• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Komparatif Undang-undang Hukum Keluarga IndonesiaTunisia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Komparatif Undang-undang Hukum Keluarga IndonesiaTunisia)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Komparatif Undang-undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DINDA CHOERUL UMMAH 1110044100005

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam

(Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach), yaitu penelitian yang dilakukan dengan jalan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa buku, jurnal, maupun sumber lainnya. Teknik dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, sedang pengumpulan datanya adalah menggunakan data primer dan sekunder. Pendekatan penelitian digunakan adalah pendekatan normatif serta filosofis, yaitu pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji dengan berlandaskan pada teks-teks Al-Qur’an, Al-Hadis serta pendapat ulama yang berkaitan dengan poligami. Pendekatan filosofis dengan memahami masalah tersebut dengan hikmah-hikmah dan tujuan yang terkandung dalam suatu penetapan hukum.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan kenikmatan, terutama nikmat jasmani berupa kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa kita sanjungkan kepada jungjungan kita, tauladan kita, yaitu baginda Nabi agung Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju zaman ilmiah seperti sekarang ini, mudah-mudahan kita semua akan menjadi salah satu bagian dari ummat beliau yang akan mendapatkan syafaatnya di hari kiamat nanti. Aamiin.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis jumpai tapi syukur alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan kerja

keras, do’a, serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak

langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. DR. Komarudin Hidayat, MA.

(7)

3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah.

5. Bapak Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing skripsi.

6. Pimpinan dan staf Perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum atas pelayanan dan penyediaan buku-bukunya.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak H. Muchobar HAS dan Hj. Oyok Masruhah yang telah banyak membantu penulis baik berupa materi dan spirit utamanya do’a serta tak bosan-bosan memberikan semangat tuk terus belajar, yang pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

8. H. Ahmad Tahsinul Faiz Syarofi, S.S.I. seseorang yang selalu memberikan semangat serta pengalaman tentang “Apa Arti Hidup” semoga harapan kita kan tercapai.

(8)
(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 10

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II: POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN TUNIASIA A. Sekilas Tentang Kriminalisasi Praktik Poligami ... 15

1. Pengertian Kriminalisasi Praktik Poligami ... 15

(10)

1. Sekilas Gambaran Umum Hukum Islam di Indonesia ... 18

2. Poligami di Indonesia ... 19

3. Poligami dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia ... 23

a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ... 23

b. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 25

c. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil ... 27

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP NO. 10 Tahun 1983 ... 32

e. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 36

f. KUHPer (BW) ... 38

C. Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Tunisia 1. Sekilas tentang Negara Tunisia ... 39

2. Poligami di Tunisia ... 42

3. Poligami dalam Regulasi Perundang-undangan di Tunisia ... 44

(11)

2. Poligami dalam PP No. 9 Tahun 1975 ... 49 3. Poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990 .... 49 4. Poligami dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI) ... 51 B. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Tunisia ... 57 C. Komparasi Sanksi Poligami Antara Indonesia dan Tunisia ... 61 BAB IV: PENUTUP

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka untuk menegakkan keluarga yang bahagia dan menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

Setiap orang mendambakan keluarga yang bahagia. Kebahagiaan harus didukung oleh rasa cinta kepada pasangan. Cinta yang sebenarnya menuntut agar seseorang tidak mencintai orang lain kecuali pasangannya. Cinta dan kasih sayang merupakan jembatan dari suatu pernikahan dan dasar dalam pernikahan adalah memberikan kebahagiaan. Namun kenyataannya dalam menjalani kehidupan perkawinan pasti selalu ada permasalahan-permasalahan yang muncul yang mana hal ini dapat memicu timbulnya keinginan suami untuk melakukan poligami. Persoalan yang muncul biasanya mencakup tiga hal yaitu kekurangan ekonomi, hubungan keluarga yang kurang harmonis, seks dan perselingkuhan.1

(13)

dilihat pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam at-tanzil yang membicarakan masalah ini, akan tetapi para mufasir dan para ahli fiqih, terkadang seringkali telah mengabaikan keterkaitan erat asbabun nuzul dengan kontek sosial historis serta sosiologis atas masalah poligami.

Beberapa pemikir muslim kontemporer, seperti Muhammad Abduh seorang ulama reformis dari Mesir berpendapat bahwa praktek poligami adalah suatu tindakan yang dilarang atau diharamkan jika tujuannya untuk kesenangan dan hanya pemenuhan kebutuhan seksual.Sebab, jika manusia mempertuturkan hasrat biologis ini harkat manusia tidak berbeda dengan sikap binatang.2

Poligami mengandung pandangan yang kontroversial.Poligami merupakan masalah problematik tersendiri, krusial dan kontroversial dalam masyarakat modern di berbagai negara khususnya Indonesia. Para fuqaha klasik Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa laki-laki boleh berpoligami

secara mutlak tanpa persyaratan apapun.Bagi as-Syafi‟i poligami diperbolehkan secara mutlak selama jumlahnya tidak melebihi empat orang, tidak menyinggung tentang keadilan maupun hak isteri terhadap suaminya kecuali penggiliran isteri-isteri, nafkah dan warisan.Ulama Hanafiah, berpendapat bahwa keadilan suami pada isteri lebih ditekankan pada masalah lahiriah, seperti pembagian giliran, makanan, dan pergaulan.Akan tetapi suami tidak dituntut

2Anif Rahmawati, ”Kriminalisasi Praktek poligami di Indonesia”. Artikel diakses pada 19 November

(14)

berlaku adil dalam hal yang berkaitan kepuasan psikis, misalnya dalam hubungan seks.

