• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PENYESUAIAN DIRI

(Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Amaliah

NIM 1110015000022

JURUSAN PENDIDIKAN IPS

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

NIM

.lurusan

: Amaliah

: I I10015000022

: IImu Pengetahuan Sosial (lPS)

MI]NYATAKAN DENGAN SESLTNGGUI'INYA

Bahwa skripsi yang berjudul "Pcngaruh Pola Sosialisasi fcrhadap fingkat Pcnyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasisrva Jurusan Pendidikan Il'S

Semestcr

VI

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" adalah benar hasil karya

sendiri di bawah bimbingan dosen Drs. Syaripulloh,M.Si.

Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bcltar.rggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

(3)

(Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Skripsi

Diajukan l(epada Fakultas llmLr Tarbiy'ah dan Keguruan unluk N.4emenubi Sy,ara,t

Menrperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Amaliah

NIM:

1110015000022

Mengesahkan:

Pembimbing Skripsi

Drs. Syaripulloh, M.Si

NIP. 19670909 200701

t

033

JI.IRUSAN

ILMII

PENGETAHUAN SOSIAL

IIAKULTAS ILMTI TARBIYAH DAN KEGURTIAN

TINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAE

JAKARTA

(4)

Pen;,esuaian

Diri

(Studi

Kasus: Mahasisu,a

Jurusan

penrlidikan IpS

Semester VI FITK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta) disusun oleh AMALIAH

Nomor Induk Mahasiswa I I 10015000022.

dia.lukan kepacia Fakulras IImu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah .lakarta

dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal

25 Seprenrber 2014 di hadapan deivan

penguji. Karena itu- penulis berhak memperoleh geJar

Sarjana

Sl (S.pd)

dalam

bidang Pendidikan Ilmu pengerahuan

Sosial.

J akarta, 25 September 20

1 4

paoitia Ujian Munaqasah

Tanggal

Tanda Tangan Ketua Panitia (Ketua Jurusan/program Studi)

Dr. Iwan Purwanto, M.pd

NIP. 19730424200801

I

0t2

Sekretaris (Sekretaris Jurusan/program Studi)

Drs. Syaripulloh, M.Si

NIP. 19670909200701

I

033

Penguji I

Anissa Windarti, M.Sc

NIP. 19820802 201 101 2 00s

Penguji II

Drs. Nurochim, MM

NIP. t9590715198403

I

003

Mengetahui

Dekan Fakultas Iimu Tarbiyah dan Keguruan

?4

/o

l'-

l.olu

/"{"...-.

ry,fll

'J"

(5)

"Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap

Tingkat

penyesuaian

Diri

(Studi

Kasus: Mahasisrva Jurusan Pendidikan IPS Semester VI

FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" vang disusun oleh Amaliah,

NIM

1110015000022.

Program Studi Pendidikan IPS, Fakultas

Ilmu

Tarbiyah

dan

Keguruan,

Universrtas Islarn Negeri Syaril Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya

oleh dosen peinbimbrng sliripsi pada tauggal 5 Septernber 201 .1.

Jakarta, 5 September 2014

Dosen Pembimbing Skripsi

-,,---....

-tt , \

<___"

a'-Drs. Syaripultoh, M.Si

(6)

i ABSTRAK

Amaliah (1110015000022). Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pola sosialisasi

terhadap tingkat penyesuaian diri.

Metode yang digunakan adalah metode survei dengan pendekatan

kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada bulan Mei-Juni. Sampel penelitian adalah mahasiswa

Semester VI yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.Teknik analisa

data menggunakan korelasi Spearman dan regresi linier sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan pola sosialisasi mempunyai pengaruh

terhadap tingkat penyesuaian diri terbukti dari hasil yang menunjukkan thitung

5,559 > ttabel 2,002 ada hubungan antara kedua variabel terbukti dari hasil korelasi

sebesar 0,477, angka tersebut menunjukkan korelasi yang cukup.

(7)

ii ABSTRACT

Amaliah (1110015000022). The Influence of socialization system toward self adaptation level (A Case Study at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3rd year Students of Social Studies Education)

This research is investigated to find out the effect of socialization toward self adaptation level.

The method which was used of this research is survey method by quantitative approach. This research was conducted at Social Studies Education FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta on May until June. Sample of the research are 3rd year students which has experienced stay at boarding school and public school. Technique of analyzing data used Spearman correlation and linier regression.

The result of the data point out that socialization system has an effect toward self adaptation level, it proved by the statistic result that showed thitung

5,559 < ttabel 2,002and there is a correlation between both variable which showed

that the result of correlation about 0,477 it shown that it was standard correlation number.

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah

memberikan nikmat Iman, Islam, serta nikmat sehat wal’afiat sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan

sahabatnya.

Penulisan Skripsi ini tidak mungkin selesai sebagaimana mestinya tanpa

ada bantuan dari semua pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu

penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D serta para pembantu dekan.

2. Ketua Jurusan Pendidikan IPS, Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd beserta

seluruh staf.

3. Bapak Drs. Syaripulloh, M.Si selaku sekretaris jurusan dan dosen

pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah

memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu

dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah

diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari.

5. Kedua Orangtua Abah dan Mamah(H. Asep. Saefullah dan Hj. Nurhayati

Nufus) yang selalu ada disaat penulis membutuhkan dukungan baik moril,

materil maupun spiritual. Terimakasih yang tak terbatas semoga ini adalah

bakti awal yang sedikit Ananda berikan untuk membahagiakan kalian.

6. Keluarga tercinta Kakak dan Adik (Kak Arif, Aa Emin dan ica), nenek

(9)

iv

yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

7. Teman satu jurusan Pendidikan IPS angkatan 2010 yang selalu

memberikan semangat.

8. Teman satu perjuangan kelas konsentrasi Sosiologi-Antropologi angkatan

2010terimakasih untuk semua kenangan manis yang kalian berikan dan

sukses selalu untuk kita.

9. Sahabat-Sahabat di kampus (ade, mona, dini, nesa, oni, indri, desti, dan

semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu) terimakasih untuk ada

disaat suka dan duka.

10.Keluarga kosan griya aini (Mbak ar, rina, nita, upi, reva, resti, dian, vina,

asmi, kak dila, teh ica, kak findri, kokom, uma, kak umu, kak hikmah,

yayan, dan lainnya) yang menjadi keluarga kedua penulis selama merantau

di Ciputat.

11.Mahasiswa Semester VI Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi menjadi responden dalam

penelitian ini.

12.Kepada Muhammad Nurul Amri yang tidak pernah lelah membantu

penulis baik secara tenaga dan pikiran serta selalu memberikan motivasi

dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pada akhirnya Tak ada gading yang tak retak, begitupun dalam penyusunan

skripsi ini penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangannya,

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis

dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat

sebagai ibadah disisi-Nya, Amin.

