• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KAJIAN TEORI

2. Pola Sosialisasi

suatu tindakan. Ciri-ciri pola sosialisasi ini adalah memberikan imbalan bagi perilaku yang baik, hukuman dan imbalan simbolis, otonomi pihak yang disosialisasi, komunikasi sebagai interaksi, sosialisasi berpusat pada anak, orangtua memperhatikan keinginan anak dan keluarga merupakan kerja sama ke arah tujuan.5

4

Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2003) h 27

5

Agus Santoso, Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian, 2009, (http://agsasman3yk.files.wordpress.com)

Setiap orang akan mengalami pola sosialisasi yang berbeda, hal tersebut dikarenakan pola asuh dan latar belakang yang tidak sama. Selain di keluarga, sekolah juga menerapkan pola sosialisasi.

Sekolah merupakan agen sosialisasi kedua setelah keluarga yang penting dalam kehidupan manusia. Sekolah perlahan menjadi agen pengganti terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga, seiring dengan intensifnya anak memasuki ruang sosial dari ruang sekolah. Jadi sekolah mensosialisasikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga dipandang sebagai tempat yang menjadi transisi dari kehidupan keluarga ke dalam kehidupan masyarakat.6

Pengalaman atau latar belakang sekolah juga mempengaruhi perilaku seseorang. Ada yang berlatar belakang sekolah umum dan ada juga berlatar belakang pesantren.“sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang mempengaruhi proses sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan masyarakat kepada anak”.7

Sosialisasi identik dengan makna penyesuaian diri. Bagian dari pola sosialisasi seperti hukuman yang diberikan, bentuk komunikasi, aturan yang diterapkan dan cara bersosialisasi mempengaruhi bagaimana cara seseorang menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan.

Ada empat cara bagaimana lingkungan mempengaruhi perilaku. Pertama lingkungan menghalangi perilaku, akibatnya juga membatasi apa yang kita lakukan. Kedua lingkungan mengundang atau mendatangkan perilaku, menentukan bagaimana kita harus bertindak. Ketiga lingkungan membentuk diri, dan keempat lingkungan akan mempengaruhi citra diri.8

Terdapat banyak sekali peraturan dan tuntutan yang diberikan sekolah kepada peserta didik menyebabkan sumber stres yang mempengaruhi penyesuaian diri peserta didik. Pertama adalah tuntutan fisik (phsyical demands) yaitu stres siswa yang bersumber dari lingkungan fisik sekolah.

6

Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011) h 72-74

7

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007) h 186

8

R.S Satmoko, Psikologi Tentang Penyesuaian Dan Hubungan Kemanusiaan,

Dimensi-dimensi dari lingkungan fisik sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya stres siswa ini meliputi, daftar pelajaran, keamanan, penjagaan serta sarana dan prasarana sekolah. Kedua tuntutan tugas (task demands)

yaitu tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan dan dihadapi oleh peserta didik yang menimbulkan perasaan tertekan dan stres seperti mematuhi disiplin sekolah, memenuhi tuntutan kurikulum dan menghadapi ujian atau ulangan. Ketiga adalah tuntutan peran (role demands) yaitu berhubungan dengan peran yang dipikul oleh siswa. Keempat tuntutan interpersonal (interpersonal demands) adalah yaitu siswa di tuntut mampu melakukan interaksi sosial dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Stres sekolah mempunyai dampak terhadap kehidupan pribadi anak, baik secara fisik, psikologis, maupun secara psikososial atau tingkah laku. 9

Dari hasil wawancara penulis menunjukkan bahwa mahasiswa lulusan pesantren lebih sering berinteraksi dengan orang lain dibandingkan mahasiswa lulusan sekolah umum hal ini ditunjukkan mahasiswa lulusan pesantren lebih banyak mengikuti organisasi dibandingkan mahasiswa lulusan sekolah umum. Selain itu mahasiswa lulusan pesantren lebih bersosialisasi dari mahasiswa lulusan sekolah umum karena mahasiswa lulusan pesantren mempunyai teman di setiap fakultas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedangkan mahasiswa lulusan sekolah umum mempunyai teman hanya di beberapa fakultas saja.10