Dalam konteks Negara Indonesia, masalah poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Pasal 3 dari Undang-undang tersebut bahwa pada prinsipnya asas perkawinan di Indonesia adalah monogami. Selanjutnya pasal 4 menyatakan bahwa pengadilan yang memutus boleh tidaknya seorang suami beristeri lebih dari satu, apabila memenuhi syarat tertentu. Izin poligami akan diberikan oleh pengadilan apabila:

1. Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan 3. Isteri tidak bisa memberikan keturunan

Pemerintah Indonesia meregulasi prosedur poligami dengan persyaratan alternatif dan kumulatif yang harus dipenuhi oleh para pihak yang ingin berpoligami melihat dari kenyataan perilaku masyarakat yang berubah sehingga ketentuan poligami di Indonesia diperketat agar ketika seseorang hendak melakukan poligami akan lebih berfikir ulang daripada konsekuensinya.

(15)

mendua.Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.3

Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991. Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi poligami baru dapat ditemui dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.

Selain itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam

3

(16)

Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.

Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifitas hukum yang mengatur poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau kurungan 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”.

Sedangkan pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun cukup berat namun disayangkan hanya untuk kalangan terbatas.4

(17)

Namun kenyataannya dilapangan, masih banyak orang Islam yang melakukan poligami liar dengan berbagai alasan dan kepentingan.5

Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern adalah diberlakukannya sanksi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan mempersulit, namun bahkan melarang dan mengkategorikan suatu masalah seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Seperti dalam hal poligami, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern.6

5

Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional),

Jakarta , PT. Wahana Semesta Intermedia, cet. Kedua, hal. 166.

6Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. Artikel diakses pada 19 November 2013

(18)

Pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting di Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan sesuatu hal yang orang lain di Negara lain telah menyelesaikan masalah itu puluhan tahun sebelumnya.

Walaupun agak distinctive, apa yang ditetapkan di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang baru. Di beberapa negara Muslim, praktik poligami juga masih boleh dilakukan dengan beberapa pembaharuan dalam praktik atau pemberlakuannya. Di Mesir misalnya, poligami masih diperbolehkan untuk dilakukan sesuai ketentuan dan syarat yang telah diberlakukan.7

Turki dan Tunisia adalah dua di antaranegara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam yang melakukan pelarangan terhadap kaum prianya melakukan poligami. Melalui Majallah al-ahwal-Sykhsiyyah No. 66 tahun 1956 (dimodifikasi pada tahun 1959,1964,1981 dan 1993), Tunisia melarang praktik poligami secara mutlak. Dan, melalui UU civil Turki Tahun 1926, Turki juga secara jelas melarang praktik poligami.8 Namun tidak diberlakukannya sanksi hukum. Berbeda dengan Negara Tunisia. Negara Tunisia mutlak melarang poligami dan diberlakukannya sanksi hukum terhadap pelaku poligami. Inilah yang menarik dari Negara Tunisia. Apa yang melatar belakangi negara Tunisia melakukan sanksi terhadap pelaku poligami yang memang bukan isu baru dalam wacana dan perdebatan hukum islam.

7

(19)

Untuk itu penulis tertarik dengan masalah tersebut di atas maka penulis akan menuangkan dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Meniadakan adanya kajian yang menjadi luas dan tidak terbatas, disebabkan terlalu banyaknya negara Islam yang ada di dunia ini, maka penulis membatasi permasalahan dan akan menjelaskan mengenai kriminalisasi terhadap pelaku poligami di Indonesia dan Tunisia. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis dapat menarik beberapa rumusan masalah untuk menemukan jawaban-jawaban di atas: “Dalam teks syari‟ah maupun fiqh terdapat perbedaan untuk berpoligami,

(20)

2. Perumusan Masalah

Rumusan tersebut di atas dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana poligami menurut Hukum Perkawinan Islam di Indonesia dan Tunisia?

b. Bagaimana bentuk sanksi pelaku poligami di Indonesia dan Tunisia? c. Apa perbedaan dan persamaan sanksi poligami di Indonesia dan Tunisia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui poligami menurut hukum perkawinan Islam di Indonesia dan Tunisia

b. Untuk mengetahui bentuksanksi pelaku poligami di Indonesia dan Tunisia

c. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan sanksi poligami di Indonesia dan Tunisia

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

(21)

b. Penulisan skripsi ini diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, menambah khazanah keilmuan dibidang hukum islam khususnya bidang perkawinan.

c. Penelitian ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-penelitian sebelumnya.

d. Memberikan sumbangan kepada mahasiswa atau siapa saja yang konsen dengan permasalahan ini.

