Analisis Yuridis Terhadap Pertimbangan Hakim
Pengadilan Agama Gorontalo Dalam Perizinan Perkara
Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa Surat Izin
Atasan
SKRIPSI
Oleh
Nurul Mahmudah
NIM. C51211151
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam Ahwal Al-Syakhsiyah
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚Analisis Yuridis terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam Perizinan Perkara Poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa Surat Izin Atasan‛ ini merupakan hasil penelitian lapangan (field research) yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Kota Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi PNS tanpa surat izin atasan? Dan bagaimana analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Kota Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi PNS tanpa surat izin atasan?
Untuk menjawab permasalahan diatas, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.
Pelaksanaan poligami oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu boleh mempunyai istri lebih dari satu jika mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai persyaratan yang diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang diubah dan disempurnakan beberapa pasalnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim melakukan hal ini sebagai salah satu cara hakim untuk merealisasikan prinsip kemandirian/kebebasan hakim yang telah ditentukan dalam kekuasaan hakim yang ada dalam Undang-undang no 48 tahun 2009. Salah satu syarat dalam kekokohan Negara hukum yaitu kekuataan kehakiman yang merdeka. Namun menurut beberapa hakim lainnya, Meski Pengadilan memiliki otoritas dalam memberikan toleransi hukum, perlunya hakim mengetahui maslahat bagi termohon yang notabene PNS, Perlunya mendukung pemerintah untuk menegakkan Peraturan pemerintah yang telah diatur untuk PNS adalah salah satu cara menegakkan hukum, jika terus berpijak pada sisi toleransi hukum hakim yang mengeyampingkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka Peraturan pemerintah ini pastinya akan selalu dilanggar oleh PNS. Karena dalam prakteknya, Tidak semua PNS yang melanggar Peraturan Pemerintah mendapat sanksi yang ditetapkan
Dari kesimpulan diatas disarankan Peraturan Pemerintah tentang syarat berpoligami yang dibuat seharusnya tidak bertolak belakang dengan peraturan dalam pengadilan agama yang ada. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan karena keremehan pegawai negeri sipil atas disiplin yang telah dibuat, Dan proses persidangan dalam Pengadilan agama tidak perlu ditunda-tunda karena adanya alasan yang berkaitan dengan perbedaan standart peraturan dilegalkannya poligami antara standart peraturan pemerintah dan standart peraturan pengadilan agama
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
SURAT PERNYATAAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C. Batasan Masalah ... 10
D. Rumusan Masalah ... 10
E. Kajian Pustaka ... 11
F. Tujuan Penelitian ... 12
G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
H. Definisi Operasional ... 13
I. Metode Penelitian ... 14
J. Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II KONSEP POLIGAMI A. Konsep Poligami ... 22
1. Pengertian Poligami ... 22
2. Sejarah Poligami ... 23
B. Poligami Di Indonesia ... 25
1. Perundang-Undangan ... 25
a. UU No. 1 Tahun 1974 ... 25
b. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 1990 ... 28
BAB III POLIGAMI BAGI PNS TANPA IZIN ATASAN DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO ... 39
A.Gambaran Umum Dan Lokasi Penelitian ... 39
1. Profil Pengadilan Agama Gorontalo ... 39
2. Visi Dan Misi Badan Peradilan Indonesia ... 40
3. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Gorontalo ... 46
4. Yuridiksi (Wilayah Hukum Pengadilan Agama Gorontalo)47 5. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pengadilan Agama Gorontalo ... 50
B.Poligami PNS tanpa izin atasan ... 53
1. Dasar Pertimbangan Hukum dan Dalil Hakim Pengadilan Agama Gorontalo Dalam perizinan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan 58 2. Hasil Wawancara Sesuai Pertimbangan Hakim atas Putusan Poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa Izin Atasan dalam putusan hakim ... 66
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ... 81 B.Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fonem konsonan Arab, yang dalam sistem tulisan Arab seluruhnya dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasinya ke tulisan Latin sebagian dilambangkan dengan lambang huruf, sebagian dengan tanda, dan sebagian lainnya dengan huruf dan tanda sekaligus sebagai berikut :
ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
Alif Tidak dilambangkan
Ba B Be
Ta T Te
Sa s| Es (dengan titik di atas)
Jim J Je
Ha h} Ha (dengan titik di bawah)
Kha Kh Ka dan Ha
Dal D De
Zal z| Zet (dengan titik di atas)
Ra R Er
Zai Z Zet
Sin S Es
Syin Sy Es dan Ye
Sad s} Es (dengan titik di bawah)
Dad d} De (dengan titik di bawah)
Za z} Zet (dengan titik di bawah)
Ain ‘ Koma terbalik (di atas)
Gain G Ge
Fa F Ef
Qaf Q Ki
Kaf K Ka
Lam L El
Mim M Em
Nun N En
Wau W We
Ha H Ha
Hamzah ’ Apostrof
Ya Y Ya
2. Vokal tunggal atau monoftong bahasa Arab yang lambangnya hanya berupa tanda atau h}arakat, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf sebagai berikut : a. Tanda fath}ah dilambangkan dengan huruf a, misalnya mas}lah}ah.
b. Tanda kasrah dilambangkan dengan huruf i, misalnya Tirmiz|i>. c. Tanda d}ammah dilambangkan dengan huruf u, misalnya Yu>nus.
3. Vokal rangkap atau diftong bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara h}arakat dengan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut :
a. Vokal rangkap dilambangkan dengan gabungan huruf aw, misalnya Syawka>niy.
b. Vokal rangkap dilambangkan dengan gabungan huruf ay, misalnya Zuh}ayliy.
4. Vokal panjang atau maddah yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya dilambangkan dengan huruf dan tanda macron (coretan horisontal) di atasnya, misalnya imka>n, z|ari>'ah, dan muru>‘ah.
5. Syaddah atau tasydi>d yang dilambangkan dengan tanda syaddah atau tasydi>d, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang bertanda syaddah itu, misalnya h}addun, saddun, t}ayyib.
