SORONG, PAPUA BARAT PADA MUSIM TIMUR 2010
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Parameter-Parameter Oseanografi dalam Menduga Upwelling
2.2.1 Suhu Permukaan Laut
Suhu adalah ukuran energi kinetik gerakan molekul yang terkandung dalam suatu benda (Nybakken, 1988). Daerah yang paling banyak menerima radiasi dari sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada lintang 10o LU–10o LS. Oleh karena itu, suhu air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah ekuator. Jumlah bahang yang diserap oleh air laut pada suatu lokasi semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Sverdrup et al., 1961
dalam Hatta, 2001). Selain faktor sinar matahari, suhu di daerah tropik juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi antara lain ialah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, dan kecepatan angin sehingga suhu air di permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman (Nontji, 2005).
Sebaran suhu yang ada di permukaan laut hingga mencapai kedalaman 10 m didefinisikan sebagai SPL. Parameter ini sangat penting untuk diketahui karena dapat memberikan informasi mengenai front, upwelling, arus, daerah tangkapan ikan, cuaca/iklim, pencemaran miyak, dan pecemaran panas (Susilo, 2006).
Upwelling di lautan dapat dilihat dari SPL di daerah terjadinya upwelling lebih rendah dari daerah sekitarnya. Hal ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas (Hutabarat dan Evans, 1985; Nontji, 2005).
Semua benda pada suhu di atas nol derajat absolut (0 K, atau -273,16 oC) memancarkan energi radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Energi dari partikel suatu benda dalam gerakan acak disebut kinetic heat. Panas kinetik internal dapat dikonversi ke radiant energy. Jumlah fluks radiasi yang diemisi dari sebuah objek disebut radiant themperature (Trad). Umumnya antara
sehingga radiasi suhu suatu objek dapat diukur dari suatu jarak tertentu dengan mengunakan sensor radiometer. Hal inilah yang menjadi dasar dari penginderaan jarak jauh (inderaja) sistem inframerah termal (Susilo dan Gaol, 2008).
2.2.2 Salinitas
Salinitas didefinisikan kembali ketika teknik untuk menentukan salinitas dari hasil pengukuran konduktivitas, temperatur, dan tekanan telah dikembangkan. Sejak tahun 1978 digunakan Practical Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) untuk mendefinisikan salinitas sebagai rasio dari konduktivitas. Salinitas praktis, dengan simbol S, dari suatu sampel air laut didefinisikan sebagai rasio dari konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur 15 oC dan tekanan 1 ATM terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl adalah 0,0324 pada temperatur dan tekanan yang sama (Millero, 2005).
Definisi Practical Salinity Scale ini dihitung dengan rumus menurut (Millero, 2005), pada persamaan (1).
S = 0.0080 - 0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 - 7.0261 K2 + 2.7081 K5/2 + S………..……(1)
Sebaran horizontal salinitas di lautan menurut Ross (1970) dalam
Rosmawati (2004) bahwa semakin ke arah lintang tinggi maka salinitas akan semakin tinggi. Dalam pola distribusi secara horizontal, daerah yang memiliki salinitas tertinggi berada pada daerah lintang 30o LU dan 30o LS, kemudian menurun ke daerah khatulistiwa. Hal ini disebabkan presipitasi di daerah tropis jauh lebih tinggi sehingga terjadi pengenceran oleh air hujan. Selain perbedaan
10
lintang, salinitas suatu wilayah perairan bergantung pada topografi daerah
tersebut. Hal tersebut terkait dengan ada tidaknya limpasan air tawar yang berasal dari sungai menuju muara.
Daerah upwelling dapat dilihat dari nilai salinitasnya yang lebih tinggi dari pada di daerah sekitarnya karena upwelling mengangkat massa air dari lapisan bawah yang salinitasnya lebih tinggi ke permukaan (Hutabarat dan Evans, 1985; Nontji, 2005).
