• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA HASIL PENELITIAN DAN ANALISA. konsep mendasar tentang hukum pidana adalah sebagai berikut: 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA HASIL PENELITIAN DAN ANALISA. konsep mendasar tentang hukum pidana adalah sebagai berikut: 1"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

2.1 Pengertian Tindak Pidana

Hukum pidana ada untuk memberikan rasa aman dan melindungi kepentingan umum. Aturan berupa larangan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu disertai dengan sanksi sebagai instrumen pemaksa dipatuhinya aturan tersebut merupakan ciri khas dari hukum pidana. Secara lebih rinci, beberapa konsep mendasar tentang hukum pidana adalah sebagai berikut:1

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula.

Melalui konsep di atas, hukum pidana muncul sebagai hukum publik yang ditujukan untuk melindungi kepentingan publik. Dalam konteks ini, Pompe menjelaskan bahwa hubungan hukum yang ditimbulkan oleh kejahatan pidana

1“Modul Azas-Azas Hukum Pidana”, Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) tahun 2010, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia,

http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.pdf diakses pada 30 November 2018

(2)

bukan saja hubungan koordinatif antara pelaku dan korban, melainkan hubungan subordinatif dari yang bersalah terhadap pemerintah2 sebagai pengemban tugas menjaga kepentingan rakyat. Sebagai hukum publik, Adam Chazawi menyebutkan bahwa hukum pidana mengemban fungsi sebagai berikut:3

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan- perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut. Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam, yaitu:

a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain sebagainya b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke

belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu-lintas di jalan raya, dan lain sebagainya

c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara,kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, serta kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya.

2Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), halaman 37.

3Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal 16-17

(3)

2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum 3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka

melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.

Ketiga fungsi tersebut saling berhubungan, mewujudkan penegakan hukum pidana dalam rangka untuk melindungi kepentingan hukum. Salah satu kepentingan hukum yang berusaha dilindungi oleh hukum pidana Indonesia adalah kepentingan hukum perorangan, khususnya berkaitan dengan kepentingan atas kehormatan dan nama baik seseorang. Kepentingan tersebut berusaha diakomodasi dan dilindungi melalui eksistensi tindak pidana penghinaan.

2.2.Pengertian Tindak Pidana Penghinaan

Penghinaan Secara harafiah, penghinaan berasal dari Bahasa Belanda

―Belediging‖ atau dalam Bahasa Inggris ―Offence‖ yang secara historis memiliki makna sebagai tindakan sengaja merusak martabat seseorang termasuk nama baik, kehormatan, dan sebagainya.4 KUHP tidak mengatur secara tegas apa yang dimaksud dengan penghinaan, namun secara normatif tindak pidana penghinaan dimaknai sebagai tindak pidana yang menyerang hak seseorang berupa merusak nama baik atau kehormatan seseorang.5

Untuk melengkapi pemahaman mengenai apa yang dimaksud tindak pidana penghinaan, dapat dilihat pendapat beberapa sarjana hukum sebagai berikut:

4Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, (Jakarta:

PT. Aneka Ilmu, 1997), hal 128.

5Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya, (Jakarta:

PT, Grafindo Persada, 2007), hal 9

(4)

a. R. Soesilo

R. Soesilo secara spesifik menyatakan bahwa tindak pidana menghina ditujukan pada kehormatan dan nama baik saja, sedangkan penghinaan kehormatan dalam konteks seksual tidak tercakup di dalamnya. 6

―Menghina‖ adalah menyerang kehomatan dan nama baik seseorang.

Yang diserang itu biasanya merasa malu. Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang ―nama baik‖, bukan kehormatan dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

Perbuatan yang menyinggung kehormatan dalam lapangan seksuil ini tidak termasuk dalam kejahatan ―penghinaan‖ akan tetapi masuk kejahatan

―kesopanan‖, atau kejahatan ―kesusilaan‖ yang tersebut dalam Pasal 281 sampai dengan pasal 302 KUHP.‖

b. Wirjono Prodjodikoro

Pemaknaan terhadap tindak pidana penghinaan menurut Wirjono Prodjodikoro harus dikembalikan kepada ketentuan pidana mengenai penghinaan, yaitu pasal 310 KUHP yang mengatur bahwa penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.7

―Tindak pidana menista (smaad) menurut pasal 310 KUHP dirumuskan sebagai ―dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh ia melakukan suatu perbuatan tertentu (bepaald feit) dengan tujuan yang nyata (kennelijk doel) untuk menyiarkan tuduhan

6R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hal 117

7Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Refika, 2002), hal 96

(5)

itu kepada khalayak ramai (ruchtbaarhedi geven). Kini disebut suatu perbuatan berupa ―dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang‖, sedangkan kata-kata selanjutnya dapat dianggap merupakan pengkhususan sifat dari tindak pidana penistaan (smaad)‖

c. Moch. Anwar Moch.

Anwar menegaskan pada distingsi antara tindakan penghinaan dengan tindakan menista. Untuk dapat memahami pengertian dari tindak pidana penghinaan, Moch. Anwar melakukan interpretasi otentik atas pasal 310 KUHP sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.8

―Pengertian penghinaan tidak ditafsirkan, hingga harus dihubungkan dengan pasal 310. Dalam pasal 310, perbuatan yang dilarang dalam penistaan adalah dengan sengaja melanggar kehormatan atau nama baik orang. Dengan demikian, penghinaan harus ditafsirkan sebagai perbuatan dengan sengaja yang melanggar kehormatan atau nama baik.

Perbedaan antara penistaan dan penghinaan terletak dalam cara melakukannya, yaitu penistaan dimaksudkan dengan menuduh orang lain dengan suatu perbuatan tertentu, sedangkan penghinaan biasa dilakukan dengan kata-kata atau perbuatan, asal tidak dengan tuduhan melakukan suatu perbuatan tertentu.

2.3.Bentuk Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik terlihat dari 2 macam, yaitu pencemaran nama baik secara lisan, dan pencemaran nama baik secara tertulis. Dalam bukunya, Oemar

8H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khsus: KUHP Bagian II, Jilid I, (BandungL PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal 52

(6)

Seno Adji menyatakan pencemaran nama baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi menjadi sebagai berikut :9

a. Penghinaan materiil

Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.

b. Penghinaan formil

Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif.

Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.