7. Ta’ marbu>t}ah mati atau yang dibaca seperti berharakah sukun, dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf ‚h‛, sedangkan ta’ marbu>t}ah yang hidup dilambangkan dengan huruf "t", misalnya ru’yah al-hila>l, atau ru’yatul hila>l.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Salah satu masalah rumit pada hubungan suami istri tercatat sepanjang sejarah peradaban
Islam adalah masalah poligami (ta’addud al-zaujat).1 Pada zaman dahulu di antara bangsa-bangsa yang menjalankan poligami sebelum kedatangan Islam adalah bangsa Ibrani, Arab, Jahiliyah, dan
Cisilia.2 Sehingga saat ini, meski poligami diterima oleh umat Islam secara luas, ketika dipraktikkan
masih saja menjadi isu dan perdebatan hangat di kalangan masyarakat.
Pada saat ini Poligami masih menjadi pro-kontra di masyarakat. Hal ini dikarenakan
perbedaan pertimbangan masyarakat akan poligami itu sendiri. banyak masyarakat yang
menganggap poligami adalah suatu perbuatan yang negatif karena poligami dianggap menyakiti
kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum ada
Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami dilakukan.
Tujuan hidup berkeluarga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun
dengan adanya poligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah
tangga dapat menjadi hilang Hal ini tentu merugikan bagi istri dan anak-anaknya karena mereka
beranggapan bahwa mereka tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pertimbangan masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun ada juga yang
menentang. Terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus berbagi dengan yang
lain. Hal ini diperparah dengan perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan poligami.
1
Selain poligami masalah krusial tersebut adalah relasi hak milik (perbudakan) dan relasi seksual nikah kontrak isu tentang perbudakan hilang tanpa ada kejelasan status hukum dalam bentuk yang eksplisit, isu nikah kontrak ditolak oleh mayoritas ulama sunni dan poligami telah diterima secara luas, namun dengan melibatkan syarat yang ketat. Lihat: Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami; Pembacaan atas Al-Quran dan Hadist Nabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. ix.
2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 3, Diterjemahkan Oleh Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hlm. 9.
Demikian halnya di Indonesia, poligami masih merupakan salah satu persoalan dalam
perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial.3 Pada sisi lain, poligami
dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai
salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi. Satu sisi, poligami
ditolak dengan berbagai macam argumentasi, baik yang bersifat normatif, psikologis, bahkan
dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Bahkan penulis Barat, sering mengklaim bahwa poligami
adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap wanita.
Salah satu penyebab, munculnya praktik poligami di satu sisi, dan munculnya keresahan
masyarakat di sisi yang lain, yaitu diakibatkan minimnya pengetahuan, terhadap apa alasan atau
motif yang menjadi dasar poligami. Jika alasan atau motif ini diketahui secara luas, apalagi ketika
alasan tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, peneliti meyakini
tidak akan ada lagi pemberitaan atau kabar-kabar miring mengenai poligami. Demikian halnya
dengan tata cara poligami. Masyarakat atau bahkan pelaku poligami sendiri, tampaknya belum
sepenuhnya melaksanakan dan mengetahui seluruhnya tentang prosedur poligami. Efek dari masalah
tersebut, pada akhirnya berujung pada ketidaktahuan terhadap implikasi sosial akibat poligami ini.
Di Indonesia sendiri dalam upayanya untuk meminimalisir terjadinya poligami telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun sebagai
3
hukum materiil bagi orang Islam, terdapat ketentuan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berikut aturan pelaksanaannya, pada prinsipnya selaras dengan ketentuan dalam hukum Islam. Menurut perundang-undangan tersebut pada prinsipnya sistem yang dianut oleh hukum perkawinan di Republik Indonesia adalah azas monogami, yaitu satu suami untuk satu orang isteri.4 Azas tersebut berdasarkan firman Allah Swt dalam al-Qur'an surat Al-Nisa ayat 3 :5
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) wanita yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,6 maka (kawinilah) seorang saja,7 atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisa Ayat: 3)
Ayat di atas menjelaskan 3 hal sebagai berikut8 :
1. Orang-orang yang khawatir berlaku tidak adil dalam mengurus harta anak wanita yatim tidak
boleh mengawininya agar terjauhkan dari berbuat dzalim terhadap hartanya tersebut.
4
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm 6.
5
Departemen Agama, Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemahnya (Bandung: PT. Diponegoro, 2004 ),hlm 324.
6
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
7
2. Mereka hendaklah memilih wanita lain sebagai istri di antara wanita- wanita yang disukainya,
boleh 2 orang atau 3 orang, atau 4 orang.
3. Jika seorang lelaki muslim takut tidak dapat berbuat adil dalam berpoligami, ia lebih baik beristri
seorang saja. Jika tidak mampu beristri seorang, lebih baik dia mengambil budak wanitanya untuk
menjadi pasangan hidupnya.
Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 maka bagi seseorang yang beristri lebih dari seorang, wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (pasal 4 ayat 1) dan pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:9
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam pasal 4 disebutkan:10
1. Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seoarang, wajib memperoleh izin
lebih dahulu dari Atasan.
2. Bagi Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri
kedua/ketiga/keempat.
3. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
4. Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat ketiga (3), harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih
dari seorang.
9
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: PT. Citra Umbara, 2007), hlm. 3
10
Melihat ketentuan yang ada, dapat diketahui bahwa bagi seorang yang beristri lebih dari
seorang harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU No. 1 Tahun 1974 dan agama yang
dianutnya membolehkan atau tidak. Kedua syarat tersebut dapat dipertimbangkan dan diputuskan
oleh Pengadilan apabila syarat tersebut terpenuhi Walaupun UU No. 1 Tahun 1974 telah menentukan
prosedur dan syarat tertentu bagi seseorang yang beristri lebih dari seorang. Ada pula
syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi golongan tertentu untuk beristri lebih dari seorang yaitu golongan
ABRI dan Pegawai Negeri Sipil yang harus memenuhi peraturan-peraturan khusus (Lex Specialis) di
samping peraturan-peraturan umum (Lex Generalis). Sebagai lex specials, prinsip-prinsip yang
dikandung oleh Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1990 atas perubahan Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1983 dengan sendirinya tidak bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974. Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 hanyalah kelanjutan dari perundangan tersebut di mana sama-sama
menganut asas monogami dan untuk memperketat adanya poligami, hanya saja dalam Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 lebih ditekankan pada perizinan dari atasannya.