Jakarta, September 2014

(10)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II: KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoretik ... 9

1. Definisi Pengaruh ... 9

2. Pola Sosialisasi ... 10

3. Penyesuaian Diri ... 22

4. Definisi Mahasiswa ... 26

5. Definisi Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) ... 27

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 28

C. Kerangka Berpikir ... 31

D. Hipotesis Penelitian ... 32

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

B. Metode dan Disain Penelitian ... 35

C. Populasi dan Sampel... 36

D. Teknik Pengumpulan Data ... 37

(11)

vi

F. Teknik Pengolahan Data ... 42

G. Teknik Analisis Data ... 44

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 47

B. Uji Prasyarat ... 61

C. Pengujian Hipotesis ... 62

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 66

E. Keterbatasan Penelitian ... 67

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

(12)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Dua Cara Sosialisasi ... 13

Tabel 2.2 Kerangka Berpikir ... 31

Tabel 3.1 Rancangan Kegiatan ... 34

Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 39

Tabel 3.3 Tingkatan dan Skor Skala Likert ... 41

Tabel 4.1 Uji Validitas ... 51

Tabel 4.2 Uji Reliabilitas ... 53

Tabel 4.3 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53

Tabel 4.4 Jumlah Responden Berdasarkan Usia ... 53

Tabel 4.5 Jumlah Responden Berdasarkan Konsentrasi Jurusan ... 54

Tabel 4.6 Aturan Pesantren ... 54

Tabel 4.7 Hukuman Pesantren ... 55

Tabel 4.8 Hadiah Pesantren ... 56

Tabel 4.9 Komunikasi Pesantren ... 56

Tabel 4.10 Aturan Sekolah Umum ... 57

Tabel 4.11 Hukuman Sekolah Umum ... 58

Tabel 4.12 Hadiah Sekolah Umum ... 58

Tabel 4.13 Komunikasi Sekolah Umum ... 59

Tabel 4.14 Penyesuaian Diri Pesantren ... 59

Tabel 4.15 Penyesuaian Diri Sekolah Umum ... 60

Tabel 4.16 Hasil Uji Normalitas ... 61

Tabel 4.17 Hasil Uji Homogenitas ... 62

Tabel 4.18 Data ... 63

Tabel 4.19 Hasil Korelasi Spearman ... 64

(13)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 73

Lampiran 2 Pedoman Wawancara ... 78

Lampiran 3 Data Responden ... 79

Lampiran 4 Data Uji Validitas dan Reliabilitas ... 83

Lampiran 5 Hasil Uji Validitas ... 85

Lampiran 6 Hasil Wawancara ... 89

Lampiran 7 Hasil Angket ... 90

Lampiran 8 Hasil Uji Normalitas ... 94

Lampiran 9 r Tabel ... 95

Lampiran 10 t Tabel ... 96

Lampiran 11 Surat Izin Melakukan Penelitian ... 98

Lampiran 12 Lembar Uji Referensi ... 99

Lampiran 13 Biodata Penulis ... 106

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari pengaruh orang lain.

Ketika pergi ke kampus atau ke tempat lain, tidak bisa dengan seenaknya

berpakaian menurut kehendak sendiri. Tunduk pada aturan atau kebiasaan

yang ada dalam masyarakat. Selama manusia hidup tidak akan lepas dari

pengaruh masyarakat, karena itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial

yang dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh orang lain.

Seseorang yang tidak hidup dengan manusia lainnya tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Ada kisah, yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1900 di desa Saint-Serin, Perancis, dan telah ditemukan kasus gadis, berusia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berumur satu setengah tahun. Light kelller dan Calhoun mengisahkan kasus Anna yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun.1

Dari kasus-kasus tersebut terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan

tersebut tidak berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian,

buang air besar kecil dengan tertib, atau berbicara. Anna tidak dapat makan

1

Kamanto sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

(15)

sendiri atau mengunyah dan juga tidak dapat tertawa atau menangis, Genie

tidak dapat berdiri tegak. Setelah berkomunikasi dengan masyarakat lambat

laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa diantara kemampuan yang

dimiliki manusia sebaya mereka, namun mereka tidak pernah tersosialisasi

secara wajar dan cenderung meninggal pada usia muda.

Kasus ini memberikan gambaran mengenai apa yang terjadi bila seorang

anak tidak disosialisasi dan menunjukkan bahwa meskipun mereka

disosialisasi namun kemampuan mereka tidak dapat menyamai kemampuan

anak lain yang sebaya dengan mereka. Kasus tersebut memberikan petunjuk

bahwa kemampuan tertentu seperti kemampuan berbahasa hanya dapat

diajarkan pada periode tertentu dalam kehidupan anak, bila proses sosialisasi

terlambat dilaksanakan maka proses tersebut tidak akan berhasil atau hanya

berhasil untuk sebagian saja.

Dalam proses sosialisasi, seseorang individu/anak didik belajar tentang

perilaku, kebiasaan, dan pola-pola kebudayaan lain. Individu juga belajar

tentang keterampilan sosial (social skills) seperti berbahasa, bergaul, berpakaian dan cara makan. Sosialisasi merupakan proses membimbing

individu ke dalam dunia sosial.2

Salah satu teori peranan dikaitkan dengan sosialisasi oleh teori George

Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku mind, self and society. Menurut Mead, “setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi adalah suatu proses

dimana di dalamnya terjadi pengambilan peranan (role taking)”.3 Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankan

orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini

seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.

Hampir semua orang sepakat bahwa mengajarkan keterampilan sosial dan

emosional yang pantas kepada anak merupakan prioritas utama dan kelak

menjadi landasan mental yang sehat serta hidup yang menyenangkan. Anak

2

Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2011), h 99

3

(16)

dilahirkan dengan tempramen yang berbeda dan tingkat kecerdasan emosional

yang tidak sama. Meskipun demikian, mereka belajar bersikap, keterampilan

berinteraktif, serta sifat-sifat baik selama masa-masa prasekolah.4

Setelah masa usia sekolah terjadilah perubahan hubungan anak dengan

orangtua. Perubahan tersebut di antaranya disebabkan adanya peningkatan

penggunaan waktu yang dilewati anak-anak bersama teman-teman sebayanya.

Perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosial yang terjadi dalam

perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi

orangtua-remaja. Masa sekolah juga menyebabkan pembagian pola

pengasuhan antara orangtua dan guru.

Dalam sosiologi pola asuh dikenal dengan istilah pola sosialisasi. Pola

sosialisasi dibagi menjadi dua yaitu :

1. Pola sosialisasi represif yaitu sosialisasi yang didalamnya terdapat

sangsi jika pihak-pihak yang tersosialisir seperti anak atau masyarakat

melakukan pelanggaran. Ciri-ciri pola sosialisasi ini adalah

menghukum perilaku yang di anggap keliru, hukuman dan imbalan,

kepatuhan anak, komunikasi bersifat perintah, sosialisasi berpusat pada

orang tua, anak memperhatikan orang tua dan keluarga merupakan

dominasi orang tua.

2. Pola sosialisasi partisipatif adalah sosialisasi yang berupa

rangsangan-rangsangan tertentu agar pihak yang tersosialisasi mau melakukan

suatu tindakan. Ciri-ciri pola sosialisasi ini adalah memberikan

imbalan bagi perilaku yang baik, hukuman dan imbalan simbolis,

otonomi pihak yang disosialisasi, komunikasi sebagai interaksi,

sosialisasi berpusat pada anak, orangtua memperhatikan keinginan

anak dan keluarga merupakan kerja sama ke arah tujuan.5

4

Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah, (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2003) h 27

5

Agus Santoso, Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian, 2009,

(17)

Setiap orang akan mengalami pola sosialisasi yang berbeda, hal tersebut

dikarenakan pola asuh dan latar belakang yang tidak sama. Selain di keluarga,

sekolah juga menerapkan pola sosialisasi.

Sekolah merupakan agen sosialisasi kedua setelah keluarga yang penting

dalam kehidupan manusia. Sekolah perlahan menjadi agen pengganti

terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga, seiring dengan intensifnya anak

memasuki ruang sosial dari ruang sekolah. Jadi sekolah mensosialisasikan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga dipandang sebagai tempat

yang menjadi transisi dari kehidupan keluarga ke dalam kehidupan

masyarakat.6

Pengalaman atau latar belakang sekolah juga mempengaruhi perilaku

seseorang. Ada yang berlatar belakang sekolah umum dan ada juga berlatar

belakang pesantren.“sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang

mempengaruhi proses sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan

masyarakat kepada anak”.7

Sosialisasi identik dengan makna penyesuaian diri. Bagian dari pola

sosialisasi seperti hukuman yang diberikan, bentuk komunikasi, aturan yang

diterapkan dan cara bersosialisasi mempengaruhi bagaimana cara seseorang

menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan.

