• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resin komposit flowable juga digunakan sebagai lapisan perantara dan sebagai lapisan yang mengurangi stress pada restorasi direct komposit. Pengaplikasian ini dilakukan karena resin komposit flowable dipercaya dapat mengurangi ketegangan saat shrinkage akibat polimerisasi dan menghasilkan integritas ikatan yang baik dengan struktur gigi. Modulus elastisitas yang rendah juga menghasilkan kemampuan regang yang cukup tinggi serta dapat menghasilkan margin restorasi yang lebih kuat. Selain itu resin komposit flowable mempunyai ketahanan terhadap fraktur yang lebih tinggi karena modulus elastisitas yang rendah.20 Penggunaan bahan bonding dan resin komposit dengan viskositas rendah diindikasikan untuk memperbaiki kekuatan perlekatan, adaptasi marginal dan intervasial resin komposit terhadap dentin.33

2.1.1 Polimerisasi Resin Komposit

Meskipun sampai saat ini resin komposit terus berkembang dengan pesat,

komposit.9,10 Proses polimerisasi terjadi melalui tiga tahapan yaitu tahap inisiasi dimana molekul yang besar terurai karena panas menjadi radikal bebas yang terjadi dengan bantuan sinar tampak, kemudian tahap propagasi dimana pada tahap ini monomer yang diaktifkan akan saling berikatan sehingga tercapai polimer dengan jumlah monomer tertentu dan tahap yang ketiga adalah terminasi dimana rantai membentuk molekul yang stabil.31

Resin komposit mengeras melalui proses polimerisasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :3,29

a. Resin diaktivasi secara kimiawi

Pada resin komposit yang diaktifasi secara kimiawi terdiri dari dua bentuk pasta. Pasta yang pertama berisi inisiator benzoyl peroxide, sedangkan pasta yang lain berisi aktivator tertiary amine. Bila kedua pasta ini dicampurkan, amine akan bereaksi dengan benzoyl peroxide dan membentuk radikal bebas sehingga mekanisme pengerasan dimulai.

b. Resin diaktivasi sinar

Pada resin komposit yang diaktifasi oleh sinar hanya terdiri dari satu pasta. Sistem pembentukan radikal bebas dalam mekanisme pengerasan terdiri atas molekul–molekul photoinisiator dan aktifator amin dan bila disinari dengan panjang gelombang yang tepat maka akan merangsang foto-inisiator untuk bereaksi dengan amine dan membentuk radikal bebas. Secara umum light curing yang pertama digunakan yaitu light cure halogen quartz tungsten dengan panjang gelombang 410-500 nm dan intensitas berkisar 400-900 Mw/cm2 dan dilengkapi dengan filter karena intensitas sinar yang tinggi akan berbahaya bagi retina. Lalu yang kedua Light cure

plasma arc (PAC) yang merupakan sinar dengan intensitas yang tinggi. Panjang sinar

sekitar 450-500 nm dan intensitas lebih dari 1800 Mw/cm2 biasa digunakan untuk pengerasan komposit dengan fotoinisiator dan yang ketiga adalah light cure Emiting

diode (LED) dengan panjang sinar antara 400-500 nm dan intensitas 700-1000

Mw/cm2 efektif untuk pengerasan dengan bahan fotoinisiator camphorqiunone, dimana camphorquinone ini memiliki puncak penyerapan sinar pada 469 nm. LED ini memiliki kelebihan tidak memerlukan filter, tidak mengeluarkan panas dan

memiliki waktu pemakaian yang lama. Yang terbaru adalah argon laser curing unit, sinar argon laser memiliki panjang sinar 470 nm dan intensitas 200-300 Mw dan memiliki kelebihan yaitu polimerisasi yang seragam tidak terpengaruh jarak, lebih dalam ketebalan yang mampu dicapai dan derajat polimerisasi lebih tinggi dibandingkan sinar halogen konvensional.29

Polimerisasi yang sempurna pada resin komposit tergantung pada derajat konversi dari monomer menjadi polimer. Derajat polimerisasi dari resin komposit bervariasi, shrinkage yang terjadi berkisar 2,9-7,1 % volume.12 Shrinkage yang terjadi menyebabkan gangguan perlekatan antara restorasi dan dinding preparasi atau kegagalan kohesif. Stress yang dihasilkan selama polimerisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan materi, teknik, preparasi kavitas dan interaksi masing-masing faktor.12 Pertimbangan klinis yang penting mengenai efek

shrinkage polimerisasi adalah c-faktor, yaitu perbandingan permukaan resin komposi

yang berikatan dengan permukaan bebas. Sehingga semakin luas permukaan terikat maka kontraksi semakin besar (Gambar 2).11,21 Stressshrinkage merupakan hal yang kompleks yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti viskositas resin, kandungan filler, C-factor dan modulus elastisitas. Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi shrinkage polimerisasi seperti teknik layering dan penggunaan resin komposit flowable karena memiliki viskositas yang rendah dan fleksibilitas yang tinggi sehingga dapat mengurangi ketegangan yang terjadi akibat shrinkage saat polimerisasi.13

