PENYESUAIAN DIRI
(Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Amaliah
NIM 1110015000022
JURUSAN PENDIDIKAN IPS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
NIM
.lurusan
: Amaliah
: I I10015000022
: IImu Pengetahuan Sosial (lPS)
MI]NYATAKAN DENGAN SESLTNGGUI'INYA
Bahwa skripsi yang berjudul "Pcngaruh Pola Sosialisasi fcrhadap fingkat Pcnyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasisrva Jurusan Pendidikan Il'S
Semestcr
VI
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" adalah benar hasil karyasendiri di bawah bimbingan dosen Drs. Syaripulloh,M.Si.
Demikian surat pemyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bcltar.rggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
(Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Skripsi
Diajukan l(epada Fakultas llmLr Tarbiy'ah dan Keguruan unluk N.4emenubi Sy,ara,t
Menrperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Amaliah
NIM:
1110015000022Mengesahkan:
Pembimbing Skripsi
Drs. Syaripulloh, M.Si
NIP. 19670909 200701
t
033JI.IRUSAN
ILMII
PENGETAHUAN SOSIALIIAKULTAS ILMTI TARBIYAH DAN KEGURTIAN
TINIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAE
JAKARTA
Pen;,esuaian
Diri
(Studi
Kasus: Mahasisu,aJurusan
penrlidikan IpSSemester VI FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta) disusun oleh AMALIAH
Nomor Induk Mahasiswa I I 10015000022.
dia.lukan kepacia Fakulras IImu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah .lakarta
dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal
25 Seprenrber 2014 di hadapan deivan
penguji. Karena itu- penulis berhak memperoleh geJar
Sarjana
Sl (S.pd)
dalambidang Pendidikan Ilmu pengerahuan
Sosial.
J akarta, 25 September 20
1 4
paoitia Ujian Munaqasah
Tanggal
Tanda Tangan Ketua Panitia (Ketua Jurusan/program Studi)Dr. Iwan Purwanto, M.pd
NIP. 19730424200801
I
0t2Sekretaris (Sekretaris Jurusan/program Studi)
Drs. Syaripulloh, M.Si
NIP. 19670909200701
I
033Penguji I
Anissa Windarti, M.Sc
NIP. 19820802 201 101 2 00s
Penguji II
Drs. Nurochim, MM
NIP. t9590715198403
I
003Mengetahui
Dekan Fakultas Iimu Tarbiyah dan Keguruan
?4
/o
l'-
l.olu/"{"...-.
ry,fll
'J"
"Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap
Tingkat
penyesuaianDiri
(StudiKasus: Mahasisrva Jurusan Pendidikan IPS Semester VI
FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" vang disusun oleh Amaliah,NIM
1110015000022.Program Studi Pendidikan IPS, Fakultas
Ilmu
Tarbiyahdan
Keguruan,Universrtas Islarn Negeri Syaril Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya
oleh dosen peinbimbrng sliripsi pada tauggal 5 Septernber 201 .1.
Jakarta, 5 September 2014
Dosen Pembimbing Skripsi
-,,---....
-tt , \
<___"
a'-Drs. Syaripultoh, M.Si
i ABSTRAK
Amaliah (1110015000022). Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pola sosialisasi
terhadap tingkat penyesuaian diri.
Metode yang digunakan adalah metode survei dengan pendekatan
kuantitatif. Penelitian ini dilakukan di Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada bulan Mei-Juni. Sampel penelitian adalah mahasiswa
Semester VI yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.Teknik analisa
data menggunakan korelasi Spearman dan regresi linier sederhana.
Hasil penelitian menunjukkan pola sosialisasi mempunyai pengaruh
terhadap tingkat penyesuaian diri terbukti dari hasil yang menunjukkan thitung
5,559 > ttabel 2,002 ada hubungan antara kedua variabel terbukti dari hasil korelasi
sebesar 0,477, angka tersebut menunjukkan korelasi yang cukup.
ii ABSTRACT
Amaliah (1110015000022). The Influence of socialization system toward self adaptation level (A Case Study at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3rd year Students of Social Studies Education)
This research is investigated to find out the effect of socialization toward self adaptation level.
The method which was used of this research is survey method by quantitative approach. This research was conducted at Social Studies Education FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta on May until June. Sample of the research are 3rd year students which has experienced stay at boarding school and public school. Technique of analyzing data used Spearman correlation and linier regression.
The result of the data point out that socialization system has an effect toward self adaptation level, it proved by the statistic result that showed thitung
5,559 < ttabel 2,002and there is a correlation between both variable which showed
that the result of correlation about 0,477 it shown that it was standard correlation number.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah
memberikan nikmat Iman, Islam, serta nikmat sehat wal’afiat sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Studi Kasus: Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan
sahabatnya.
Penulisan Skripsi ini tidak mungkin selesai sebagaimana mestinya tanpa
ada bantuan dari semua pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu
penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D serta para pembantu dekan.
2. Ketua Jurusan Pendidikan IPS, Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd beserta
seluruh staf.
3. Bapak Drs. Syaripulloh, M.Si selaku sekretaris jurusan dan dosen
pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu
dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah
diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari.
5. Kedua Orangtua Abah dan Mamah(H. Asep. Saefullah dan Hj. Nurhayati
Nufus) yang selalu ada disaat penulis membutuhkan dukungan baik moril,
materil maupun spiritual. Terimakasih yang tak terbatas semoga ini adalah
bakti awal yang sedikit Ananda berikan untuk membahagiakan kalian.
6. Keluarga tercinta Kakak dan Adik (Kak Arif, Aa Emin dan ica), nenek
iv
yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
7. Teman satu jurusan Pendidikan IPS angkatan 2010 yang selalu
memberikan semangat.
8. Teman satu perjuangan kelas konsentrasi Sosiologi-Antropologi angkatan
2010terimakasih untuk semua kenangan manis yang kalian berikan dan
sukses selalu untuk kita.
9. Sahabat-Sahabat di kampus (ade, mona, dini, nesa, oni, indri, desti, dan
semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu) terimakasih untuk ada
disaat suka dan duka.
10.Keluarga kosan griya aini (Mbak ar, rina, nita, upi, reva, resti, dian, vina,
asmi, kak dila, teh ica, kak findri, kokom, uma, kak umu, kak hikmah,
yayan, dan lainnya) yang menjadi keluarga kedua penulis selama merantau
di Ciputat.
11.Mahasiswa Semester VI Jurusan Pendidikan IPS FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi menjadi responden dalam
penelitian ini.
12.Kepada Muhammad Nurul Amri yang tidak pernah lelah membantu
penulis baik secara tenaga dan pikiran serta selalu memberikan motivasi
dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
Pada akhirnya Tak ada gading yang tak retak, begitupun dalam penyusunan
skripsi ini penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangannya,
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis
dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat
sebagai ibadah disisi-Nya, Amin.