Ada empat cara bagaimana lingkungan mempengaruhi perilaku. Pertama

lingkungan menghalangi perilaku, akibatnya juga membatasi apa yang kita

lakukan. Kedua lingkungan mengundang atau mendatangkan perilaku,

menentukan bagaimana kita harus bertindak. Ketiga lingkungan membentuk

diri, dan keempat lingkungan akan mempengaruhi citra diri.8

Terdapat banyak sekali peraturan dan tuntutan yang diberikan sekolah

kepada peserta didik menyebabkan sumber stres yang mempengaruhi

penyesuaian diri peserta didik. Pertama adalah tuntutan fisik (phsyical demands) yaitu stres siswa yang bersumber dari lingkungan fisik sekolah.

6

Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011) h 72-74

7

Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007) h 186

8

R.S Satmoko, Psikologi Tentang Penyesuaian Dan Hubungan Kemanusiaan,

(18)

Dimensi-dimensi dari lingkungan fisik sekolah yang dapat menyebabkan

terjadinya stres siswa ini meliputi, daftar pelajaran, keamanan, penjagaan

serta sarana dan prasarana sekolah. Kedua tuntutan tugas (task demands) yaitu tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan dan dihadapi oleh peserta

didik yang menimbulkan perasaan tertekan dan stres seperti mematuhi

disiplin sekolah, memenuhi tuntutan kurikulum dan menghadapi ujian atau

ulangan. Ketiga adalah tuntutan peran (role demands) yaitu berhubungan dengan peran yang dipikul oleh siswa. Keempat tuntutan interpersonal

(interpersonal demands) adalah yaitu siswa di tuntut mampu melakukan interaksi sosial dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Stres sekolah

mempunyai dampak terhadap kehidupan pribadi anak, baik secara fisik,

psikologis, maupun secara psikososial atau tingkah laku. 9

Dari hasil wawancara penulis menunjukkan bahwa mahasiswa lulusan

pesantren lebih sering berinteraksi dengan orang lain dibandingkan

mahasiswa lulusan sekolah umum hal ini ditunjukkan mahasiswa lulusan

pesantren lebih banyak mengikuti organisasi dibandingkan mahasiswa

lulusan sekolah umum. Selain itu mahasiswa lulusan pesantren lebih

bersosialisasi dari mahasiswa lulusan sekolah umum karena mahasiswa

lulusan pesantren mempunyai teman di setiap fakultas di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta sedangkan mahasiswa lulusan sekolah umum

mempunyai teman hanya di beberapa fakultas saja.10

Selain itu perilaku Mahasiswa lulusan pesantren dan Sekolah Umum juga

diamati dan terdapat sebuah kasus di jurusan Pendidikan IPS Fakultas

Tarbiah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mahasiswa yang

lulusan pesantren memiliki banyak teman dibandingkan jurusan umum, hal

itu terlihat ketika penulis dan teman sekelas yang berlatar belakang pesantren

dan sekolah umum saat makan siang di cafe kampus. Anak yang lulusan

9

Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2009) h 293 - 296 10

(19)

pesantren sering bertemu dan mengenal orang-orang disekitar cafe tersebut

baik dari jurusan bahkan fakultas yang berbeda. Selain itu mahasiswa lulusan

pesantren bisa cepat bersosialisasi dan menyesuaikan diri di lingkungan baru,

dilihat saat diperkenalkan kepada teman kosan yang belum dikenalnya, anak

lulusan pesantren ini dapat dengan mudah berkomunikasi dengan teman

barunya itu. Dia mampu mengikuti alur pembicaraan teman barunya tersebut.

Hal itu terlihat juga teman barunya mulai terbuka dan nyaman saat

berkomunikasi dengan mahasiswa lulusan pesantren tersebut. Sedangkan

ketika memperkenalkan anak lulusan sekolah umum kepada teman kosan,

tidak langsung akrab atau saling mengobrol anak lulusan sekolah umum

cenderung malu-malu dan segan kepada teman kosan itu.

Menurut Burgoon dalam teorinya adaptasi interaksi yaitu, “ketika anda

berkomunikasi dengan orang lain, anda memiliki ide umum mengenai apa

yang akan terjadi.”11 Perilaku awal dalam interaksi terdiri atas kombinasi dari

perilaku verbal dan nonverbal yang mencerminkan posisi interaksi, faktor

lingkungan dimana interaksi terjadi, dan tingkat keahlian yang di miliki.

Namun, dalam kebanyakan interaksi, perilaku akan berubah begitu juga

perilaku lawan bicara mulai saling memengaruhi.

Burgoon dan rekan-rekannya telah menemukan, “bahwa cara-cara kita

menyesuaikan diri dengan orang lain sebagian besar tergantung pada seberapa

jauh orang lain melanggar harapan kita untuk berperilaku”.12 Begitu juga

dengan kasus yang ada pada mahasiswa Pendidikan IPS bahwa cara mereka

menyesuaikan diri tergantung kepada lingkungan dan latar belakang.

Berdasarkan hasil paparan mengenai latar belakang masalah di atas penulis

merasa perlu untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Perbedaan Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Stui Kasus:

Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta)”.

11

Morissan, Psikologi Komunikasi, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) h 120-121

12

(20)

B. Identifikasi Masalah

1. Adanya perubahan hubungan antara anak dengan orangtua dari masa

prasekolah sampai sekolah.

2. Adanya adaptasi yang dicirikan oleh interaksi yang dilakukan antara

mahasiswa yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.

3. Adanya pengaruh pola sosialisasi pendidikan pesantren dan sekolah

umum.

4. Adanya perbedaan tingkat penyesuaian diri antara mahasiswa yang

berlatar belakang pendidikan pesantren dan sekolah umum.

C. Pembatasan Masalah

Dari hasil identifikasi masalah tersebut maka pembatasan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Tingkat penyesuaian diri mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester

VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlatar belakang

pesantren dan sekolah umum.

2. Pola sosialisasi mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlatar belakang pesantren dan

sekolah umum.

D. Rumusan Masalah

1. Apakah pola sosialisasi mempunyai pengaruh terhadap tingkat

penyesuaian diri mahasiswa jurusan pendidikan IPS Semester VI

FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?

E. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh pola sosialisasi terhadap tingkat

penyesuaian diri mahasiswa jurusan pendidikan IPS Semester VI

(21)

F. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah pengetahuan dan wawasan serta bahan dalam penerapan

metode penelitian khususnya mengenai pengaruh pola sosialisasi terhadap

tingkat penyesuaian diri.

a. Bagi peneliti

Dapat mengembangkan ilmu menambah pengetahuan teori yang

diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat mengetahui pola sosialisasi yang diterapkan di sekolah baik

pesantren maupun sekolah umum

c. Bagi masyarakat

Dapat dijadikan khazanah keilmuan dan referensi penelitian

selajutnya.