Gambar 2. C-factor untuk kavitas klas I,II,III, IV dan V.11

2.2 Sistem Adhesif

Secara terminologi, adhesif adalah proses perlekatan dari suatu substansi ke substansi yang lain. Permukaan atau substansi yang berlekatan disebut adherend. Adhesif adalah bahan yang berupa zat cair yang kental yang menggabungkan dua substansi hingga mengeras dan mampu memindahkan suatu kekuatan dari suatu permukaan ke permukaan yang lain. Bahan perekat atau bondingagent adalah bahan yang bila diaplikasikan pada permukaan suatu benda dapat melekat, dapat bertahan dari pemisahan dan dapat menyebarluaskan beban melaui perlekatan (Gambar 3).28

Faktor yang efektif untuk membentuk perlekatan yang baik adalah permukaan yang bersih, kekasaran permukaan, sudut kontak, kelembaban yang sesuai, viskositas yang rendah dan daya alir yang kuat. Penurunan integritas marjinal adhesi dapat menyebabkan celah mikro, sensitivitas pasca restorasi, lepas restorasi, patologi pulpa serta menurunkan ketahanan restorasi.27

Berdasarkan jumlah tahapan dalam aplikasi klinis, sistem adhesif dibagi atas beberapa kategori, yaitu :26

1. Total-etch adhesive system

a. Three-step total-etch adhesive

Three-step total-etch adhesive terdiri dari tiga tahap aplikasi yaitu tahap

etching, dilanjutkan dengan tahap priming dan tahap bonding atau aplikasi dengan

resin adhesif. Bahan primer dan adhesif berada dalam keadaan terpisah (two bottle)

b. Two-step total-etch adhesive

Bahan primer dan adhesif digabung dalam satu kemasan, sehingga hanya terdiri dari dua tahap aplikasi yaitu tahap etching dan rinsing yang menggunakan bahan gabungan primer dan adhesif.

Gambar 4.Mekanisme perlekatan total-etch system. A. Aplikasi etsa asam akan menghilangkan seluruh smear layer dan membuka tubus dentin. B. Aplikasi bahan primer (merah). C. Aplikasi bahan adhesif (hijau) akan berdifusi dalam bahan primer dan masuk dalam tubulus dentin serta membentuk resin tag.32

2. Self-etch adhesive system

a. Two-step self-etch adhesive

Terdiri dari dua tahap aplikasi yaitu tahap aplikasi self-etch primer kemudian dilanjutkan dengan tahap aplikasi resin adhesif.

b. One –step self-etch adhesive

Semua unsur bahan bonding dikombinasikan dalam satu botol, sehingga hanya terdiri dari satu tahap aplikasi (single aplication). Pengembangan sistem

adhesif ini merupakan sistem adhesif yang sangat sederhana, sistem ini dikembangkan untuk mempermudah pengaplikasian dan mempersingkat waktu kerja karena tidak membutuhkan waktu yang lama, tidak membutuhkan rinsing, dan dapat diaplikasikan pada enamel dan dentin secara simultan. Sistem adhesif generasi ke-7 ini merupakan perkembangan dari sistem adhesif self-etch yang menggabungkan bahan etsa, primer dan adhesif dalam satu botol tanpa ada tahap-tahap aplikasi maupun pencampuran bahan primer dan bahan adhesif, sistem ini dikenal dengan

one-step self-etch system atau single solution, contoh Promp L-Pop (3M Dental

Product) dan iBond™. Sistem adhesif ini juga memiliki ikatan yang baik dan dapat diaplikasikan dengan penggunaan basis atau liner pada kavitas yang dalam.