Dari ketentuan yang ada bahwa seorang yang hendak beristri lebih dari seorang harus
melakukan beberapa ketentuan yaitu: mengajukan permohonan secara tertulis disertai
alasan-alasannya seperti dimaksud pasal 4 dan pasal 5 UU No.1 Tahun 1974 jo pasal 41. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya dengan
membawa Kutipan Akta Kawin yang terdahulu dan surat-surat izin yang di perlukan.
Setelah itu Pengadilan Agama memeriksa hal-hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk
mengeluarkan penetapan yang berbentuk izin untuk boleh atau tidaknya beristri lebih dari seorang
dan Pengadilan Agama harus memperhatikan juga, apakah agama pemohon memperolehkan untuk
beristri dari seorang, dan apabila pemohon adalah Pegawai Negeri Sipil maka harus memperoleh izin
dari atasan yang berwenang. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 pasal 5 ayat 2
yang berbunyi: “setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian, atau untuk beristri lebih dari seorang,
meneruskannya kepada atasan melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambat 3 bulan
terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud”.11
Hal di atas ialah bagi seorang yang hendak beristri lebih dari seorang harus memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan (sesuai dengan uraian di atas) dan meminta permohonan izin
untuk beristri lebih dari seorang kepada atasan yang berwenang dengan memberikan alasan-alasan
yang tepat untuk beristri lebih dari seorang. Maka setiap atasan yang menerima permohonan izin
untuk melakukan perceraian atau beristri dari seorang wajib memberikan pertimbangan secara
tertulis dan atasan tersebut harus memuat hal-hal yang digunakan oleh atasan dalam mengambil
keputusan, apakah permintaan itu mempunyai dasar yang kuat atau tidak. Dan sebagai bahan dalam
membuat pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari suami atau istri
yang bersangkutan atau dari pihak lain yang dipandangnya dapat memberikan keterangan yang
meyakinkan.
Meski telah disebutkan bahwasanya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin
melakukan poligami diharuskan mendapat izin poligami dari atasannya, akan tetapi terdapat realitas
putusan tentang poligami yang tidak mencantumkan yaitu surat izin dari atasan bila Pegawai Negeri
Sipil (PNS) untuk melakukan poligami. Salah satu penyebab apabila terjadinya kurangnya salah satu
syarat izin poligami maka seorang hakim harus bisa menolak apabila terjadi seperti itu.
Namun di Pengadilan Agama Gorontalo mengizinkan adanya poligami bagi Pegawai
Negeri Sipil tanpa surat izin atasan menjadi hal yang baru dan hakim dinilai bersikap contra Legem
(tindakan hakim yang tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku). Hasil jajak pendapat telah
didapatkan adanya hakim yang memperbolehkan poligami PNS tanpa surat izin atasan dan adapula
hakim yang melarangnya.
Dari beberapa alasan tidak adannya surat izin atasan bila Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka
pertimbangan hakim di atas yang digunakan sebagai penetapan atas diperbolehkannya untuk
melakukan poligami, kemudian belum lah cukup untuk dijadikan sebagai syarat untuk diterimanya
11
Permohonan untuk melakukan poligami. Dalam hal ini lebih lanjut penulis berdasarkan atas
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 dalam pasal 4 ayat 1 yang berbunyi: “Pegawai Negeri Sipil
(PNS) pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Atasan”,
mengangap bahwa Hakim dalam pertimbangannya harus juga memperhatikan adanya perizinan dari
atasan seorang Pemohon yang akan melakukan poligami. Akan tetapi dalam putusan tersebut tidak
menyebutkan keberadaan perizinan atasan seorang akan melakukan poligami dalam pertimbangan
hukumnya.
Dari penjelasan di atas, maka penulis tertarik dan bermaksud untuk melakukan penelitian
yang dituangkan dalam wujud sebuah Skripsi dengan judul: “A nal i s i s Y u ri di s t er ha d ap
P et i m ba ng a n H a ki m P e n ga di l a n A gam a Go r on t al o Dal am P eri zi ni n an P er kara
Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan”.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah yang terdapat dalam penelitian
ini terdiri dari :
a. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan sebagai wujud realisasi pelaksanaan
Contra Legem serta penjabaran nilai hukum progesif, tidak bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku .
b. proses pembuatan putusan hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin
poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
c. analisis yuridis terhadap pertimbangan hakim hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam
memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan,
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah ditentukan, maka penelitian ini hanya akan
meneliti masalah-masalah berikut :
a. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan.
b. Analisis yuridis terhadap pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam
memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan?
2. Bagaimana analisis Yuridis terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam
memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan?
D. Kajian Pustaka
Ada beberapa karya Ilmiah yang membahas tentang Poligami bagi Pegawai Negeri Sipil
yang dilakukan oleh civitas akademika, diantaranya adalah :
1. Skripsi yang ditulis oleh Mahasiswa Universitas Indonesia Annisa Nurbaiti dengan judul
Poligami oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan
pemerintah no 10 Tahun 1983 Jucto Peraturan Pemerinta no 45 tahun 1990 (Studi kasus Putusan
nomor 1098/Pdt.G/2011/PA.Mks.Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dan penulis
dipoligami tanpa izinnya tidak sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku yaitu
pencegahan perkawinan atau pembatalan perkawinan.12
2. Skripsi yang ditulis oleh Mahasiswa IAIN Walisongo Nurkhasan yang berjudul Analisis
terhadap pasal 4 PP. No. 10 Tahun 1983 jucto pasal 4 (1) PP.No.45 tahun 1990 tentang
kewajiban mendapatkan izin dari atasan bagi PNS yang akan berpoligami.13
Adapun perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah :
1. Penelitian ini terfokus pada pertimbangan hakim dalam memberikan izin kepada Pegawai
Negeri Sipil yang berpoligami dengan tanpa surat izin atasan,
2. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis proses pemberian izin dan pembuatan putusan
hakim untuk Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami dengan tanpa surat izin atasan dengan
yuridis formal.
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa objek dan pendekatan analisis
penelitian dalam skripsi ini berbeda dengan objek dan model penelitian-penelitian sebelumnya.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin
poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan.
2. Mengetahui analisis UU no 1 tahun 1974, UU no 10 Tahun 1983 yang diubah dengan peraturan
pemerintah no 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan den perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin atasan.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
12
Annisa Nurbaiti, Skripsi, (Fakultas Hukum UI, 2012), hlm 19.