Selain itu perilaku Mahasiswa lulusan pesantren dan Sekolah Umum juga diamati dan terdapat sebuah kasus di jurusan Pendidikan IPS Fakultas Tarbiah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mahasiswa yang lulusan pesantren memiliki banyak teman dibandingkan jurusan umum, hal itu terlihat ketika penulis dan teman sekelas yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum saat makan siang di cafe kampus. Anak yang lulusan

9

Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009) h 293 - 296

10

Hasil wawancara kepada salah satu mahasiswa UIN Syarif hidayatullah Jakarta di kampus yaitu Clara Safitri (lulusan pesantren) dan Ade Robiatu Syarfah (lulusan sekolah umum) kamis, 13 maret 2014

pesantren sering bertemu dan mengenal orang-orang disekitar cafe tersebut baik dari jurusan bahkan fakultas yang berbeda. Selain itu mahasiswa lulusan pesantren bisa cepat bersosialisasi dan menyesuaikan diri di lingkungan baru, dilihat saat diperkenalkan kepada teman kosan yang belum dikenalnya, anak lulusan pesantren ini dapat dengan mudah berkomunikasi dengan teman barunya itu. Dia mampu mengikuti alur pembicaraan teman barunya tersebut. Hal itu terlihat juga teman barunya mulai terbuka dan nyaman saat berkomunikasi dengan mahasiswa lulusan pesantren tersebut. Sedangkan ketika memperkenalkan anak lulusan sekolah umum kepada teman kosan, tidak langsung akrab atau saling mengobrol anak lulusan sekolah umum cenderung malu-malu dan segan kepada teman kosan itu.

Menurut Burgoon dalam teorinya adaptasi interaksi yaitu, “ketika anda berkomunikasi dengan orang lain, anda memiliki ide umum mengenai apa yang akan terjadi.”11

Perilaku awal dalam interaksi terdiri atas kombinasi dari perilaku verbal dan nonverbal yang mencerminkan posisi interaksi, faktor lingkungan dimana interaksi terjadi, dan tingkat keahlian yang di miliki. Namun, dalam kebanyakan interaksi, perilaku akan berubah begitu juga perilaku lawan bicara mulai saling memengaruhi.

Burgoon dan rekan-rekannya telah menemukan, “bahwa cara-cara kita menyesuaikan diri dengan orang lain sebagian besar tergantung pada seberapa jauh orang lain melanggar harapan kita untuk berperilaku”.12

Begitu juga dengan kasus yang ada pada mahasiswa Pendidikan IPS bahwa cara mereka menyesuaikan diri tergantung kepada lingkungan dan latar belakang.

Berdasarkan hasil paparan mengenai latar belakang masalah di atas penulis

merasa perlu untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Perbedaan Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Stui Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)”.

11

Morissan, Psikologi Komunikasi, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) h 120-121

12

B. Identifikasi Masalah

1. Adanya perubahan hubungan antara anak dengan orangtua dari masa prasekolah sampai sekolah.

2. Adanya adaptasi yang dicirikan oleh interaksi yang dilakukan antara mahasiswa yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum. 3. Adanya pengaruh pola sosialisasi pendidikan pesantren dan sekolah

umum.

4. Adanya perbedaan tingkat penyesuaian diri antara mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan sekolah umum.

C. Pembatasan Masalah

Dari hasil identifikasi masalah tersebut maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Tingkat penyesuaian diri mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.

2. Pola sosialisasi mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.

D. Rumusan Masalah

1. Apakah pola sosialisasi mempunyai pengaruh terhadap tingkat

penyesuaian diri mahasiswa jurusan pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?

E. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh pola sosialisasi terhadap tingkat

penyesuaian diri mahasiswa jurusan pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Menambah pengetahuan dan wawasan serta bahan dalam penerapan metode penelitian khususnya mengenai pengaruh pola sosialisasi terhadap tingkat penyesuaian diri.

a. Bagi peneliti

Dapat mengembangkan ilmu menambah pengetahuan teori yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat mengetahui pola sosialisasi yang diterapkan di sekolah baik pesantren maupun sekolah umum

c. Bagi masyarakat

Dapat dijadikan khazanah keilmuan dan referensi penelitian selajutnya.

2. Manfaat Praktis

Dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan pola sosialisasi dan memilih sekolah.

a. Bagi Penelitian

Dapat memberikan informasi tentang pola sosialisasi yang diterapkan oleh pesantren dan sekolah umum serta mengetahui tingkat penyesuaian diri pada mahasiswa yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan rujukan dalam penerapan pola sosialisasi untuk sekolah baik pesantren atau sekolah umum.

c. Bagi Masyarakat

9

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teoretik

1. Definisi Pengaruh

Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.13 Pengaruh menurut para tokoh antara lain:

a. Uwe Becker, Pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang

yang berbeda dengan kekuasaan tidak begitu terkait dengan usaha memperjuangkan dan memaksakan kepentingan.

b. Norman Barry, Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang jika seorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.

c. Albert R. Roberts & Gilbert, Pengaruh adalah wajah kekuasaan yang diperoleh oleh orang ketika mereka tidak memiliki

kewenangan untuk mengambil keputusan.14

13

Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,

(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008) h 1045

14

Dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Sehubungan dengan adanya penelitian yang dilakukan penulis, pengaruh merupakan bentuk hubungan sebab akibat antar variabel.

2. Pola Sosialisasi

Menurut Soerjono Soekanto, “Sosialisasi yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dimana dia menjadi anggota”.15

Sedangkan Sosialisasi menurut para tokoh antara lain:

a. Kimball Young, mengatakan bahwa sosialisasi merupakan

hubungan interaktif dimana seseorang dapat mempelajari kebutuhan sosial dan kultural yang menjadikan sebagai anggota masyarakat. Hal ini tampak bahwa sosialisasi merupakan suatu proses belajar kepada seseorang agar dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, agar nanti dapat hidup di masyarakat dengan layak.

b. Thomas Ford Hoult, mengatakan bahwa sosialisasi merupakan

proses belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan standar dalam kebudayaan suatu masyarakat.16

Sosialisasi dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda oleh sejumlah besar orang, dan dalam berbagai konteks sosial. Orang tua, teman bermain, guru, rekan, kekasih, suami-istri, anak-anak kesemuanya memegang peranan, dan mereka melakukan hal itu dalam semua lingkungan yang mungkin ada. Sosialisasi dapat dilakukan dengan sengaja ataupun tidak, bersifat formal ataupun informal. Sosialisasi mungkin memerlukan perjumpaan tatap muka, tetapi sosialisasi dilakukan pula dari jarak tertentu, melalui surat, buku dan media massa. Orang yang disosialisasikan dapat bersifat relatif pasif ataupun aktif tergantung pada

15

Soerjono soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1982) h 59

16

sampai seberapa jauh mereka dapat mempengaruhi orang yang melakukan sosialisasi atau menuntun sosialisasi diri mereka sendiri. Sosialisasi dapat dilaksanakan demi kepentingan orang yang disosialisasikan atau orang yang melakukan sosialisasi, dan kedua kepentingan tersebut dapat sepadan atau bertentangan. Sosialisasi sering berlangsung secara lancar dengan sedikit saja kesadaran bahwa seseorang sedang membentuk atau dibentuk, sedang mengendalikan atau dikendalikan. Tetapi sosialisasi dapat pula bersifat kasar, dan bahkan kejam, dengan kesadaran bersama mengenai adanya paksaan dan konflik.