D. Tinjauan Pustaka

Setelah penyusun melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap karya-karya ilmiah (skripsi) yang ada, terdapat beberapa skripsi yang membahas aturan poligami namun hanya terdapat satu yang membahas poligami dalam hukum keluarga di dunia muslim tentunya mempunyai hubungan dengan judul skripsi ini. Di antaranya adalah :

1. Aris Munandar, Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia-Turki), Fakultas Syariah dan Hukum, 2007.

(22)

Perbedaan dengan skripsi ini yaitu skripsi ini lebih menekankan dalam hal kriminalisasi terhadap pelaku poligami yang dikomparasikan dengan negara Tunisia.

2. Arifin, Kontroversi atas Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia, Fakultas Syariah dan Hukum, 2008.

Skripsi ini membahas Kontroversi publik antara yang pro dan kontra terhadap aturan poligami di indonesia

Perbedaan dengan skripsi ini yaitu melihat dari adanya pro dan kontra dari aturan poligami dan dari kenyataan poligami di Masyarakat Indonesia sehingga perlunya melihat aturan hukum di negara muslim lainnya yakni penulis khususkan mengenai negara Tunisia yang mutlak melarang poligami. 3. Eri Prima, Kritik Feminisme Terhadap Aturan Poligami di Indonesia,

Fakultas Syariah dan Hukum, 2010.

Skripsi ini menekankan pada Aturan Poligami di Indonesia ditinjau dari Perspektif Feminisme. Yakni dalam aturan yang ada, peluang untuk berpoligami masih terbuka walau tidak terlalu besar. Namun pada kenyataan di lapangan masihmelahirkan kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga.

(23)

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa aspek metode penelitian yang akan digunakan yaitu:

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan meneliti berbagai buku, majalah, surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.

2. Data Penelitian a. Sumber Data

Undang-undang perkawinan di Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam. Dan The Code Of Personal Status and Supplementari Laws 1956-1981 ( Tunisia: Kitab Undang-undang Hak Pribadi dan Hukum-hukum Tambahan 1956-1981).

b. Jenis Data

Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini. 1) Data Primer: yaitu data yang berasal dari al-Qur‟an, kitab hadis, dan

buku-buku yang membahas masalah poligami dan aturan poligami. 2) Data Sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang

(24)

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi naskah atau pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data yang membahas tentang poligami, Undang-undang poligami, serta sanksi poligami di negara Indonesia-Tunisia.

d. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan memaparkan data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” tahun 2007 cet.1.

e. Analisis data

(25)

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah memahami isi skripsi, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam empat bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

Bab Pendahuluan. Yang terdiri atas uraian latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Sekilas tentang kriminalisasi praktik poligami, Poligami dalam hukum keluarga Islam di Indonesia, Poligami dalam hukum keluarga di Tunisia. Bab III Berisi tentang sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia, Sejarah terbentuknya aturan poligami di Tunisia, Komparasi sanksi poligami antara Indonesia dan Tunisia.

(26)

BAB II

POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN TUNIASIA

A. Sekilas Tentang Kriminalisasi Praktik Poligami 1. Pengertian Kriminalisasi Praktik Poligami

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.9 Dengan demikian kriminalisasi praktik poligami di sini dipahami sebagai sikap yang mengategorikan praktik/perbuatan poligami sebagai sebuah tindak pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda.10

2. Sekilas Tentang Poligami

Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari dua kata yakni “poli” atau “polus” yang artinya banyak, dan kata “gamein”atau “gamos” yang artinya kawin atau perkawinan [Webster:1974).

Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari definisi ini, maka sah untuk mengatakan bahwa arti poligami adalah perkawinan banyak.

(27)

Ada istilah lain yang maknanya mendekati makna poligami yaitu “poligini”. Kata ini berasal dari “poli” atau “polus” artinya banyak dan “gini”

atau “gene” artinya istri, jadi poligini artinya beristeri banyak. Dalam bahasa

arab, poligami disebut ta’addud az-zaujat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan poligami atau poligini adalah suatu sistem perkawinan di mana seorang pria mengawini lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan.11

Poligami memang bukan isu baru dalam wacana dan perdebatan hukum Islam. Namun karena aturan-aturannya terus berkembang di beberapa negara, termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang dari para ulama dan ahli hukum terkait dengan hukumnya, isu poligami menjadi menarik dan penting untuk didiskusikan.