Hukum pidana mengatur penghinaan dalam KUHP pada BAB XVI, Pasal 310 KUHP sampai dengan Pasal 321 KUHP Selengkapnya ketentuan tersebut dirumuskan sebagai berikut:

Penistaan (Smaad) Pasal 310 ayat (1) :

(1) ―Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal

9Oemar Seno Adji, 1990, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Jakarta: Erlangga, hal 36

(7)

itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.‖

Melalui rumusan tersebut, dapat dilihat masing-masing unsur sebagai berikut:

1) Dengan sengaja

Dilihat pada rumusan pasal, unsur dengan sengaja diletakkan di bagian awal, yang artinya kesengajaan dalam delik ini mencakup juga kesengajaan bagi seluruh unsur pasal 310 ayat (1) KUHP. Menurut doktrin, sengaja termasuk unsur subjektif yang ditujukan terhadap perbuatan. Unsur sengaja ini mengindikasikan bahwa pelaku mengetahui perbuatannya dan pelaku menyadari bahwa ia mengucapkan kata-kata yang mengandung pelanggaran terhadap kehormatan atau nama baik seseorang.10

2) Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain

Tindakan menyerang dalam unsur ini dimaknai sebagai tindakan melukai kehormatan dan nama baik orang lain. Objek terserang adalah mengenai kehormatan (eer) dan harga diri mengenai nama baik (goedennaam). Tindakan menyerang dilakukan agar orang yang diserang tidak lagi memperoleh rasa hormat dari masyarakat, namanya menjadi buruk, atau bahkan menjadikan korban dijauhi, dikucilkan, dan dibenci.

10Leden Merpaung, Op.Cit., hal 13.

(8)

3) Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu

Kata ―perbuatan tertentu‖ dalam bahasa belanda (beepald feilt) yang berarti perbuatan yang dituduhkan tersebut dinyatakan dengan jelas , baik tempat maupun waktunya. Kata-kata tersebut tidak merupakan ―perbuatan tertentu‖ apabila diucapkan tuduhan tersebut dengan jelas.

4) Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum

Perbuatan yang dituduhkan oleh pelaku haruslah dimaksudkan agar masyarakat umum mengetahui sehingga mengubah pandangan masyarakat terhadap korban. Perubahan pandangan ini cenderung ke arah negatif, sehingga berpotensi merusak kehormatan dan nama baik yang dimiliki oleh seseorang. Unsur ini perlu dibuktikan secara tegas, misalnya penghinaan dilakukan dengan menarik orang dalam kerumunan, kemudian dengan keras-keras dilontarkan kalimat yang ditujukan untuk menghina korban. Pun tuduhan tidak disiarkan secara terbuka, ―maksud nyata supaya diketahui oleh umum‖ juga dapat terpenuhi dengan dinyatakannya tuduhan di muka seorang saja, tetapi nampak dimaksudkan agar orang itu meneruskan tuduhan tersebut kepada orang-orang lain.11

Menista dengan Surat atau Tulisan (Smaadschrift) Pasal 310 ayat (2) :

(2)―Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena

11Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal 99.

(9)

pencemaran tertulis pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah‖

Jika dilihat dalam ketentuan pasal 310 ayat (2) KUHP, pencemaran nama baik lewat tulisan mengandung unsur yang sama dengan unsur pasal 310 ayat (1) KUHP, dengan tambahan ketentuan bahwa tuduhan berupa tulisan atau gambar yang dilakukan dengan disiarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditempelkan. Kata ‗disiarkan‘ merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, verspreid, yang juga dapat diartikan sebagai ―disebarkan‖.

―Disebarkan‖ sendiri mengandung arti bahwa tulisan atau gambar tersebut lebih dari satu helai atau satu eksemplar. ―Dipertunjukkan‖ perlu dimaknai bahwa tulisan atau gambar tidak perlu berjumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Penggunaan frasa ―disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan‖ semua bermakna agar dapat dibaca atau dilihat orang lain. Jika suatu gambar ditempel di ruang tertutup, maka hal itu bukan dimaksudkan untuk diketahui orang lain, atau dipertunjukkan untuk umum karena ruangan tertutup berarti tidak dapat dimasuki setiap orang atau umum.12.

Fitnah (Laster) Pasal 311 ayat (1)

(1) ―Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam dengan karena melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun‖

12Leden Merpaung, Op.Cit., hal 19

(10)

Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat atau tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu, diizinkan membuktikannya dan ternyata tidak dapat membuktikan.13 Menurut Pasal 313 KUHP, membuktikan kebenaran ini juga tidak diperbolehkan apabila kepada si korban dituduhkan suatu tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan, dan pengaduan ini in concreto tidak ada.14

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP tampaknya erat terkait dengan ketentuan Pasal 310 KUHP. Sehingga dapat ditarik unsur-unsur kejahatan yang terkandung yaitu:

a) Semua unsur (objektif dan subjektif) dari :

i. pencemaran Pasal 310 ayat (1) atau

ii. pencemaran tertulis Pasal 310 ayat (2)

b) Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya itu benar

c) Tetapi si pembuat tidak dapat membuktian kebenaran tuduhannya d) Apa yang menjadi isi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang

diketahuinya.

Penghinaan Ringan (Eenvoudige Belediging)Pasal 315 :

―Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pecemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka

13Leden Merpaung, Op.Cit., hal 31

14Wirjono Prodjodikoro, op. cit. hal 101.

(11)

umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah‖

Melalui rumusan tersebut, dapat disarikan setidaknya 4 (empat) unsur penghinaan ringan yang meliputi: 1). Penghinaan; 2). Sengaja; 3).

Tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis; 4). Di muka umum, di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, dengan surat yang dikirim atau diterimanya. Pemaknaan atas unsur ―penghinaan‖ harus dirujukkan kembali kepada pasal 310 KUHP, di mana menghina dipahami sebagai perbuatan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Sementara itu, unsur sengaja di sini serupa dengan unsur sengaja yang terdapat dalam pasal 310 KUHP, yaitu mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya memiliki potensi melukai kehormatan atau nama baik orang lain, dan ia pun menghendaki agar perbuatan itu terjadi.

Namun dalam pasal 315 KUHP, unsur sengaja perlu dikontekstualisasi dengan unsur ―tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis‖.

Maksud dari ―tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis‖ adalah perkataan yang dilontarkan seseorang kepada orang lain bukanlah merupakan tuduhan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan tercela.

Universitas Indonesia 40 Perkataan yang dituju oleh pasal 315 KUHP lebih cenderung mengarah pada perkataan yang tidak senonoh seperti

―anjing‖ atau ―sundal‖. Unsur ―di muka umum‖ dalam pasal 315 KUHP

(12)

juga tidak boleh diartikan secara sempit yaitu sebatas pada suatu tempat di mana setiap orang dapat hadir atau suatu tempat di mana setiap orang dapat melihat dari tempat umum tetapi juga suatu tempat di mana setiap orang dari tempat umum dapat mendengarnya, umpamanya pemancar radio atau pemancar TV.15

Pengaduan yang Bersifat Memfitnah (Lasterlijke Aanklacht) Pasal 317 ayat (1) KUHP

(1)―Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun‖

unsur-unsur dalam Pasal 317 ayat (1) KUHP adalah:

1) Dengan sengaja

Unsur dengan sengaja dimaknai sama dengan kesengajaan menghina seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu mengetahui dan menghendaki diungkapkannya perbuatan yang menghina untuk melukai kehormatan atau nama baik.

2) Menyampaikan laporan/pengaduan tertulis palsu

Laporan atau pengaduan tertulis mencakup juga laporan lisan yang kemudian diterima oleh penerima laporan atau pengaduan.

15Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 43.