13
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Aspek teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran serta sarana untk menambah
wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin
atasan serta proses pembuatan putusan hakim hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam
memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) apakah terdapat kendala yang
menghambat proses pembuatan putusannya.
2. Aspek praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan, baik untuk menjadi pegangan selanjutnya,maupun menjadi referensi dalam
pembuatan karya ilmiah selanjutnya,atau menjadi bahan untuk penyuluhan tentang tata cara
berpoligami bagi Pegawai Negeri Sipil di masyarakat.
G. Definisi Operasional
Demi menghindari kesalah fahaman dalam menginterpretasikan arti dan maksud dalam
judul ini, maka perlu ditegaskan pengertian dari beberapa istilah dalam judul skripsi ini, diantaranya :
1. Analisis Yuridis : maksudnya disini ialah menganalisa pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa surat izin
atasan dengan UU no 1 tahun 1974, UU no 10 Tahun 1983 yang diubah dengan peraturan
pemerintah no 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan den perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
2. Pertimbangan Hakim : maksudnya disini adalah hasil perbuatan hakim dalam memandang dan
melihat suatu masalah yang menjadi pengetahuan untuk dipertimbangkan hakim dalam
Pengadilan Agama Gorontalo ,kelas 1b beralamat di Jl.Jenderal Sudirman No 121 provinsi Gorontalo.
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka data yang dihimpun adalah data tentang
pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat
diperoleh.14 Dalam arti lain sumber data adalah semua informasi baik yang merupakan benda
nyata, sesuatu yang abstrak, peristiwa/ gejala baik secara kuantitatif ataupun kualitatif,15 dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber, yaitu :
a. Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan
oleh orang yang melakukan penelitian atau orang yang memerlukannya. Data primer disebut
juga data asli atau data baru. Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara
individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau
kegiatan, dan hasil pengujian yang diperoleh langsung dari objek penelitian.16 Sumber Data
Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber utama yaitu para Hakim Pengadilan
Agama Gorontalo dan salinan putusan Pengadilan Agama tentang izin poligami PNS tanpa
surat izin atasan.
b. Sumber Sekunder
14
Lexy J. Moleong, Op. Cit., hlm 129.
15
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Penelitian Pemula (Cet. 3; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm 44.
16
Sumber sekunder yaitu sumber yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang
melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan atau dari
laporan-laporan peneliti terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia.17 Dalam
penelitian ini, sumber data sekundernya sumber yang kedua yaitu Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, PP No. 10 Tahun 1983, PP No. 45 Tahun). Data tersebut diatas merupakan data
pelengkap yang nantinya secara tegas dapat dikorelasikan dengan sumber data primer.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada bagian ini akan dikemukakan persoalan metodologis yang berkaitan dengan
teknik-teknik pengumpulan data.18 Sesuai dengan objek kajian penelitian ini, maka metode pengumpulan
data yang digunakan sebagai berikut:
a. Wawancara
Peneliti menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh informasi-informasi dari
informan secara langsung dengan bertatap muka.19 Untuk jenis wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini adalah semi terstruktur.20 Artinya wawancara dengan perencanaan, di
mana peneliti menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan
lengkap untuk mengumpulkan datanya. Wawancara terstruktur ini digunakan untuk
mewawancarai para Hakim Pengadilan Agama Gorontalo.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data yang terkait topik penelitian yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, dan semacamnya. Sedangkan
obyeknya adalah benda mati.21 Dalam proses penelitian mengunakan catatan, rekaman
wawancara dengan informan dan buku-buku yang digunakan untuk mencari data.
17
Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), hlm 94.
18
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Andi Office: 1993), hlm 83
19
Abu Achmadi dan Cholid Narkubo, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), hlm83.
20
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm 194.
21
Dokumentasi yang digunakan dalam hal ini adalah salinan putusan Pengadilan Agama tentang
poligami PNS tanpa surat izin atasan.
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data mentah yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis. Data yang diperoleh dalam suatu
penelitian tidak akan ada artinya jika tidak melalui tahap analisis, karena analisis merupakan
bagian yang amat penting dalam penelitian. Data yang telah dikumpulkan dapat diberi arti dan
makna yang berguna untuk memecahkan masalah penelitian melalui analisis.22
Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif deskriptif Dalam rangka
mempermudah memahami data yang diperoleh agar data terstruktur secara baik, rapi dan
sistematis, maka pengolahan data dengan beberapa tahapan menjadi sangat urgen dan signifikan.
Adapun tahapan-tahapan pengolahan data adalah:
a. Edit
Tahapan pertama edit adalah pemeriksaan ulang dengan tujuan data yang
dihasilkan berkualitas baik. Dan dilakukan untuk meneliti kembali data-data yang
diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya
dengan kelompok data yang lain dengan tujuan apakah data-data tersebut sudah
mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dan untuk mengurangi
kesalahan dan kekurangan data dalam penelitian serta untuk meningkatkan kualitas data.
b. Klasifikasi
Proses selanjutnya adalah mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan
mengklasifikasikan (pengelompokan), data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau
permasalahan tertentu untuk mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan
kebutuhan penelitian.23 Langkah kedua ini dilakukan dengan cara data-data penelitian
22
Moh. Nazir, Tradisi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. Ke-3, 1988), hlm 405
23
diperiksa kemudian dikelompokkan atau berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dengan
tujuan untuk mempermudah dalam membaca. Dan dalam konteks ini peneliti
mengelompokkan data pada dua hal yaitu temuan saat wawancara dengan para Hakim
Pengadilan Agama Gorontalo dan para pelaku poligami bagi Pegawai Negeri Sipil
(PNS).
c. Verifikasi
Verifikasi adalah pembuktian kebenaran data untuk menjamin validitas data yang
telah terkumpul. Verifikasi ini dilakukan dengan cara menemui sumber data (informan)
dan memberikan hasil wawancara dengannya untuk ditanggapi apakah data tersebut
sesuai dengan yang informasikan olehnya atau tidak.
d. Analisis
Yang dimaksud dengan analisis adalah proses penyederhanaan kata ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan juga mudah untuk di interpretasikan.24 Dalam hal ini
analisa data yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif kualitatif, yaitu analisa yang
menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian
dipisahkan menurut kategorinya untuk memperoleh kesimpulan.25 Dalam mengolah data
atau proses analisanya, penulis menyajikan terlebih dahulu data yang diperoleh dari
lapangan atau dari wawancara.