2.2.3 Klorofil-a
Klorofil-a adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan yang mempunyai peran penting di dalam berlangsungnya proses fotosintesis (Prezin, 1981 dalam
Sediadi dan Edward, 2000). Klorofil-a merupakan pigmen yang paling dominan yang terdapat pada fitoplankton sehingga konsentrasi klorofil-a dapat digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton di suatu perairan (Parsons et al., 1977 dalam Prihartato, 2009). Semakin banyaknya kandungan klorofil-a di perairan menunjukkan semakin banyaknya biomassa fitoplankton di perairan tersebut. Oleh karena itu, pengukuran kandungan klorofil-a fitoplankton
merupakan salah satu alat pengukuran kesuburan suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk produktivitas primer (Uno, 1982 dalam Sediadi dan Edward, 2000).
Menurut Tubawalony (2007) konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat ditentukan oleh intensitas cahaya dan keberadaan nutrien. Menurut Matsuura et al. (1997) dalam Tubawalony (2007) bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a di bagian atas lapisan tercampur sangat sedikit dan konsentrasinya mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan tersebut, setelah itu menurun secara drastis
pada lapisan termoklin, hingga tidak ada lagi klorofil-a pada lapisan di bawah termoklin.
Klorofil merupakan pigmen berwarna dalam sel tumbuhan. Pigmen ini terdiri dari beberapa jenis dan berbagai warna. Ada puluhan jenis pigmen terdapat dalam sel tumbuhan namun sekitar 80–90 % dari total pigmen tersebut merupakan klorofil-a. Oleh karena itu, konsentrasi klorofil-a merupakan representasi
konsentrasi klorofil dari sel tumbuhan. Mengingat klorofil-a ini berwarna kehijauan (greenish) maka klorofil-a ini mempunyai nilai optik sehingga secara teori kandungan konsentrasi klorofil-a ini dapat diduga melalui teknik
penginderaan jauh (satelit) yang sering disebut sebagai ocean color sensor satellite (Nababan, 2009).
Daerah upwelling dapat dilihat dari konsentrasi nutrien yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya ditambah dengan intensitas cahaya yang cukup untuk proses fotosintesis maka akan menghasilkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi pula (Hutabarat dan Evans, 1985). Upwelling selalu disertai dengan produksi fitoplankton yang tinggi sehingga daerah upwelling memiliki potensi perikanan yang tinggi pula (Nontji, 2005).
2.2.4 Total Suspended Solid
Partikel-partikel tersuspensi (diameter > 1 m) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 m digolongkan ke dalam TSS. Komponen penyusun TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air
12
meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser (Effendi, 2003). Kisaran nilai TSS untuk kepentingan perikanan ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai TSS
Sumber: Alabaster dan Lyod, 1982 dalam Effendi, 2003
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1976 dalam Effendi, 2003).
Pada daerah upwelling kandungan nilai TSS ini akan terlihat sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya karena disebabkan adanya
fitoplankton yang mati setelah terjadinya blooming (Nababan et al., in press).
2.2.5 Tinggi Paras Laut
Inderaja untuk topografi sering disebut sebagai inderaja altimetri dengan menggunakan sensor altimeter. Inderaja altimetri ini telah cukup lama
berkembang. Inderaja altimetri untuk topografi permukaan laut pertama kali dikembangkan sejak peluncuran SKYLAB dengan sensor atau radiometer yang disebut S-193. Satelit altimeter terus disempurnakan dan telah tercatat beberapa
Nilai TSS (mg/Liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan <25 25–80 81–400 >400 Tidak berpengaruh Sedikit berpengaruh
Kurang baik bagi kepentingan perikanan Tidak baik bagi kepentingan perikanan
satelit yang membawa altimeter yaitu GEOS-3, SEASAT, ERS-1, TOPEX/Poseidon dan terakhir adalah satelit Jason (Susilo, 2006).