(13)

3) Disampaikan kepada penguasa; Penguasa merupakan terjemahan dari kata ‗overheid‘, yang juga dapat diterjemahkan sebagai aparat negara atau aparat pemerintah. Sebagian pakar menerjemahkannya tidak saja hanya polisi ataupun aparat kehakiman.

4) Tentang orang tertentu; Pada umumnya penghinaan hanya dapat dilakukan terhadap manusia atau individu dalam artian yang memiliki nama atau yang dapat memiliki kehormatan.

5) Isinya menyerang kehormatan/nama baik orang tersebut. Ungkapan atau pengaduan tersebut benar-benar dirasa menyerang kehormatan dari orang tertentu tersebut.

Bagi orang biasa, pengaduan yang bersifat fitnah merupakan delik aduan, sedangkan bagi pegawai negeri yang sah masuk sebagai delik biasa atau bukan delik aduan. Penarikan aduan atas delik yang diadukan tidak akan membebaskan tersangka dari tuntutan pidana.16

Tuduhan Memfitnah (Lasterlijk Verdachtmaking) Pasal 318 ayat (1) KUHP

―(1) Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.‖

16Muhammad Ali Aranoval, “Pembuktian Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kepala Negara (Studi Kasus Perkara Nomor Register 1380/pid.B/2002/PN Jakarta Selatan), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal 60.

(14)

Melalui rumusan pasal tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidananya sebagai berikut:

1) Dengan sengaja

2) Melakukan suatu perbuatan

3) Menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang 4) Seolah-olah orang tersebut telah melakukan tindak pidana

2.4.Bentuk Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden

Tindak pidana penghinaan Presiden diatur dalam Bab II tentang Kejahatan-Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Dalam bab tersebut hanya terdapat 3 (tiga) pasal yang mengatur mengenai tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP. Tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dibagi berdasarkan cara penghinaan itu dilakukan sebagai berikut:

1. Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 134 KUHP mengatur tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara lisan, yang kemudian rumusannya menjadi standar delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Redaksional pasal 134 KUHP adalah sebagai berikut:

―Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah.‖

(15)

Pasal ini mulanya diatur dalam Artikel 111 WvS. Dalam Memorie van Toelichting, tersirat bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengartikan penghinaan dalam rumusan pasal 134 KUHP dengan penghinaan dalam Bab XVI KUHP dari Buku II KUHP.

Sehingga, menggunakan interpretasi logis, maka pasal 134 KUHP mencakup segala tindakan penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI KUHP yang meliputi menista dengan lisan (smaad), menista dengan tulisan (smaadschrift), fitnah (laster), penghinaan biasa (eenvoudige belediging), dan pengaduan atau laporan palsu (lasterlijke aanklacht).

Menurut Prof. Noyon-Langemeijer, agar seseorang dapat dipidana menurut ketentuan pasal 134 KUHP maka ia setidak-tidaknya harus memenuhi unsur-unsur dalam pasal 315 KUHP yang mengatur tentang penghinaan ringan. Namun, mengingat bahwa tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden amatlah tercela, Prof. Noyon- Langemeijer menjelaskan bahwa pembedaan antara perbuatanperbuatan penghinaan sebagaimana yang dilakukan menurut Bab XVI KUHP tidaklah dibutuhkan dalam menentukan terjadinya tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Ditiadakannya pembedaan itu bukan berarti bahwa syaratsyarat bagi masing-masing tindak pidana penghinaan dalam Bab XVI KUHP juga harus ditiadakan untuk bisa menjadi dasar identifikasi apakah tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden terjadi atau tidak. Bagaimana pun juga, untuk menjerat seseorang dengan

(16)

ketentuan pasal 310 KUHP maka unsur-unsur tindak pidana penghinaan lisan haruslah dipenuhi terlebih dahulu. Hanya saja, karena tindak pidana penghinaan tersebut ditujukan kepada Presiden dan Wakil Presiden, maka kepada tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku itu hanya diberikan kualifikasi sebagai penghinaan saja, dan bagi pelaku tidak diberlakukan ketentuan penghinaan dalam Bab XVI KUHP melainkan cukup dengan pasal 134 KUHP saja.17

Mengacu pada doktrin tersebut, maka seseorang yang sengaja melakukan penghinaan yang telah memenuhi unsur-unsur penghinaan dalam Bab XVI KUHP, yang mana penghinaan itu dilakukannya terhadap Presiden dan Wakil Presiden, maka ia dapat dipersalahkan telah melanggar pasal 134 KUHP. Sebagai contoh, seseorang yang dituduh melakukan penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden, haruslah memenuhi unsur-unsur dalam pasal 310 ayat (1) KUHP untuk bisa dipidana dengan pasal 134 KUHP.

Dilakukannya penghinaan haruslah didasarkan pada kesengajaan.

Sengaja dalam konteks ini adalah mengetahui dan menghendaki tindakannya, yaitu penghinaan, serta mengetahui dan menghendaki objek yang ia hina adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apabila ia tidak menghendaki untuk menyerang kehormatan atau nama baik Presiden dan Wakil Presiden, atau ia tidak mengetahui bahwa yang ia

17Noyon-Langemeijer, Het Wetboek I, halaman 566-567 sebagaimana dikutip dalam Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor

022/PUU-IV/2006.

(17)

serang kehormatan atau nama baiknya adalah Presiden dan Wakil Presiden, maka ia dapat dituntut menurut salah satu pasal dalam Bab XVI KUHP.18

2. Pasal 136bis KUHP tentang Perluasan Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 136bis mengatur mengenai mengatur mengenai perluasan tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 134 KUHP. Pasal ini mengatur mengenai berbagai tindakan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam situasi dan kondisi yang beragam.

Redaksional Pasal 136bis KUHP adalah sebagai berikut:

―Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 315, jika itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum baik lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.‖

Membaca pasal tersebut harus dilakukan bersamaan dengan pembacaan terhadap rumusan pasal 315 KUHP. Pasal 315 KUHP yang mengatur bahwa penghinaan ringan terjadi apabila:19

− Di muka umum, secara lisan, tulisan, atau lukisan

− Pada kehadiran terhina, secara lisan atau tindakan-nyata

18Smidt dalam Geschiedenis sebagaimana dikutip dalam Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor 022/PUU-IV/2006

19Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Penerbit: Alumni AHMPTHM,

1983, hal12-15.

(18)

− Melalui tulisan atau lukisan yang dikirimkan atau diterimakan.

Selain menerapkan situasi dan kondisi yang diatur dalam pasal 315 KUHP, pasal 136bis juga menambahkan beberapa hal sebagai berikut:

- Penghinaan dilakukan di muka umum, di luar kehadiran terhina secara nyata-nyata; - Tidak di muka umum akan tetapi dihadiri oleh:

• Lebih dari empat orang, atau

• Seorang ketiga (atau lebih) bukan karena kemauannya dan merasa tersinggung.