Jakarta, September 2014
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Kegunaan Penelitian ... 8
BAB II: KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoretik ... 9
1. Definisi Pengaruh ... 9
2. Pola Sosialisasi ... 10
3. Penyesuaian Diri ... 22
4. Definisi Mahasiswa ... 26
5. Definisi Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) ... 27
B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 28
C. Kerangka Berpikir ... 31
D. Hipotesis Penelitian ... 32
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34
B. Metode dan Disain Penelitian ... 35
C. Populasi dan Sampel... 36
D. Teknik Pengumpulan Data ... 37
vi
F. Teknik Pengolahan Data ... 42
G. Teknik Analisis Data ... 44
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 47
B. Uji Prasyarat ... 61
C. Pengujian Hipotesis ... 62
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 66
E. Keterbatasan Penelitian ... 67
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 69
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Dua Cara Sosialisasi ... 13
Tabel 2.2 Kerangka Berpikir ... 31
Tabel 3.1 Rancangan Kegiatan ... 34
Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 39
Tabel 3.3 Tingkatan dan Skor Skala Likert ... 41
Tabel 4.1 Uji Validitas ... 51
Tabel 4.2 Uji Reliabilitas ... 53
Tabel 4.3 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53
Tabel 4.4 Jumlah Responden Berdasarkan Usia ... 53
Tabel 4.5 Jumlah Responden Berdasarkan Konsentrasi Jurusan ... 54
Tabel 4.6 Aturan Pesantren ... 54
Tabel 4.7 Hukuman Pesantren ... 55
Tabel 4.8 Hadiah Pesantren ... 56
Tabel 4.9 Komunikasi Pesantren ... 56
Tabel 4.10 Aturan Sekolah Umum ... 57
Tabel 4.11 Hukuman Sekolah Umum ... 58
Tabel 4.12 Hadiah Sekolah Umum ... 58
Tabel 4.13 Komunikasi Sekolah Umum ... 59
Tabel 4.14 Penyesuaian Diri Pesantren ... 59
Tabel 4.15 Penyesuaian Diri Sekolah Umum ... 60
Tabel 4.16 Hasil Uji Normalitas ... 61
Tabel 4.17 Hasil Uji Homogenitas ... 62
Tabel 4.18 Data ... 63
Tabel 4.19 Hasil Korelasi Spearman ... 64
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 73
Lampiran 2 Pedoman Wawancara ... 78
Lampiran 3 Data Responden ... 79
Lampiran 4 Data Uji Validitas dan Reliabilitas ... 83
Lampiran 5 Hasil Uji Validitas ... 85
Lampiran 6 Hasil Wawancara ... 89
Lampiran 7 Hasil Angket ... 90
Lampiran 8 Hasil Uji Normalitas ... 94
Lampiran 9 r Tabel ... 95
Lampiran 10 t Tabel ... 96
Lampiran 11 Surat Izin Melakukan Penelitian ... 98
Lampiran 12 Lembar Uji Referensi ... 99
Lampiran 13 Biodata Penulis ... 106
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari pengaruh orang lain.
Ketika pergi ke kampus atau ke tempat lain, tidak bisa dengan seenaknya
berpakaian menurut kehendak sendiri. Tunduk pada aturan atau kebiasaan
yang ada dalam masyarakat. Selama manusia hidup tidak akan lepas dari
pengaruh masyarakat, karena itu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial
yang dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh orang lain.
Seseorang yang tidak hidup dengan manusia lainnya tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Ada kisah, yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1900 di desa Saint-Serin, Perancis, dan telah ditemukan kasus gadis, berusia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berumur satu setengah tahun. Light kelller dan Calhoun mengisahkan kasus Anna yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun.1
Dari kasus-kasus tersebut terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan
tersebut tidak berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian,
buang air besar kecil dengan tertib, atau berbicara. Anna tidak dapat makan
1
Kamanto sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
sendiri atau mengunyah dan juga tidak dapat tertawa atau menangis, Genie
tidak dapat berdiri tegak. Setelah berkomunikasi dengan masyarakat lambat
laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa diantara kemampuan yang
dimiliki manusia sebaya mereka, namun mereka tidak pernah tersosialisasi
secara wajar dan cenderung meninggal pada usia muda.
Kasus ini memberikan gambaran mengenai apa yang terjadi bila seorang
anak tidak disosialisasi dan menunjukkan bahwa meskipun mereka
disosialisasi namun kemampuan mereka tidak dapat menyamai kemampuan
anak lain yang sebaya dengan mereka. Kasus tersebut memberikan petunjuk
bahwa kemampuan tertentu seperti kemampuan berbahasa hanya dapat
diajarkan pada periode tertentu dalam kehidupan anak, bila proses sosialisasi
terlambat dilaksanakan maka proses tersebut tidak akan berhasil atau hanya
berhasil untuk sebagian saja.
Dalam proses sosialisasi, seseorang individu/anak didik belajar tentang
perilaku, kebiasaan, dan pola-pola kebudayaan lain. Individu juga belajar
tentang keterampilan sosial (social skills) seperti berbahasa, bergaul, berpakaian dan cara makan. Sosialisasi merupakan proses membimbing
individu ke dalam dunia sosial.2
Salah satu teori peranan dikaitkan dengan sosialisasi oleh teori George
Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku mind, self and society. Menurut Mead, “setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi adalah suatu proses
dimana di dalamnya terjadi pengambilan peranan (role taking)”.3 Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peranan yang harus dijalankan
orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini
seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
Hampir semua orang sepakat bahwa mengajarkan keterampilan sosial dan
emosional yang pantas kepada anak merupakan prioritas utama dan kelak
menjadi landasan mental yang sehat serta hidup yang menyenangkan. Anak
2
Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2011), h 99
3
dilahirkan dengan tempramen yang berbeda dan tingkat kecerdasan emosional
yang tidak sama. Meskipun demikian, mereka belajar bersikap, keterampilan
berinteraktif, serta sifat-sifat baik selama masa-masa prasekolah.4
Setelah masa usia sekolah terjadilah perubahan hubungan anak dengan
orangtua. Perubahan tersebut di antaranya disebabkan adanya peningkatan
penggunaan waktu yang dilewati anak-anak bersama teman-teman sebayanya.
Perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan sosial yang terjadi dalam
perkembangan remaja mempunyai pengaruh yang besar terhadap relasi
orangtua-remaja. Masa sekolah juga menyebabkan pembagian pola
pengasuhan antara orangtua dan guru.
Dalam sosiologi pola asuh dikenal dengan istilah pola sosialisasi. Pola
sosialisasi dibagi menjadi dua yaitu :
1. Pola sosialisasi represif yaitu sosialisasi yang didalamnya terdapat
sangsi jika pihak-pihak yang tersosialisir seperti anak atau masyarakat
melakukan pelanggaran. Ciri-ciri pola sosialisasi ini adalah
menghukum perilaku yang di anggap keliru, hukuman dan imbalan,
kepatuhan anak, komunikasi bersifat perintah, sosialisasi berpusat pada
orang tua, anak memperhatikan orang tua dan keluarga merupakan
dominasi orang tua.
2. Pola sosialisasi partisipatif adalah sosialisasi yang berupa
rangsangan-rangsangan tertentu agar pihak yang tersosialisasi mau melakukan
suatu tindakan. Ciri-ciri pola sosialisasi ini adalah memberikan
imbalan bagi perilaku yang baik, hukuman dan imbalan simbolis,
otonomi pihak yang disosialisasi, komunikasi sebagai interaksi,
sosialisasi berpusat pada anak, orangtua memperhatikan keinginan
anak dan keluarga merupakan kerja sama ke arah tujuan.5
4
Sylvia Rimm, Mendidik dan Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003) h 27
5
Agus Santoso, Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian, 2009,
Setiap orang akan mengalami pola sosialisasi yang berbeda, hal tersebut
dikarenakan pola asuh dan latar belakang yang tidak sama. Selain di keluarga,
sekolah juga menerapkan pola sosialisasi.