Poligami merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam hukum Islam. Mengacu pada hukum Islam (fiqh), poligami merupakan bentuk pernikahan yang diperbolehkan. Mayoritas ulama memperbolehkan pernikahan poligami, dan pandangan kebolehan pernikahan poligami ini didasarkan pada ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa seorang muslim laki-laki boleh melakukan pernikahan dengan satu, dua, tiga, dan empat wanita yang baik, seperti tercantum dalam ayat keempat Surat an-Nisa:

11

(28)

ف ع برو لثو ى ثم ء س لا م مكل ط م اوحك ف ىم يلا يف اوطسقت لأ م فخ إو

إ

وف اول عت لأ م فخ

مك يأ تكلم م وأ ًة حا

ولوعت لأ ى دأ كل

ا

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.

(29)

tidak disyaratkan keadilan hati dan cinta. Terlebih, keadilan dalam masalah nafkah juga tidak ditekankan.

Namun, sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir tentang perlindungan hak-hak individu manusia, aturan poligami yang ditemukan dalam buku-buku fikih mengalami penafsiran ulang dan pembaharuan baik di Indonesia maupun di negara muslim lainnya.12

B. Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia 1. Sekilas Gambaran Umum Hukum Islam di Indonesia

Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar13. Pancasila adalah dasar ideal negara dan Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar struktural negara yang menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menghargai dan menghormati kehidupan beragama.

Sampai saat sekarang ini di negara Republik Indonesia berlaku berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam serta hukum Barat (baik itu civil law maupun common law atau hukum anglo sakson).

Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi mayoritas penduduknya

12

Asep Saeupuddin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana&Ekonomi, Kajian Perundang-Undangan Indonesia, fikih dan Hukum Internasional, hal. 29-30

13

(30)

menganut agama Islam. Secara sosiologis, hukum Islam dapat dikatakan telah berlaku di Indonesia, sebab sebagian hukum Islam telah hidup dan berkembang di masyarakat sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, kemudian berlaku pada masa penjajahan kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan. Secara yuridis, sebagian hukum Islam telah dilaksanakan. Namun, perlu diketahui penerapan prinsip berangsur-angsur dalam pengundangan hukum Islam di Indonesia.14

2. Poligami di Indonesia

Indonesia yang dikenal sebagai negara muslim terbesar, menerapkan hukum poligami relatif lebih longgar dibandingkan negara-negara muslim lain.15 Ini disebabkan karena masih adanya praktik kawin bawah tangan yang biasa dikenal dengan nikah siri, yakni nikah yang hanya dilaksanakan secara Islam, tetapi tidak dicatat di KUA. Nikah seperti ini dianggap sah menurut agama tetapi tidak memiliki kekuatan hukum.16Masyarakat menganggap perkawinan ini sah secara agama, meskipuntidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di Indonesia dalam hal poligami dibatasi dengan ketat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah “poligami” yang sudah populer dalam masyarakat. Menurut Undang-Undang

14

(31)

perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang harus ada alasan-alasan yaitu (1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif. Oleh karena itu, penggunaan-penggunaan alasan tersebut diserahkan kepada hakim.17

Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif yaitu (1) persetujuan dari istri atau istri-istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim; (2) kemampuan dari material dari orang bermaksud menikah lebih dari satu orang; (3) jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan

17

(32)

berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat-syarat ini sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama memberi izin kepada pemohon untuk melaksanakan perkawinan lebih dari satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam pasal 44 dan 45 undang-undang perkawinan.

(33)

memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanankan itu betul-betul membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya.18

3. Poligami dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia a. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kendatipun UUP perkawinan menganut asas monogami. Seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki

seorang suami. Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami didalam UUP sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.19

Dalam Pasal 4 UUP dinyatakan, seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1)Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2)Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3)Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk poligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas

18

Ibid., hal. 10.

19

(34)

yang dianut UU perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka atau meminjam bahasa Yahya Harahap, monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan di status hukum yang darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance). Di samping itu lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim (pengadilan).20 Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 di katakan bahwa:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada sorang suami untuk

beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan”.

Dengan ayat ini, jelas sekali UUP telah melibatkan Pengadilan Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan bahwa:

“Pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah

syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat

pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami

mengizinkan adanya poligami”.

(35)

Ternyata UU Perkawinan juga memuat syarat-syarat untuk kebolehan poligami. Seperti yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 UUP, syarat-syarat yang dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami ialah:

1) Adanya persetujuan dari istri.

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.

Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 adalah, pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedanagkan pasal 5 adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.

Pada pasal 5 ayat 2 kembali di tegaskan bahwa:

Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak

diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin

dimintai persetujuanya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,

atau tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)

tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari

(36)

b. PP No 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat dilihat dalam PP No. 9 th 1975. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa:

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari

seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis pada

pengadilan.Sedangkan tugas pengadilan diatur dalam pasal 41 PP No. 9 th 1975 sebagai berikut:

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

1)Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.

2)Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus di ucapkan di depan sidang pengadilan. 3)Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan: a) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang

ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja. b) Surat keterangan pajak penghasilan.