Di muka umum harus dimaknai bahwa ucapan yang dilontarkan pelaku dapat didengar oleh umum, dan jika merupakan tulisan atau lukisan dapat dibaca umum atau jika berupa tinndakan nyata dapat dilihat umum. Hoge Raad sendiri dalam arrest tertanggal 9 Juli 1941, N.J. 1941 No. 79 memberikan pernyataan sebagai berikut:

―Suatu penghinaan dilakukan di depan umum, jika penghinaan tersebut dilakukan di suatu tempat yang dapat dikunjungi oleh setiap orang dan setiap orang yang hadir dapat mendengarnya.‖

Menurut putusan teresebut, maka suatu tempat yang tidak dapat dikunjungi oleh seseorang dengan sesuka hati, misalnya di suatu rumah, maka tidak dapat dinyatakan sebagai tempat umum. Dalam rumusan pasal 136bis juga dinyatakan bahwa penghinaan dilakukan dengan ‗tingkah laku‘, di muka umum tanpa kehadiran yang dihina.

Dengan ‗tingkah laku‘ harus dimaknai sebagai perbuatan-perbuatan (feitelijkheden) dan bukan dengan kata-kata. Perbuatan tersebut dapat berupa perusakan, pencoretan bangunan, atau perbuatan-perbuatan lain

(19)

yang pada umumnya cenderung tercela dan menunjukkan keterhinaan Presiden dan Wakil Presiden. Apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan di muka umum, pelaku haruslah setidak-tidaknya melakukan tindakan tersebut di hadapan minimal empat orang. Dalam kondisi demikian, terjadinya penghinaan tidak harus dilakukan melalui perbuatan-perbuatan saja namun juga dapat dilakukan melalui lisan atau tulisan.20

Selain dilakukan dalam bentuk perbuatan, pasal 136bis juga mengakomodasi tindakan penghinaan berupa tulisan atau geschrifte.

Yang menjadi pertanyaan, apakah kemudian poster, cetakan, dan karikatur dapat digolongkan ke dalam kelompok tulisan? Prof. Noyon- Langemeijer berpendapat sebagai berikut:

―Termasuk dalam pengertian tulisan yakni setiap pengungkapan secara mekanis dari pemikiran dalam bentuk kata-kata;

pengungkapan pemikirann seperti itu tidak perlu selalu harus dilakukan dengan pena atau pensil, namun juga dapat dilakukan dengan cetakan, dengan ukiran, atau dengan sarana-sarana lainnya.‖

Beriringan dengan pernyataan di atas, Lamintang memberikan kejelasan atas apa yang dimaksud dengan tulisan. Termasuk dalam tulisan adalah hal-hal yang dicetak dan ukiran namun tidak termasuk karikatur atau poster yang memuat lukisan. Hal-hal yang disebutkan terakhir merupakan bagian dari afbeelding sebagaimana diatur dalam pasal 137 KUHP.

20 Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Bandung: CV. Sinar Baru, 1987, hal 287

(20)

3. Pasal 137 KUHP tentang Penghinaan melalui tulisan atau gambar terhadap Presiden dan Wakil Presiden

Pasal 137 KUHP mengatur mengenai tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan melalui tulisan atau gambar dengan rumusan pasal sebagai berikut:

―(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada waktu itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.‖

Pasal 137 KUHP merupakan salah satu pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai masalah tindak pidana penyebarluasan atau

“verspreidingsdelicten‖. Tindak pidana ini pada dasarnya melarang dilakukannya penyebarluasan atas tulisan atau gambar yang isinya diangap tidak pantas karena bersifat menghina, menghasut, dan sebagainya dengan maksud agar hasutan tersebut diketahui orang banyak atau menjadi diketahui secara luas.

Dalam rumusan pasal terdapat kata ―menyiarkan‖ yang sebenarnya merupakan terjemahan keliru atas kata “verspreide”. Terjemahan yang

(21)

benar adalah ―menyebarluaskan‖, yang jika dikaitkan dengan tindak pidana dalam pasal 137 KUHP maka dapat dipahami bahwa maksud menyebarluaskan adalah disebarkannya tulisan atau gambar dalam jumlah banyak atau setidak-tidaknya lebih dari satu lembar. Di sisi lain, tindakan menyiarkan saja dapat dipenuhi dengan menunjukkan atau membuat kesempatan agar sebuah tulisan atau sebuah gambar dapat dilihat oleh orang. Sekalipun tujuan menyebarluaskan dan menyiarkan serupa—agar orang secara umum dapat mengetahuinya— namun tindakan menyiarkan bukanlah tindakan yag dimaksud dalam pasal 113 WvS yang menjadi asal mula pasal 137 KUHP. Sekalipun terdapat perbedaan penafsiran atas benar tidaknya digunakan kata ―menyiarkan‖ dibanding kata

―menyebarluaskan‖, Dading dan Prof. Noyon-Langemeijer memberikan pandangan bahwa maksud tindakan penghinaan dalam pasal 113 WvS tidak boleh dibatasi hanya dengan menyebarluaskan tulisan dan gambar,21 namun harus juga dibuka kemungkinan bagi penyiaran gambar atau tulisan tersebut baik melalui radio ataupun televisi.22

Tindakan ―menempelkan‖ dalam rumusan pasal harus dimaknai sebagai tindakan menempelkan tulisan atau gambar yang di dalamnya terdapat penghinaan bagi Presiden dan Wakil Presiden di suatu tempat dengan sedemikian rupa, hingga tulisan atau gambar tersebut dapat dilihat dengan jelas oleh setiap orang yang ingin melihat. Menurut Prof. Noyon-

21Dading, Hukum Pidana I, (Bandung: Alumni, 1982), hal 265.

22Noyon Langemeijer, Het Wetboek I, halaman 572, sebagaimana dikutip dalam Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor 022/PUUIV/

2006.

(22)

Langemeijer, tidak terdapat perbedaan fundamental antara

―menyebarluaskan‖, ―mempertunjukkan‖, atau pun ―menempelkan‖. Yang membedakan hanyalah banyaknya tulisan atau gambar yang harus disebarluaskan untuk bisa disebut menghina Presiden dan Wakil Presiden.

Selanjutnya, media yang dapat digunakan untuk melakukan penghinaan terdiri dari tulisan-tulisan atau gambar-gambar. Menurut Prof.

Noyon-Langemeijer:

―termasuk dalam pengertian tulisan yakni setiap perwujudan secara mekanis dari pemikiran dengan kata-kata; perwujudan tersebut tidak perlu selalu harus dilakukan dengan pena atau pensil melainkan juga dengan cetakan, ukiran, atau saran lainnya.‖

―gambar itu tidak perlu diartikan sebagai gambar seseorang atau sebuah potret; melainkan cukup jika di dalamnya menunjukkan pemikiran yang sifatnya menghina.‖

Tulisan tersebut termasuk juga artikel yang dimuat dalam media massa seperti koran, majalah, ataupun tabloid. Dalam rumusan pasal 137 KUHP, tidak ditemukan adanya penyebutan unsur kesengajaan.

Meskipun begitu, kondisi bahwa penyebarluasan tulisan atau gambar harus dilakukan dengan sengaja haruslah tetap dibuktikan.