I. Sistematika Pembahasan
24
Masri Singaribun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm 263.
25
Agar pembahasan dalam tulisan ini mempunyai alur pikiran yang jelas dan terfokus pada
pokok permasalahan, maka diperlukan sistematika pembahasan meliputi:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode
penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang poligami yang meliputi pengertian poligami, syarat
poligami, hikmah poligami, sejarah poligami, poligami dalam dalam UU No. 1/1974. Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil,Peraturan Bersama Mahkamah Agung no 02/PB/MA/IX/2012 tentang panduan penegakan
kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Bab ketiga berisi Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo tentang perizinan
poligami yang meliputi deskripsi Pengadilan Agama Gorontalo yang berguna untuk mengetahui
kondisi lapangan yang digunakan sebagai lokasi penelitian, Dasar hukum hakim dalam memutuskan
perkara poligami bagi PNS tanpa surat izin atasan serta pertimbangan hakim pengadilan Agama
Gorontalo dalam memutuskan perkara poligami bagi PNS tanpa surat izin atasan terkait. Dari
pembahasan bab ini Peneliti dapat mengumpulkan data yang berkaitan dengan penelitian yang
dilakukan Peneliti.
Bab keempat berisi analisis terhadap pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gorontalo
yang meliputi analisis pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memberikan izin poligami bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Tanpa surat izin atasan,proses pembuatan putusan hakim hakim
Pengadilan Agama Gorontalo dalam memberikan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan
kendala hakim yang menghambat proses pembuatan putusannya.
Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran sebagai
BAB II
KONSEP POLIGAMI BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA
A.Konsep Poligami
1. Pengertian Poligami
Menurut bahasa poligami berasal dari bahasa yunani yaitu gabungan kata poli atau
polus yang artinya banyak, dan gamein atau gamous, yang berarti kawin atau perkawinan.
Jika digabungkan berarti suatu perkawinan yang banyak26. Definisi poligami menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Poligami memiliki arti: ‚Sistem perkawinan yang
salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang
bersamaan.27‛
Kata ‚bersamaan‛ didalam penjelasannya bukan menunjukan pada proses upacara
perkawinannya, tetapi menunjuk kepada kehidupan perkawinan dimana bersamaan dalam
arti bukan terjadi pada selang beda waktu, misalkan setelah ditinggal pasangan lawan
jenis meninggal atau cerai kemudian menikah lagi.
Poligami adalah sebagai ikatan perkawinan yang salah satu (suami) mengawini
beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan
bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami dikenal juga
istilah poliandri, jika dalam poligami suami yang memiliki beberapa isteri, dalam
poliandri sebaliknya, justru isteri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang
bersamaan. Akan tetapi dibandingkan dengan poligami bentuk poliandri tidak banyak
26
Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka pelakar, 1996), hlm.84.
27
Sudarsono, Kamus Hukum,(Jakarta: Rineka Cipta,1986), hlm. 169.
dipraktekkan. Poliandri hanya ditemukan pada suku-suku tertentu, seperti pada suku Toda
dan beberapa suku di Tibet.28
2. Sejarah Poligami
Sebelum Islam, bangsa Yahudi memperbolehkan poligami. Nabi Musa tidak
melarang, bahkan tidak membatasi sampai berapa istri seseorang berpoligami itu. Kitab
Ulangan 25/5 mewajibkan saudara laki-laki mengawini janda saudaranya yang meninggal
tanpa anak, meskipun ia telah beristri. Kitab Ulangan 21/10-17 juga mengatakan
kebolehan poligami, seperti Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman. Nabi Ibrahim pun beristri
dua orang, bahkan Nabi Yaqub beristri empat orang29.
Berbeda pula dengan Kristen/Katolik yang tidak memperkenankan adanya poligami.
Dalam Matius 19:1-10 menyatakan bahwa Tuhan dalam ciptaan asalnya: satu lelaki, satu
perempuab Tuhan dan tidak mencipta dua perempuan untuk satu lelaki maupun
sebaliknya. Maka diharamkan bagi penganut Kristen/Katolik untuk melakukan poligami.
Hindu dalam Slokantara Sloka 2 menyatakan bahwa adanya toleransi terhadap
poligami tapi bukan dibenarkan. Disebutkan pula ada tiga jenis Brahmacari, Salah satunya
Krisna atau Trisna Brahmacari yaitu seorang lelaki yang kawin dengan maksimal empat
orang istri. Namun dalam Sloka tersebut dinyatakan bahwa bagi mereka yang berpoligami
ditelorinr maksimal empat istri meniru dewa Siwa dengan empat saktinya yaitu Dewi
Uma, Dewi Gangga, Dewi Gaun, dan Dewi Durga.30
28
Siti Musda Mulia, Pertimbangan Isam Tentang Poligami (Lembaga Kajian Agama dan Gender: Jakarta, 1999), hlm. 2.
29
Musfir Al-Jahrani, PoligamiDariBerbagaiPersepsi (Jakarta: Gema Insani, 1996), hlm. 35
30 I ketut Wiana,M.Ag, “Poligami dan Poliandri”
, www.parisada.org “diakses pada tanggal 25 oktober
Ajaran Zoroaster melarang bangsa Persi berpoligami, tetapi memperbolehkan
memelihara gundik sebab sebagai bangsa yang banyak berperang, bangsa Persi
memerlukan banyak keturunan laki-laki yang dapat diperoleh dari istri dan gundik-gundik.
Akhirnya, praktik poligami terjadi juga di kalangan bangsa Persi. Undang-undang yang
melarang poligami atau membatasi banyaknya istri tidak ada31.