Dikala individu melangkah dari suatu tahap ke tahap berikutnya di dalam siklus kehidupan, cara belajar dan agen sosialisasi yang berbeda-beda saling mengikuti secara sedikit banyak teratur. Dalam masyarakat yang homogen, tempat berbagai kelompok yang mensosialisasi individu cenderung untuk menganut nilai-nilai yang sama, sosialisasi dapat memberikan kepada individu suatu perasaan menjalani suatu karier kehidupan yang tidak terputus-putus, yang didalamnya setiap tahap menimbulkan tahap berikutnya, dan seluruh pengalaman berjalan serasi menurut suatu pola yang bermakna.17

Apabila mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi terdapat dua pola, Menurut Jaeger pola sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sosialisasi Represif (Repressive Socialization) yaitu menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua dan peran keluarga sebagai significant other.

17

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai, (Yayasan Obor

b. Sosialisasi Partisipatoris (Participatory Socialization) merupakan pola di dalamnya anak diberi imbalan manakala berprilaku baik , hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekaan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting dan keluarga menjadi generalized other.18

Pada prinsipnya, participatory socialization memberikan kepada anak kebebasan untuk mencoba-coba segala sesuatu sendiri dan untuk menjelajahi dunia menurut keinginan sendiri. Ini tidaklah berarti bahwa sang anak dibiarkan sendiri saja. Bahkan sebaliknya, pengawasan orang tua banyak diperlukan, tetapi pengawasan tersebut lebih bersifat umum,

dan bukan terperinci dan mencampuri. Repressive socialization

memerlukan pengawasan pula bahkan pengawasan yang terperinci sehingga dalam praktek sosialisasi tersebut mengalami banyak perubahan. Sebagai akibatnya, dari sudut pandangan sang anak hukuman tersebut dilaksanakan secara sekehendak hati, tergantung pada apakah ia kedapatan sedang berperilaku keliru dan apakah orang tua berhasrat untuk melaksanakan hukuman

Pada dasarnya repressive socialization menitikberatkan ketaatan, hormat kepada atasan dan pengendalian dari luar. Orang tua mungkin menuruti kehendak anak, tetapi mungkin juga mempergunakan hukuman badan, rasa malu, dan cemoohan. Percakapan dua arah antara orang tua dengan anak tidak dianjurkan. Komunikasi cenderung untuk mengarah ke bawah, dari orang tua ke anak, serta berbentuk perintah. Penggunaan gerak tangan dan komunikasi nonverbal bersifat menyolok. Sang anak harus belajar untuk memperhatikan kesungguhan dari perintah orang tua untuk tutup mulut atau turun dengan jalan memperhatikan nada suara, ekspresi muka, dan sikap tubuh.

Dalam participatory socialization komunikasi berbentuk dialog yang memberikan kemungkinan kepada anak-anak untuk mengungkapkan

18

kehendak dan kebutuhannya maupun tanggapan-tanggapan terhadap anak dewasa. Participatory socialization lebih berpusat pada anak, daripada orang tua, orang dewasa memikul tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan anak, bukannya mengharapkan agar anak memperhatikan kehendak orang tua.19

Tabel 2.1: Dua cara sosialisasi

Repressive socialization Participatory socialization

Menghukum perilaku yang keliru Memberi imbalan bagi perilaku yang

baik

Hukuman dan imbalan material Hukuman dan imbalan simbolis

Kepatuhan anak Otonomi anak

Komunikasi sebagai perintah Komunikasi sebagai interaksi

Komunikasi non-verbal Komunikasi verbal

Sosialisasi yang berpusat pada orang tua Sosialisasi yang berpusat pada anak

Anak memperhatikan keinganan orang tua Orangtua memperhatikan keperluan

anak

Keluarga merupakan significant other Keluarga merupakan generalized other

Selain Jaeger pola sosialisasi juga dijelaskan oleh Kamanto Sunarto yang menerangkan, “sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan dapat berlangsung dalam dua bentuk, pertama sosialisasi represif ialah sosialisasi yang menekankan pada kepatuhan anak dan penghukuman terhadap perilaku yang keliru. Kedua sosialisasi partisipatif ialah sosialisasi yang menekankan pada otonomi anak dan memberikan imbalan

