• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTIMBANGAN HAKIM TENTANG PERKARA IZIN POLIGAMI BAGI PNS TANPA IZIN ATASAN DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO DALAM PERSPEKTIF

YURIDIS

A. Analisis pertimbangan Hakim tentang perkara izin Poligami Bagi PNS tanpa Surat Izin Atasan di Pengadilan Agama Gorontalo dalam persperktif Yuridis

Setelah mempelajari Pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara di Pengadilan Agama Gorontalo tentang izin poligami bagi PNS tanpa Izin Atasan, Pemulis dapat mendeskripsikan bahwasanya dalam berpoligami,berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adanya kewajiban suami dalam mengajukan permohonan poligami, perlu melengkapi syarat alternatif, selain itu dalam mengajukan izin poligami suami harus pula harus memenuhi seluruh syarat yang bersifat kumulatif yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu adanya persetujuan istri dan kemampuan suami menjamin keadilan serta keperluan hidup anak istrinya,hal ini tercantum pada Pasal 5 ayat (1) sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri,

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka,

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak,

Tentang syarat alternatif tersebut yang perlu dipenuhi hanya salah satu di antara tiga syarat tersebut oleh Pemohon dalam mengajukan izin poligami. Selain itu, kewajiban suami yang notabene Pegawai Negeri Sipil dalam mengajukan permohonan poligami,

Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1983, izin untuk berpoligami hanya dapat diberikan apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif yang disebutkan pada pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1983. Syarat Alternatif tersebut adalah sebagai berikut :

d. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,

e. Istri Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, f. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Kemudian untuk syarat kumulatif yang harus dipenuhi keseluruhannya oleh suami yang akan berpoligami yaitu sebagai berikut :

d. Adanya persetujuan tertulis dari istri,

e. Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan, dan

f. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri sipil yang bersangkutan bahwa Ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

Dalam meneguhkan dalil-dalil permohonannya Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan telah mengajukan bukti surat yang bertanda P1 sampai dengan P4, serta dua orang saksi. Bukti surat yang bertanda P.1 berupa surat penyataan Pemohon sebagai Pegawai Negeri Sipil bersedia menanggung segala resiko berpoligami tanpa Izin Atasan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor: 45 Tahun 1990 , hal ini menunjukkan kesungguhan Pemohon untuk berpoligami.

Namun dalam Yurisprudensi,tindakan yang dilakukan oleh hakim pengadilan agama terhadap Kewajiban Seorang PNS dalam melampirkan surat atasan sudah memenuhi prosedur karena surat izin atasan dirasa hanyalah syarat administrative yang tidak

mengganggu hukum acara. Namun, kiranya hal ini pula perlu menjadi satu sisi yang selalu diawasi, jika hanya dengan bersedia menanggung segala resiko berpoligami tanpa Izin Atasan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor: 45 Tahun 1990 ini sama saja pengadilan memberikan celah hukum bagi PNS lainnya untuk melakukan poligami dengan langsung menyerahkan surat pertanggung jawaban atas tindakannya tanpa meminta izin atasan. Padahal, Undang- Undang ini dibuat untuk meminimalisirkan tindak non disiplin PNS dalam menjalankan tugasnya.

Disamping itu, Telah diatur Oleh Pemerintah bahwa seorang Pegawai Negeri Sipil hanya dapat memiliki 1 (satu) tunjangan istri karena Negara hanya mengakui Pewagai Negeri Sipil (PNS) yang beristri 1 (satu), jika Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang beristri lebih dari satu maka istri kedua, ketiga dan keempat tidak akan mendapat tunjangan istri serya kartu istri (KARIS) seperti yang didapatkan istri pertama.

Adapun Pertimbangan hakim atas permohonan poligami oleh pegawai negeri sipil tanpa izin atasan ini menggunakan ketentuan dalam Alquran surat An-Nisa’ ayat 3 tentang poligami dan diambil alih menjadi pertimbanghan Majelis Hakim yaitu sebagai berikut:

Artinya : ‚ Nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai; dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut untuk tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja ‛

Dari ketentuan ayat tersebut dapat dipahami bahwa syarat utama untuk dapat berpoligami adalah berlaku adil dalam pengertian proporsional dan tidak berbuat dzalim dalam sikap dan pemenuhan kebutuhan isteri-isteri secara makruf. Dalam Yurisprudensi Indonesia memang tidak mengkhususkan islam sebagai hukum tetap dalam pemecahan

permasalahan, hanya saja hukum islam menjadi salah satu pandangan dalam hakim memberikan solusi.