Kesengajaan ini meliputi juga sengaja untuk mempertunjukkan secara terbuka dan menempelkan gambar tersebut di muka umum. Dalam konteks ini, kesengajaan yang dimaksud adalah kesengajaan dengan tujuan, yaitu tujuan menyerang nama baik atau kehormatan Presiden dan Wakil Presiden. Namun dalam konteks penyebarluasan melalui artikel, Hoge Raad berpendapat:

(23)

―suatu artikel itu juga merupakan suatu tulisan jika di dalamnya terdapat kesan yang sifatnya menghina. Orang yang menyebarluaskan tidak perlu mempunyai opzet untuk menghina, melainkan cukup jika ia secara pantas dapat menduga bahwa isi dari tulisan tersebut bersifat menghina.‖

Mengacu pada rumusan tersebut, maka orang yang menyebarluaskan cukup memiliki dugaan bahwa artikel yang disebarluaskannya mengandung hinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Lamintang menegaskan bahwa tindakan yang diatur dalam pasal 137 KUHP bukanlah tindakan menghina Presiden dan Wakil Presiden, namun tindakan menyebarluaskan tulisan atau gambar yang mengandung hinaan bagi Presiden dan Wakil Presiden.23.

2.5.Politik Hukum Pidana

Secara terminologi kebijakan berasal dari istilah ―policy‖ (Inggris) atau

―politiek‖ (Belanda). Terminologi tersebut dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah- masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang- undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dalam suatu tujuan (umum) yang

23Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983) hal 71

(24)

mengarah pada upaya mewujudkan kesejahtraan dan kemakmuran masyarakat (Warga Negara)24

Pengertian politik hukum pidana, antara lain :

a. Menurut Marcx Ancel, Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 25

b. Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan :

1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui.

2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

c. Menurut Soerjono Soekanto, Politik hukum pidana pada dasarnya mencakup tindakan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan

24Lilik Mulyadi, Bunga Rapai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktik, PT. Alumni Bandung, 2008,hal 389

25Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hal. 30

(25)

kejahatan : dengan lain perkataan, maka politik hukum pidana merupakan upaya untuk secara rasional mengorganisasikan reaksireaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan. 26

Disamping beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian politik hukum pidana dapat juga dikemukakan berdasarkan pengertian politik kriminal. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional yang digunakan untuk menanggulangi kejahatan.

Politik hukum pidana mengejawantah dalam bentuk Penal dan Nonpenal

1. Non Penal Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif dan kepolisian.

2. Penal Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah secara represif oleh aparat penegak hukum yang diberi tugas yustisionil.

Penegakan hukum represif pada tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan hukum.27

26Barda Nawawi Arief, Loc. Cit, hal. 16;

27Barda Nawawi Arif, Op.Cit., hal22

(26)

Dengan demikian, sebagai bagian dari politik kriminal, politik hukum pidana dapat diartikan sebagai ―suatu usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana‖.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa politik hukum pidana sebagai salah satu usaha penanggulangan kejahatan, mengejawantah dalam bentuk penegakan hukum pidana, penegakan hukum pidana merupakan upaya aparat yang dilakukan untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan dan keserasian antara moralisasi sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradap. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana.28

Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian, dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yangsesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-undangan untuk mencapai

28Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1994, hal76

(27)

hasil perundang-undangan yang baik, dalam arti dapat memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

2. Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian hingga Pengadilan. Aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegangan teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat- aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang- undangan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan.

Untuk melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang- undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung tiga kekuasaan atau kewenangan yaitu, kekuasaan legislatif pada tahap formulasi, yaitu kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat apa yang dapat dikenakan. Pada

(28)

tahap ini kebijakan legislatif ditetapkan system pemidanaan, pada hakekatnya merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Yang kedua adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum pidana, dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal melaksanakan hukum pidana.

Politik hukum pidana (criminal law politics) yang mendasari penyusunan RUU-KUHP adalah politik hukum pidana dalam arti kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi (criminalization)atau dekriminalisasi (decriminalization) terhadap suatu perbuatan.29 Di sini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, dan menyeleksi di antara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana di masa mendatang. Dengan ini, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakan tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Hal tersebut merupakan salah satu fungsi penting hukum pidana, yaitu memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau delik.

Mengingat erat kaitannya antara kebijakan hukum pidana dengan pelaksanaan pembangunan nasional, PBB dalam Laporan Kongres Ke-5 yang dilakukan pada tahun 1975 di Jenewa merumuskan suatu Guiding Principle yang berusaha

29Muladi, Beberapa Catatan tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Makalah disampaikan pada Sosialisasi RUU KUHP yang diselenggarakan oleh Dep. Hukum dan HAM di Jakarta, 21 Juli 2004

(29)

menyatukan dimensi perumusan kebijakan pidana dengan aspek kejahatan dalam pembangunan nasional. PBB mengemukakan bahwa, ―kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat struktural, termasuk sebab-sebab sosio-ekonomis‖.

Postulat yang demikian mendorong para penegak hukum untuk turut mempertimbangkan adanya kemungkinan kebijakan politik-sosial-ekonomi dalam rencana program pembangunan nasional yang justru menyebabkan tindak kejahatan itu sendiri. Misalnya, maraknya penghinaan Presiden pada masa pemerintahan Presiden Megawati Seokarnoputri disebabkan karena masyarakat kecewa atas kebijakan kenaikan harga bahan pokok yang berujung pada krisis moneter. Dalam hal ini jelas bahwa, kejahatan tumbuh subur karena situasi politik sosial negara atau kebijakan pembangunan itu sendiri menimbulkan faktor kriminogen.30 Di samping itu, penegakan hukum pidana sebagai pengejewantahan politik hukum pidana menjadi tidak banyak berarti karena aspek penegakan hukum pidana menjadi kontraproduktif dengan kebijakan politik, sosial, dan ekonomi itu tadi, padahal kedua hal tersebut merupakan bagian dari satu rencana pembangunan nasional yang sama.

2.6.Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi dibentuk dalam rangka untuk menjamin konstitusi sebagai

30Shafrudin, Pelaksanaan Politik Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal 28

http://eprints.undip.ac.id/24268/1/Shafrudin.pdf diakses pada 30 November 2018

(30)

hukum tertinggi agar dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut dengan the guardian of the constitution.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi ini setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka31 dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk di dalamnya adalah menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, Mahkamah Konstitusi juga melakukan penafsiran konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi juga disebut the Sole Interpreter of the Constitution.

Sebagai lembaga penafsir tunggal konstitusi, banyak hal dalam mengadili menimbulkan akibat terhadap kekuasaan lain dalam kedudukan berhadap- hadapan, terutama terhadap lembaga legislatif di mana produknya di review

Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi yudisial dengan kompetensi obyek perkara ketatanegaraan.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai pengawal konstitusi untuk memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dengan batasan yang jelas sebagai bentuk penghormatan atas konstitusionalisme. Batas- batas kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu

31Miftakhul Huda, September 2007, “Ultra Petita” dalam Pengujian UndangUndang, dalam Jurnal Konstitusi Volume 4 Nomor 3, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal 144.