Pada sistem adhesif total-etch, seluruh smear layer akan disingkirkan dan serat kolagen akan terpapar akibat etsa asam sehingga dapat menciptakan kondisi yang baik untuk retensi mikromekanis melalui infiltrasi monomer resin, tetapi penyingkiran seluruh smear layer dari permukaan dentin menyebabkan jaringan kolagen yang terpapar menjadi kolaps.26 Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkanlah sistem adhesif self-etch. Sistem adhesif self-etch menggunakan asam primer untuk memodifikasi smear layer, mendemineralisasi permukaan dentin dan mengekspos kolagen. Aplikasi bahan adhesif akan berikatan dengan kolagen yang terekspos dan membentuk lapisan hybrid. Selain itu, asam primer akan menginfiltrasi smear plug dan mempersiapkan jalur bagi penetrasi bahan adhesif ke dalam smear plug dan kemudian berpolimerisasi membentuk resin tag (Gambar 4).25 Oleh karena terhalang oleh smear layer, maka asam primer tidak dapat merembes lebih dalam sehingga lapisan hybrid yang terbentuk lebih pendek dan reaksi hipersensitivitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan sistem adhesif total-etch.

Gambar 5. Mekanisme perlekatan self-etch primer A. Smear layer yang melekat pada permukaan dentin B. Aplikasi bahan primer (biru) akan berpenetrasi ke dalam smear layer dan smear plug. C. Aplikasi bahan adhesif.25

2.2.1 Perlekatan terhadap Enamel

Enamel merupakan jaringan yang paling keras pada tubuh manusia. Enamel terdiri dari 95% mineral anorganik, hidroksiapatit serta sedikit protein dan air. Pada tahun 1955 Buonocore memperkenalkan etsa asam pada enamel dengan menggunakan asam fosforik 85%. Konsep bonding dengan menggunakan etsa asam ini memodifikasi permukaan email dengan bahan yang bersifat asam. Proses etsa asam menghasilkan kekasaran mikroskopik pada permukaan email yang disebut mikroporositas. Ketika resin diaplikasikan pada permukaan enamel, resin akan melekat pada mikroporositas yang terbentuk melalui mekanisme mechanical

interlocking sehingga ikatan fisik antara dental material dan email membentuk retensi

mikromekanis.24,26,2 Asam dengan viskositas yang rendah akan dengan cepat berpenetrasi ke dalam miroporositas dan membentuk resin tag. Resin tag yang terbentuk antara prisma enamel disebut macrotags, sedangkan jaringan halus dari beberapa small tags terbentuk di tiap-tiap ujung rod ditempat larutnya kristal hidroksiapatit dikenal dengan microtag. Pembentukan resin mircotags dan macrotags dengan permukaan enamel merupakan mekanisme dasar dari perlekatan resin dan enamel (Gambar 6).28,29

enamel prism (rod)

Gambar 6. Scaning electron microscopy pandangan cross-sectional interface antara agen bonding enamel dengan enamel microtags diantara macrotags (A). Gambar skematik pandanagn cross-sectional macrotags dan microtags (B).29

2.2.2 Pelekatan terhadap Dentin

Dentin berbeda dari enamel di mana dalam persen berat hanya terdiri dari 50% mineral anorganik dan lebih banyak mengandung air daripada enamel.28 Sehingga perlekatan resin terhadap dentin cenderung lebih sulit. Suatu perkembangan penting dalam bahan bonding dentin terjadi pada tahun 1978 ketika Fusayama mulai menggunakan asam fosforik 37% untuk melakukan etsa baik pada enamel maupun dentin, dimana etsa tidak hanya menyingkirkan smear layer tetapi juga mengekspos mikroporositas kolagen.4 Agen dentin bonding memiliki viskositas yang rendah sehingga mudah berpenetrasi dan membentuk hybrid layer.23,28 Penelitian lebih lanjut dari Nakabayashi menyatakan bahwa ketika bahan bonding diaplikasikan, sebagian akan berpenetrasi ke dalam mikroporus kolagen pada intertubular dentin yang dikenal

B

dengan penetrasi intertubular dan sebagian lain akan berpenetrasi ke dalam tubulus dentin yang disebut penetrasi intratubular. Agen bonding berpolimerisasi dengan monomer primer membentuk lapisan demineralisasi dentin dan infiltrasi monomer yan berpolimerisasi disebut dengan hybrid layer (Gambar 7).29 Kekuatan perlekatan bahan bonding yang optimal terhadap dentin maupun bahan tumpatan diperlukan agar dapat bertahan dari gaya-gaya intra oral yang dapat menyebabkan bahan restorasi terlepas dari kavitas.27

Gambar 7. SEM (Scanning Electron Micrograph) smear layer pada dentin.29

2.2.2.1 Tensile Bond Strength

Tensile bond strength atau kekuatan tarik perlekatan adalah besar beban tarik

yang dapat diterima jaringan gigi dan tumpatan dihitung dengan alat uji tarik Torsee’s

Electronic System Universal Testing Machine. Besar beban dalam Newton dihitung

dari tumpatan dan jaringan gigi masih melekat hingga kedua komponen terlepas. Nilai yang lebih besar memberikan gambaran tensile bond strength yang lebih baik. Walaupun perlekatan mekanis terhadap dentin tidak dapat diperoleh dengan pengetsaan enamel oleh asam, bahan adhesif mempunyai kemampuan untuk menciptakan suatu perlekatan kimia terhadap permukaan dentin dengan penetrasi oleh resin terhadap dentin sampai terbentuk hybrid layer.

