail Banda Cruise) masing-masing berkisar 0,04–9,76 mg/m3 dengan rata-rata 0,22 mg/m3 dan 0,05– 9,62 mg/m3 dengan rata-rata 0,36 mg/m3
.
Konsentrasi TSS di perairan sangat dipengaruhi oleh limpasansungai sehingga kandungan konsentrasi TSS di perairan pesisir pantai akan lebih tinggi dari pada laut lepas. Di laut lepas salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi TSS di antaranya adalah adanya degradasi fitoplankton yang mati sehingga pada daerah upwelling kandungan konsentrasi TSS-nya akan relatif lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya. Konsentrasi TSS harian yang didapatkan berdasarkan data in situ pada Sail Banda Cruise berkisar 9,5–14,6 mg/L dengan rata-rata sebesar 11,2 mg/L.
Pada Musim Timur 2010 diduga terjadi fenomena upwelling berdasarkan data in situ dari dua research cruise yang kemudian dibandingkan dengan data citra SPL dan klorofil-a satelit Aqua-MODIS dan data citra TPL dari satelit Jason-2, yakni pada periode 4–19 Juli 2010 di koordinat 126o59’52,8” BT dan 6o17’7,8” LS (Laut Banda); 119o2’31,6” BT dan 9o3’42,5” LS (Laut Sawu); serta
116o24’22,0” BT dan 9o1’49,1” LS (perairan selatan Lombok); dan pada periode 25 Juli–10 Agustus 2010 di koordinat 124o15’7,0” BT dan 5o57’47,4” LS (Laut Banda); serta koordinat 123o13’19,5” BT dan 4o4’32,4” LS (Laut Banda).
5.2 Saran
Kapal-kapal besar yang ada di Indonesia perlu dilengkapi dengan peralatan oseanografi yang mendukung sistem flowthrough sehingga data oseanografi lapisan permukaan laut dapat diperoleh secara kontinu.
44
DAFTAR PUSTAKA
Alex. 2009. Upwelling. http://meteoiberia.com. [16 Nopember 2010].
Arsjad, A. B., Y. Siswantoro, dan R. S. Dewi. 2004. Sebaran Chrophyll-a di Perairan Indonesia. Proyek Inventarisasi dan Evaluasi Sumberdaya Nasional Matra Laut (INEV-SNML). Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), Cibinong.
Brown, J., A. Colling, D. Park, J. Phillips, D. Rothery, and J. Wright. 1989. Ocean Circulation. Pergamon Press in Assocoation with The Open University. Walton Hall, Milton Keynes, England.
Edward dan Z. Tarigan. 2003. Pemantauan Kondisi Hidrologi di Perairan Raha P. Muna Sulawesi Tenggara dalam Kaitannya dengan Kondisi Terumbu Karang. MakaraSains. 7 (2): 73–82.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Hasyim, B. 2010. Karakteristik Oseanografi Selat Madura Berdasarkan Data Penginderaan Jauh dan Lapangan. (Prosiding)Pertemuan Ilmiah Tahunan VI ISOI 2009. Hal: 76-86.
Hatta, M. 2001. Sebaran Klorofil-a dan Ikan Pelagis: Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Perairan Utara Irian Jaya. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Maccherone, B. 2007. About MODIS. http://modis.gsfc.nasa.gov. [30 Nopember 2010].
Millero, F. J. 2005. Chemical Oceanography (3rd ed). CRC Press. Boca Raton. Nababan, B. 2009a. Unusual Upwelling Evidence Along Eastern Part of Equator
in Indian Ocean during 1997–1998 El Nino Event. Jurnal Kelautan Nasional. 4 (1): 16–31.
Nababan, B. 2009b. Algoritma Inderaja Kelautan. E-Learning Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB. http://itk.fpik.ipb.ac.id/e_learning. [17 Februari 2011].
Nababan, B., F.E. Muller-Karger, C. Hu, and D. C. Biggs (in press). Chlorophyll Variability in the Northeastern Gulf of Mexico. International Journal of Remote Sensing.
NASA. 2008. Ocean Surface Topography Mission/Jason-2. http://podaac-www.jpl.nasa.gov/dataset. [4 Februari 2011]. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesbiono dan D. G. Bengen. Gramedia. Jakarta. Prihartato, P. K. 2009. Studi Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a dengan
Menggunakan Data Satelit Aqua-MODIS dan SeaWiFS serta Data in situ
di Teluk Jakarta. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Riyono, S. H. 2006. Beberapa Metode Pengukuran Klorofil Fitoplankton di Laut.
Oseana. 31 (3): 33–44.
Rosmawati. 2004. Kondisi Oseanografi Perairan Selat Tiworo pada Bulan Juli– Agustus 2002. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sediadi, A. dan Edward. 2000. Kandungan Klorofil-a Fitoplankton di Perairan Pulau-pulau Lease Maluku Tengah. Makalah Ilmiah. Puslitbang oseanologi-LIPI, Jakarta.