(31)

lembaga yudisial merupakan bentuk terselenggaranya sistem perimbangan kekuasaan di antara lembaga negara (checks and balances).

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman diharapkan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dapat dipercaya dalam menegakkan hukum dan keadilan

Dasar filosofis dari wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance. Selain itu, teori- teori hukum juga memperkuat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi beserta segenap wewenang dan kewajibannya, dinilai telah merubah doktrin supremasi parlemen (parliamentary supremacy) dan menggantikan dengan ajaran supremasi konstitusi.32

Keadilan substantif/keadilan materiil (substantive justice) merupakan al qist atau bagian yang wajar dan patut, tidak mengarahkan kepada persamaan, melainkan bagian yang patut, berpihak kepada yang benar. Dalam penerapan keadilan substantif ini, pihak yang benar akan mendapat kemenangan sesuai dengan bukti-bukti akan kebenarannya.

Teori-teori yang menjadi dasar pentingnya reformasi konstitusi dan menjadi dasar wewenang serta kewajibah Mahkamah Konstitusi adalah teori

32Mariyadi Faqih, Juni 2010, Nilai-nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat, dalam Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 3, Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hal 97

(32)

kedaulatan negara, teori konstitusi, teori negara hukum demokrasi, teori kesejahteraan, teori keadilan, dan teori kepastian hukum.

Dasar yuridis wewenang Mahkamah Konstitusi berasal dari Undang- Undang Dasar 1945 yang diatur dalam Pasal 7A, Pasal 78, dan Pasal 24C dan dijabarkan dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Terhadap perorangan, kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup, badan hukum publik atau privat, lembaga negara, partai politik, ataupun pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, jika hak dan/atau wewenang konstitusionalnya dirugikan, dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia hasil perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dibentuk karena buruknya penyelenggaraan negara terutama pada masa orde baru, yang ditandai dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme, markus (makelar kasus) sampai saat ini, dan dicampakkannya nilai-nilai keadilan hukum menjadi faktor yang dalam melakukan perubahan diberbagai bidang, terutama sistem peradilan.33

Sebagai organ konstitusi, Mahkamah Konstitusi didesain untuk menjadi pengawal dan penafsir undang-undang dasar melalui putusan-putusannya. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, Mahkamah Konstitusi berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yakni tegaknya konstitusi dalam rangka

33Indra Perwira, dkk., November 2010, Budaya Konstitusi (Constitutional Culture) Dalam UUD 1945 Perubahan Dikaitkan Dengan Gagasan Perubahan Kelima UUD 1945, dalam Jurnal Konstitusi Volume II Nomor 2, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hal 60.

(33)

mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang diembannya secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai dengan amanat UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi membuka diri untuk menerima permohonan dari masyarakat yang merasa hak-haknya dan kewenangan konstitusionalnya dilanggar akibat berlakunya suatu undang-undang.

2.7.Keadilan Bermartabat

Teori keadilan bermartabat dikemukakan oleh Teguh Prasetyo. Teori keadilan bermartabat, disebut bermartabat karena teori dimaksud adalah merupakan suatu bentuk pemahaman dan penjelasan yang memadai (ilmiah) mengenai koherensi dari konsep-konsep hukum di dalam kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku serta doktrin-doktrin yang sejatinya merupakan wajah, struktur atau susunan dan isi serta ruh atau roh (the spirit) dari masyarakat dan bangsa yang ada di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila, yang dijelaskan oleh teori keadilan bermartabat itu sendiri.Teori keadilan bermartabat berangkat dari postulat sistem, bekerja mencapai tujuan, yaitu keadilan yang bermartabat. Keadilan yang memanusiakan manusia, atau keadilan yang nge wong ke wong. Seperti diketahui, imperium hukum adalah imperium akal budi, karsa dan rasa seorang anak manusia, dimana pun dia berada menjalani kehidupannya. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam teori keadilan bermartabat yang peduli dalam memanfaatkan

(34)

kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu sesamanya melalui kegiatan berpikir; memanusiakan manusia atau nge wong ke wong. 34

Sebagai suatu sistem berpikir atau berfilsafat (jurisprudence) yang identik dengan apa yang dikenal dalam banyak literature dunia sebagai legal theory atau teori hukum, maka postulat dasar lainnya dari teori keadilan bermartabat itu tidak sekedar mendasar dan radikal. Lebih daripada mendasar dan radikal, karakter teori keadilan bermartabat itu, antara lain juga adalah suatu sistem filsafat hukum yang mengarahkan atau memberi tuntutan serta tidak memisahkan seluruh kaidah dan asas atau substantive legal disciplines.Termasuk di dalam substantive legal disciplines, yaitu jejaring nilai (values) yang saling terkait, dan mengikat satu sama lain. Jejaring nilai yang saling kait-mengait itu dapat ditemukan dalam berbagai kaidah, asas-asas atau jejaring kaidah dan asas yang inheren didalamnya nilai-nilai serta virtues yang kait-mengait dan mengikat satu sama lain itu berada.

Jejaring nilai dalam kaidah dan asas-asas hukum itu ibarat suatu struktur dasar atau fondasi yang menyebabkan suatu bangunan besar atau fabric menjadi utuh dan spesifik, hidup, karena ada jiwanya atau the living law dan yang berlaku juga benar dalam satu unit politik atau negara tertentu. Bangunan sistem hukum yang dipahami melalui teori keadilan bermartabat tersebut yaitu NKRI.Tujuan di dalam fabric NKRI itu, antara lain dapat ditemukan di dalam Pembukaan UUD 1945 sebelum diamandemen. Dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945 sebelum diamandemen, tujuan yang hendak dicapai sistem hukum NKRI, antara lain yaitu:

―Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia

34Teguh Prasetyo, 2015, Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Bandung: Nusamedia, hal 63

(35)

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan.‖ 35

Teori keadilan bermartabat menganut suatu prinsip bahwa sekalipun ilmu hukum itu tersusun dari 4 (empat) susunan atau lapisan yakni: Filsafat Hukum (Philosophy of Law), Teori Hukum (Legal Theory), Dogmatik Hukum (Jurisprudence), serta Hukum dan Praktek Hukum (Law and Legal Practice).

Memahami ilmu hukum secara utuh berarti memahami keempat lapisan hukum tersebut secara kait-mengait. Lapisan yang di atas mendikte (the law dictate), atau menerangi atau memberi pengayaan terhadap lapisan ilmu hukum di bawahnya.