Di Indonesia Usai perang kemerdekaan awal tahun 1950-an, banyak organisasi
perempuan yang merasakan perlunya perbaikan perkawinan, khususnya praktek poligami
yang sangat merugikan perempuan. Organisasi-organisasi perempuan seperti Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia). Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia), dan Wanita
Katolik menghendaki dilarangnya poligini itu. Bahkan organisasi perempuan muslim pun
menaruh perhatian pada poligini ini, walaupun tidak begitu leluasa, karena hubungan
mereka dengan sejumlah organisasi agama yang dipimpin laki-laki. Dalam hal ini
perempuan muslim selalu dalam posisi sulit.32
Pada tahun 1950, Fraksi wanita di Parlemen mengusulkan dibentuknya Komisi
Perkawinan dan berhasil membuat sebuah rancangan untuk undang-undang perkawinan
umum bagi semua orang indonesia. Rancangan Undang-Undang itu prinsipnya berbunyi
bahwa perkawinan harus didasarkan atas suka sama suka kedua belah pihak, dan poligami
hanya diizinkan dengan persyaratan yang keras serta hanya dengan persetujuan agama si
perempaun dan laki-laki.33
B.Poligami Di Indonesia
31
Musfir Al-Jahrani, PoligamiDariBerbagaiPersepsi (Jakarta: Gema Insani, 1996), hlm. 45.
32
Budi Radjab, Meninjau Poligami; Persepektif Antropologis dan Keharusan Mengubahnya, Jurnal Perempuan Menimbang Poligami, No. 31 (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempaun, 2003), hlm. 77.
33
Regulasi praktek poligami di Indonesia sendiri mulai diatur pada masa orde baru yaitu
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, kemudian disusul dengan
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaa Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Kemudian bagi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) izin
perkawinan dan perceraian diberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 10 Tahun 1983 dan
Peraturan Pemerintah RI No. 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 1983. Kemudian masalah poligami juga dibahas dalam Inpres No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
2. Perundang-Undangan
c. UU No. 1 Tahun 1974
Dalam undang-undang ini, perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas
monogami, kecuali Perkawinan tersebut membuka kemungkinan suami dapat
melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama dan memenuhi syarat yang
telah ditentukan guna mendapatkan izin dari pengadilan agama.34.
Ketentuan tersebut dengan tegas telah diatur dalam pasal (3) ayat (1) dan (2)
Undang-undang no 1 Tahun 1974 yang berbunyi 35:
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
34
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta:tt), hlm.226.
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat
tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan Tentang alasan y ang dapat
dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menentukan untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut36:
1. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian hakim37.
d. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun
1990
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap
36Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam 37
oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan, Demikian
yang disebut dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara 38
Sebenarnya Poligami dikalangan Pegawai Negeri Sipil itu diperbolehkan tetapi
harus memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan ditentukan di dalam undang-undang.
Namun, Pegawai Negeri Sipil hanya mempunyai 1 (satu) tunjangan istri dan Negara
hanya mengakui Pewagai Negeri Sipil (PNS) beristri 1 (satu), jika Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang beristri lebih dari satu maka istri kedua, ketiga dan keempat tidak
akan mendapat tunjangan istri, kartu istri (KARIS) seperti yang didapatkan istri
pertama. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin berpoligami hanya memenuhi
persyaratan-persyaratan yang tidak mudah.
di Indonesia, pengaturan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberi
kekhususan, selain ketentuan yang secara umum berlaku bagi masyarakat. Oleh karena
itu, selain harus memenuhi ketentuan umum yang berlaku terhadapnya. Kekhususan
tersebut dilandasi pemikiran bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan abdi
Negara yang diharapkan dapat menjadi teladan dalam masyarakat. Seorang Pegawai
Negeri Sipil (PNS) diharapkan bertindak hati-hati sebelum memutuskan untuk
berpoligami. Dalam pengajuan izin berpilogami diperlukan lebih dahulu izin tertulis
dari pejabat atasanya disertai dasar alasan.39 Untuk itu, harus dipenuhi adanya syarat
alternatif sebagai dasar alasan berpoligami yang harus dibuktikan dengan surat
keterangan dokter pemerintah.
38Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
hlm.3.
39
Misalnya adanya syarat-syarat administrasi yang menyulitkan seperti harus ada
izin pejabat, surat keterangan penghasilan, izin istri pertama, dan sebagainya. Dalam
peraturan pemerintah Republik Indonesia tentang perubahan atas peraturan pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri
sipil.
Dalam pasal 1 Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil yaitu mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi bahwa pertama,
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau
surat keterangan lebih dahulu dari pejabat. Kedua, Bagi Pegawai Negeri sipil yang
berkedudukan sebagai penggugat atau bagi pegawai negeri sipil yang berkedudukan
sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud
alam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis yaitu dalam surat
permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan
surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.
Kemudian adanya perubahan ketentuan Pasal 4 sehingga seluruhnya berubah
menjadi yang pertama, Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang,
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Kedua, Pegawai Negeri Sipil wanita
tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat. Ketiga, permintaan izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis. Keempat, dalam surat
permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang
Kemudian ketentuan ayat (2) Pasal 5 juga berubah sehingga berbunyi bahwa
setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam
lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari
seorang wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui
saluran hierarki dalam jangka waktu selambatlambatnya tiga bulan terhitung mulai
tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
Kemudian adanya perubahan ketentuan Pasal 8 yaitu diantara ayat (3) dan ayat
(4) lama disisipkan satu ayat yang dijadikan ayat (4) baru, yang berbunyi bahwa
pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan
karena istri berzinah, dan atau melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik
lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan
penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua
tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
Ketentuan ayat (4) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (5) baru yaitu
mengubah ketentuan ayat (5) lama dan selanjutnya dijadikan ayat (6) baru sehingga
berbunyi bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila
istri minta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau
suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau
suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan
Ketentuan ayat (6) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (7) baru yaitu
mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 9 sehingga berbunyi sebagai berikut, yang pertama,
pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan denagan seksama alasan-alasan
yang dikemukakan dalam urat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 12 lama dijadikan ketentuan Pasal 11 baru, dengan mengubah
ketentuan ayat (3) sehingga berbunyi bahwa Pimpinan Bank Milik Negara dan
pimpinan Badan Usaha Milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.