(37)

4)Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para istri untuk memberikan kejelasan atau kesaksian. Di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu selam 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratannya.21

Pengadilan agama memiliki wewenang untuk memberikan izin kepada seseorang untuk melakukan poligami. Hal ini dinyatakan di dalam pasal 43 yang berbunyi:

Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi

pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan

putusan yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.

Selain menjelaskan tentang prosedur permohonan untuk beristri lebih dari seorang dalam PP ini juga diatur tentang ketentuan pidana bagi yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas. Pasal 45 menyebutkan:

21

(38)

Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 atau 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah).

c. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

Secara umum pernikahan dan perceraian bagi seluruh warga negara Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975. Selain itu khusus bagi warga negara Indonesia yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil yang akan melangsungkan perkawinan dan perceraian juga harus tunduk pada ketentuan lain, ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983.

(39)

Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya.

Sehubungan dengan contoh dan tauladan yang diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus terlebih dahulu memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan. Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang bukan Pegawai Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil yang tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua, ketiga, keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

(40)

Milik Daerah, dan Kepala Desa, perangkat desa serta petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintah desa. Dalam PP tersebut pasal yang mengatur tentang poligami terdapat dalam pasal 4, 9, 10 dan 1122. disebutkan:

Pasal 4

1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.

(41)

Pasal 9

1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. 2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam

permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.

3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.

Pasal 10

1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

(42)

b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau

c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a) Ada persetujuan tertulis dari isteri;

b) Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan;dan

c) ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :

d) bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

e) tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);

(43)

Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama atau Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi wajib memberitahukannya secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan (PP No. 10 Tahun 1983 pasal 2)23. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang.

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP No 10 Tahun 1983

Dalam penjelasan PP No. 45 tahun 1990 terdapat beberapa alasan mengapa PP tersebut harus diubah diantaranya: dalam pelaksanaannya ada beberapa peraturan yang tidak jelas, PNS tertentu yang seharusnya terkena PP No 10 Tahun 1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu adakalanya pejabat tidak dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan

23

(44)

ketentuan PP No. 10 Tahun 1983.24 Dalam PP ini aturan tentang poligami diatur dalam pasal 4, 9, 12, dan 15.

Pasal 4

1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat

3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.

4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.

Pasal 9

Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

(45)

Pasal 12

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut."

Pasal 15

1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/ ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

(46)

3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil."

Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki oleh yang bersangkutan, dan harus mencantumkan alasan lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang (PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat 1,3,4, sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk mempunyai istri kedua/ketiga/keempat (PP No. 45 Tahun 1990 pasal 4 ayat2).

(47)

Sebelum mengambil keputusan pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat izin. Jika alasan yang dikemukakan kurang meyakinkan maka pejabat tersebut harus meminta keterangan tambahan dari istri/suami Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak yang lain yang dipandang dapat memberikan keterangan meyakinkan.

Untuk memberikan rasa adil maka Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan yang dimuat dalam PP No 45 Tahun 1990 akan dijatuhi salah satu disiplin berat dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil tergantung faktor pelanggarannya. Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2 (menjadi istri kedua/ketiga/keempat) dijatuhi disiplin pemberhentian tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

e. Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KHI memuat masalah poligami ini pada bagian IX dengan judul, beristri lebih dari satu orang yang diungkap dari pasal 55 sampai 59.25 Pasal 55 dinyatakan:

25

(48)

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.

Lebih lanjut dalam KHI pasal 56 dijelaskan:

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pada pasal 57 dijelaskan:

Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri.

(49)

Pasal 58 menegaskan:

(1) Selain syarat utama yang disebut

Selanjutnya pada pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya wewenang Pengadilan Agamadalam memberikan keizinan. Sehingga bagi istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suami untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama.26 Lebih lengkap bunyi pasal tersebut sbb:

Dalam hal istri tidak dapat memberikan persetujuan dan permohonan izin

untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan

yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat

menetapkan tentang memberikan izin setelah memeriksa dan mendengar

istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap

penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding ataupun kasasi.

f. KUHPer (BW)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur adanya perkawinan poligami karena asas dalam KUHPer adalah monogami. Seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 27 bab perkawinan disebutkan

26

(50)

“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan

mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai sumainya”.27

Sebenarnya pasal ini hampir sama dengan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan yeng memberikan definisi tentang perkawinan. perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa). Definisi ini sebenarnya memberikan pemahaman perkawinan adalah akad antara seorang pria dan wanita yang disimpulkan ini prinsip monogami.

C. Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Tunisia 1. Sekilas tentang Negara Tunisia

Tunisia merupakan salah satu negara yang terletak di Afrika Utara, sebelah Barat berbatasan dengan Algeria, Utara dan Timur dengan Mediterania dan selatan Libya. Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah Timur, sementara di bagian Tenggara termasuk kepualauan Djerba. Tunisia mempunyai penduduk 7.424.000 (data tahun 1986), dan hampir 97% memeluk agama Islam. Negara yang memiliki luas wilayah 163.610 km memperoleh kemerdekaan pada tahun1956. Tunisia merupakan negara

(51)

berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Dengan presiden pertama Habib Bourguiba, yang membawahi 23 propinsi. Sebelumnya, Tunisia merupakan wilayah Otonom dari Pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi negara persemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian la marsa, dan pada tahun 1956 Tunisia memperoleh status merdeka.28

Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni, bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi‟ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktisi kaum Syi‟ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.29

Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka

28

M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 83.