terhadap perilaku yang baik”. 20

Pola sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan secara berbeda akan mempengaruhi anak dalam tingkat kemandirian, kepemimpinan dan kemampuan untuk bekerja dengan orang lain. Sosialisasi partisipatif akan menghasilkan anak yang lebih mandiri, memiliki kemampuan memimpin

19

Sunarto , op. cit h.182 - 183.

20

dan berkerja sama yang lebih baik dibandingkan apabila diasuh dengan pola sosialisasi yang represif.21

Pola sosialisasi dalam penelitian ini adalah pola sosialisasi yang diterapkan di sekolah yang dibedakan menjadi dua yaitu pesantren dan sekolah umum.

1) Pola Sosialisasi Pesantren

Bila didefinisikan, pengertian pesantren sangat luas mengingat pola pembelajaran tiap pesantren sangat beragam dan berbeda antara satu dengan lainnya. Secara terminologi pesantren dimaknai sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diimplementasikan dengan cara non klasikal. Di mana seorang kyai mengajar santri berdasarkan kitab-kitab yang bahasa Arab dari ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santrinya tinggal dalam pesantren.22

Pesantren merupakan alternatif lembaga pendidikan yang berbeda dari sekolah umum lainnya. Banyak alasan mengapa orang-orang memilih pesantren untuk belajar.

Pesantren dibagi menjadi 2 macam yaitu :

a. Pesantren tradisional (salaf) merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya. Disiplin ilmu yang tidak ada kaitannya dengan agama (pengetahuan umum) tidak diajarkan. Selain itu sistem pengajarannya pun masih menggunakan metode klasik.

b. Pesantren modern ( khalaf) merupakan jenis pesantren lebih fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal baru di samping tetap mempertahankan tradisi lama yang sudah ada.23

21

Ibid. h 69

22

A. Malik MTT , Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal Di Pondok Pesantren, (Jakarta:

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008) h 14 - 15

23

Ciri-ciri pendidikan pesantren adalah sebagai berikut:

1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiainya 2. Kepatuhan santri pada kiai

3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren

4. Kemandirian amat terasa di pesantren

5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat

mewarnai pergaulan di pesantren 6. Disiplin sangat dianjurkan

7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia

8. Pemberian ijazah, yaitu pencatuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri- santri yang berprestasi. 24

Setiap pesantren memiliki ciri khusus baik dalam pengajaran, bangunan dan lainnya. Seperti di pondok pesantren salafiyah Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Pondok pesantren ini konon memiliki koperasi pondok pesantren terbaik secara nasional. Sehingga mendidik santrinya menjadi lulusan yang mandiri dalam masyarakat dan menonjolkan wirausaha. Selain itu prestasi ini memberikan dampak kultural kepada guru dan santrinya, seperti memiliki etos kerja tinggi, percaya diri, jujur dalam berusaha, berani menanggung resiko dan sebagainya. Pada saat bersamaan mereka juga menguasai bidang ilmu agama yang diajarkan di pesantren.25

Secara umum, kepemimpinan pesantren sangat fleksibel tergantung kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya. Dalam mengakomodasi harapan-harapan masyarakat dengan cara-cara khas dan unik. Dalam Pesantren, kepemimpinan dilaksanakan di dalam kelompok kebijakan yang melibatkan sejumlah pihak, di dalam tim program, di dalam organisasi guru, orang tua dan murid (ustadz, wali santri, dan santri). Kepemimpinan yang membaur ini menjadi faktor pendukung aktifitas sehari-hari di lingkungan pondok pesantren.