Adapun ketentuan Pasal 13 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 12
baru,sehingga berbunyi sebagai berikut bahwa Pasal 12 Pemberian atau penolakan
pemberian izin untuk melakukan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1),dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga
bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut.‛ Ketentuan Pasal 14 lama
selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 13 baru.
ketentuan Pasal 15 lama diubah dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 14
baru, sehingga berbunyi bahwa ‚Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan
wanita yang bukan isterinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami
tanpa ikatan perkawinan yang sah.40
Pegawai Negeri Sipil (PNS) boleh berpoligami mempunyai istri lebih dari satu
jika mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai persyaratan yang diatur dalam
40
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.41 juga diatur secara khusus. Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 42yang diubah dan disempurnakan
beberapa pasalnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 43
Kedua Peraturan Pemerintah ini berisi aturan-aturan khusus bagi PNS dalam hal
hendak melaksanakan perkawinan dan perceraian juga Poligami. izin untuk
berpoligami hanya dapat diberikan apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu
syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif yang disebutkan pada pasal 10 ayat (2)
Peraturan Pemerintah no 10 tahun 1983. Syarat Alternatif tersebut adalah sebagai
berikut44 :
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
b. Istri Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Untuk syarat kumulatif yang harus dipenuhi keseluruhannya oleh suami yang
akan berpoligami yaitu sebagai berikut45 :
a. Adanya persetujuan tertulis dari istri,
b. Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup
untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan
dengan surat keterangan pajak penghasilan,
c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri sipil yang bersangkutan bahwa Ia akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 menyatakan pegawai negeri
41
Rochayah Machali, WacanaPoligamidiIndonesia (Bandung: PT. Mizan, 2005), hlm. 36.
42Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 ,
hlm.2.
43
Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 , hlm.2. 44Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983,
hlm.3.
45
sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
pejabat atasan, betapa pentingnya arti dari sebuah izin dari pejabat atau atasan untuk
melakukan poligami. Tanpa izin dari atasan pegawai negeri sipil tersebut tidak akan
melangsungkan poligaminya, sebab kewajiban dapat diartikan sebagai hal yang tidak
bisa diganggu gugat, sesuatu yang wajib dilaksanakan, sesuatu hal yang harus dilaksanakan, jika melanggar akan mendapatkan hukuman.46
Adanya peraturan tentang tata cara dan izin untuk melakukan poligami, harusnya
Pegawai Negeri Sipil mematuhi dan mengikuti ketentuan maupun syarat-syarat yang
ada didalam pasal-pasal dari UU No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah. Hal ini
memang didesain sedemikian rupa agar seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak
berpoligami.
Hukum positif di Indonesia telah mengatur tentang perkawinan melalui
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, khusus Pegawai Negeri Sipil (PNS) diberlakukan pula
Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1983tentang izin perkawinan dan perceraian
pada pegawai negeri sipil. Dari ketentuan perundang-undangan yang diberlakukan
tersebut, menunjukkan tidak ada larangan dilakukannya poligami, hanya saja dalam
pelaksanaan poligami disyaratkan adanya izin pengadilan agama.
Apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari satu maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Kata Wajib diartikan
sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar maka akan
diberikan hukuman. Adapun prosedur untuk melakukan poligami terdapat pada
ketentuan pasal 40 hingga 44 tentang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9
46
Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Pasal 40 yang
memberikan pengadilan wewenang dalam memeriksa ada atau tidaknya alasan yang
menunjukkan bahwa suami kawin lagi, ada tidaknya izin istri, adanya kemampuan
suami untuk berlaku adil pada semua istrinya, serta adanya persetujuan secara lisan.
Hal ini tercantum pada isi pasal berikut :
Pengadilan ini memeriksa mengenai :47
a. Ada atau tidak adanya alasan yang menunjukkan seorang suami kawin lagi, ialah
1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2) Bahwa
istri mendapat cacat yang sulit disembuhkan. 3) Bahwa istri tidak dapat
memberikan keturunan.
b. Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri secara lisan maupun tertulis.
c. Apabila persetujuan itu secara lisan, maka ia harus diucapkan depan pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri
dengan anak-anak dengan memperlihatkan 1) Surat keterangan penghasilan
suami yang ditanda tangani oleh bendahara ditempat kerja. 2) Surat keterangan
pajak penghasilan. 3) Surat tidak ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri dan anaknya dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat
didalam bentuk yang ditetapkan itu.
Dalam Pemeriksaan hal yang dicantumkan pada pasal 40 dan 41, perkara wajib
diperiksa selambat-lambatnya 30 hari oleh hakim setelah surat pengadilan telah
diterima, kemudian pengadilan wajib memanggil istri dari yang bersangkutan untuk
mendengarkan jawaban isrti atas pertanyaan yang hakim kemukakan. Hal ini
47 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975” www.djpp.depkumham.go.id”, “ diakses pada
dicantumkan pada pasal 42 yaitu48 :
a. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai pasal 40 dan 41 pengadilan harus
memanggil dan mendengar istri-istri yang bersangkutan.
b. Pemeriksaan pengadilan itu dilakukan oleh hakim selambat- lambatnya 30 hari
setelah diterimanya surat pengadilan beserta lampiran-lampirannya.
Adapun Pasal 43 Menegaskan bahwa Apabila pengadilan cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seorang maka pengadilan memberikan putusan yang
berupa izin beristri lebih dari seorang. Selain itu dalam Pasal 44 juga menambahkan
bahwa bagi Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin dari
pengadilan seperti dimaksud dalam pasal 43 Dalam penjelasan asas peraturan
pemerintah No. 48 Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1983 tentang perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil.
Bila dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 Pasal 41
bahwa pihak-pihak yang bersangkutan untuk menentukan boleh tidaknya poligami
suami yang notabene Pegawai Negeri Sipil adalah Pihak atasan suami tempat Ia
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan atau yang membuat surat keterangan
penghasilan, Pihak Dinas Perpajakan yang membuat surat keterangan pajak
penghasilan, serta keterangan dokter tentang penyebab istri tidak dapat melaksanakan
kewajibannya.
48Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975” www.djpp.depkumham.go.id”, “ diakses pada
BAB III
POLIGAMI BAGI PNS TANPA IZIN ATASAN
DI PENGADILAN AGAMA GORONTALO
C. Gambaran Umum Dan Lokasi Penelitian
1. Sejarah Perkembangan Terbentuknya Pengadilan Agama Gorontalo
Sejak zaman kerajaan atau jauh sebelum penjajah masuk di dataran daerah Gorontalo Pengadilan Agama telah ada di daerah ini, dahulu masih dikenal sebagai Kantor Keqadlian yang memiliki banyak peraturan-peraturan tersendiri, berdasarkan peraturan kekuasaan militer Belanda peraturan-peraturan Residen maupun berdasarkan peraturan Swapraja dan adat. Tugas-tugas ke qadlian khusus meliputi perkara-perkara antara orang-orang islam dengan berlandaskan adat istiadat daerah tersebut seperti nikah/kawin, cerai, rujuk, mahar, hadlonah, nafkah, malwaris, dan lain sebagainya49.