2. Manfaat Praktis

Dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan pola sosialisasi dan

memilih sekolah.

a. Bagi Penelitian

Dapat memberikan informasi tentang pola sosialisasi yang

diterapkan oleh pesantren dan sekolah umum serta mengetahui

tingkat penyesuaian diri pada mahasiswa yang berlatar belakang

pesantren dan sekolah umum.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat dijadikan rujukan dalam penerapan pola sosialisasi untuk

sekolah baik pesantren atau sekolah umum.

c. Bagi Masyarakat

(22)

9

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teoretik 1. Definisi Pengaruh

Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda)

yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.13

Pengaruh menurut para tokoh antara lain:

a. Uwe Becker, Pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang

yang berbeda dengan kekuasaan tidak begitu terkait dengan usaha

memperjuangkan dan memaksakan kepentingan.

b. Norman Barry, Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang jika

seorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu,

dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun

ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang

mendorongnya.

c. Albert R. Roberts & Gilbert, Pengaruh adalah wajah kekuasaan

yang diperoleh oleh orang ketika mereka tidak memiliki

kewenangan untuk mengambil keputusan.14

13

Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,

(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008) h 1045

14

(23)

Dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang

dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Sehubungan

dengan adanya penelitian yang dilakukan penulis, pengaruh

merupakan bentuk hubungan sebab akibat antar variabel.

2. Pola Sosialisasi

Menurut Soerjono Soekanto, “Sosialisasi yaitu suatu proses dimana

anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai

masyarakat dimana dia menjadi anggota”.15

Sedangkan Sosialisasi menurut para tokoh antara lain:

a. Kimball Young, mengatakan bahwa sosialisasi merupakan

hubungan interaktif dimana seseorang dapat mempelajari

kebutuhan sosial dan kultural yang menjadikan sebagai anggota

masyarakat. Hal ini tampak bahwa sosialisasi merupakan suatu

proses belajar kepada seseorang agar dapat mengetahui segala

sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, agar nanti dapat

hidup di masyarakat dengan layak.

b. Thomas Ford Hoult, mengatakan bahwa sosialisasi merupakan

proses belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan

standar dalam kebudayaan suatu masyarakat.16

Sosialisasi dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda oleh

sejumlah besar orang, dan dalam berbagai konteks sosial. Orang tua,

teman bermain, guru, rekan, kekasih, suami-istri, anak-anak kesemuanya

memegang peranan, dan mereka melakukan hal itu dalam semua

lingkungan yang mungkin ada. Sosialisasi dapat dilakukan dengan sengaja

ataupun tidak, bersifat formal ataupun informal. Sosialisasi mungkin

memerlukan perjumpaan tatap muka, tetapi sosialisasi dilakukan pula dari

jarak tertentu, melalui surat, buku dan media massa. Orang yang

disosialisasikan dapat bersifat relatif pasif ataupun aktif tergantung pada

15

Soerjono soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,

1982) h 59

16

(24)

sampai seberapa jauh mereka dapat mempengaruhi orang yang melakukan

sosialisasi atau menuntun sosialisasi diri mereka sendiri. Sosialisasi dapat

dilaksanakan demi kepentingan orang yang disosialisasikan atau orang

yang melakukan sosialisasi, dan kedua kepentingan tersebut dapat sepadan

atau bertentangan. Sosialisasi sering berlangsung secara lancar dengan

sedikit saja kesadaran bahwa seseorang sedang membentuk atau dibentuk,

sedang mengendalikan atau dikendalikan. Tetapi sosialisasi dapat pula

bersifat kasar, dan bahkan kejam, dengan kesadaran bersama mengenai

adanya paksaan dan konflik.

Dikala individu melangkah dari suatu tahap ke tahap berikutnya di

dalam siklus kehidupan, cara belajar dan agen sosialisasi yang

berbeda-beda saling mengikuti secara sedikit banyak teratur. Dalam masyarakat

yang homogen, tempat berbagai kelompok yang mensosialisasi individu

cenderung untuk menganut nilai-nilai yang sama, sosialisasi dapat

memberikan kepada individu suatu perasaan menjalani suatu karier

kehidupan yang tidak terputus-putus, yang didalamnya setiap tahap

menimbulkan tahap berikutnya, dan seluruh pengalaman berjalan serasi

menurut suatu pola yang bermakna.17

Apabila mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi

terdapat dua pola, Menurut Jaeger pola sosialisasi tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Sosialisasi Represif (Repressive Socialization) yaitu menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain seperti penekanan

pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada

kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang

bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan titik berat

sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua dan peran

keluarga sebagai significant other.

17

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai, (Yayasan Obor

(25)

b. Sosialisasi Partisipatoris (Participatory Socialization) merupakan pola di dalamnya anak diberi imbalan manakala berprilaku baik , hukuman

dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekaan

diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi

pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting dan keluarga

menjadi generalized other.18

Pada prinsipnya, participatory socialization memberikan kepada anak kebebasan untuk mencoba-coba segala sesuatu sendiri dan untuk

menjelajahi dunia menurut keinginan sendiri. Ini tidaklah berarti bahwa

sang anak dibiarkan sendiri saja. Bahkan sebaliknya, pengawasan orang

tua banyak diperlukan, tetapi pengawasan tersebut lebih bersifat umum,

dan bukan terperinci dan mencampuri. Repressive socialization memerlukan pengawasan pula bahkan pengawasan yang terperinci

sehingga dalam praktek sosialisasi tersebut mengalami banyak perubahan.

Sebagai akibatnya, dari sudut pandangan sang anak hukuman tersebut

dilaksanakan secara sekehendak hati, tergantung pada apakah ia kedapatan

sedang berperilaku keliru dan apakah orang tua berhasrat untuk

melaksanakan hukuman

Pada dasarnya repressive socialization menitikberatkan ketaatan, hormat kepada atasan dan pengendalian dari luar. Orang tua mungkin

menuruti kehendak anak, tetapi mungkin juga mempergunakan hukuman

badan, rasa malu, dan cemoohan. Percakapan dua arah antara orang tua

dengan anak tidak dianjurkan. Komunikasi cenderung untuk mengarah ke

bawah, dari orang tua ke anak, serta berbentuk perintah. Penggunaan gerak

tangan dan komunikasi nonverbal bersifat menyolok. Sang anak harus

belajar untuk memperhatikan kesungguhan dari perintah orang tua untuk

tutup mulut atau turun dengan jalan memperhatikan nada suara, ekspresi

muka, dan sikap tubuh.

Dalam participatory socialization komunikasi berbentuk dialog yang memberikan kemungkinan kepada anak-anak untuk mengungkapkan

18

(26)

kehendak dan kebutuhannya maupun tanggapan-tanggapan terhadap anak

dewasa. Participatory socialization lebih berpusat pada anak, daripada orang tua, orang dewasa memikul tanggung jawab untuk memperhatikan

kebutuhan anak, bukannya mengharapkan agar anak memperhatikan

[image:26.595.108.554.232.650.2]

kehendak orang tua.19

Tabel 2.1: Dua cara sosialisasi

Repressive socialization Participatory socialization

Menghukum perilaku yang keliru Memberi imbalan bagi perilaku yang

baik

Hukuman dan imbalan material Hukuman dan imbalan simbolis

Kepatuhan anak Otonomi anak

Komunikasi sebagai perintah Komunikasi sebagai interaksi

Komunikasi non-verbal Komunikasi verbal

Sosialisasi yang berpusat pada orang tua Sosialisasi yang berpusat pada anak

Anak memperhatikan keinganan orang tua Orangtua memperhatikan keperluan

anak

Keluarga merupakan significant other Keluarga merupakan generalized other

Selain Jaeger pola sosialisasi juga dijelaskan oleh Kamanto Sunarto yang menerangkan, “sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan dapat berlangsung dalam dua bentuk, pertama sosialisasi represif ialah sosialisasi yang menekankan pada kepatuhan anak dan penghukuman terhadap perilaku yang keliru. Kedua sosialisasi partisipatif ialah sosialisasi yang menekankan pada otonomi anak dan memberikan imbalan

terhadap perilaku yang baik”. 20

Pola sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan secara berbeda akan

mempengaruhi anak dalam tingkat kemandirian, kepemimpinan dan

kemampuan untuk bekerja dengan orang lain. Sosialisasi partisipatif akan

menghasilkan anak yang lebih mandiri, memiliki kemampuan memimpin

19

Sunarto , op. cit h.182 - 183.