29Zaki Saleh, “

(52)

dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden pertamanya.30

(53)

kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju„ayad untuk memberlakukan undang-undang

secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai‟hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki

Utsmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.31

2. Poligami di Tunisia

Pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa beristri lebih dari seorang adalah perbuatan yang dilarang. Demikian pula, undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa seorang pria yang telah menikah, dan nikahnya belum putus secara hukum, menikah lagi, dapat diancam hukuman penjara satu (1) tahun atau denda setinggi-tingginya 240.000 Malim.

Adapun dasar larangan poligami yang digunakan Pemerintah Tunisia, menurut John L. Esposito, adalah: (1) bahwa poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan instituti yang selamanya tidak dapat diterima

31

(54)

mayoritas umat manusia di manapun; (2) Ideal al-Qur‟an tentang perkawinan adalah monogami. Di sini, menurut Esposito, pandangan Muhammad Abduh tentang ayat poligami dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Abduh, al-Qur‟an (IV:3) memberi izin utuk beristeri 4 orang secara serius telah dibatasi

oleh al-Qur‟an sendiri (IV:129). Dengan demikian, ideal al-Qur‟an adalah monogami, lebih dari itu, syarat yang diajukan, supaya suami berlaku adil terhadap istri-istrinya, adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealisasi dengan sepenuhnya.32

(55)

jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.33

Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.34

3. Poligami dalam Regulasi Perundang-undangan di Tunisia

Hukum keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi setelah negeri itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berfikir bahwa dengan melakukan

33Zaki Saleh, “

Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”.

34

(56)

fusi terhadap mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial Tunisia. Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki, dan dipublikasikan dibawah judul Laihat Majallat al Ahkam al

Syar’iyyah (Draft Undang-Undang Hukum Islam). Akhirnya, pemerintah

membentuk sebuah komite dibawah pengawasan Syekh Islam, Muhammad Ja‟it, guna merancang Undang-Undang secara resmi.

Bersumber dari Laihat dan Undang-Undang Hukum keluarga Mesir, Jordania, Syiria dan Turki Usmani, panitia tersebut mengajukan Rancangan Undang-Undang Hukum Keluarga kepada Pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya diundangkan di bawah judul Majallah al Ahwal al Syahsiyyah

(57)

UU No. 1/1964, UU No. 77/1969, dan terakhir, menurut catatan Tahir Mahmood, mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui UU No. 1/1981.

Perlu dicatat pula bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab Maliki, UU ini memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab hukum Islam lain. Lagi pula, jika dibanding dengan negara-negara Arab lain, reformasi bidang hukum yang diintroduksikan di Tunisia lebih revolusioner.35

35

(58)

BAB III

KOMPARASI PEMBERLAKUAN SANKSI POLIGAMI ANTARA INDONESIA DAN TUNISIA

A. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Indonesia

Sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia tidak lepas dari sejarah pembentukan aturan tentang perkawinan, hal ini disebabkan poligami merupakan bagian integral dari perkawinan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Di Indonesia aturan poligami termuat dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 tahun 1990 tentang perubahan atas PP No 10 tahun 1983, dan yang selanjutnya adalah Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

1. Poligami dalam UUD No. 1 Tahun 1974

(59)

Masalah-masalah: (1) perkawinan paksa; (2) poligami (3) Talak yang sewenang-wenang.36

Tahun 1950 pemerintah RI telah berusaha memenuhi dengan membentuk panitia yang membuat RUU Perkawinan kemudian dibahas dalam sidang DPR pada tahun 1958/1959, tapi tidak berhasil berwujud undang-undang.

Tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU tersebut kepada DPR dan setelah mendapatkan tanggapan pro dan kontra akhirnya dicapailah satu konsensus yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya sehingga tercapai kata mufakat di antara Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah mendapat persetujuan dari DPR, pemerintah mengundangkan undang-undang perkawinan tanggal 02 januari 1974.

Pada 01 April 1975, setelah satu tahun 3 bulan undang-undang perkawinan diundangkan, lahir peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 yang memuat peraturan pelaksana undang-undang perkawinan tersebut. Dan dengan demikian, mulai 1 oktober 1975 undang-undang nomor 1 tahun 1974 itu telah dapat berjalan secara efektif.