24

Sulthon Masyhud, Khusnuridlo, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva

Pustaka Jakarta, 2005) h 93

25

Karena kepemimpinan pesantren bersifat unik, berbeda dari pembuatan keputusan dalam lembaga pendidikan formal yang cenderung rasional ilmiah, teknik pembuatan keputusan di pesantren lebih bersifat emosional subyektif. Para kyai tidak akan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah. Mereka tidak hanya mempertimbangkan secara nalar, namun diikuti oleh gerakan hati nuraninya yang paling dalam, tawassul kepada gurunya, dan tidak lupa menyandarkan secara vertikal munajat untuk beristikharoh kepada Allah SWT. Gaya pengambilan keputusan ini lebih mendasarkan kepada budaya khas pesantren dan masih melekat dalam gaya kepemimpinan kyai pesantren di tanah air.26

Fungsi pelayanan bimbingan di pesantren sebagai berikut:

a. Fungsi penyaluran (distributive) yaitu fungsi bimbingan dalam hal

membantu murid/santri untuk memilih jurusan/spesialisasi

pendidikan pesantren, jenis pesantren lanjutan, ataupun lapangan pekerjaan sesuai dengan minat, bakat, cita-cita dan ciri-ciri pribadi yang lainnya.

b. Fungsi pengadaptasian (adaptive) yaitu fungsi bimbingan dalam membantu staf pesantren, khususnya guru/ustadz/ustadzah untuk mengadaptasikan program pengajaran yang dibuat dengan minat, kemampuan, kebutuhan dan ciri-ciri pribadi murid/santri yang lainnya. Fungsi ini sangat penting terutama bagi pesantren-pesantren yang menggunakan sistem modul.

c. Fungsi penyesuaian (adjustive) yaitu fungsi bimbingan dalam rangka membantu para santri untuk memperoleh penyesuaian pribadi dan memperoleh kemajuan dalam perkembangannya secara optimal. Fungsi ini dilaksanakan dalam rangka membantu santri mengidentifikasi, memahami, menghadapi, dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. 27

26

Ibid.h 46

27

Nilai filosofi dan ideologi pesantren dapat diwujudkan dengan banyak cara, termasuk lisan, perbuatan dan material. Secara lisan, kultur pesantren dapat dilihat pada kemampuan warga pesantren dalam menyatakan tujuan dan sasaran lembaga pesantren, kurikulum, bahasa yang digunakan setiap hari, metafor, sejarah organisasi, tokoh organisasi, dan struktur organisasi.

Dalam bentuk perilaku, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam ritual, upacara, pendekatan belajar mengajar, prosedur, aturan dan perundangan pelaksanaan, penghargaan dan sanksi, dukungan sosial dan psikologis, serta pola-pola interaksi dengan masyarakat dan orang tua santri. Adapun secara material, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam fasilitas dan perlengkapan, karya seni (kaligrafi), motto dan uniform. Kultur pesantren yang kuat ditunjukkan oleh ketaatan keseluruhan warga pesantren melaksanakan semua cara yang telah disepakati.28

Posisi pesantren diperjelas lagi ke dalam pola hubungan yang hendak dikembangkan. Apakah pesantren sebagai guru, pendamping, atau sebagai simpul belajar. Pilihan sebagai guru akan melahirkan rumusan peran yang menggurui. Sebagai pendamping akan dituntut untuk setara dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Jika terjadi perbedaan nilai antara pesantren nilai antara pesantren dengan masyarakat maka bisa timbul situasi bersaing. Jika terjadi banyak kesamaan akan berpadu pesantren dan masyarakat akan berintegrasi. Dan posisi sebagai simpul belajar akan menempatkan pesantren dalam peran menyediakan kesempatan yang memungkinkan warga untuk belajar panduan-panduan utama dalam kehidupan baik yang bersumber dari kenyataan di masyarakat maupun dari ajaran-ajaran agama.

Pola hubugan pesantren dan masyarakat sebagai guru, pendamping

Dokumen terkait