20

(27)

dan berkerja sama yang lebih baik dibandingkan apabila diasuh dengan

pola sosialisasi yang represif.21

Pola sosialisasi dalam penelitian ini adalah pola sosialisasi yang

diterapkan di sekolah yang dibedakan menjadi dua yaitu pesantren dan

sekolah umum.

1) Pola Sosialisasi Pesantren

Bila didefinisikan, pengertian pesantren sangat luas mengingat pola

pembelajaran tiap pesantren sangat beragam dan berbeda antara satu

dengan lainnya. Secara terminologi pesantren dimaknai sebagai

lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam, yang pada umumnya

pendidikan dan pengajaran tersebut diimplementasikan dengan cara

non klasikal. Di mana seorang kyai mengajar santri berdasarkan

kitab-kitab yang bahasa Arab dari ulama-ulama besar sejak abad

pertengahan, sedangkan para santrinya tinggal dalam pesantren.22

Pesantren merupakan alternatif lembaga pendidikan yang berbeda

dari sekolah umum lainnya. Banyak alasan mengapa orang-orang

memilih pesantren untuk belajar.

Pesantren dibagi menjadi 2 macam yaitu :

a. Pesantren tradisional (salaf) merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti

pendidikannya. Disiplin ilmu yang tidak ada kaitannya dengan

agama (pengetahuan umum) tidak diajarkan. Selain itu sistem

pengajarannya pun masih menggunakan metode klasik.

b. Pesantren modern ( khalaf) merupakan jenis pesantren lebih fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal baru di samping

tetap mempertahankan tradisi lama yang sudah ada.23

21

Ibid. h 69

22

A. Malik MTT , Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal Di Pondok Pesantren, (Jakarta:

Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008) h 14 - 15

23

(28)

Ciri-ciri pendidikan pesantren adalah sebagai berikut:

1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiainya 2. Kepatuhan santri pada kiai

3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren

4. Kemandirian amat terasa di pesantren

5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren

6. Disiplin sangat dianjurkan

7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia

8. Pemberian ijazah, yaitu pencatuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri- santri yang berprestasi. 24

Setiap pesantren memiliki ciri khusus baik dalam pengajaran,

bangunan dan lainnya. Seperti di pondok pesantren salafiyah Sidogiri,

Pasuruan, Jawa Timur. Pondok pesantren ini konon memiliki koperasi

pondok pesantren terbaik secara nasional. Sehingga mendidik

santrinya menjadi lulusan yang mandiri dalam masyarakat dan

menonjolkan wirausaha. Selain itu prestasi ini memberikan dampak

kultural kepada guru dan santrinya, seperti memiliki etos kerja tinggi,

percaya diri, jujur dalam berusaha, berani menanggung resiko dan

sebagainya. Pada saat bersamaan mereka juga menguasai bidang ilmu

agama yang diajarkan di pesantren.25

Secara umum, kepemimpinan pesantren sangat fleksibel tergantung

kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya. Dalam

mengakomodasi harapan-harapan masyarakat dengan cara-cara khas

dan unik. Dalam Pesantren, kepemimpinan dilaksanakan di dalam

kelompok kebijakan yang melibatkan sejumlah pihak, di dalam tim

program, di dalam organisasi guru, orang tua dan murid (ustadz, wali

santri, dan santri). Kepemimpinan yang membaur ini menjadi faktor

pendukung aktifitas sehari-hari di lingkungan pondok pesantren.

24

Sulthon Masyhud, Khusnuridlo, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva

Pustaka Jakarta, 2005) h 93

25

(29)

Karena kepemimpinan pesantren bersifat unik, berbeda dari

pembuatan keputusan dalam lembaga pendidikan formal yang

cenderung rasional ilmiah, teknik pembuatan keputusan di pesantren

lebih bersifat emosional subyektif. Para kyai tidak akan tergesa-gesa

dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah. Mereka tidak

hanya mempertimbangkan secara nalar, namun diikuti oleh gerakan

hati nuraninya yang paling dalam, tawassul kepada gurunya, dan tidak

lupa menyandarkan secara vertikal munajat untuk beristikharoh kepada

Allah SWT. Gaya pengambilan keputusan ini lebih mendasarkan

kepada budaya khas pesantren dan masih melekat dalam gaya

kepemimpinan kyai pesantren di tanah air.26

Fungsi pelayanan bimbingan di pesantren sebagai berikut:

a. Fungsi penyaluran (distributive) yaitu fungsi bimbingan dalam hal membantu murid/santri untuk memilih jurusan/spesialisasi

pendidikan pesantren, jenis pesantren lanjutan, ataupun lapangan

pekerjaan sesuai dengan minat, bakat, cita-cita dan ciri-ciri pribadi

yang lainnya.

b. Fungsi pengadaptasian (adaptive) yaitu fungsi bimbingan dalam membantu staf pesantren, khususnya guru/ustadz/ustadzah untuk

mengadaptasikan program pengajaran yang dibuat dengan minat,

kemampuan, kebutuhan dan ciri-ciri pribadi murid/santri yang

lainnya. Fungsi ini sangat penting terutama bagi

pesantren-pesantren yang menggunakan sistem modul.

c. Fungsi penyesuaian (adjustive) yaitu fungsi bimbingan dalam rangka membantu para santri untuk memperoleh penyesuaian

pribadi dan memperoleh kemajuan dalam perkembangannya secara

optimal. Fungsi ini dilaksanakan dalam rangka membantu santri

mengidentifikasi, memahami, menghadapi, dan memecahkan

masalah-masalah yang dihadapi. 27

26

Ibid.h 46

27

(30)

Nilai filosofi dan ideologi pesantren dapat diwujudkan dengan

banyak cara, termasuk lisan, perbuatan dan material. Secara lisan,

kultur pesantren dapat dilihat pada kemampuan warga pesantren dalam

menyatakan tujuan dan sasaran lembaga pesantren, kurikulum, bahasa

yang digunakan setiap hari, metafor, sejarah organisasi, tokoh

organisasi, dan struktur organisasi.

Dalam bentuk perilaku, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam

ritual, upacara, pendekatan belajar mengajar, prosedur, aturan dan

perundangan pelaksanaan, penghargaan dan sanksi, dukungan sosial

dan psikologis, serta pola-pola interaksi dengan masyarakat dan orang

tua santri. Adapun secara material, ketiga aspek tersebut diwujudkan

dalam fasilitas dan perlengkapan, karya seni (kaligrafi), motto dan uniform. Kultur pesantren yang kuat ditunjukkan oleh ketaatan

keseluruhan warga pesantren melaksanakan semua cara yang telah

disepakati.28

Posisi pesantren diperjelas lagi ke dalam pola hubungan yang

hendak dikembangkan. Apakah pesantren sebagai guru, pendamping,

atau sebagai simpul belajar. Pilihan sebagai guru akan melahirkan

rumusan peran yang menggurui. Sebagai pendamping akan dituntut

untuk setara dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Jika

terjadi perbedaan nilai antara pesantren nilai antara pesantren dengan

masyarakat maka bisa timbul situasi bersaing. Jika terjadi banyak

kesamaan akan berpadu pesantren dan masyarakat akan berintegrasi.