Salah satu cara untuk mengevaluasi tensile bond strength bahan kedokteran gigi adalah dengan menggunakan uji tensile bond strength. Meskipun nilai yang diperoleh tidak bersifat absolut, hasil uji tersebut dapat digunakan sebagai alat bantu

untuk membandingkan efektivitas adhesi suatu bahan adhesif. Untuk menganalisa

tensile bond strength suatu bahan adhesif ke substrat, harus diamati di daerah mana

terjadi fraktur atau lepasnya perlekatan, jika bagian yang fraktur berada pada

interface antara struktur gigi dan bahan bonding maka disebut adhesive failure dan

jika bagian yang fraktur berada pada bagian adhesif atau pada substrat maka disebut

cohesive failure. Oleh karena itu tensile bond strength didefinisikan sebagai beban

mekanis inisial yang dapat mengakibatkan fraktur atau menghasilkan adhesive failure dan cohesive failure yang merupakan petunjuk untuk mengevaluasi kekuatan bahan bonding.15,26

2.3 Kekuatan Perlekatan pada Kavitas Klas II

Kavitas klas II merupakan kavitas yang terdapat pada permukaan aproksimal gigi posterior yang dapat mengenai bagian mesial dan distal atau hanya salah satu permukaan proksimal gigi. Kavitas pada permukaan halus atau lesi mesial dan atau distal biasanya berada di bawah titik kontak yang sulit dibersihkan.7 Salah satu masalah utama untuk merestorasi gigi posterior dengan resin komposit adalah adaptasi materi yang kurang baik pada struktur gigi, terutama pada tepi gingiva.1 Kegagalan dari sistem perlekatan sering terjadi karena terbentuk celah antara resin komposit dan jaringan gigi. Celah ini disebabkan karena kekuatan perlekatan yang kurang baik sehingga tidak mampu menahan stress dan shrinkage pada saat polimerisasi. Terjadinya celah merupakan salah satu penyebab utama kerusakan tepi sehingga terjadi kegagalan perlekatan antara resin dan dentin hingga restorasi terlepas dari kavitas .23 Resin komposit mengalami shrinkage pada saat pengerasan yang disebut sebagai pengerutan polimerisasi (polymerization shrinkage). Shrinkage polimerisasi berkaitan dengan configuration factor (C-factor).29 C-factor adalah perbandingan dari permukaan yang berikatan dan tidak berikatan pada permukaan gigi yang dipreparasi

Semakin besar C-factor semakin besar potensi kegagalan perlekatan dari efek polimerisasi. C-factor pada restorasi gigi antara 0,1-5 dengan nilai yang tinggi >1,5. Pada kavitas klas II jumlah permukaan yang berikatan adalah 4 dan

permukaan yang bebas ada 2 sehingga nilai C-factor adalah 4:2 yang menunjukkan hanya dua permukaan yang berperan sebagai resevoir dimana kavitas klas II merupakan kavitas dengan C-factor yang tinggi sehingga memiliki potensi tinggi untuk terjadi shrinkage polimerisasi.23

Kekuatan ikat dari sistem perlekatan pada dentin gingival tidak cukup kuat untuk menahan stress yang ditimbulkan oleh shrinkage polimerisasi sehingga dapat mengurangi kerapatan resin komposit dengan gigi. Perlekatan yang kurang baik disebabkan karena daerah ini selalu basah dan cukup sulit untuk dikendalikan untuk prosedur bonding yang sempurna. berada dekat dengan daerah gingival. Setelah dipreparasi kavitas klas II, terdapat bagian email yang tidak terdukung oleh dentin.23

Shrinkage polimerisasi dapat diminimalisir dengan cara mengaplikasikan

resin komposit flowable sebagai basis yang memiliki tingkat modulus yang rendah sehingga dapat melapisi setiap bagian kavitas secara lebih baik.4,10,21 Stress dan

Shrinkage yang tinggi dapat menyebabkan sensitivitas pasca restorasi, celah mikro,

kolonisasi mikroorganisme, karies sekunder dan gangguan perlekatan (Gambar 8).9

Gambar 8. Efek dari shrinkage polimerisasi.9

Dokumen terkait