Bagi Pegawai Negeri Sipil, Telah dibuatkan Peraturan Pemerintah khusus yang telah diatur sebaik mungkin, profesionalitas seorang PNS di uji dengan adanya kewajiban melampirkan surat izin atasan untuk berpoligami merupakan hal yang wajar demi kedisplinan PNS. Perlunya mendukung pemerintah untuk menegakkan undang-undang yang telah diatur untuk PNS adalah salah satu cara menegakkan hukum, jika terus berpijak pada sisi toleransi hukum hakim yang mengeyampingkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka Peraturan pemerintah ini pastinya akan selalu dilanggar oleh PNS. Sebab dalam prakteknya dilingkungan Pegawai Negeri Sipil, Tidak semua Pegawai Negeri Sipil yang melanggar Peraturan Pemerintah mendapat sanksi seperti yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 .

Dalam memutuskan suatu perkara, Hakim berpijak pada Hakim berpijak pada Undang-undang nomor 48 tahun 2009 yang memberikan keterangan bahwa pengadilan wajib menerima dan mengadili perkara yang diajukan,, Kalau surat izin belum diberikan oleh atasan suami yang notabene seorang Pegawai negeri sipil, maka hakim akan memberi kesempatan untuk mengurusi surat izin selama 3 bulan. Jika surat izin tidak didapatkan, maka hakim memiliki hak untuk memberikan nasehat - nasehat tentang seluruh komitmen, resiko dan kesiapan bagi suami dalam kehendaknya untuk berpoligami, apakah perkara perlu dilanjutkan dengan resiko yang harus diterima atau dicabut saja.

Hakim melakukan cara tersebut sebagai salah satu cara hakim untuk merealisasikan prinsip kemandirian/kebebasan hakim yang telah ditentukan dalam kekuasaan hakim yang ada dalam Undang- undang no.7 tahun 1989 Jo Undang-undang No.3 tahun 2006. Salah

satu syarat dalam kekokohan Negara hukum yaitu kekuataan kehakiman yang merdeka. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman maka hukum di Indonesia akan terpengaruh oleh penyalahgunaan kebijakan hukum oleh kekuasaan pemerintah (eksekutif). Dasar dari adanya independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia awalnya tertuang dalam pertimbangan alinea pertama dalam lembaran Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, serta dalam penjelasan "Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan :

Pasal 24 ayat (1)

‛Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim‛

Setiap hak keputusan untuk berpoligami ataupun tidak tergantung pada suami yang menjadi Pegawai Negeri Sipil tersebut bukan Pengadilan, Karena Pengadilan hanya dapat memberikan opsi dalam pemilihan keputusan, Hakim bukanlah salah satu faktor yang memutuskan jadi atau tidaknya suami untuk berpoligami. Hal ini terjadi karena kewajiban pengadilan hanya sebatas memberikan opsi tersebut. Jika termohon sudah sangat ingin melakukan poligami, maka hakim memberikan keharusan bagi termohon untuk membuat surat pernyataan khusus yang berisi tentang kesiapan termohon untuk mendapatkan sanksi akibat melanggar Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983. Lebih dari itu, tidak ada alasan lain untuk pengadilan menolak perkara tersebut karena surat pernyataan PNS telah mengganti surat izin atasan.

Terkait Putusan hakim memberikan jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi oleh pemohon maupun termohon, dipandang dari Yurisprudensi, Tugas Hakim adalah untuk

memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada suami istri yang mengajukan permohonan poligami. Hal ini tercantum pada pasal (3) ayat (1) dan (2) Undang-undang no 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila hal ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Arti dalam pihak-pihak yang bersangkutan adalah suami yang akan berpoligami, istri yang akan dipoligami, dan calon istri kedua.

Dalam Memutuskan Perkara, Putusan hakim menerapkan visi misi dari kehakiman tersebut yaitu cepat, sederhana, biaya ringan. Menurut Yurisprudensi, dalam berpoligami, suami yang notabene Pegawai Negeri Sipil perlu mengikuti prosedur yang telah ditetapkan undang-undang nomor 1 tahun 1974, Demi kelancaran persidangan perlu adanya pemenuhan syarat tertentu oleh suami disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan y ang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

4. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.

5. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka.

6. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Di samping itu, Suami perlu memenuhi aturan-aturan khusus bagi PNS dalam hal hendak melaksanakan perkawinan dan perceraian juga Poligami. Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 menyatakan bahwa pegawai negeri sipil pria yang akan

beristri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat atasan\, sebab Tanpa izin dari atasan pegawai negeri sipil tersebut tidak akan melangsungkan poligaminya, sebab keharusan dapat diartikan sebagai hal yang tidak bisa diganggu gugat. Dengan memenuhi prosedur maka pengadilan dapat menjalankan visi-misinya tersebut, tanpa adanya surat izin atasan, maka hal ini dapat memberikan kesulitan bagi pengadilan untuk merealisasikan visi misi tersebut.

Putusan hakim tentang terdapatnya interkoneksif dan korelatif dengan tujuan hukum dan undang-undang yang dijadikan dasar putusan di Pengadilan Agama, Menurut Yurisprudensi, Hukum positif di Indonesia telah mengatur tentang perkawinan melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, khusus Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberlakukan pula Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian pada pegawai negeri sipil. Dari ketentuan perundang-undangan yang diberlakukan tersebut, menunjukkan tidak ada larangan dilakukannya poligami, namun dalam pelaksanaan poligami disyaratkan adanya pertimbangan dari pengadilan agama .

Apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari satu maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Adapun prosedur untuk melakukan poligami terdapat pada ketentuan pasal 40 hingga 44 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Pasal 40 yang memberikan pengadilan wewenang dalam memeriksa ada atau tidaknya alasan yang menunjukkan bahwa suami kawin lagi, ada tidaknya izin istri, adanya kemampuan suami untuk berlaku adil pada semua istrinya, serta adanya persetujuan secara lisan. Kewajiban suami dalam melampirkan surat izin atasan ketika akan berpoligami dalam kenyataannya dianggap tidak menjadi penghalang bagi hakim pengadilan Agama dalam melanjutkan perkara.

Putusan hakim tentang memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara ditinjau dari Yurisprudensi, adanya kekhususan bagi pegawai negeri sipil dalam berpoligami telah diatur dalam izin perkawinan PNS untuk beristri lebih dari satu (poligami) yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil\, khususnya dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 yang menegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis, dan dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan atas uraian-uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. pertimbangan Hakim Pengadilan agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi

Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan adalah Hakim berpijak pada Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1994 yang memberikan keterangan bahwa pengadilan wajib memenuhi prosedur-prosedur yang berlaku, Kalau surat izin belum diberikan oleh atas termohon yang notabene seorang Pegawai negeri sipil, maka hakim memberi kesempatan untuk mengurusi surat izin. Jika surat izin tidak didapatkan, maka hakim memiliki hak untuk memberikan nasehat- nasehat tentang seluruh komitmen, resiko dan kesiapan dalam kehendak termohon untuk berpoligami,apakah perkara perlu dilanjutkan atau dicabut saja.

Namun beberapa hakim mempertimbangkan bahwa meski Pengadilan memiliki otoritas dalam memberikan toleransi hukum, perlunya hakim mengetahui maslahat bagi termohon yang notabene PNS, Pegawai negeri sipil merupakan pegawai Negara yang sama halnya dengan hakim yaitu mengabdi pada Negara yang sama yaitu negara Indonesia. Perlunya mendukung pemerintah untuk menegakkan undang-undang yang telah diatur untuk PNS adalah salah satu cara menegakkan hukum, jika terus berpijak pada sisi toleransi hukum hakim yang mengeyampingkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka Peraturan pemerintah ini pastinya akan selalu dilanggar oleh PNS. Karena dalam prakteknya, Tidak semua PNS yang melanggar Peraturan Pemerintah mendapat sanksi yang ditetapkan

2. Analisis Yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan agama Gorontalo dalam memberikan

izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan. Dalam Yurisprudensi,tindakan yang dilakukan oleh hakim pengadilan agama terhadap Kewajiban Seorang PNS dalam melampirkan surat atasan sudah memenuhi prosedur karena surat izin atasan dirasa hanyalah syarat administratif yang tidak mengganggu hukum acara. Kewajiban Seorang PNS dalam melampirkan surat atasan kiranya perlu menjadi satu sisi yang selalu diawasi, jika hanya dengan bersedia menanggung segala resiko berpoligami tanpa Izin Atasan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor: 45 Tahun 1990 ini sama saja pengadilan memberikan celah hukum bagi PNS lainnya untuk melakukan poligami dengan langsung menyerahkan surat pertanggung jawaban atas tindakannya tanpa meminta izin atasan. Padahal, Undang-Undang ini dibuat untuk meminimalisirkan tindak non disiplin PNS dalam menjalankan tugasnya.