Dan posisi sebagai simpul belajar akan menempatkan pesantren dalam

peran menyediakan kesempatan yang memungkinkan warga untuk

belajar panduan-panduan utama dalam kehidupan baik yang bersumber

dari kenyataan di masyarakat maupun dari ajaran-ajaran agama.

Pola hubugan pesantren dan masyarakat sebagai guru, pendamping

atau simpul belajar bisa berubah tergantung pada bahan yang dipelajari.

Jika yang dipelajari adalah bagian dogma ajaran, maka mungkin sekali

28

(31)

dan memang seharusnya pesantren berperan sebagai guru. Masyarakat

membutuhkan informasi tentang panduan utama yang bersumber dari

dogma ajaran itu. Jika dogma ajaran itu berkaitan dengan peragaannya

dalam kehidupan, misalnya perihal pendidikan keluarga, maka pola

hubungan yang terbangun bergeser menjadi pendamping. Dengan pola

ini pesantren memahami bahwa masyarakat hidup dalam pergumulan

mereka sendiri. Yang terpenting dengan pilihan posisi itu adalah

pesantren dapat memiliki sudut pandang yang tepat dalam memahami

masyarakat.29

2) Pola Sosialisasi Sekolah Umum

Menurut Zurinal, “Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara

resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis,

berencana, sengaja, dan terarah, yang dilakukan oleh pendidik yang

profesional, dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum

tertentu, mulai dari tingkat Kanak-Kanak (TK) sampai Pendidikan

Tinggi (PT)”.30 Sekolah umum adalah sekolah yang mengikuti aturan

dari pemerintah.

Dusek mencatat ada dua fungsi utama sekolah bagi remaja, yaitu

“pertama, memberi kesempatan bagi remaja untuk tumbuh secara sosial dan emosional. Kedua membekali mereka dengan pengetahuan

dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi orang yang mandiri

secara ekonomi dan menjadi anggota masyarakat yang produktif”.31

Tujuan Pendidikan menurut Dewey ialah “membentuk manusia

untuk menjadi warga negara yang baik”.32

Untuk itu, di

sekolah-sekolah diajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi

29Dian nafi, Abd A’la, dkk

,Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Forum Pesantren, 2009) h 113 - 114

30

Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar & Dasar-dasar

Pelaksanaan Pendidikan, ( Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h 77

31

Desmita, op.cit. h 233 32

Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja

(32)

kehidupannya dalam masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan

sebagai warga negara.

Di samping menerima berbagai pelajaran dari guru, di sekolah

anak-anak harus pula dididik perasaan sosialnya sebagai lanjutan

pendidikan sosial yang telah diterima anak-anak itu dari lingkungan

keluarganya. Untuk itu, pendidikan kemasyarakatan di sekolah dapat

dilakukan secara praktis dan teoritis.

Secara praktis yang pertama anak-anak dibiasakan datang dan

pergi kesekolah pada waktunya, masuk dan keluar sekolah pada

waktunya pula. Kedua anak-anak harus diajar bekerja secara teratur,

baik bekerja perseorangan maupun bekerja kelompok. Dalam hal ini

perasaan tanggung jawab pada anak-anak itu harus dipupuk. Ketiga

anak-anak harus dibiasakan melakukan segala sesuatu di sekolah

menurut peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah itu. Hal ini

penting sekali sebab di dalam masyarakat pun orang harus hidup

menuruti peraturan-peraturan. Untuk itu, pengawasan dari pihak

pendidik sangat dibutuhkan. Dan keempat anak-anak diajar bergaul

dan menyesuaikan diri dengan anak-anak lain disekolah, bekerja sama

dan saling membantu. Sedangkan secara teoritis terdapat dalam

beberapa mata pelajaran seperti IPS, sejarah dan bahasa.33

Sekolah tidak hanya dipandang sebagai penentuan tujuan secara

khusus, melainkan juga sebagai ruang kehidupan sosial secara

keseluruhannya. Dalam ruang ini terlaksana apa yang disebut

kehidupan sekolah.

Menurut Wilhelm Rein, dalam kehidupan sekolah dibedakan

menjadi dua, pertama menunjukkan bahwa sekolah sebagai institusi

selalu menimbulkan bentuk suatu kehidupan sekolah, yaitu yang arti

dalam lebih luas masih termasuk ke dalam pelajaran, dan

bentuk-bentuk yang dengan memperhatikan titik berat, maksudnya tidak

dapat ditempatkan dalam jangkauan belajar mengajar. Kedua

33

(33)

mendekatkan pengalaman kepada kehidupan emosional para pelajar.

Selain itu juga untuk mengungkapkan kriteria dalam pedagogik yang

mendasari kehidupan sekolah seperti pergaulan, perjumpaan, adat atau

kebiasaan dan masyarakat. 34

Sekolah melakukan pembinaan pendidikan kepada peserta didik

yang didasarkan kepada kepercayaan yang diberikan oleh keluarga

dan masyarakat. Kondisi itu muncul karena keluarga dan masyarakat

memiliki keterbatasan dalam melaksanakan pendidikan. Tetapi,

tanggung jawab pendidikan anak seutuhnya menjadi tanggung jawab

orangtua. Sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan

pendidikan yang telah diperoleh di lingkungan keluarga sebagai

lingkungan pendidikan informal yang telah dikenal anak

sebelumnya.35

Walaupun sekolah hanya mengembangkan pendidikan dari

keluarga namun sekolah/guru memiliki gaya kepemimpinan dan

komunikasi yang berbeda.

Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam

tiga jenis, yaitu:

a) Autokratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang bertukar pandangan/pendapat, terhadap

sesuatu antara guru dan murid, dan tidak memberikan ruang

bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu.

b) Demokratik ditandai dengan kepemimpinan yang demokratis, adanya ruang untuk bertukar pandangan/pendapat dan kebaikan

bersama dikonstruksikan secara bersama melalui musyawarah.

c) Laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang cuek dan bertukar pandangan/pendapat tidak diperlakuan sebab

34

Herman Holstein, Murid Belajar Mandiri, (Bandung: Remadja Karya, 1984) h. 159 -

160

35

(34)

peserta didik dibolehkan melakukan apa saja apabila

memandang sesuatu penting untuk dilakukan. 36

Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat memengaruhi cara

berpikir, merasa dan bertindak siswa di kemudian hari. Selain

kepemimpinan guru, dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah

terjadi komunikasi baik dalam situasi klasikal, kelompok ataupun

individual.

Beberapa bentuk komunikasi dalam situasi tersebut adalah sebagai

berikut:

a) Penyampaian informasi lisan adalah Interaksi belajar mengajar berintikan penyampaian informasi yang berupa pengetahuan terutama dari guru kepada siswa. Dalam keadaan ideal informasi dapat pula disampaikan oleh siswa kepada guru dan kepada siswa yang lainnya. Informasi disampaikan oleh guru dalam bentuk ceramah terhadap kelas atau kelompok.

b) Penyampaian informasi secara tertulis adalah para guru kemungkinan juga berkomunikasi dengan siswanya secara tertulis, berupa penyampaian bahan tertulis tulisannya sendiri atau karya orang lain supaya dibaca dan dipelajari oleh siswa. c) Komunikasi melalui media elektronika adalah komunikasi

tidak langsung antara guru dan siswa karena menggunakan media seperti video, film bergerak, televisi dan komputer. d) Komunikasi dalam aktifitas kelompok adalah komunikasi

antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa bahkan antara siswa dengan manusia sumber di luar sekolah. Dalam berbagai kegiatan kelompok dilakukan dengan cara diskusi kelompok, belajar kelompok, simulasi, permainan dan lain sebagainya.37 Struktur komunikasi dua arah (dialogis) antara para siswa dan guru

akan menciptakan ruang kelas yang dinamis dibandingkan dengan

komunikasi satu arah (monologis). Struktur komunikasi antara guru

dan siswa tidak lepas dari tipe kepemimpinan guru dalam kelas,

pandangan guru tentang hubungannya dengan siswa dan budaya

sekolah yang melingkupinya.