Menurut Susilo (2006) TPL dihitung berdasarkan jarak atau ketinggian muka laut dari “geoid”. Geoid adalah permukaan bumi yang bersifat
ekuipotensial, yaitu mempunyai potensial yang sama (konstan). Geoid bertepatan dengan “mean sea level” atau MSL jika laut tidak bergerak (motionless) pada suhu 0 oC dan salinitas 35. Geoid ini secara matematis dapat dihitung. Geoid berhubungan dengan gravitasi dan “ellipsoid” serta memenuhi persyaratan dalam persamaan (2).
g.hgeo = konstan...(2) dimana g = gravitasi
hgeo = ketinggian geoid dari ellipsoid
Ellipsoid adalah permukaan bumi yang mempunyai geopotensial sama atau konstan. Ellipsoid ini adalah permukaan bumi yang secara matematis paling mendekati permukaan bumi yang sebenarnya. Ellipsoid ini juga dapat dihitung melalui persamaan matematis dengan memasukkan berbagai parameter kebumian (Susilo, 2006).
Nilai TPL yang rendah (-) berasosiasi dengan daerah upwelling atau
cyclone, sedangkan daerah dengan TPL yang tinggi (+) umumnya berasosiasi dengan daerah downwelling atau anticyclone. Pada belahan bumi utara transpor Ekman dibelokkan 90o kearah kanan dari arah wind stress menyebabkan
terjadinya divergensi dari permukaan perairan sehingga angin cyclone dapat menyebabkan terjadinya upwelling, sedangkan angin anticyclone menyebabkan
14
hal yang sebaliknya. Perubahan garis termoklin pada saat terjadinya upwelling
dan downwelling disebabkan karena adanya pompa Ekman sebagai respon dari wind stress di permukaan (Brown et al., 1989).
2.3 Karakteristik Sensor Aqua-MODIS
Sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) adalah instrumen kunci yang dimiliki satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM). Orbit satelit Terra mengelilingi bumi dari utara ke selatan melintasi khatulistiwa pada saat pagi sementara itu satelit Aqua melintasi khatulistiwa dari arah selatan ke utara pada saat sore hari. Satelit Terra-MODIS dan Aqua-MODIS mencitra permukaan bumi setiap satu hingga dua hari. Sensor MODIS menyediakan resolusi radiometrik dengan sensitivitas tinggi (12 bit) dalam 36 kanal spektral (Lampiran 2) dengan kisaran panjang gelombang 0,4–14,4 µm (Maccherone, 2007). Spesifikasi teknis dari satelit Aqua-MODIS ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi teknis dari satelit Aqua-MODIS
Orbit 705 km, melintasi khatulistiwa pada pukul 1:30 p.m waktu setempat. ascending node, sun-synchronous, near-polar, sirkular
Dimensi Sapuan 2330 km (lintasan silang) dengan 10 km (di titik nadir) Ukuran 1,0 x 1,6 x 1,0 m
Berat 228,7 kg
Daya 162,5 W (rata-rata orbit tunggal) Kuantisasi 12 bit
Resolusi Spasial 250 m (band 1-2) 500 m (band 3-7) 1000 m (band 8-36) Umur Desain 6 tahun
Sumber: Maccherone, 2007
Sensor MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 yang dibawa oleh satelit Terra dengan spesifikasi teknis untuk mengamati daratan.
Pada tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan satelit Aqua yang membawa sensor MODIS dengan spesifikasi teknis untuk daerah perairan. Satelit Aqua-MODIS dapat digunakan untuk menduga ocean color seperti konsentrasi klorofil-a dan juga mampu mengestimasi SPL di perairan (Maccherone, 2007).