Pelaksanaan sidang pada masa itu biasa dilakukan di mesjid/mushollah dan diserambi rumah. Hal ini dilakukan karena sarana gedung dan fasilitas isinya belum ada, dan personilnya sedikit sekali yaitu 1 (satu) orang Qadli 4 orang Imam dan beberapa orang sebagai Kasisi (Modim), serta volume perkaranya sangat sedikit
2. Profil Pengadilan Agama Gorontalo 50
49 “sejarah dan perkembangan terbentuknya pengadilan agama gorontalo”
http://pa-gorontalo.go.id/home/visi-misi.html, “Diakses pada tanggal 21 oktober 2014 pukul 21.00 wib”.
50 “Profil pengadilan agama gorontalo”,
http://pa-gorontalo.go.id/home/profil.html “Diakses pada tanggal 21 oktober 2014 pukul 21.00 wib”.
Pengadilan Agama Gorontalo, terletak di Jl. Jendral Sudirman No 121, Kelurahan Wumialo, Kecamatan Kota Tengah, Kota Gorontalo, sebagai pelaku kekuasan kehakiman bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang sebagaimana disebutkan diatas. Disamping itu, Pasal 52 A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta (vide pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989). Efektifitas pelaksanaan pelayanan hukum di Pengadilan Agama Gorontalo adalah merupakan implementasi dari kebijakan Direktorat Jenderal Peradilan Agama (Ditjen Badilag), sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Arah dan kebijakan pelaksanaan pelayanan hukum di Pengadilan Agama Gorontalo adalah mengoptimalkan potensi sumber daya dan sumber dana yang dimiliki dalam rangka mewujudkan peradilan yang bersih, berwibawa dan bermartabat, Independensi dan akuntabel / transparansi maka ditempuh kebijakan penyelenggaraan peradilan di Pengadilan Agama Gorontalo sebagai langkah-langkah strategis yang dirumuskan sebagai berikut :
a. Meningkatkan pengendalian manajemen peradilan Agama, dengan program: 1) Peningkatan sumber daya manusia (aparatur pegawai)
2) Peningkatan efektifitas dan efisiensi sumber dana dalam DIPA 3) Mengoptimalkan penggunaan sarana dan prasarana
4) Meningkatkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan
b. Meningkatkan pelayanan penerimaan dan penyelesaian perkara dengan program: 1) Meningkatkan mutu pelayanan penerimaan perkara dan tranparansi biaya perkara 2) Meningkatkan penertiban penerimaan perkara dan register
3) Meningkatkan pengendalian perkara sesuai Polabindalmin dan juklak lainnya
4) Penertiban berkas perkara kedalam boks dan kearsipan.
c. Mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum dengan program:
1) Mewujudkan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum.
2) Mewujudkan penyelesaian perkara yang telah inkracht (berkekuatan hukum)
melalui ikrar talak, penerbitan akte cerai dan pelaksanaan permohonan eksekusi.
Sebagai salah satu instansi dari Mahkamah Agung, Pengadilan Agama Gorontalo
dalam penyelenggaraan peradilan melaksanakan tugas dan kinerjanya memberikan
pelayanan yang disesuaikan dengan misi Mahkamah Agung yaitu ‚Mewujudkan rasa
keadilan sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan serta memenuhi rasa keadilan
masyarakat dengan mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari
campur tangan pihak lain, memperbaiki akses pelayanan dibidang peradilan pada
masyarakat, memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan, demi
terwujudnya institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat serta dihormati.
Hal tersebut sesuai dengan visi Mahkamah Agung, yaitu ‚Mewujudkan supremasi
hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif dan efisien, mendapatkan
kepercayaan publik, profesional dalam memberikan pelayanan hukum yang berkualitas,
etis, terjangkau dan berbiaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan
pelayanan publik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka setiap unsur satuan kerja di Pengadilan
Agama Gorontalo, melaksanakan tugas dan fungsinya untuk menyelenggarakan
administrasi yudisial dan non yudisial, dengan memanfaatkan sumber daya, sumber dana
(SIADPA), guna pencapaian pelayanan Hukum bagi pencari keadilan secara cepat,
sederhana dan biaya ringan, demi terpenuhinya rasa keadilan dan kepastian hukum.
Pengelolaan berbagai potensi yang ada di Pengadilan Agama Gorontalo oleh
masing-masing unit kerja, didasarkan pada perencanaan stratejik Pengadilan Agama Gorontalo
yang telah ditetapkan.
3. Visi Dan Misi Badan Peradilan Indonesia a. Visi Badan Peradilan
Visi Badan Peradilan yang berhasil dirumuskan oleh Pimpinan MA pada tanggal 10 September 2007 adalah: "Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung‛Visi Badan Peradilan tersebut di atas, dirumuskan dengan merujuk pada Pembukaan UUD 1945 terutama alinea kedua dan alinea ke empat, sebagai tujuan Negara Republik Indonesia. Dalam cetak biru Pembaruan Peradilan, dituangkan usaha-usaha perbaikan untuk mewujudkan badan peradilan yang agung. Badan Peradilan Indonesia yang Agung, secara ideal dapat diwujudkan sebagai sebuah Badan Peradilan yang:
1) Melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen, efektif, dan
berkeadilan.
2) Didukung Pengelolaan anggaran berbasis kinerja secara mandiri yang
dialokasikan secara proporsional dalam APBN.
3) Memiliki struktur organisasi yang tepat dan manajemen organisasi yang jelas dan
terukur.
4) Menyelenggarakan manajemen dan administrasi proses perkara yang sederhana,
5) Mengelola sarana prasarana dalam rangka mendukung lingkungan kerja yang
aman, nyaman, dan kondusif bagi penyelenggaraan peradilan.
6) Mengelola dan membina sumber daya manusia yang kompeten dan kriteria
obyektif, sehingga tercipta personil peradilan yang berintegritas dan profesional.
7) Didukung pengawasan secara efektif terhadap perilaku, administrasi, dan
jalannya peradilan.
8) Berorientasi pada pelayanan publik yang prima.
9) Memiliki manajemen informasi yang menjamin akuntabilit