Konsep disiplin memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan

aturan yang ada dan komit terhadap rencana dan tujuan yang telah

36

Damsar. op.cit. h 105

37

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT

(35)

dirancang. Namun berbeda dalam penerapannya, yang di dalamnya ada

metode, penghargaan dan hukuman.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan, dalam kenyataannya tidak

selalu memiliki aturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada hanya

beberapa pernyataan tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang

dilakukan oleh siswa selama berada dalam sekolah, sementara sanksi

dan hukuman terhadap sesuatu yang dilanggar bersifat tidak tertulis,

sehingga kesan yang ditimbulkan adalah hukuman tergantung pada

siapa yang memutuskannya tanpa ada standar dan indikator yang dapat

menjadi rujukan.38

3. Penyesuaian Diri

Menurut Desmita, “Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk

psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu

terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar maupun dari dalam diri

individu itu sendiri”.39 Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri

menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interksinya dengan

lingkungan dalam dan luar dirinya.

Menyesuaikan diri itu pun diartikan dalam arti luas dan dapat berarti

mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah

lingkungan sesuai keadaan (keinginan) diri. Penyesuaian diri dalam arti

yang pertama disebut juga penyesuain diri autoplastis (dibentuk sendiri),

sedangkan penyesuaian diri yang kedua juga disebut penyesuaian diri yang

autoplastis (alo = yang lain). Jadi penyesuaian diri mempunyai dua arti

yaitu “pasif” artinya kegiatan ditentukan oleh lingkungan, dan “aktif”

artinya dipengaruhi lingkungan.40

Menurut Woodwort, “pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan

antara individu dengan lingkungannya. Individu dapat bertentangan

dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, individu

38

Damsar, op.cit. h 114

39

Desmita, op.cit. h. 191

40

(36)

dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya, dan individu dapat

menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya”.41

Pada Prinsipnya penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup

respons mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk

dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya,

ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga

terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri

dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.

Menurut Baum, “tingkah laku penyesuaian diri diawali dengan stres,

yaitu suatu keadaan di mana lingkungan mengancam atau membahayakan

keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang”.42

Perbedaan individu ini dapat menyebabkan konsep penyesuaian diri

menjadi relatif sifatnya, sehingga tidak dapat dibuat suatu pilihan cara-cara

menghadapi stres tertentu secara pasti.

Menurut Schneider, penyesuaian diri itu dikatakan relatif karena

sebagai berikut:

1. Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian

kemauan seseorang untuk mengubah atau untuk mengatasi tuntutan

yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah sesuai

dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya.

2. Kualitas dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal

yang berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan.

3. Adanya variasi tertentu pada individu.43

Secara garis besar penyesuaian diri yang sehat dapat dilihat dari empat

aspek kepribadian, yaitu: kematangan emosional, kematangan intelektual,

kematangan sosial dan tanggung jawab.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dilihat dari konsep

psikogenik dan sosiopsikogenik. Psikogenik memandang bahwa

penyesuaian diri dipengaruhi oleh riwayat kehidupan sosial individu,

41

Ibid.

42

Desmita, op.cit. h. 193

43

(37)

terutama pengalaman khusus yang membentuk perkembangan psikologis.

Pengalaman khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang

kehidupan keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek:

a. Hubungan orang tua anak yang merujuk pada iklim hubungan

sosial dalam keluarga. Apakah hubungan tersebut bersifat

demokratis atau otoriter yang mencakup :

1) Penerimaan-penolakan orangtua tehadap anak

2) Perlindungan dan kebebasan yang diberikan kepada anak

3) Sikap dominatif-integratif (pemisif atau sharing)

4) Pengembangan sikap mandiri-ketergantungan

b. Iklim intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauh mana iklim

keluarga memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual

anak, pengembangan berpikir logis atau irasional, yang

mencakup :

1) Kesempatan untuk berdialog logis, tukar pendapat, dan gagasan

2) Kegemaran membaca dan minat kultural

3) Pengembangan kemampuan memecahkan masalah

4) Pengembangan hobi

5) Perhatian orangtua terhadap kegiatan belajar anak

c. Iklim emosional keluarga, yang merujuk pada sejauh mana

stabilitas hubungan dan komunikasi di dalam keluarga terjadi, yang

mencakup :

1) Intensitas kehadiran orangtua dalam keluarga

2) Hubungan persaudaraan dalam kelurga

3) Kehangatan hubungan ayah ibu44

Sementara itu dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian diri

dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial dimana individu terlibat

didalamnya. Bagi peserta didik, faktor sosiopsikogenik yang dominan

mempengaruhi penyesuaian dirinya adalah sekolah yang mencakup:

44

(38)

a. Hubungan guru - siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial

dalam sekolah, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau

otoriter, yang mencakup:

1) Penerimaan-penolakan guru terhadap siswa

2) Sikap dominatif (otoriter, kaku, banyak tuntutan) atau integratif

(permisif, sharing, menghargai dan mengenal perbedaan

individu).

3) Hubungan yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan

b. Iklim intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauh mana

perlakuan guru tehadap siswa dalam memberikan kemudahan bagi

perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh perasaan

kompeten, yang mencakup:

1) Perhatian terhadap perbedaan individual siswa

2) Intensitas tugas-tugas belajar

3) Kecenderungan untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa

4) Sistem penilaian

5) Kegiatan ektrakurikuler

6) Pengembangan inisiatif siswa45

Sedangkan proses penyesuaian diri dapat dipandang dari dua

perspektif yaitu:

a. Kualitas atau efisiensinya, berarti untuk menilai berhasil atau

tidaknya proses proses penyesuaian diri. Ada empat kriteria

yang dapat digunakan :

1) Kepuasan Psikis yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan

menimbulkan rasa tidak puas yang menjelma dalam bentuk

perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi dan lainnya.

2) Efisiensi Kerja yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan

menampak dalam kerja atau kegiatan yang efisien,

sedangkan yang gagal menampak dalam kerja atau kegiatan

yang tidak efisien.

45

(39)

3) Gejala Fisik yaitu penyesuaian diri yang gagal akan tampak

dalam gejala fisik.

4) Penerimaan Sosial yaitu penyesuaian diri yang berhasil

akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat,

sedangkan yang gagal akan mendapatkan reaksi tidak

setuju dari masyarakat.

b. Proses berlangsungnya merupakan suatu proses progresif yang

memungkinkan individu makin menguasai impuls-impuls dan

lingkungannya. Proses penyesuaian diri memiliki dua tipe:

1) Dalam rangka penyesuaian diri itu individu mengubah atau

menahan impuls-impuls dalam dirinya.

2) Dalam rangka penyesuaian diri itu individu mengubah

tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungannya.46

4. Definisi Mahasiswa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Mahasiswa adalah

orang yang belajar di perguruan tinggi”.47

Sedangkan Mahasiswa Menurut Para Ahli adalah sebagai berikut:

a. Peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik

yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu.

b. Menurut Sarwono mahasiswa adalah setiap orang yang secara

resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi

dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.

c. Menurut Knopfemacher mahasiswa adalah insan-insan calon

sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang

makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan diharapkan

menjadi calon-calon intelektual. 48

46

Idi. op. cit. h 102-103 47

Departemen Pendidikan Indonesia, op. cit. h 856

48

(40)

Dari pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah

status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan

perguruan tinggi yang diharapkan menjadi calon-calon intelektual.