Begitu pula seterusnya. Lapisan yang di bawahnya lagi menerangi lapisan-lapisan selanjutnya, kearah bawah (top-down), secara sistematik.Sekalipun terlihat bahwa lapisan ilmu dalam teori keadilan bermartabat itu adalah lapisan yang saling terpisah antara satu dengan lapisan lainnya, namun pada prinsipnya lapisan- lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistemik, mengendap, hidup dalam satu sistem. Saling berkaitan antara satu dengan lainnya, bahu membahu (shoulder to shoulder), gotong-royong sebagai suatu sistem.36

Hukum dipahami oleh teori keadilan bermartabat sampai ke hakikat, esensi, atau substansi yang dipikirkan. Hukum dalam perspektif teori keadilan bermartabat tidak sekedar dilihat, atau dipahami melalui pengetahuan hasil

35Ibid

36Ibid

(36)

tangkapan inderawi atau physical saja, namun lebih dalam dari sekedar pemahaman hukum melalui pengetahuan inderawi itu, teori keadilan bermartabat menelusuri dan menangkap dengan akal pengetahuan hukum yang hakiki, yaitu pengetahuan hukum yang mendasari segala pengetahuan inderawi. Dengan demikian, teori keadilan bermartabat dipahami bukan hanya sebagai suatu teori hukum. Lebih daripada itu, teori keadilan bermartabat juga adalah suatu filsafat hukum yang identik dengan suatu sistem hukum positif.Teori keadilan bermartabat juga menelaah praktik, penegakan atau aktivitas dari hukum positif itu memecahkan persoalan-persoalan manusia dan masyarakat sehari-hari dari suatu perspektif hukum, sampai ke hakikat yang paling dalam, hakikat yang melampaui pengetahuan inderawi.Suatu pandangan yang konkret dari teori keadilan bermartabat itu adalah suatu usaha untuk memahami atau mendekati pikiran Tuhan. 37

Asal-usul teori keadilan bermartabat yakni tarik-menarik antara lex eterna (arus atas) dan Volkgeist (arus bawah) dalam memahami hukum sebagai usaha untuk mendekati pikiran Tuhan, menurut sistem hukum berdasarkan Pancasila.

Pendekatan teori keadilan bermartabat, hukum sebagai filsafat hukum, teori hukum, dogmatik hukum, maupun hukum dan praktek hukum dialektika secara sistematik. Tujuan teori keadilan bermartabat, menjelaskan apa itu hukum.38

Teori keadilan bermartabat mengamati, mengklasifikasi, menguji, serta memfalsifikasi serta menjustifikasi berbagai kaidah dan asas-asas hukum yang

37Ibid, hal 24

38Ibid, hal 30-31.

(37)

terdapat dan berlaku di dalam satu sistem hukum. Teori keadilan bermartabat juga mengamati, menganalisis dan menemukan serta mengatur tata tertib di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau bermasyarakat tetapi juga terhadap individu, khususnya manusia, masyarakat bangsa Indonesia

Sebagai suatu pemikiran filasafat, sesuai dengan ciri mendasar atau radikalnya, teori keadilan bermartabat memiliki ajakan untuk mendekati hukum secaara filosofis. Teori keadilan bermartabat dengan kata lain memiliki ajakan untuk memahami hukum dengan cinta kepada kebijaksanaan, filsafat artinya mencintai kebijaksanaan39

Teori keadilan bermartabat juga menelaah praktik, penegakan atau aktivitas dari hukum positif itu memecahkan persoalan-persoalan manusia dan masyarakat sehari-hari dari suatu perspektif hukum, sampai ke hakikat yang paling dalam, hakikat yang melampui pengetahuan inderawi.Hukum dipahami oleh teori keadilan bermartabat sampai ke hakikat, esensi, atau substansi yang dipikirkan.

Itulah makna teori keadilan bermartabat sebagai suatu filsafat hukum. Hukum dalam perspektif teori keadilan bermartabat tidak sekedar dilihat atau dipahami melalui pengetahuan hasil tangkapan inderawi atau physical saja. Namun, lebih dalam dari sekedar pemahaman hukum melalui pengetahuan inderawi itu, teori keadilan bermartabat menelusuri dan menangkap dengan akal pengetahuan hukum

39Ibid , hal 23

(38)

yang hakiki, yaitu pengetahuan hukum yang mendasari segala pengetahuan inderawi.40

Keadilan bemartabat adalah suatu teori hukum atau apa yang dikenal dalam literatur berbahasa Inggris dengan konsep legal theory, jurisprudence atau philosophy of law dan pengetahuan mengenai hukum substantif dari suatu sistem hukum. Ruang lingkup teori keadilan bermartabat tidak hanya pengungkapan dimensi yang abstrak dari kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku. Lebih jauh daripada itu, teori keadilan bermartabat mengungkap pula semua kaidah dan asas- asas hukum yang berlaku di dalam sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum dimaksud yaitu sistem hukum positif Indonesia atau sistem hukum, berdasarkan Pancasila. Itu sebabnya, Keadilan Bermartabat, disebut di dalam judul buku ini sebagai suatu teori hukum berdasarkan Pancasila.Teori keadilan bermartabat tidak hanya menaruh perhatian kepada lapisan fondasi hukum yang tampak di permukaan dari suatu sistem hukum. Teori keadilan bermartabat juga berusaha menelusuri dan mengangkap lapisan fondasi hukum yang berada di bawah permukaan fondasi hukum dari sistem hukum yang tampak itu. Teori keadilan bermartabat, sesuai dengan ciri filosofis yang dimilikinya berusaha menggali nilai-nilai atau fondasi lama di bawah permukaan fondasi sistem hukum yang tampak saat ini, serta mendobrak dari bawah landasan kolonial. Fondasi yang sudah lama ada di dalam jiwa bangsa oleh teori keadilan bermartabat dipandang

40Ibid, hal 24

(39)

sebagai bottom-line dari suatu sistem hukum dimana seluruh isi bangunan sistem itu diletakkan dan berfungsi mengejar tujuannya yaitu keadilan.41

Teori keadilan bermartabat mengemukakan suatu dalil bahwa sekalipun konsep-konsep seperti the rule of law dan rechtsstaat itu secara etimologis sinonim dengan negara hukum, namun kedua konsep itu tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan konsep negara hukum atau konsep negara hukum berdasarkan Pancasila. Teori keadilan bermartabat sampai pada dalil seperti itu setelah menemukan bahwa hasil penggalian terhadap nilai-nilai luhur Pancasila sebagai sumber hukum utama mengingat nilai-nilai dan ukuran perilaku yang baik itu adalah values dan virtues yang paling sesuai dengan nilainilai bangsa. Nilai-nilai Pancasila sebagai kesepakatan pertama, menurut teori keadilan bermartabat kemudian dijadikan sebagai nilai-nilai yang berasal dari satu sumber hukum filosofis, sumber hukum historis, dan sumber hukum sosiologis sebagai satu paket. Hal itu dikarenakan, semua nilai dan standar perilaku baik itu ternyata ada di dalam, serta sama dan sebangun dengan hukum itu sendiri.42

Teori keadilan bermartabat menganut prinsip untuk memahami doktrin dan ketentuan-ketentuan yang pernah ada di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila sebagai sistem hukum utama atau kesepakatan pertama yang menjadi sasaran kajian dan penyelidikan teori keadilan bermartabat. Prinsip atau doktrin ini adalah penemuan hukum. Penemuan hukum harus dilakukan manakala ditemukan bahwa terhadap kasus-kasus itu pengaturannya belum ada, kurang