Sekolah merupakan agen sosialisasi kedua setelah keluarga yang penting
dalam kehidupan manusia. Sekolah perlahan menjadi agen pengganti
terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga, seiring dengan intensifnya anak
memasuki ruang sosial dari ruang sekolah. Jadi sekolah mensosialisasikan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga dipandang sebagai tempat
yang menjadi transisi dari kehidupan keluarga ke dalam kehidupan
masyarakat.6
Pengalaman atau latar belakang sekolah juga mempengaruhi perilaku
seseorang. Ada yang berlatar belakang sekolah umum dan ada juga berlatar
belakang pesantren.“sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang
mempengaruhi proses sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan
masyarakat kepada anak”.7
Sosialisasi identik dengan makna penyesuaian diri. Bagian dari pola
sosialisasi seperti hukuman yang diberikan, bentuk komunikasi, aturan yang
diterapkan dan cara bersosialisasi mempengaruhi bagaimana cara seseorang
menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan.
Ada empat cara bagaimana lingkungan mempengaruhi perilaku. Pertama
lingkungan menghalangi perilaku, akibatnya juga membatasi apa yang kita
lakukan. Kedua lingkungan mengundang atau mendatangkan perilaku,
menentukan bagaimana kita harus bertindak. Ketiga lingkungan membentuk
diri, dan keempat lingkungan akan mempengaruhi citra diri.8
Terdapat banyak sekali peraturan dan tuntutan yang diberikan sekolah
kepada peserta didik menyebabkan sumber stres yang mempengaruhi
penyesuaian diri peserta didik. Pertama adalah tuntutan fisik (phsyical demands) yaitu stres siswa yang bersumber dari lingkungan fisik sekolah.
6
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011) h 72-74
7
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007) h 186
8
R.S Satmoko, Psikologi Tentang Penyesuaian Dan Hubungan Kemanusiaan,
Dimensi-dimensi dari lingkungan fisik sekolah yang dapat menyebabkan
terjadinya stres siswa ini meliputi, daftar pelajaran, keamanan, penjagaan
serta sarana dan prasarana sekolah. Kedua tuntutan tugas (task demands) yaitu tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan dan dihadapi oleh peserta
didik yang menimbulkan perasaan tertekan dan stres seperti mematuhi
disiplin sekolah, memenuhi tuntutan kurikulum dan menghadapi ujian atau
ulangan. Ketiga adalah tuntutan peran (role demands) yaitu berhubungan dengan peran yang dipikul oleh siswa. Keempat tuntutan interpersonal
(interpersonal demands) adalah yaitu siswa di tuntut mampu melakukan interaksi sosial dan menjalin hubungan baik dengan orang lain. Stres sekolah
mempunyai dampak terhadap kehidupan pribadi anak, baik secara fisik,
psikologis, maupun secara psikososial atau tingkah laku. 9
Dari hasil wawancara penulis menunjukkan bahwa mahasiswa lulusan
pesantren lebih sering berinteraksi dengan orang lain dibandingkan
mahasiswa lulusan sekolah umum hal ini ditunjukkan mahasiswa lulusan
pesantren lebih banyak mengikuti organisasi dibandingkan mahasiswa
lulusan sekolah umum. Selain itu mahasiswa lulusan pesantren lebih
bersosialisasi dari mahasiswa lulusan sekolah umum karena mahasiswa
lulusan pesantren mempunyai teman di setiap fakultas di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sedangkan mahasiswa lulusan sekolah umum
mempunyai teman hanya di beberapa fakultas saja.10
Selain itu perilaku Mahasiswa lulusan pesantren dan Sekolah Umum juga
diamati dan terdapat sebuah kasus di jurusan Pendidikan IPS Fakultas
Tarbiah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mahasiswa yang
lulusan pesantren memiliki banyak teman dibandingkan jurusan umum, hal
itu terlihat ketika penulis dan teman sekelas yang berlatar belakang pesantren
dan sekolah umum saat makan siang di cafe kampus. Anak yang lulusan
9
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2009) h 293 - 296 10
pesantren sering bertemu dan mengenal orang-orang disekitar cafe tersebut
baik dari jurusan bahkan fakultas yang berbeda. Selain itu mahasiswa lulusan
pesantren bisa cepat bersosialisasi dan menyesuaikan diri di lingkungan baru,
dilihat saat diperkenalkan kepada teman kosan yang belum dikenalnya, anak
lulusan pesantren ini dapat dengan mudah berkomunikasi dengan teman
barunya itu. Dia mampu mengikuti alur pembicaraan teman barunya tersebut.
Hal itu terlihat juga teman barunya mulai terbuka dan nyaman saat
berkomunikasi dengan mahasiswa lulusan pesantren tersebut. Sedangkan
ketika memperkenalkan anak lulusan sekolah umum kepada teman kosan,
tidak langsung akrab atau saling mengobrol anak lulusan sekolah umum
cenderung malu-malu dan segan kepada teman kosan itu.
Menurut Burgoon dalam teorinya adaptasi interaksi yaitu, “ketika anda
berkomunikasi dengan orang lain, anda memiliki ide umum mengenai apa
yang akan terjadi.”11 Perilaku awal dalam interaksi terdiri atas kombinasi dari
perilaku verbal dan nonverbal yang mencerminkan posisi interaksi, faktor
lingkungan dimana interaksi terjadi, dan tingkat keahlian yang di miliki.
Namun, dalam kebanyakan interaksi, perilaku akan berubah begitu juga
perilaku lawan bicara mulai saling memengaruhi.
Burgoon dan rekan-rekannya telah menemukan, “bahwa cara-cara kita
menyesuaikan diri dengan orang lain sebagian besar tergantung pada seberapa
jauh orang lain melanggar harapan kita untuk berperilaku”.12 Begitu juga
dengan kasus yang ada pada mahasiswa Pendidikan IPS bahwa cara mereka
menyesuaikan diri tergantung kepada lingkungan dan latar belakang.
Berdasarkan hasil paparan mengenai latar belakang masalah di atas penulis
merasa perlu untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Perbedaan Pengaruh Pola Sosialisasi Terhadap Tingkat Penyesuaian Diri (Stui Kasus:
Mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta)”.
11
Morissan, Psikologi Komunikasi, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) h 120-121
12
B. Identifikasi Masalah
1. Adanya perubahan hubungan antara anak dengan orangtua dari masa
prasekolah sampai sekolah.
2. Adanya adaptasi yang dicirikan oleh interaksi yang dilakukan antara
mahasiswa yang berlatar belakang pesantren dan sekolah umum.
3. Adanya pengaruh pola sosialisasi pendidikan pesantren dan sekolah
umum.
4. Adanya perbedaan tingkat penyesuaian diri antara mahasiswa yang
berlatar belakang pendidikan pesantren dan sekolah umum.
C. Pembatasan Masalah
Dari hasil identifikasi masalah tersebut maka pembatasan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Tingkat penyesuaian diri mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester
VI FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlatar belakang
pesantren dan sekolah umum.
2. Pola sosialisasi mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS Semester VI FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berlatar belakang pesantren dan
sekolah umum.
D. Rumusan Masalah
1. Apakah pola sosialisasi mempunyai pengaruh terhadap tingkat
penyesuaian diri mahasiswa jurusan pendidikan IPS Semester VI
FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?
E. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh pola sosialisasi terhadap tingkat
penyesuaian diri mahasiswa jurusan pendidikan IPS Semester VI
F. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan serta bahan dalam penerapan
metode penelitian khususnya mengenai pengaruh pola sosialisasi terhadap
tingkat penyesuaian diri.
a. Bagi peneliti
Dapat mengembangkan ilmu menambah pengetahuan teori yang
diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat mengetahui pola sosialisasi yang diterapkan di sekolah baik
pesantren maupun sekolah umum
c. Bagi masyarakat
Dapat dijadikan khazanah keilmuan dan referensi penelitian
selajutnya.