2.4 Karakteristik Sensor Jason-2
Satelit Jason-2 atau dikenal juga sebagai Ocean Surface Topography Mission (OSTM) adalah misi satelit internasional yang akan melanjutkan misi perekaman data TPL yang telah dimulai dari tahun 1992 oleh satelit sebelumnya. Sensor altimeter yang dibawa oleh satelit Jason-2 adalah Poseidon-3 yang
memancarkan pulsa gelombang mikro pada frekuensi 13,6 GHz dan 5,3 GHz. Pulsa ini kemudian dipancarkan oleh transmiter dan akan dipantulkan kembali oleh permukaan laut. Waktu yang diperlukan pulsa untuk kembali ke satelit kemudian dikalikan dengan kecepatan cahaya untuk mendapatkan jarak dari satelit ke permukaan laut. Setelah itu dilakukan koreksi untuk mengurangi galat akibat adanya pengaruh atmosfer atau pun dari instrumen itu sendiri, akurasi pengukuran TPL yang didapatkan dari sensor altimeter ini adalah kurang dari 3 cm. Satelit Jason-2 merupakan hasil kerja sama antara NASA dengan CNES yang diluncurkan pada tanggal 20 Juni 2008 menggunakan roket Delta II 7320 (NASA, 2008). Spesifikasi teknis dari satelit Jason-2 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi teknis dari satelit Jason-2
Orbit 1,336 km, non-sun-synchronous dengan kemiringan 66 derajat dari khatulistiwa, sirkular
Resolusi Spasial 11,2 km (panjang) x 5,1 km (lebar) Resolusi Temporal 10 hari
Umur Desain 3 Tahun Sumber: NASA, 2008
16
3. METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan data in situ dari dua research cruise, yakni
Indomix dan Sail Banda. Data in situ Indomix Cruise didapat dari program kerjasama internasional di bidang survei kelautan antara Negara Perancis dengan Negara Indonesia yang melibatkan para peneliti dari kedua belah pihak. Data in situ ini didapatkan melalui Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS selaku koordinator peneliti dari pihak Indonesia. Data in situ Sail Banda Cruise
didapatkan langsung dengan mengikuti kegiatan survei lapang bersama dengan pihak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Indomix Cruise dilakukan dari tanggal 8–19 Juli 2010 dengan titik pengambilan awal dari perairan Pelabuhan Sorong, Papua Barat dan diakhiri di bagian selatan Pulau Lombok dengan koordinat 0o52’41.90” LS dan
131o14’45.96” BT hingga 9o8’0.17” LS dan 117 13’6.96” BT. Perekaman data dilakukan secara kontinu setiap satu menit selama 12 hari menggunakan alat CTD (Conductivity Temperature Depth) yang telah diatur untuk terus merekam data oseanografi di lapisan permukaan, seperti SPL dan salinitas selama kapal berjalan (flowthrough). Pengambilan data pada Sail BandaCruise dilakukan di 52 titik stasiun pengamatan yang tersebar di sepanjang perairan utara Jawa hingga Laut Seram dengan koordinat 5o51’19.65” LS dan 109o4’29.99” BT hingga
2o50’45.17” LS dan 126o45’27.93” BT.
Pengambilan data pada Sail Banda Cruise dilakukan selama 2 minggu dan dibagi ke dalam dua tahap, yaitu tahap I dari perairan utara Jawa tengah hingga Laut Banda (25–31 Juli 2010) dan tahap II dari Laut Seram hingga perairan utara
Jawa Tengah (5–11 Agustus 2010). Pengambilan data in situ sendiri dilakukan lima kali sehari dengan waktu pengambilan setiap pukul 07.00, 10.30, 13.30, 15.00 dan 20.00 yang waktunya mengikuti local time dari wilayah
pengamatannya. Peta cruise pengambilan data ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Peta cruise pengambilan data
Pengolahan dan analisis data dilakukan selama bulan Agustus–Oktober 2010, proses pengolahan awal di lakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan (Proling) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB. Kemudian hasilnya diolah di Laboratorium Oseanografi Bagian DataProcessing
dan Laboratorium Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB.