Pasal 3 ayat (2) RUU ini menyatakan bahwa, pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk beristeri lebih dari

36

Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut

(60)

seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Berdasarkan rumusan pasal (3) ayat 2 dan menjelaskan pasal 73 ayat 2 RUU perkawinan ini jelas jelas bahwa masalah perkawinan akan menjadi wewenang pengadilan umum.37

2. Poligami dalam PP No. 9 Tahun 1975

PP No. 9 tahun 1975 mengatur tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974. Dalam hal ini, PP No 9 tahun 1975 berperan penting dalam menyokong pelaksanaan UU Perkawinan. PP No 9 tahun 1975 diundangkan pada tanggal 1 april 1975 yang bertujuan untuk melancarkan pelaksanaan undang-undang tersebut secara efektif.

PP ini memuat beberapa bab yang memuat pasal-pasal yang masih berkaitan erat dengan perkawinan. Namun, PP ini lebih spesifik mengatur tentang prosedural perkawinan itu dan dijelaskan secara spesifik dan terperinci.

3. Poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990

PP No. 10 tahun 1983 ini mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil . PP No. 10 tahun 1983 ini mengatur secara terperinci tentang prosedur perkawinan dan perceraian dikalangan Pegawai

37

(61)

Negeri Sipil (PNS).38 PP ini dibuat sebagai pelaksana dari undang-undang perkawinan. Dalam PP ini diatur Pegawai Negeri Sipil yang berniat bercerai atau menikah lagi harus memperoleh izin dari atasannya, pegawai negeri juga dilarang “hidup bersama diluar nikah” bila dilanggar sangsinya

pemecatan.39PP ini terbit tanggal 21 April 1983.

Sedangkan PP No. 45 tahun 1990 terbit pada tanggal 6 september 1990 yang bertujuan memperkuat PP No. 10 tahun 1983. PP ini dinilai tidak banyak manfaatnya, karena dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil perempuan dilarang sama sekali menjadi istri kedua, ketiga, dan keempat hal ini dianggap memperlemah posisi pegawai perempuan bila dihadapkan pada situasi harus menjadi istri kedua suatu hal yang sering tak terhindarkan.40

Pada tanggal 5 desember 2006 Presiden berencana memberlakukan PP No. 10 tahun 1983 dan PP No.45 tahun 1990 untuk seluruh masyarakat, tak hanya Pegawai Negeri Sipil, rencana rencana ini ditentang oleh sejumlah tokoh Islam. presiden kemudian minta agar masalah perkawinan dan poligami ini dikembalikan ke UU dan PP yang ada.

38

Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan, 1993), hal . 359.

39Nunuy Nurhayati, “

Pasang Surut Aturan Poligami, Tempo, (Desember 2006), hal. 110.

40

(62)

4. Poligami dalam Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Kebutuhan akan adanya KHI bagi pengadilan agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama. Usaha dalam penyusunan KHI adalah merupakan bagian upaya kita dalam rangka mencari pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fiqih yang bersifat kontekstual, maka proses ini telah berlangsung lama sekali sejalan dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia. Menurut Bustanul Arifin seorang ketua Hakim Agung mengatakan bahwa ide-ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung membina bidang teknik yudistial Pengadilan Agama.

Dari upaya-upaya tersebut ada beberapa tahapan-tahapan sehingga lahirnya KHI:

a. Periode awal sampai tahun 1945

Pada zaman penjajahan VOC kedudukan Hukum Islam dalam bidang kekeluargaan diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dikenal dengan frever Compendium (1760 M). Selain itu telah dibuat pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, Makasar.

(63)

Belakangan aliran hukum adat yang dipelopori oleh Voller Hoven, Ferhar dan juga Snouck Hourgrounye, menentang teori Receptie In Complexu. Dengan teori resepsinya yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diberlakukan bagi pribumi apabila sudah diterima oleh hukum adat. Mereka berhasil memasukan prinsip teori itu kedalam UUD Hindia Belanda yang baru (IS-Indisches Staatregeling 1919) dalam pasal 134 ayat 2 yang berbunyi:

Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan

diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut telah

diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh

ordonansi.

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 membentuk sebuah komisi untuk meninjau kedudukan dan wewenang dari priesterrad. Diketuai oleh wakil penasehat urusan pribumi dan Islam, dua orang bupati, dua orang penghulu, seorang tokoh pergerakan Islam dan juri Belanda (Terhater). Setelah bekerja selama empat tahun maka pada tahun 1926 komisi itu menyampaikan hasil kerjanya, berupa sebuah rancangan ordonansi tentang penghoeleogerecht (pengadilan penghulu) yang baru diumumkan dengan stb. 1931 No. 153.

(64)

Munakahat yaitu mempertegas kebiasaan pencatatan nikah, talak, rujuk (NTR) dengan adanya berbagai ordonansi.

b. Periode 1945 sampai dengan tahun 1985

Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserak-serak di berbagai kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dnegan yang lain. Pada tanggal 22 November 1946 di Linggarjati (Cirebon) oleh presiden RI ditetapkan UU No. 22 tahun 1946 tentang penyatuan pencatatan NTR (Nikah, Talaq, Cerai) menggantikan ordonansi-ordonansi perkawinan yang sebelumnya. Ini merupakan undang-undang pertama dalam sejarah kemerdekaan, yang jelas menyangkut pelaksanaan syariat Islam, sekalipun belum memasuki materi hukum perkawinannya sendiri. Pada saat itu dipisahlah fungsi penghulu selaku kepala pencatat nikah dengan hakim atau ketua pengadilan agama dengan penetapan menteri No. 6 tahun 1947 atas usul konferensi jawatan urusan agama se-Jawa dan Madura tanggal 12-16 Desember 1947 di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan dengan terbentuknya RIS serta Negara kesatuan. Pelaksanaan UU No.22 tahun 1946 tentang pencatatan NTR ini. Diberlakukan untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954.