2. Manfaat Praktis
Dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan pola sosialisasi dan
memilih sekolah.
a. Bagi Penelitian
Dapat memberikan informasi tentang pola sosialisasi yang
diterapkan oleh pesantren dan sekolah umum serta mengetahui
tingkat penyesuaian diri pada mahasiswa yang berlatar belakang
pesantren dan sekolah umum.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan rujukan dalam penerapan pola sosialisasi untuk
sekolah baik pesantren atau sekolah umum.
c. Bagi Masyarakat
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teoretik 1. Definisi Pengaruh
Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda)
yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.13
Pengaruh menurut para tokoh antara lain:
a. Uwe Becker, Pengaruh adalah kemampuan yang terus berkembang
yang berbeda dengan kekuasaan tidak begitu terkait dengan usaha
memperjuangkan dan memaksakan kepentingan.
b. Norman Barry, Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang jika
seorang yang dipengaruhi agar bertindak dengan cara tertentu,
dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian, sekalipun
ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang
mendorongnya.
c. Albert R. Roberts & Gilbert, Pengaruh adalah wajah kekuasaan
yang diperoleh oleh orang ketika mereka tidak memiliki
kewenangan untuk mengambil keputusan.14
13
Departemen Pendidikan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008) h 1045
14
Dapat disimpulkan bahwa pengaruh merupakan suatu daya yang
dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain. Sehubungan
dengan adanya penelitian yang dilakukan penulis, pengaruh
merupakan bentuk hubungan sebab akibat antar variabel.
2. Pola Sosialisasi
Menurut Soerjono Soekanto, “Sosialisasi yaitu suatu proses dimana
anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai
masyarakat dimana dia menjadi anggota”.15
Sedangkan Sosialisasi menurut para tokoh antara lain:
a. Kimball Young, mengatakan bahwa sosialisasi merupakan
hubungan interaktif dimana seseorang dapat mempelajari
kebutuhan sosial dan kultural yang menjadikan sebagai anggota
masyarakat. Hal ini tampak bahwa sosialisasi merupakan suatu
proses belajar kepada seseorang agar dapat mengetahui segala
sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, agar nanti dapat
hidup di masyarakat dengan layak.
b. Thomas Ford Hoult, mengatakan bahwa sosialisasi merupakan
proses belajar individu untuk bertingkah laku sesuai dengan
standar dalam kebudayaan suatu masyarakat.16
Sosialisasi dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda oleh
sejumlah besar orang, dan dalam berbagai konteks sosial. Orang tua,
teman bermain, guru, rekan, kekasih, suami-istri, anak-anak kesemuanya
memegang peranan, dan mereka melakukan hal itu dalam semua
lingkungan yang mungkin ada. Sosialisasi dapat dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak, bersifat formal ataupun informal. Sosialisasi mungkin
memerlukan perjumpaan tatap muka, tetapi sosialisasi dilakukan pula dari
jarak tertentu, melalui surat, buku dan media massa. Orang yang
disosialisasikan dapat bersifat relatif pasif ataupun aktif tergantung pada
15
Soerjono soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1982) h 59
16
sampai seberapa jauh mereka dapat mempengaruhi orang yang melakukan
sosialisasi atau menuntun sosialisasi diri mereka sendiri. Sosialisasi dapat
dilaksanakan demi kepentingan orang yang disosialisasikan atau orang
yang melakukan sosialisasi, dan kedua kepentingan tersebut dapat sepadan
atau bertentangan. Sosialisasi sering berlangsung secara lancar dengan
sedikit saja kesadaran bahwa seseorang sedang membentuk atau dibentuk,
sedang mengendalikan atau dikendalikan. Tetapi sosialisasi dapat pula
bersifat kasar, dan bahkan kejam, dengan kesadaran bersama mengenai
adanya paksaan dan konflik.
Dikala individu melangkah dari suatu tahap ke tahap berikutnya di
dalam siklus kehidupan, cara belajar dan agen sosialisasi yang
berbeda-beda saling mengikuti secara sedikit banyak teratur. Dalam masyarakat
yang homogen, tempat berbagai kelompok yang mensosialisasi individu
cenderung untuk menganut nilai-nilai yang sama, sosialisasi dapat
memberikan kepada individu suatu perasaan menjalani suatu karier
kehidupan yang tidak terputus-putus, yang didalamnya setiap tahap
menimbulkan tahap berikutnya, dan seluruh pengalaman berjalan serasi
menurut suatu pola yang bermakna.17
Apabila mengacu pada cara-cara yang dipakai dalam sosialisasi
terdapat dua pola, Menurut Jaeger pola sosialisasi tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Sosialisasi Represif (Repressive Socialization) yaitu menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain seperti penekanan
pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada
kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang
bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan titik berat
sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua dan peran
keluarga sebagai significant other.
17
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai, (Yayasan Obor
b. Sosialisasi Partisipatoris (Participatory Socialization) merupakan pola di dalamnya anak diberi imbalan manakala berprilaku baik , hukuman
dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekaan
diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi
pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting dan keluarga
menjadi generalized other.18
Pada prinsipnya, participatory socialization memberikan kepada anak kebebasan untuk mencoba-coba segala sesuatu sendiri dan untuk
menjelajahi dunia menurut keinginan sendiri. Ini tidaklah berarti bahwa
sang anak dibiarkan sendiri saja. Bahkan sebaliknya, pengawasan orang
tua banyak diperlukan, tetapi pengawasan tersebut lebih bersifat umum,
dan bukan terperinci dan mencampuri. Repressive socialization memerlukan pengawasan pula bahkan pengawasan yang terperinci
sehingga dalam praktek sosialisasi tersebut mengalami banyak perubahan.
Sebagai akibatnya, dari sudut pandangan sang anak hukuman tersebut
dilaksanakan secara sekehendak hati, tergantung pada apakah ia kedapatan
sedang berperilaku keliru dan apakah orang tua berhasrat untuk
melaksanakan hukuman
Pada dasarnya repressive socialization menitikberatkan ketaatan, hormat kepada atasan dan pengendalian dari luar. Orang tua mungkin
menuruti kehendak anak, tetapi mungkin juga mempergunakan hukuman
badan, rasa malu, dan cemoohan. Percakapan dua arah antara orang tua
dengan anak tidak dianjurkan. Komunikasi cenderung untuk mengarah ke
bawah, dari orang tua ke anak, serta berbentuk perintah. Penggunaan gerak
tangan dan komunikasi nonverbal bersifat menyolok. Sang anak harus
belajar untuk memperhatikan kesungguhan dari perintah orang tua untuk
tutup mulut atau turun dengan jalan memperhatikan nada suara, ekspresi
muka, dan sikap tubuh.