5. Definisi Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pendidikan adalah

proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang

dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

latihan, proses pembuatan, cara mendidik”.49

IPS dapat diartikan dengan penelaahan atau kajian tentang

masyarakat. Dalam mengkaji masyarakat, guru dapat melakukan

kajian dari berbagai perspektif sosial, seperti kajian melalui pengajaran

sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, dan aspek

psikologi sosial yang disederhanakan untuk mencapai pembelajaran.

Berikut pengertian IPS menurut beberapa ahli:

a. Nu’man Sumantri menyatakan bahwa IPS merupakan pelajaran

ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat

SD, SLTP, dan SLTA. Penyederhanaan mengandung arti:

1) menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya

dipelajari di universitas menjadi pelajaran yang sesuai dengan

kematangan berfikir siswa siswi sekolah dasar dan lanjutan.

2) mempertautkan dan memadukan bahan aneka cabang ilmu-ilmu

sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi pelajaran yang

mudah dicerna.

b. S. Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan

fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa

IPS merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan

dengan peran manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai

49

(41)

subjek sejarah , ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan

psikologi sosial. 50

Dengan demikian, IPS bukan ilmu sosial dan pembelajaran IPS

yang dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada

pendidikan tinggi tidak menekankan pada aspek teoritis keilmuannya,

tetapi aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala dan

masalah sosial masyarakat, yang bobot dan keluasannya disesuaikan

dengan jenjang pendidikan masing-masing. Kajian tentang masyarakat

dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu

lingkungan sekitar sekolah atau siswa dan siswi atau dalam lingkungan

negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau.

Dengan demikian siswa dan siswi yang mempelajari IPS dapat

menghayati masa sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa

lampau umat manusia.

Pendidikan IPS merupakan kemasan pengetahuan sosial yang telah

dipertimbangkan secara psikologis untuk kepentingan pendidikan.

Melalui pendidikan IPS akan membekali kemampuan seseorang dalam

pengembangan diri dari berbagai keterampilan sosial dalam

kehidupannya.51

B. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Temuan penelitian yang dilakukan oleh Ambarini Nurdwiyani, menunjukkan bahwa, terdapat hubungan antara pola sosialisasi keluarga dengan tingkat penyesuaian diri mahasiswa perantau, meskipun pengaruhnya lemah. Uji Somers’d memperlihatkan kekuatan hubungan sebesar 0,361 dengan nilai signifikansi sebesar 0.00. data ini dapat berlaku di tingkat populasi dengan tingkat keakuratan mendekati 100%. Mahasiswa perantau yang tersosialisasi secara represif, relatif memiliki tingkat penyesuaian diri yang tinggi. Kekuatan hubungan mengalami perubahan, ketika dimasukkan variabel kontrol jenis kelamin. Pada responden laki-laki, nilai

50

Pakde Sofa, Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan IPS, 2010

(http://massofa.wordpress.com) 51

Rudy Gunawan, Pendidikan IPS Filosofi, Konsep dan Aplikasi, (Bandung : Alfabeta,

(42)

kekuatan hubungan meningkat mencapai 0,406 sedangkan pada responden perempuan nilai tersebut mengalami penurunan menjadi 0,308. Angka tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara pola sosialisasi keluarga dan tingkat penyesuain diri pada responden laki- laki lebih kuat dibandingkan pada responden perempuan. Dari hasil wawancara mendalam juga ditemukan terdapat faktor lain yang berpotensi mempengaruhi proses penyesuaian diri mahasiswa perantau. Diantaranya adalah motivasi merantau, pengalaman hidup mandiri, dan hubungan pertemanan yang baik. 52

Perbedaan skripsi Ambarini dan Penulis adalah pola sosialisasinya,

skripsi diatas meneliti pola sosialisasi keluarga sedangkan dalam

skripsi ini pola sosialisasi pesantren dan sekolah umum sebagai agen

sosialisasi kedua setelah keluarga. Adapun persamaannya adalah

melihat pengaruh terhadap tingkat penyesuaian diri.

2. Hasil penelitian yang dilakukan Heni Susilawati, memperlihatkan bahwa status ekonomi keluarga bukanlah faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pelajar ke arah berprestasi tinggi atau kearah berprestasi rendah. Pada responden berprestasi rendah, tampak bahwa orang tua menekankan kepatuhan terhadap aturan. Tetapi, pada umumnya kedua kelompok responden diberi kebebasan dalam bergaul dengan teman sebaya. Reaksi orang tua atas pelanggaran aturan yakni dengan memaafkan kesalahan responden. Konsistensi sikap orang tua menunjukkan keadaan yang tidak berbeda. Responden berprestasi tinggi lebih sering diajak membicarakan rencana masa depan. Sementara itu responden berprestasi rendah hal demikian sedikit ditemui. Umumnya kedua kelompok responden jarang terlibat dalam kegiatan keluarga. Dilihat dari frekuensi interaksi di dalam keluarga, tampaknya kedekatan lebih baik pada pelajar berprestasi tinggi dibandingkan dengan pelajar berprestasi rendah. 53

Perbedaan skripsi di atas adalah pola sosialisasi yang berpengaruh

terhadap prestasi belajar siswa sedangkan yang diteliti dalam skripsi

ini pengaruhnya terhadap tingkat penyesuaian diri.

52

Ambarini, Nurdwiyani, “Pegaruh Pola Sosialisasi Keluarga Terhadap Tingkat

Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantau (Studi Kasus : Mahasiswa Perantau Angkatan 2003

yangTinggal di Asrama UI, Depok)” Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2004,h. i-ii, tidak dipublikasikan.

53

Heni Susilawati “ Deskripsi Pola Sosialisasi Keluarga Pelajar Berprestasi Tinggi dan

Pelajar Berprestasi Rendah (studi kasus di MTsN Luragung, Desa Cirahayu Kec Luragung Kab

(43)

3. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Lukitarina, menunjukkan bahwa sebagian besar siswa (lebih dari separuh jumlah responden) mengalami sosialisasi partisipatif dan sebagian besar siswa memiliki konsep-kedirian mandiri. Tetapi antara pola sosialisasi dan tipe konsep-kedirian siswa tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Dalam kaitan

Gambar

Tabel 2.1: Dua cara sosialisasi
Tabel 2.2: Kerangka Berpikir
Tabel 3.1: Rancangan Kegiatan
Tabel 3.2: Kisi-kisi Instrumen Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan segala karunia, nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga kepada penulis,

The problem of this study is Liz’s effort to get better life in breaking night Novel (2010) directed by Liz Murray. The purpose of this study was to describe the novel

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya, dalam usaha memenuhi

Dalam kisah Mahabharata, terdapat Senjata Pusaka yang diberikan oleh para dewa kepada manusia yang disebut dengan Astra. Manusia yang telah dianugerahi Astra tersebut

Bimbingan belajar nonformal dan kemampuan pemecahan masalah matematika mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas X SMA N 2 Sragen

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: media gambar seri dapat meningkatkan kemampuan bercerita dengan urutan yang baik pada siswa kelas VII F SMP

Untuk mempermudah penelitian dan agar arah dari pembahasan sesuai dengan judul skripsi, maka penulis membatasi penelitian hanya pada perbedaan brand equity (brand