B. SARAN

Peraturan Pemerintah tentang syarat berpoligami yang dibuat untuk Pegawai Negeri Sipil demi menerapkan kedisiplinan seharusnya bisa sejajar atau tidak bertolak belakang dengan peraturan dalam pengadilan agama yang ada. Hal ini dimaksudkan agar tidak banyak terjadi kesalahan karena keremehan pegawai negeri sipil atas disiplin yang telah dibuat, Dan proses persidangan dalam Pengadilan agama tidak perlu ditunda-tunda karena adanya alasan- alasan yang berkaitan dengan perbedaan standart peraturan dilegalkannya poligami antara standart peraturan pemerintah dan standart peraturan pengadilan agama

DAFTAR PUSTAKA

Abu Achmadi dan Cholid Narkubo, 2005. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Achmadi Abu. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara.2005.

Agama Departemen. Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemahnya. Bandung: PT. Diponegoro. 2004.

Ahmad Azhar Basyir, 1999 . Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UUI Press Al-Jahrani Musfir. Poligami Dari Berbagai Persepsi. Jakarta: Gema Insani. 1996.

Amiur Nuruddin dan Azhar Akmal Tarigan, 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI . Jakarta: PT. Prenada Media Group

Annisa Nurbaiti, 2012, Skripsi yang berjudul Analisis terhadap pasal 4 PP. No. 10 Tahun 1983 jucto pasal 4 (1) PP.No.45 tahun 1990 tentang kewajiban mendapatkan izin dari atasan bagi PNS yang akan berpoligami, Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonseia (FH UI) Library

Arikunto Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. 2006.

Azwar Saifuddin. Tradisi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. cet. Ke-4, 2003.

Departemen Agama, 2004 Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemahnya. Bandung: PT. Diponegoro

Hadi Sutrisno. Metodologi Research Jilid I.Yogyakarta: Andi Office. 1993.

http://pa-gorontalo.go.id/home.html,

Indonesia ,2007. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: PT. Citra Umbara

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta.t.t.

Machali Rochayah. Wacana Poligami di Indonesia . Bandung: PT. Mizan. 2005.

Manan Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008.

Manan Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008

Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka. 2013.

Moleong Lexy J., Op. Cit.,.

Mulia Siti Musdah. Pertimbangan Isam Tentang Poligami. Lembaga Kajian Agama dan Gender: Jakarta. 1999.

Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, 2010. Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi . Bandung: Sinar Baru Algesindo

Nazir M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2003.

Nazir M. Tradisi Penelitian, cet. Ke-3. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988.

Nurbaiti Annisa. Skripsi. FH UI. 2012.

Nurkhasan. Skripsi, yang berjudul Analisis terhadap pasal 4 PP. No. 10 Tahun 1983 jucto pasal 4 (1) PP.No.45 tahun 1990 tentang kewajiban mendapatkan izin dari atasan bagi PNS yang akan berpoligami, Semarang, IAIN Walisongo Library. 2004

Nuruddin Amiur .Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI.Jakarta: PT. Prenada Media Group. 2006.

Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975

Putusan Pengadilan Agama Gorontalo nomor register perkara 45/Pdt.G/2011/PA

Radjab Budi. Meninjau Poligami; Persepektif Antropologis dan Keharusan Mengubahnya, Jurnal Perempuan Menimbang Poligami, No. 31 . Jakarta: Yayasan Jurnal Perempaun. 2003.

Sabiq Sayyid. Fikih Sunnah, Jilid 3. Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.

Saifullah. Metode Penelitian. Malang: Fakultas Syariah. 2006.

Singaribun Masri. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. 1987.

Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta; Rineka Cipt.1986

Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Penelitian Pemula, Cet. 3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2006.

Undang- Undang Nomor. 7 tahun 1989

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: PT. Citra Umbara. 2007.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung: PT. Citra Umbara. 2011.

Dokumen terkait