Dalam participatory socialization komunikasi berbentuk dialog yang memberikan kemungkinan kepada anak-anak untuk mengungkapkan
18
kehendak dan kebutuhannya maupun tanggapan-tanggapan terhadap anak
dewasa. Participatory socialization lebih berpusat pada anak, daripada orang tua, orang dewasa memikul tanggung jawab untuk memperhatikan
kebutuhan anak, bukannya mengharapkan agar anak memperhatikan
[image:26.595.108.554.232.650.2]kehendak orang tua.19
Tabel 2.1: Dua cara sosialisasi
Repressive socialization Participatory socialization
Menghukum perilaku yang keliru Memberi imbalan bagi perilaku yang
baik
Hukuman dan imbalan material Hukuman dan imbalan simbolis
Kepatuhan anak Otonomi anak
Komunikasi sebagai perintah Komunikasi sebagai interaksi
Komunikasi non-verbal Komunikasi verbal
Sosialisasi yang berpusat pada orang tua Sosialisasi yang berpusat pada anak
Anak memperhatikan keinganan orang tua Orangtua memperhatikan keperluan
anak
Keluarga merupakan significant other Keluarga merupakan generalized other
Selain Jaeger pola sosialisasi juga dijelaskan oleh Kamanto Sunarto yang menerangkan, “sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan dapat berlangsung dalam dua bentuk, pertama sosialisasi represif ialah sosialisasi yang menekankan pada kepatuhan anak dan penghukuman terhadap perilaku yang keliru. Kedua sosialisasi partisipatif ialah sosialisasi yang menekankan pada otonomi anak dan memberikan imbalan
terhadap perilaku yang baik”. 20
Pola sosialisasi berdasarkan cara yang digunakan secara berbeda akan
mempengaruhi anak dalam tingkat kemandirian, kepemimpinan dan
kemampuan untuk bekerja dengan orang lain. Sosialisasi partisipatif akan
menghasilkan anak yang lebih mandiri, memiliki kemampuan memimpin
19
Sunarto , op. cit h.182 - 183.
20
dan berkerja sama yang lebih baik dibandingkan apabila diasuh dengan
pola sosialisasi yang represif.21
Pola sosialisasi dalam penelitian ini adalah pola sosialisasi yang
diterapkan di sekolah yang dibedakan menjadi dua yaitu pesantren dan
sekolah umum.
1) Pola Sosialisasi Pesantren
Bila didefinisikan, pengertian pesantren sangat luas mengingat pola
pembelajaran tiap pesantren sangat beragam dan berbeda antara satu
dengan lainnya. Secara terminologi pesantren dimaknai sebagai
lembaga pendidikan dan pengajaran agama islam, yang pada umumnya
pendidikan dan pengajaran tersebut diimplementasikan dengan cara
non klasikal. Di mana seorang kyai mengajar santri berdasarkan
kitab-kitab yang bahasa Arab dari ulama-ulama besar sejak abad
pertengahan, sedangkan para santrinya tinggal dalam pesantren.22
Pesantren merupakan alternatif lembaga pendidikan yang berbeda
dari sekolah umum lainnya. Banyak alasan mengapa orang-orang
memilih pesantren untuk belajar.
Pesantren dibagi menjadi 2 macam yaitu :
a. Pesantren tradisional (salaf) merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti
pendidikannya. Disiplin ilmu yang tidak ada kaitannya dengan
agama (pengetahuan umum) tidak diajarkan. Selain itu sistem
pengajarannya pun masih menggunakan metode klasik.
b. Pesantren modern ( khalaf) merupakan jenis pesantren lebih fleksibel dan terbuka dalam menerima hal-hal baru di samping
tetap mempertahankan tradisi lama yang sudah ada.23
21
Ibid. h 69
22
A. Malik MTT , Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal Di Pondok Pesantren, (Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008) h 14 - 15
23
Ciri-ciri pendidikan pesantren adalah sebagai berikut:
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiainya 2. Kepatuhan santri pada kiai
3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren
4. Kemandirian amat terasa di pesantren
5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren
6. Disiplin sangat dianjurkan
7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia
8. Pemberian ijazah, yaitu pencatuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri- santri yang berprestasi. 24
Setiap pesantren memiliki ciri khusus baik dalam pengajaran,
bangunan dan lainnya. Seperti di pondok pesantren salafiyah Sidogiri,
Pasuruan, Jawa Timur. Pondok pesantren ini konon memiliki koperasi
pondok pesantren terbaik secara nasional. Sehingga mendidik
santrinya menjadi lulusan yang mandiri dalam masyarakat dan
menonjolkan wirausaha. Selain itu prestasi ini memberikan dampak
kultural kepada guru dan santrinya, seperti memiliki etos kerja tinggi,
percaya diri, jujur dalam berusaha, berani menanggung resiko dan
sebagainya. Pada saat bersamaan mereka juga menguasai bidang ilmu
agama yang diajarkan di pesantren.25
Secara umum, kepemimpinan pesantren sangat fleksibel tergantung
kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya. Dalam
mengakomodasi harapan-harapan masyarakat dengan cara-cara khas
dan unik. Dalam Pesantren, kepemimpinan dilaksanakan di dalam
kelompok kebijakan yang melibatkan sejumlah pihak, di dalam tim
program, di dalam organisasi guru, orang tua dan murid (ustadz, wali
santri, dan santri). Kepemimpinan yang membaur ini menjadi faktor
pendukung aktifitas sehari-hari di lingkungan pondok pesantren.
24
Sulthon Masyhud, Khusnuridlo, dkk, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva
Pustaka Jakarta, 2005) h 93
25
Karena kepemimpinan pesantren bersifat unik, berbeda dari
pembuatan keputusan dalam lembaga pendidikan formal yang
cenderung rasional ilmiah, teknik pembuatan keputusan di pesantren
lebih bersifat emosional subyektif. Para kyai tidak akan tergesa-gesa
dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah. Mereka tidak
hanya mempertimbangkan secara nalar, namun diikuti oleh gerakan
hati nuraninya yang paling dalam, tawassul kepada gurunya, dan tidak
lupa menyandarkan secara vertikal munajat untuk beristikharoh kepada
Allah SWT. Gaya pengambilan keputusan ini lebih mendasarkan
kepada budaya khas pesantren dan masih melekat dalam gaya
kepemimpinan kyai pesantren di tanah air.26
Fungsi pelayanan bimbingan di pesantren sebagai berikut:
a. Fungsi penyaluran (distributive) yaitu fungsi bimbingan dalam hal membantu murid/santri untuk memilih jurusan/spesialisasi
pendidikan pesantren, jenis pesantren lanjutan, ataupun lapangan
pekerjaan sesuai dengan minat, bakat, cita-cita dan ciri-ciri pribadi
yang lainnya.
b. Fungsi pengadaptasian (adaptive) yaitu fungsi bimbingan dalam membantu staf pesantren, khususnya guru/ustadz/ustadzah untuk
mengadaptasikan program pengajaran yang dibuat dengan minat,
kemampuan, kebutuhan dan ciri-ciri pribadi murid/santri yang
lainnya. Fungsi ini sangat penting terutama bagi
pesantren-pesantren yang menggunakan sistem modul.
c. Fungsi penyesuaian (adjustive) yaitu fungsi bimbingan dalam rangka membantu para santri untuk memperoleh penyesuaian
pribadi dan memperoleh kemajuan dalam perkembangannya secara
optimal. Fungsi ini dilaksanakan dalam rangka membantu santri
mengidentifikasi, memahami, menghadapi, dan memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi. 27
26
Ibid.h 46
27
Nilai filosofi dan ideologi pesantren dapat diwujudkan dengan
banyak cara, termasuk lisan, perbuatan dan material. Secara lisan,
kultur pesantren dapat dilihat pada kemampuan warga pesantren dalam
menyatakan tujuan dan sasaran lembaga pesantren, kurikulum, bahasa
yang digunakan setiap hari, metafor, sejarah organisasi, tokoh
organisasi, dan struktur organisasi.
Dalam bentuk perilaku, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam
ritual, upacara, pendekatan belajar mengajar, prosedur, aturan dan
perundangan pelaksanaan, penghargaan dan sanksi, dukungan sosial
dan psikologis, serta pola-pola interaksi dengan masyarakat dan orang
tua santri. Adapun secara material, ketiga aspek tersebut diwujudkan
dalam fasilitas dan perlengkapan, karya seni (kaligrafi), motto dan uniform. Kultur pesantren yang kuat ditunjukkan oleh ketaatan
keseluruhan warga pesantren melaksanakan semua cara yang telah
disepakati.28
Posisi pesantren diperjelas lagi ke dalam pola hubungan yang
hendak dikembangkan. Apakah pesantren sebagai guru, pendamping,
atau sebagai simpul belajar. Pilihan sebagai guru akan melahirkan
rumusan peran yang menggurui. Sebagai pendamping akan dituntut
untuk setara dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Jika
terjadi perbedaan nilai antara pesantren nilai antara pesantren dengan
masyarakat maka bisa timbul situasi bersaing. Jika terjadi banyak
kesamaan akan berpadu pesantren dan masyarakat akan berintegrasi.
Dan posisi sebagai simpul belajar akan menempatkan pesantren dalam
peran menyediakan kesempatan yang memungkinkan warga untuk
belajar panduan-panduan utama dalam kehidupan baik yang bersumber
dari kenyataan di masyarakat maupun dari ajaran-ajaran agama.
Pola hubugan pesantren dan masyarakat sebagai guru, pendamping
atau simpul belajar bisa berubah tergantung pada bahan yang dipelajari.
Jika yang dipelajari adalah bagian dogma ajaran, maka mungkin sekali
28
dan memang seharusnya pesantren berperan sebagai guru. Masyarakat
membutuhkan informasi tentang panduan utama yang bersumber dari
dogma ajaran itu. Jika dogma ajaran itu berkaitan dengan peragaannya
dalam kehidupan, misalnya perihal pendidikan keluarga, maka pola
hubungan yang terbangun bergeser menjadi pendamping. Dengan pola
ini pesantren memahami bahwa masyarakat hidup dalam pergumulan
mereka sendiri. Yang terpenting dengan pilihan posisi itu adalah
pesantren dapat memiliki sudut pandang yang tepat dalam memahami
masyarakat.29
2) Pola Sosialisasi Sekolah Umum
Menurut Zurinal, “Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara
resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis,
berencana, sengaja, dan terarah, yang dilakukan oleh pendidik yang
profesional, dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum
tertentu, mulai dari tingkat Kanak-Kanak (TK) sampai Pendidikan
Tinggi (PT)”.30 Sekolah umum adalah sekolah yang mengikuti aturan
dari pemerintah.
Dusek mencatat ada dua fungsi utama sekolah bagi remaja, yaitu
“pertama, memberi kesempatan bagi remaja untuk tumbuh secara sosial dan emosional. Kedua membekali mereka dengan pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi orang yang mandiri
secara ekonomi dan menjadi anggota masyarakat yang produktif”.31
Tujuan Pendidikan menurut Dewey ialah “membentuk manusia
untuk menjadi warga negara yang baik”.32
Untuk itu, di
sekolah-sekolah diajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi
29Dian nafi, Abd A’la, dkk
,Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: Forum Pesantren, 2009) h 113 - 114
30
Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar & Dasar-dasar
Pelaksanaan Pendidikan, ( Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006) h 77
31
Desmita, op.cit. h 233 32
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja
kehidupannya dalam masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan
sebagai warga negara.
Di samping menerima berbagai pelajaran dari guru, di sekolah
anak-anak harus pula dididik perasaan sosialnya sebagai lanjutan
pendidikan sosial yang telah diterima anak-anak itu dari lingkungan
keluarganya. Untuk itu, pendidikan kemasyarakatan di sekolah dapat
dilakukan secara praktis dan teoritis.
Secara praktis yang pertama anak-anak dibiasakan datang dan
pergi kesekolah pada waktunya, masuk dan keluar sekolah pada
waktunya pula. Kedua anak-anak harus diajar bekerja secara teratur,
baik bekerja perseorangan maupun bekerja kelompok. Dalam hal ini
perasaan tanggung jawab pada anak-anak itu harus dipupuk. Ketiga
anak-anak harus dibiasakan melakukan segala sesuatu di sekolah
menurut peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah itu. Hal ini
penting sekali sebab di dalam masyarakat pun orang harus hidup
menuruti peraturan-peraturan. Untuk itu, pengawasan dari pihak
pendidik sangat dibutuhkan. Dan keempat anak-anak diajar bergaul
dan menyesuaikan diri dengan anak-anak lain disekolah, bekerja sama
dan saling membantu. Sedangkan secara teoritis terdapat dalam
beberapa mata pelajaran seperti IPS, sejarah dan bahasa.33
Sekolah tidak hanya dipandang sebagai penentuan tujuan secara
khusus, melainkan juga sebagai ruang kehidupan sosial secara
keseluruhannya. Dalam ruang ini terlaksana apa yang disebut
kehidupan sekolah.
Menurut Wilhelm Rein, dalam kehidupan sekolah dibedakan
menjadi dua, pertama menunjukkan bahwa sekolah sebagai institusi
selalu menimbulkan bentuk suatu kehidupan sekolah, yaitu yang arti
dalam lebih luas masih termasuk ke dalam pelajaran, dan
bentuk-bentuk yang dengan memperhatikan titik berat, maksudnya tidak
dapat ditempatkan dalam jangkauan belajar mengajar. Kedua
33
mendekatkan pengalaman kepada kehidupan emosional para pelajar.
Selain itu juga untuk mengungkapkan kriteria dalam pedagogik yang
mendasari kehidupan sekolah seperti pergaulan, perjumpaan, adat atau
kebiasaan dan masyarakat. 34
Sekolah melakukan pembinaan pendidikan kepada peserta didik
yang didasarkan kepada kepercayaan yang diberikan oleh keluarga
dan masyarakat. Kondisi itu muncul karena keluarga dan masyarakat
memiliki keterbatasan dalam melaksanakan pendidikan. Tetapi,
tanggung jawab pendidikan anak seutuhnya menjadi tanggung jawab
orangtua. Sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan
pendidikan yang telah diperoleh di lingkungan keluarga sebagai
lingkungan pendidikan informal yang telah dikenal anak
sebelumnya.35
Walaupun sekolah hanya mengembangkan pendidikan dari
keluarga namun sekolah/guru memiliki gaya kepemimpinan dan
komunikasi yang berbeda.
Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat dibagi sedikitnya dalam
tiga jenis, yaitu:
a) Autokratik dicirikan dengan kepemimpinan yang otoriter, tidak memberikan ruang bertukar pandangan/pendapat, terhadap
sesuatu antara guru dan murid, dan tidak memberikan ruang
bagi suatu perbedaan terhadap sesuatu.
b) Demokratik ditandai dengan kepemimpinan yang demokratis, adanya ruang untuk bertukar pandangan/pendapat dan kebaikan
bersama dikonstruksikan secara bersama melalui musyawarah.
c) Laisser-faire dikarakteristikan dengan kepemimpinan yang cuek dan bertukar pandangan/pendapat tidak diperlakuan sebab
34
Herman Holstein, Murid Belajar Mandiri, (Bandung: Remadja Karya, 1984) h. 159 -
160
35
peserta didik dibolehkan melakukan apa saja apabila
memandang sesuatu penting untuk dilakukan. 36
Gaya kepemimpinan guru di sekolah dapat memengaruhi cara
berpikir, merasa dan bertindak siswa di kemudian hari. Selain
kepemimpinan guru, dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah
terjadi komunikasi baik dalam situasi klasikal, kelompok ataupun
individual.
Beberapa bentuk komunikasi dalam situasi tersebut adalah sebagai
berikut:
a) Penyampaian informasi lisan adalah Interaksi belajar mengajar berintikan penyampaian informasi yang berupa pengetahuan terutama dari guru kepada siswa. Dalam keadaan ideal informasi dapat pula disampaikan oleh siswa kepada guru dan kepada siswa yang lainnya. Informasi disampaikan oleh guru dalam bentuk ceramah terhadap kelas atau kelompok.
b) Penyampaian informasi secara tertulis adalah para guru kemungkinan juga berkomunikasi dengan siswanya secara tertulis, berupa penyampaian bahan tertulis tulisannya sendiri atau karya orang lain supaya dibaca dan dipelajari oleh siswa. c) Komunikasi melalui media elektronika adalah komunikasi
tidak langsung antara guru dan siswa karena menggunakan media seperti video, film bergerak, televisi dan komputer. d) Komunikasi dalam aktifitas kelompok adalah komunikasi
antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa bahkan antara siswa dengan manusia sumber di luar sekolah. Dalam berbagai kegiatan kelompok dilakukan dengan cara diskusi kelompok, belajar kelompok, simulasi, permainan dan lain sebagainya.37 Struktur komunikasi dua arah (dialogis) antara para siswa dan guru
akan menciptakan ruang kelas yang dinamis dibandingkan dengan
komunikasi satu arah (monologis). Struktur komunikasi antara guru
dan siswa tidak lepas dari tipe kepemimpinan guru dalam kelas,
pandangan guru tentang hubungannya dengan siswa dan budaya
sekolah yang melingkupinya.
Konsep disiplin memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan
aturan yang ada dan komit terhadap rencana dan tujuan yang telah
36
Damsar. op.cit. h 105
37
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT
dirancang. Namun berbeda dalam penerapannya, yang di dalamnya ada
metode, penghargaan dan hukuman.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan, dalam kenyataannya tidak
selalu memiliki aturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada hanya
beberapa pernyataan tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang
dilakukan oleh siswa selama berada dalam sekolah, sementara sanksi
dan hukuman terhadap sesuatu yang dilanggar bersifat tidak tertulis,
sehingga kesan yang ditimbulkan adalah hukuman tergantung pada
siapa yang memutuskannya tanpa ada standar dan indikator yang dapat
menjadi rujukan.38
3. Penyesuaian Diri
Menurut Desmita, “Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk
psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu
terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar maupun dari dalam diri
individu itu sendiri”.39 Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri
menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interksinya dengan
lingkungan dalam dan luar dirinya.
Menyesuaikan diri itu pun diartikan dalam arti luas dan dapat berarti
mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah
lingkungan sesuai keadaan (keinginan) diri. Penyesuaian diri dalam arti
yang pertama disebut juga penyesuain diri autoplastis (dibentuk sendiri),
sedangkan penyesuaian diri yang kedua juga disebut penyesuaian diri yang
autoplastis (alo = yang lain). Jadi penyesuaian diri mempunyai dua arti
yaitu “pasif” artinya kegiatan ditentukan oleh lingkungan, dan “aktif”
artinya dipengaruhi lingkungan.40
Menurut Woodwort, “pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan
antara individu dengan lingkungannya. Individu dapat bertentangan
dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, individu
38
Damsar, op.cit. h 114
39
Desmita, op.cit. h. 191
40
dapat berpartisipasi (ikut serta) dengan lingkungannya, dan individu dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya”.41
Pada Prinsipnya penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup
respons mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk
dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya,
ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga
terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri
dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.
Menurut Baum, “tingkah laku penyesuaian diri diawali dengan stres,
yaitu suatu keadaan di mana lingkungan mengancam atau membahayakan
keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang”.42
Perbedaan individu ini dapat menyebabkan konsep penyesuaian diri
menjadi relatif sifatnya, sehingga tidak dapat dibuat suatu pilihan cara-cara
menghadapi stres tertentu secara pasti.
Menurut Schneider, penyesuaian diri itu dikatakan relatif karena
sebagai berikut:
1. Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian
kemauan seseorang untuk mengubah atau untuk mengatasi tuntutan
yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah sesuai
dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya.
2. Kualitas dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal
yang berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan.
3. Adanya variasi tertentu pada individu.43
Secara garis besar penyesuaian diri yang sehat dapat dilihat dari empat
aspek kepribadian, yaitu: kematangan emosional, kematangan intelektual,
kematangan sosial dan tanggung jawab.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dilihat dari konsep
psikogenik dan sosiopsikogenik. Psikogenik memandang bahwa
penyesuaian diri dipengaruhi oleh riwayat kehidupan sosial individu,
41
Ibid.
42
Desmita, op.cit. h. 193
43
terutama pengalaman khusus yang membentuk perkembangan psikologis.
Pengalaman khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang
kehidupan keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek:
a. Hubungan orang tua anak yang merujuk pada iklim hubungan
sosial dalam keluarga. Apakah hubungan tersebut bersifat
demokratis atau otoriter yang mencakup :
1) Penerimaan-penolakan orangtua tehadap anak
2) Perlindungan dan kebebasan yang diberikan kepada anak
3) Sikap dominatif-integratif (pemisif atau sharing)
4) Pengembangan sikap mandiri-ketergantungan
b. Iklim intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauh mana iklim
keluarga memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual
anak, pengembangan berpikir logis atau irasional, yang
mencakup :
1) Kesempatan untuk berdialog logis, tukar pendapat, dan gagasan
2) Kegemaran membaca dan minat kultural
3) Pengembangan kemampuan memecahkan masalah
4) Pengembangan hobi
5) Perhatian orangtua terhadap kegiatan belajar anak
c. Iklim emosional keluarga, yang merujuk pada sejauh mana
stabilitas hubungan dan komunikasi di dalam keluarga terjadi, yang
mencakup :
1) Intensitas kehadiran orangtua dalam keluarga
2) Hubungan persaudaraan dalam kelurga
3) Kehangatan hubungan ayah ibu44
Sementara itu dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian diri
dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial dimana individu terlibat
didalamnya. Bagi peserta didik, faktor sosiopsikogenik yang dominan
mempengaruhi penyesuaian dirinya adalah sekolah yang mencakup:
44
a. Hubungan guru - siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial
dalam sekolah, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau
otoriter, yang mencakup:
1) Penerimaan-penolakan guru terhadap siswa
2) Sikap dominatif (otoriter, kaku, banyak tuntutan) atau integratif
(permisif, sharing, menghargai dan mengenal perbedaan
individu).
3) Hubungan yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan
b. Iklim intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauh mana
perlakuan guru tehadap siswa dalam memberikan kemudahan bagi
perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh perasaan
kompeten, yang mencakup:
1) Perhatian terhadap perbedaan individual siswa
2) Intensitas tugas-tugas belajar
3) Kecenderungan untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa
4) Sistem penilaian
5) Kegiatan ektrakurikuler
6) Pengembangan inisiatif siswa45
Sedangkan proses penyesuaian diri dapat dipandang dari dua
perspektif yaitu:
a. Kualitas atau efisiensinya, berarti untuk menilai berhasil atau
tidaknya proses proses penyesuaian diri. Ada empat kriteria
yang dapat digunakan :
1) Kepuasan Psikis yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan
menimbulkan rasa tidak puas yang menjelma dalam bentuk
perasaan kecewa, gelisah, lesu, depresi dan lainnya.
2) Efisiensi Kerja yaitu penyesuaian diri yang berhasil akan
menampak dalam kerja atau kegiatan yang efisien,
sedangkan yang gagal menampak dalam kerja atau kegiatan
yang tidak efisien.
45
3) Gejala Fisik yaitu penyesuaian diri yang gagal akan tampak
dalam gejala fisik.
4) Penerimaan Sosial yaitu penyesuaian diri yang berhasil
akan menimbulkan reaksi setuju dari masyarakat,
sedangkan yang gagal akan mendapatkan reaksi tidak
setuju dari masyarakat.
b. Proses berlangsungnya merupakan suatu proses progresif yang
memungkinkan individu makin menguasai impuls-impuls dan
lingkungannya. Proses penyesuaian diri memiliki dua tipe:
1) Dalam rangka penyesuaian diri itu individu mengubah atau
menahan impuls-impuls dalam dirinya.
2) Dalam rangka penyesuaian diri itu individu mengubah
tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungannya.46
4. Definisi Mahasiswa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Mahasiswa adalah
orang yang belajar di perguruan tinggi”.47
Sedangkan Mahasiswa Menurut Para Ahli adalah sebagai berikut:
a. Peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik
yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu.
b. Menurut Sarwono mahasiswa adalah setiap orang yang secara
resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi
dengan batas usia sekitar 18-30 tahun.
c. Menurut Knopfemacher mahasiswa adalah insan-insan calon
sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang
makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan diharapkan
menjadi calon-calon intelektual. 48
46
Idi. op. cit. h 102-103 47
Departemen Pendidikan Indonesia, op. cit. h 856
48
Dari pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah
status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan
perguruan tinggi yang diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
5. Definisi Pendidikan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
latihan, proses pembuatan, cara mendidik”.49
IPS dapat diartikan dengan penelaahan atau kajian tentang
masyarakat. Dalam mengkaji masyarakat, guru dapat melakukan
kajian dari berbagai perspektif sosial, seperti kajian melalui pengajaran
sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, dan aspek
psikologi sosial yang disederhanakan untuk mencapai pembelajaran.
Berikut pengertian IPS menurut beberapa ahli:
a. Nu’man Sumantri menyatakan bahwa IPS merupakan pelajaran
ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat
SD, SLTP, dan SLTA. Penyederhanaan mengandung arti:
1) menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya
dipelajari di universitas menjadi pelajaran yang sesuai dengan
kematangan berfikir siswa siswi sekolah dasar dan lanjutan.
2) mempertautkan dan memadukan bahan aneka cabang ilmu-ilmu
sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi pelajaran yang
mudah dicerna.
b. S. Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan
fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa
IPS merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan
dengan peran manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai
49
subjek sejarah , ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan
psikologi sosial. 50
Dengan demikian, IPS bukan ilmu sosial dan pembelajaran IPS
yang dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada
pendidikan tinggi tidak menekankan pada aspek teoritis keilmuannya,
tetapi aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala dan
masalah sosial masyarakat, yang bobot dan keluasannya disesuaikan
dengan jenjang pendidikan masing-masing. Kajian tentang masyarakat
dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu
lingkungan sekitar sekolah atau siswa dan siswi atau dalam lingkungan
negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau.
Dengan demikian siswa dan siswi yang mempelajari IPS dapat
menghayati masa sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa
lampau umat manusia.
Pendidikan IPS merupakan kemasan pengetahuan sosial yang telah
dipertimbangkan secara psikologis untuk kepentingan pendidikan.
Melalui pendidikan IPS akan membekali kemampuan seseorang dalam
pengembangan diri dari berbagai keterampilan sosial dalam
kehidupannya.51
B. Hasil Penelitian yang Relevan
1. Temuan penelitian yang dilakukan oleh Ambarini Nurdwiyani, menunjukkan bahwa, terdapat hubungan antara pola sosialisasi keluarga dengan tingkat penyesuaian diri mahasiswa perantau, meskipun pengaruhnya lemah. Uji Somers’d memperlihatkan kekuatan hubungan sebesar 0,361 dengan nilai signifikansi sebesar 0.00. data ini dapat berlaku di tingkat populasi dengan tingkat keakuratan mendekati 100%. Mahasiswa perantau yang tersosialisasi secara represif, relatif memiliki tingkat penyesuaian diri yang tinggi. Kekuatan hubungan mengalami perubahan, ketika dimasukkan variabel kontrol jenis kelamin. Pada responden laki-laki, nilai
50
Pakde Sofa, Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan IPS, 2010
(http://massofa.wordpress.com) 51
Rudy Gunawan, Pendidikan IPS Filosofi, Konsep dan Aplikasi, (Bandung : Alfabeta,
kekuatan hubungan meningkat mencapai 0,406 sedangkan pada responden perempuan nilai tersebut mengalami penurunan menjadi 0,308. Angka tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara pola sosialisasi keluarga dan tingkat penyesuain diri pada responden laki- laki lebih kuat dibandingkan pada responden perempuan. Dari hasil wawancara mendalam juga ditemukan terdapat faktor lain yang berpotensi mempengaruhi proses penyesuaian diri mahasiswa perantau. Diantaranya adalah motivasi merantau, pengalaman hidup mandiri, dan hubungan pertemanan yang baik. 52
Perbedaan skripsi Ambarini dan Penulis adalah pola sosialisasinya,
skripsi diatas meneliti pola sosialisasi keluarga sedangkan dalam
skripsi ini pola sosialisasi pesantren dan sekolah umum sebagai agen
sosialisasi kedua setelah keluarga. Adapun persamaannya adalah
melihat pengaruh terhadap tingkat penyesuaian diri.
2. Hasil penelitian yang dilakukan Heni Susilawati, memperlihatkan bahwa status ekonomi keluarga bukanlah faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pelajar ke arah berprestasi tinggi atau kearah berprestasi rendah. Pada responden berprestasi rendah, tampak bahwa orang tua menekankan kepatuhan terhadap aturan. Tetapi, pada umumnya kedua kelompok responden diberi kebebasan dalam bergaul dengan teman sebaya. Reaksi orang tua atas pelanggaran aturan yakni dengan memaafkan kesalahan responden. Konsistensi sikap orang tua menunjukkan keadaan yang tidak berbeda. Responden berprestasi tinggi lebih sering diajak membicarakan rencana masa depan. Sementara itu responden berprestasi rendah hal demikian sedikit ditemui. Umumnya kedua kelompok responden jarang terlibat dalam kegiatan keluarga. Dilihat dari frekuensi interaksi di dalam keluarga, tampaknya kedekatan lebih baik pada pelajar berprestasi tinggi dibandingkan dengan pelajar berprestasi rendah. 53
Perbedaan skripsi di atas adalah pola sosialisasi yang berpengaruh
terhadap prestasi belajar siswa sedangkan yang diteliti dalam skripsi
ini pengaruhnya terhadap tingkat penyesuaian diri.
52
Ambarini, Nurdwiyani, “Pegaruh Pola Sosialisasi Keluarga Terhadap Tingkat
Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantau (Studi Kasus : Mahasiswa Perantau Angkatan 2003
yangTinggal di Asrama UI, Depok)” Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 2004,h. i-ii, tidak dipublikasikan.
53
Heni Susilawati “ Deskripsi Pola Sosialisasi Keluarga Pelajar Berprestasi Tinggi dan
Pelajar Berprestasi Rendah (studi kasus di MTsN Luragung, Desa Cirahayu Kec Luragung Kab
3. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Lukitarina, menunjukkan bahwa sebagian besar siswa (lebih dari separuh jumlah responden) mengalami sosialisasi partisipatif dan sebagian besar siswa memiliki konsep-kedirian mandiri. Tetapi antara pola sosialisasi dan tipe konsep-kedirian siswa tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Dalam kaitan