Susilo, S. B. 2006. Penginderaan Jarak Jauh Kelautan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Susilo, S. B. dan J. L. Gaol. 2008. Dasar-Dasar Penginderaan Jauh Kelautan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tubawalony, S. 2007. Pengaruh Faktor-Faktor Oseanografi terhadap Produktivitas Primer Perairan Indonesia. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the South East Asian Water. NAGA Report Vol 2 Scripps Inst.Oceanography. The University of California. La Jolla, California.
Lampiran 1. Nilai rata-rata bulanan dan tahunan salinitas permukaan di beberapa perairan Indonesia, berdasarkan pengamatan dari tahun 1950–1955
Sumber: Wyrtki, 1961
Perairan Tahunan Jan. Feb. Mar. Mei Juni Juli Agus. Sep. Okt. Nop. Des.
L. Cina Selatan 32,3 32,4 32,4 32,6 32,6 32,4 32,1 32,2 31,9 32,2 32,4 32,1 L. Jawa 32,5 32,0 31,8 31,8 31,7 31,4 31,9 32,7 33,3 33,5 33,3 32,6 L. Flores 33,5 33,0 32,3 31,9 32,4 33,2 33,7 34,2 34,2 34,4 34,3 33,9 L. Banda 34,0 34,2 33,9 33,5 33,2 33,3 33,6 34,0 34,3 34,5 34,5 34,3 L. Arafura 34,3 34,4 34,4 34,2 34,0 33,8 34,0 34,3 34,4 34,5 34,5 34,4 Selatan Jawa 34,5 34,6 34,6 34,5 34,4 34,4 34,4 34,4 34,5 34,6 34,7 34,7 L. Sulu 33,7 33,8 33,9 34,1 34,2 34,2 34,0 33,8 33,5 33,0 33,3 33,6 L. Sulawesi 34,0 33,5 33,6 33,8 34,0 34,1 34,2 34,2 34,3 34,2 33,9 33,6 Barat Daya Sumatera 33,0 32,5 32,9 32,8 32,8 32,9 33,2 33,5 33,6 32,9 32,6 32,8 Selat Malaka 30,9 30,4 30,5 30,7 30,9 30,8 31,0 31,4 31,4 30,7 30,4 29,8
48
Lampiran 2. Spesifikasi kanal satelit Aqua-MODIS Kegunaan Utama Kanal Panjang
Gelombang (nm) Radiansi Spektral Required SNR (Signal to Noise Ratio) Darat/Awan/ 1 620 - 670 21.8 128 Aerosols Boundaries 2 841 - 876 24.7 201 Darat/Awan/ 3 459 - 479 35.3 243 Aerosols 4 545 - 565 29 228 Properties 5 1230 - 1250 5.4 74 6 1628 - 1652 7.3 275 7 2105 - 2155 1 110 Ocean Color/ 8 405 - 420 44.9 880 Fitoplankton/ 9 438 - 448 41.9 838 Biogeokimia 10 483 - 493 32.1 802 11 526 - 536 27.9 754 12 546 - 556 21 750 13 662 - 672 9.5 910 14 673 - 683 8.7 1087 15 743 - 753 10.2 586 16 862 - 877 6.2 516 Atmospheric 17 890 - 920 10 167 Water Vapor 18 931 - 941 3.6 57 19 915 - 965 15 250 Surface/Cloud 20 3.660 - 3.840 0.45(300K) 0.05 Temperature 21 3.929 - 3.989 2.38(335K) 2 22 3.929 - 3.989 0.67(300K) 0.07 23 4.020 - 4.080 0.79(300K) 0.07 Atmospheric 24 4.433 - 4.498 0.17(250K) 0.25 Temperature 25 4.482 - 4.549 0.59(275K) 0.25 Cirrus Clouds 26 1.360 - 1.390 6 150(SNR) Water Vapor 27 6.535 - 6.895 1.16(240K) 0.25 28 7.175 - 7.475 2.18(250K) 0.25 Cloud Properties 29 8.400 - 8.700 9.58(300K) 0.05 Ozone 30 9.580 - 9.880 3.69(250K) 0.25 Surface/Cloud 31 10.780 - 11.280 9.55(300K) 0.05 Temperature 32 11.770 - 12.270 8.94(300K) 0.05
Cloud Top 33 13.185 - 13.485 4.52(260K) 0.25
Altitude 34 13.485 - 13.785 3.76(250K) 0.25
35 13.785 - 14.085 3.11(240K) 0.25
36 14.085 - 14.385 2.08(220K) 0.35
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 23 April 1988 dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Achmad Tatang Zulkarnaen dan Siti Nurohmah. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMA