• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

3. Poligami dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Kendatipun UUP perkawinan menganut asas monogami. Seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami didalam UUP sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.19

Dalam Pasal 4 UUP dinyatakan, seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1)Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2)Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3)Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk poligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas

18

Ibid., hal. 10.

19

Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2004, hal. 161.

yang dianut UU perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau meminjam bahasa Yahya Harahap, monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan di status hukum yang darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance). Di samping itu lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan).20 Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 di katakan bahwa:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada sorang suami untuk

beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan”.

Dengan ayat ini, jelas sekali UUP telah melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan bahwa:

“Pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah

syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami

mengizinkan adanya poligami”.

Berkenaan dengan pasal 4 di atas setidaknya menunjukan ada tiga alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami.

Ternyata UU Perkawinan juga memuat syarat-syarat untuk kebolehan poligami. Seperti yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 UUP, syarat-syarat yang dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami ialah:

1) Adanya persetujuan dari istri.

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.

Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 adalah, pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedanagkan pasal 5 adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.

Pada pasal 5 ayat 2 kembali di tegaskan bahwa:

Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuanya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hukum pengadilan.

b. PP No 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat dilihat dalam PP No. 9 th 1975. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa:

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis pada pengadilan.Sedangkan tugas pengadilan diatur dalam pasal 41 PP No. 9 th 1975 sebagai berikut:

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

1)Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.

2)Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus di ucapkan di depan sidang pengadilan. 3)Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: a) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang

ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja. b) Surat keterangan pajak penghasilan.

4)Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para istri untuk memberikan kejelasan atau kesaksian. Di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu selam 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratannya.21

Pengadilan agama memiliki wewenang untuk memberikan izin kepada seseorang untuk melakukan poligami. Hal ini dinyatakan di dalam pasal 43 yang berbunyi:

Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusan yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.

Selain menjelaskan tentang prosedur permohonan untuk beristri lebih dari seorang dalam PP ini juga diatur tentang ketentuan pidana bagi yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas. Pasal 45 menyebutkan:

21

Pasal 42 ayat 2 PP No. 9 tahun 1975: Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 atau 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah).

c. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

Secara umum pernikahan dan perceraian bagi seluruh warga negara Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975. Selain itu khusus bagi warga negara Indonesia yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang akan melangsungkan perkawinan dan perceraian juga harus tunduk pada ketentuan lain, ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983.

Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dijelaskan Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abadi negara, dan abadi masyarakat yang harus menjadi tauladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan

Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya.

Sehubungan dengan contoh dan tauladan yang diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus terlebih dahulu memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang bukan Pegawai Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil yang tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga, keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri Sipil selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian termasuk juga pegawai bulanan disamping pegawai pensiun, pegawai bank milik Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara, Pegawai Bank Milik Daerah, Pegawai Badan Usaha

Milik Daerah, dan Kepala Desa, perangkat desa serta petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintah desa. Dalam PP tersebut pasal yang mengatur tentang poligami terdapat dalam pasal 4, 9, 10 dan 1122. disebutkan:

Pasal 4

1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.

5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.

Pasal 9

1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. 2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam

permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.

Pasal 10

1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau

c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a) Ada persetujuan tertulis dari isteri;

b) Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan;dan

c) ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :

d) bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

e) tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);

f) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; g) alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau h) ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama atau Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi wajib memberitahukannya secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan (PP No. 10 Tahun 1983 pasal 2)23. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang.

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP No 10 Tahun 1983

Dalam penjelasan PP No. 45 tahun 1990 terdapat beberapa alasan mengapa PP tersebut harus diubah diantaranya: dalam pelaksanaannya ada beberapa peraturan yang tidak jelas, PNS tertentu yang seharusnya terkena PP No 10 Tahun 1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu adakalanya pejabat tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan

23

Ahmad Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2006), hal. 44.

ketentuan PP No. 10 Tahun 1983.24 Dalam PP ini aturan tentang poligami diatur dalam pasal 4, 9, 12, dan 15.

Pasal 4

1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat

3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.

4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.

Pasal 9

Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

Pasal 12

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut."

Pasal 15

1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/ ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil;

3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil."

Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki oleh yang bersangkutan, dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang (PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat 1,3,4, sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk mempunyai istri kedua/ketiga/keempat (PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat2).

Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan dan meneruskan kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan, mulai tanggal ia meneria permintaan izin tersebut. Sedangkan pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang dilakukan oleh pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan

Sebelum mengambil keputusan pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat izin. Jika alasan yang dikemukakan kurang meyakinkan maka pejabat tersebut harus meminta keterangan tambahan dari istri/suami Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak yang lain yang dipandang dapat memberikan keterangan meyakinkan.

Untuk memberikan rasa adil maka Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan yang dimuat dalam PP No 45 Tahun 1990 akan dijatuhi salah satu disiplin berat dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil tergantung faktor pelanggarannya. Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2 (menjadi istri kedua/ketiga/keempat) dijatuhi disiplin pemberhentian tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

e. Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI memuat masalah poligami ini pada bagian IX dengan judul, beristri lebih dari satu orang yang diungkap dari pasal 55 sampai 59.25 Pasal 55 dinyatakan:

25

Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI., hal. 167.

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.

Lebih lanjut dalam KHI pasal 56 dijelaskan:

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pada pasal 57 dijelaskan:

Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Pasal 58 menegaskan:

(1) Selain syarat utama yang disebut

Selanjutnya pada pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya wewenang Pengadilan Agamadalam memberikan keizinan. Sehingga bagi istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suami untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama.26 Lebih lengkap bunyi pasal tersebut sbb:

Dalam hal istri tidak dapat memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang memberikan izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding ataupun kasasi.

f. KUHPer (BW)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur adanya perkawinan poligami karena asas dalam KUHPer adalah monogami. Seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 27 bab perkawinan disebutkan

26

“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai sumainya”.27

Sebenarnya pasal ini hampir sama dengan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan yeng memberikan definisi tentang perkawinan. perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa). Definisi ini sebenarnya memberikan pemahaman perkawinan adalah akad antara seorang pria dan wanita yang disimpulkan ini prinsip monogami.

C. Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Tunisia

Dokumen terkait