3.2 Data Penelitian
18
1. Data TPL dari citra satelit Jason-2 pada koordinat 105o–132o BT dan 2,5o LU– 10o LS dengan resolusi spasial 11,2×5,1 km2 pada tanggal 13 Juli 2010 dan 2 Agustus 2010 dari Pusat Riset Iklim dan Astrodinamika atau CCAR (Center for Climate and Astrodynamics Research) Dept. of Aerospace Engineering Sciences University of Colorado, Boulder yang dapat diunduh dari situs http://argo.colorado.edu.
2. Data SPL dan klorofil-a dari citra satelit Aqua-MODIS level 3 dengan resolusi spasial 4x4 km2 yang merupakan komposit rata-rata 8 harian periode 4–11 Juli 2010 dan 28 Juli–4 Agustus 2010 yang dapat diunduh dari situs
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov.
3. Data angin periode 8–19 Juli 2010 dan 25 Juli–10 Agustus 2010 pada koordinat 105o–132o BT dan 0o–9o LS dengan resolusi spasial 1.5°x1.5° dari Badan Riset Cuaca European Center for Medium-Range Weather Forecasts
(ECMWF) yang dapat diunduh dari situs http://data-portal.ecmwf.int. 4. Data in situ SPL dan salinitas periode 8–19 Juli 2010 didapatkan dari hasil
survei lapang IndomixCruise, sedangkan data in situ SPL dan salinitas periode 25 Juli–10 Agustus 2010 didapatkan dari hasil survei lapang Sail Banda Cruise. Pada Indomix Cruise SPL dan salinitas diukur dengan menggunakan CTD, sedangkan pada Sail Banda Cruise SPL diukur dengan menggunakan termometer lidi yang memiliki akurasi 0,5 oC dan salinitas diukur dengan menggunakan handrefractometer merek ATAGO dengan akurasi 0,5 sebanyak tiga kali ulangan untuk mengurangi kesalahan paralaks. Oleh karena itu, data SPL dan salinitas dari kedua cruise tidak dapat dibandingkan antara satu dengan lainnya. Adanya kelemahan di bidang peralatan survei pada Sail
Banda Cruise tidak menjadi masalah karena yang akan diamati adalah trennya bukan pada nilai absolutnya.
5. Data in situ klorofil-a dan TSS periode 25 Juli–10 Agustus 2010 didapatkan dari hasil survei lapang Sail Banda Cruise. Pengambilan sampel air dan penyaringan dilakukan pada saat cruise berlangsung, sedangkan
pengukurannya dilakukan di Laboratorium Proling Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB. Pengukuran klorofil-a menggunakan prinsip metode spektrofotometri. Menurut Riyono (2006) prinsip metode untuk pengukuran klorofil-a secara spektrofotometri didasarkan pada penyerapan maksimum oleh ekstrak klorofil dalam aceton di daerah spektrum merah (panjang gelombang 630-665 nm). Penyerapan maksimum untuk klorofil-a, -b dan -c terjadi pada tiga panjang gelombang, yaitu 665, 645, dan 630 nm (trichromatic).
