• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara terminologi kebijakan berasal dari istilah ―policy‖ (Inggris) atau

―politiek‖ (Belanda). Terminologi tersebut dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dalam suatu tujuan (umum) yang

23Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983) hal 71

mengarah pada upaya mewujudkan kesejahtraan dan kemakmuran masyarakat (Warga Negara)24

Pengertian politik hukum pidana, antara lain :

a. Menurut Marcx Ancel, Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 25

b. Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan :

1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui.

2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

c. Menurut Soerjono Soekanto, Politik hukum pidana pada dasarnya mencakup tindakan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan

24Lilik Mulyadi, Bunga Rapai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, PT. Alumni Bandung, 2008,hal 389

25Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hal. 30

kejahatan : dengan lain perkataan, maka politik hukum pidana merupakan upaya untuk secara rasional mengorganisasikan reaksireaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan. 26

Disamping beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian politik hukum pidana dapat juga dikemukakan berdasarkan pengertian politik kriminal. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional yang digunakan untuk menanggulangi kejahatan.

Politik hukum pidana mengejawantah dalam bentuk Penal dan Nonpenal

1. Non Penal Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif dan kepolisian.

2. Penal Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah secara represif oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil.

Penegakan hukum represif pada tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan hukum.27

26Barda Nawawi Arief, Loc. Cit, hal. 16;

27Barda Nawawi Arif, Op.Cit., hal22

Dengan demikian, sebagai bagian dari politik kriminal, politik hukum pidana dapat diartikan sebagai ―suatu usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana‖.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa politik hukum pidana sebagai salah satu usaha penanggulangan kejahatan, mengejawantah dalam bentuk penegakan hukum pidana, penegakan hukum pidana merupakan upaya aparat yang dilakukan untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan dan keserasian antara moralisasi sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradap. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.28

Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian, dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yangsesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-undangan untuk mencapai

28Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal76

hasil perundang-undangan yang baik, dalam arti dapat memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

2. Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian hingga Pengadilan. Aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegangan teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan.

Untuk melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang- undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung tiga kekuasaan atau kewenangan yaitu, kekuasaan legislatif pada tahap formulasi, yaitu kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat apa yang dapat dikenakan. Pada

tahap ini kebijakan legislatif ditetapkan system pemidanaan, pada hakekatnya merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Yang kedua adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum pidana, dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal melaksanakan hukum pidana.

Politik hukum pidana (criminal law politics) yang mendasari penyusunan RUU-KUHP adalah politik hukum pidana dalam arti kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi (criminalization)atau dekriminalisasi (decriminalization) terhadap suatu perbuatan.29 Di sini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, dan menyeleksi di antara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana di masa mendatang. Dengan ini, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakan tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Hal tersebut merupakan salah satu fungsi penting hukum pidana, yaitu memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau delik.

Mengingat erat kaitannya antara kebijakan hukum pidana dengan pelaksanaan pembangunan nasional, PBB dalam Laporan Kongres Ke-5 yang dilakukan pada tahun 1975 di Jenewa merumuskan suatu Guiding Principle yang berusaha

29Muladi, Beberapa Catatan tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU KUHP yang diselenggarakan oleh Dep. Hukum dan HAM di Jakarta, 21 Juli 2004

menyatukan dimensi perumusan kebijakan pidana dengan aspek kejahatan dalam pembangunan nasional. PBB mengemukakan bahwa, ―kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat struktural, termasuk sebab-sebab sosio-ekonomis‖.

Postulat yang demikian mendorong para penegak hukum untuk turut mempertimbangkan adanya kemungkinan kebijakan politik-sosial-ekonomi dalam rencana program pembangunan nasional yang justru menyebabkan tindak kejahatan itu sendiri. Misalnya, maraknya penghinaan Presiden pada masa pemerintahan Presiden Megawati Seokarnoputri disebabkan karena masyarakat kecewa atas kebijakan kenaikan harga bahan pokok yang berujung pada krisis moneter. Dalam hal ini jelas bahwa, kejahatan tumbuh subur karena situasi politik sosial negara atau kebijakan pembangunan itu sendiri menimbulkan faktor kriminogen.30 Di samping itu, penegakan hukum pidana sebagai pengejewantahan politik hukum pidana menjadi tidak banyak berarti karena aspek penegakan hukum pidana menjadi kontraproduktif dengan kebijakan politik, sosial, dan ekonomi itu tadi, padahal kedua hal tersebut merupakan bagian dari satu rencana pembangunan nasional yang sama.

Dokumen terkait