(65)

pada kriteria zakelijk yaitu (a) Umum (b) Agama dan (c) Militer yang kemudian ditambah dengan saran MPRS tentang diadakannya peradilan administrasi dan pokok fikiran yang disusun oleh para praktisi hukum. Penyusuan perundang-undangan semasa orde lama itu ternyata dapat bertahan sampai orde baru, sehingga lahirnya UU No. 14 tahun 1970 yang menegaskan adanya empat lingkungan peradilan.

Proses penyusuan undang-undang perkawinan 1974 merupakan sebuah uji coba bagi pemerintah orde baru dan Golkar tentang pandangan dan penilaian mereka terhadap Islam. maka setelah presiden Soeharto menegaskan pendiriannya (Isra Mi‟raj di Masjid Istiqlal 26 agustus 1973) bahwa tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau pemerintah mengajukan yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang ada di Indonesian dan bahwa tidak benar RUU perkawinan yang diajukan oleh pemerintah itu bertentangan dnegan agama Islam. Maka tidak ada lagi perbedaan pandangan diantara anggota yang beragama Islam baik ia Golkar, PPP, PDI, atau ABRI.

(66)

Agama sampai pada pengesahan di Forum DPR merupakan hasil kerja sama yang kompak sekali antara Departemen Agama, Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman suatu suasana yang tidak mungkin terbayangkan dapat tejadi pada masa orde lama.

c. Periode 1985 sampai sekarang

Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang penunjukan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi No. 07/KMA/1985 DAN No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta.

(67)

oleh Mahkamah Agung terasa adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan.

Melalui keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 No. 25 tahun 1985 tentang penunjukkan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk jangka waktu dan tahun. Menurut lampiran surat keputusan bersama tanggal 21 maret 1985 ditentukan bahwa tugas-tugas proyek tersebut adalah untuk melaksanakan usaha pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya mengkaji kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. seperti yang sudah diketahui Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdiri atas tiga buku. Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang kewarisan, Buku III tentang perwakafan.

(68)

didasarkan atas alasan ketertiban umum.41Hukum poligami adalah boleh, dan kebolehan itupun harus ditelusuri sejarah digantungkan, pada situasi dan kondisi masa permulaan Islam.42

B. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Tunisia

Latar belakang terjadinya reformasi dan kodifikasi hukum Islam di Tunisia, tidak banyak berbeda dengan proses yang terjadi di Mesir dan negara-negara Timur Tengah lain. Sebelum dominasi Turki Usmani di Tunisia, sebagian besar umat Islam Tunisia mengikuti ketentuan-ketentuan hukum Islam menurut mazhab Maliki. Akan tetapi setelah secara resmi pemerintah Turki mengadopsi mazhab Hanafi untuk wilayah Tunisia, akhirnya mazab Hanafi pun berpengaruh juga di Tunisia. Konsekuensinya kasus-kasus tertentu harus diputuskan menurut sistem hukum yang dianut oleh para pihak yang mengajukan perkara ke pengadilan. Karena itu, dalam lembaga peradilan terdapat dua majlis hakim, yaitu dari mazhab Hanafi dan dari mazhab Maliki yang berwenang terhadap yurisdiksi masing-masing.

Sejak tahun 1883, Tunisia berada dalam dominasi politik Prancis, yang ternyata berpengaruh pula dalam bidang hukum. Selama periode ini, budaya hukum di Tunisia mengalami pem-Barat-an secara luas. Hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang dan hukum Acara yang berlaku sampai tahun 1956

41

Gambar

Tabel Komparasi poligami

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12. Inpres Nomor

Untuk negara Somalia, Mesir, Syria dan Indonesia, poligami pada dasarnya tidak dilarang, tetapi sedikit diperketat dengan menetapkan keharusan bagi suami yang akan berpoligami

Prosedur Perceraian Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur aturan perceraian di Indonesia dalam pasal

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah hasil dari suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu yang berlaku bagi setiap Warga Negara Republik Indonesia,

Untuk negara Somalia, Mesir, Syria dan Indonesia, poligami pada dasarnya tidak dilarang, tetapi sedikit diperketat dengan menetapkan keharusan bagi suami yang akan berpoligami

Syarat poligami di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 4 ayat 2 yang menyebutkan bahwa Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada suami jika “Istri

Page 121 hukum dari perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa di sana dijelaskan baik bapak atau ibu berkewajiban