3.3 Metode Pengolahan Data
Data TPL yang diunduh dari situs http://argo.colorado.edu sudah dalam bentuk gambar dengan format *gif sehingga tidak perlu untuk diolah lagi. Pengolahan data SPL dan klorofil-a dari citra Aqua-MODIS dilakukan dengan cara mendownload data tersebut dalam format Hierachical Data Format (HDF) berupa citra level 3 yang sudah dikoreksi secara geometrik dan radiometrik. Kemudian mengolahnya menggunakan software SeaDAS 5.2 under LINUX dengan menggunakan penyaringan data (quality control) untuk menghilangkan data ekstrim tinggi dan data ekstrim rendah yang diduga bukan merupakan nilai dari parameter yang dicari. Quality control yang digunakan, yakni untuk SPL (25 < SPL 32 °C) dan klorofil-a (0 < klorofil-a 10 mg/m3). Hasil dari pengolahan
20
Data TPL
Data Klorofil-a Data SPL
Data satelit ECMWF
Aqua- MODIS Jason-2 Data Angin Transpor Ekman ( x, y) = a Cd |W10| (u10, v10) Cd = 0.0012; 0 < W10 11m/s Cd = 0.00049 + 0.000065; 11m/s > W10
Large dan Pond (1981) dalam
Nababan (2009) Data in situ (SPL, salinitas, TSS, dan klorofil-a) Prediksi daerah upwelling
data ini berupa profil dua dimensi sebaran spasial SPL dan konsentrasi klorofil-a dalam format *tif dan data ASCII yang kemudian diolah dengan Ms. Excel 2007 untuk melihat kisaran dan nilai rata-rata dari SPL dan konsentrasi klorofil-a. Diagram alir metode pengolahan data disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram alir pengolahan data
Data angin diperoleh dari situs http://data-portal.ecmwf.int dalam format *nc. Informasi yang terdapat pada data tersebut adalah mengenai latitude,
longitude, station, v-component of pseudostress at 10 meters [m2/s2], u-component of pseudostress at 10 meters [m2/s2], wind speed at 10 meters [m/s] dan v-wind at at 10 meters [m/s], u-wind at 10 meters [m/s]. Untuk memperoleh gambar arah dan kecepatan angin, informasi yang dibutuhkan adalah latitude, longitude, u-wind at 10 meters [m/s], v-wind at 10 meters [m/s]. Data ini kemudian dibuka dalam software ODV 3.0.1 untuk diubah ke dalam bentuk *txt. Data yang sudah dalam format *txt kemudian diolah menggunakan software Ms. Excel 2007, setelah itu data tersebut diolah menggunakan software Surfer 8.0 untuk menampilkan pola pergerakan anginnya.
Transpor Ekman dihitung dengan menggunakan data wind stress yang diformulasikan oleh Large dan Pond (1981) dalam Nababan (2009),
pada persamaan (3).
( x, y) = a Cd |W10| (u10, v10)………..…(3) dimana Cd = 0.0012; 0 < W10 11m/s
Cd = 0.00049 + 0.000065; W10 > 11m/s
x, y adalah komponen wind stress untuk masing-masing sumbu x dan y, u10 dan v10 adalah kecepatan angin pada sumbu x dan y yang diturunkan dari kecepatan angin permukaan pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut (W10),
a adalah massa jenis air laut (1.22 gr/cm3), dan Cd adalah “drag coefficient” yang tergantung pada kecepatan angin. Transpor Ekman dihitung dari data wind stress
dengan pembelokan arah 90˚ ke arah kanan pada Belahan Bumi Utara (BBU) dan 90˚ ke kiri pada Belahan Bumi Selatan (BBS). Pola transpor Ekman yang
22
mengingat fitoplankton bersifat melayang di permukaan perairan dan sangat mudah terbawa oleh arus laut.
Data in situ SPL dan salinitas diolah menggunakan software Ms. Excel
2007 untuk menampilkan grafik hubungan SPL dan salinitas. Grafik tersebut digunakan untuk menduga daerah upwelling. Kemudian hasil dari grafik tersebut dibandingkan dengan data SPL dan klorofil-a dari citra Aqua-MODIS serta data TPL dari citra Jason-2 untuk mendapatkan hasil dugaan upwelling yang lebih akurat. Pada daerah upwelling tersebut juga dibandingkan kandungan konsentrasi klorofil-a dan TSS dari data in situ untuk melihat sebarannya pada daerah dugaan
23
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada IndomixCruise
Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix
selengkapnya disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Peta sebaran SPL (atas) dan salinitas (bawah) pada Indomix Cruise
(8–19 Juli 2010). Biru (SPL=24,4–26,4 oC; S=32,4–32,8); hijau (SPL=26,4–28,4 oC; S=32,8–33,2); dan merah (SPL=28,4–30,4 oC; S=33,2–33,6)
Gambar 6 menunjukkan lintasan pengambilan data in situ SPL dan salinitas Indomix Cruise, dimulai dari Pelabuhan Sorong, Papua Barat, Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Laut Sawu, dan perairan selatan Lombok. Pola sebaran SPL dan salinitas terlihat mengalami fluktuasi dari Pelabuhan Sorong, Papua Barat hingga perairan selatan Lombok. Pada Gambar 6 terlihat bahwa pada Musim Timur 2010, perairan Pelabuhan Sorong yang dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Pasifik yang memiliki nilai SPL dan salinitas yang
1A 2A 3A 4A 5A 6A 1A 2A 3A 4A 5A 6A
24
lebih tinggi dibandingkan dengan perairan selatan Lombok yang dipengaruhi oleh massa air Samudra Hindia. Grafik pola sebaran SPL dan salinitas rata-rata harian pada Indomix Cruise ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Grafik pola sebaran SPL dan salinitas pada Indomix Cruise (8–19 Juli 2010). Tanda lingkaran menunjukkan daerah dugaan fenomena
upwelling
Gambar 7 menunjukkan pola sebaran SPL dari perairan Pelabuhan Sorong, Papua Barat ke arah perairan selatan Lombok pada Musim Timur 2010 cenderung menurun kemudian setelah itu kembali meningkat. Pola sebaran salinitas menunjukkan pola yang sama dengan pola SPL. Kisaran nilai SPL pada Musim Timur 2010 dari perairan Pelabuhan Sorong hingga selatan Pulau Lombok yang didapat dari Indomix Cruise adalah sekitar 24,4–30,3 oC, sedangkan kisaran nilai salinitasnya sekitar 32,4–33,6. Nilai SPL tertinggi (30,3 oC) terdapat di Laut Halmahera, sedangkan nilai terendah (24,4 oC) terdapat di Laut Sawu. Nilai salinitas tertinggi (33,6) terdapat di perairan utara Papua Barat, sedangkan nilai salinitas terendah (32,4) terdapat di Laut Banda.
1A 2A 6A 5A 4A 3A
Pada saat musim kemarau (Musim Timur) dimana laju evaporasi tinggi salinitas akan meningkat serta karena penutupan awan menjadi lebih berkurang dibandingkan pada musim hujan maka tingkat radiasi akan menjadi semakin tinggi sehingga nilai SPL akan meningkat pula. Pada Gambar 7 terlihat adanya beberapa anomali yang terjadi dimana nilai SPL menunjukkan pola yang relatif menurun, tetapi salinitasnya justru sebaliknya. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya fenomena upwelling yang biasanya terjadi pada saat Musim Timur di beberapa wilayah perairan di Indonesia. Fenomena upwelling akan mengangkat massa air laut yang bersuhu dingin dan bersalinitas tinggi dari lapisan perairan dalam ke lapisan permukaan sehingga pada daerah upwelling kisaran SPL akan lebih rendah dari pada daerah sekitarnya, sedangkan kisaran salinitasnya adalah sebaliknya.
Pada Gambar 7 daerah upwelling diduga terjadi pada grafik yang diberi keterangan tanda lingkaran tepat pada tanggal 8, 14, 15, 16, 18, dan 19 Juli 2010 dimana terlihat terjadinya anomali tersebut. Daerah dugaan upwelling tersebut masing-masing tepat berada di koordinat titik 1A 131o14’54,6” BT dan
0o53’21,8” LS (perairan Pelabuhan Sorong ); titik 2A 128o45’47,2” BT dan 1o8’8,2” LS (Laut Halmahera); titik 3A 127o20’57,1” BT dan 3o42’20,9” LS (Laut Banda); titik 4A 126o59’52,8” BT dan 6o17’7,8” LS (Laut Banda); titik 5A 119o2’31,6” BT dan 9o3’42,5” LS (Laut Sawu); serta titik 6A 116o24’22,0” BT dan 9o1’49,1” LS (perairan selatan Lombok). Nilai SPL dan salinitas pada lokasi