41Ibid, hal 53

42Ibid, hal 185

(40)

jelas, atau tidak lengkap diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.43

2.8.Teori Hans Kelsen (Teori Grundnorm)

Grundnorm (norma dasar) adalah kaidah-kaidah yang paling fundamental tentang kehidupan manusia dimana diatas norma dasar tersebut diabuatlah kaidah-kaidah hukum lain yang lebih konkret dan lebih khusus. Suatu norma dasar tidak dengan sendirinya mengikat secara hukum tanpa kehadiran suatu aturan hukum pada tataran yang lebih konkret berupa norma hukum yang valid.44

Sesuai dengan teori norma dasar (Grundnorm) dari Hans Kelsen, maka setiap hukum dalam suatu negara haruslah berasal dari suatu hukum dasar (Grundnorm) yaitu konstitusi. Karena itu, untuk mengukur konsistensinya dengan hukum dasar, berkembanglah beberapa kaidah hukum tentang logikailmu hukum, yaitu:

- Kaidah derogasi, dalam hal ini setiap aturan hukum berasal dari aturan hukum yang lebih tinggi

- Kaidah pengakuan (recognition). Setiap kaidah hukum yang berlaku harus ada pengakuan dari yang berwenang menjalankan aturan tersebut, maupun pengakuan dari pihak kepada siapa aturan hukum tersebut akan diterapkan.

- Kaidah nonkontradiksi, tidak boleh ada kontradiksi antara sesuatu aturan hukum dengan aturan hukum lainya, sehingga antara satu norma hukum

43Ibid, hal 12-13.

44Munir Fuady., Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum., Penerbit Kencana., 2013., hal 138

(41)

dengan norma hukum lainya haruslah harmonis, sinkron, dan terintegrasi (principle of intergrity).

- Kaidah derivatif ( derivative principle), dalam hal ini aturan hukum ditingkat bawah merupakan bagian dari aturan hukum tingkat lebih tinggi yang ditarik berdasarkan prinsip dedukasi partikal.

- Kaidah sistem (sytem principle) dalam hal ini suatu sistem hukum yang lebih rendah tingkatanya merupakan subsistem dari peraturan hukum yang lebih tinggi, sehingga semua aturan hukum yang berlaku merupakan sebuah sistem secara keseluruhan.

- Kaidah generalis (generalized principle), dalam hal ini atuaran hukum yang lebih tinggi merupakan generalis dari aturan hukum yang lebih rendah. Demikian juga sebaliknya bahwa aturan yang lebih rendah merupakan kekhususan dari aturan yang lebih tinggi

- Kaidah reduksi (principle of reductionism), dimana aturan hukum yang lebih rendah merupakan reduksi dari aturan yang lebih tinggi.

- Kaidah golongan ketercakupan (principle of subsumption), dalam arti bahwa aturan hukum harus masih termasuk aturan atau tercakup dalam golongan aturan yang lebih tinggi,. Jadi bukan berasal dari golongan aturan yang lain.45

Selanjutnya satu ajaran yanag sangat populer dari teori hukum dasar adalah teori tentang tindakan aturan hukum yang berjenjang (teori piramida berbalik). Dalam hal ini, teori dasar yang merupakan konstitusi

45 Ibid hal 143

(42)

dalam suatu sistem pemerintah, merupakan norma dasar yang dalam suatu segitiga terbalik tenpatnya adalah yang tertinggi (dengan wilayah jerja yang luas).46

3.1.HASIL PENELITIAN

PUTUSAN Nomor 013-022/PUU-IV/2006

Kasus Posisi Perkara Nomor 013-022/PUU-IV/2006 Para Pemohon yaitu :

1. Pemohon Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006

Dr. Eggi Sudjana, SH., M.Si., pekerjaan Advokat, beralamat di Villa Indah Padjajaran, Jalan Sultan Agung No. 1, Bogor Tengah, Jawa Barat dan/atau Kuningan Mansion, Jalan. Perintis No.16, Mega Kuningan, Jakarta 12950. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Firman Wijaya, SH., Nurlan HN, SH., Welliam Suharto, SH., Tina Tamher, SH., M. Hadrawi, SH.; Dorel Almir, SH., Mkn., David M. Ujung, SH., Weadya Absari, SH., Hasraldi, SH., kesemuanya Advokat, pada Kantor Hukum ―EGGI SUDJANA & PARTNERS‖, berkantor di Kuningan Mansion Jalan. Perintis No.16, Mega Kuningan, Jakarta 12950, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 23 Juli 2006;

Sebagai Pemohon I

2. Pemohon Perkara Nomor 022/PUU-IV/2006

46Ibid.,h 144

(43)

Pandapotan Lubis, pekerjaan Wiraswasta, beralamat di Jalan Cikopak Perumahan Mulia Mekar, Rt. 002/Rw. 02, Desa Cikopak, Kecamatan Sadang, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Irma Hattu, SH., Marolop Tua Sagala, SH., Sattu Pali, SH., Brodus, SH., Nixon Gans Lalu, SH., dan Sabar Sigalingging, SH., kesemuanya Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Klinik Hukum ―Merdeka‖, berkantor di Kompleks Bina Marga, Jalan Pramuka Raya Nomor 56, Jakarta 13140, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 01/SK/JR-MK/IX/2006, bertanggal 23 September 2006; Sebagai Pemohon II. Selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

3.2.Norma-norma yang diajukan untuk diuji a. Norma materil

Pasal 134:

―Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4.500‖;

Pasal 136 bis.

―Perkataan penghinaan dengan sengaja dalam Pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 315, jika itu dilakukan kalau yang dihinakan tak hadir, yaitu baik di muka umum dengan beberapa perbuatan, maupun tidak di muka umum, tetapi dihadapan lebih dari empat orang atau dihadapan orang lain, yang hadir dengan tidak kemauannya dan yang merasa tersentuh hatinya, akan itu, dengan perbuatan-perbuatan, atau dengan lisan atau dengan tulisan‖;

Pasal 137

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Sekuritas akan berkorelasi hanya jika sekuritas-sekuritas tersebut mempunyai respon yang sama terhadap return pasar. Sekuritas akan bergerak menuju arah yang sama hanya

No Atribut Yang dingin dinaikkan Yang terkena dampak Improving Feature Worsening Feature Matriks Kontradiksi Solusi dan Pengaplikasian Pada pengaplikasian yaitu

3.1 Menggali informasi tentang konsep perubahan wujud benda dalam kehidupan sehari-hari yang disajikan dalam bentuk lisan, tulis, visual, dan/atau eksplorasi

Seminar Proposal Tugas Akhir dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan oleh Komisi Tugas Akhir dalam rentang waktu yang diatur dalam Kalender

akhir Renja SKPD Tahun 2015, untuk menjamin kesesuaian antara program dan kegiatan SKPD Tahun 2015 dengan program dan kegiatan pembangunan daerah yang

Budaya Jepang yang disiplin dan pekerja keras menyebabkan masyarakat Jepang menyukai game sebagai salah satu sarana hiburan karena dengan bermain game masyarakat Jepang

Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi bayi.. Pemberian