• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah lengsernya presiden Soeharto pada tahun 1998 dan sistem politik Indonesia memasuki era reformasi tetapi kenyatannya kebiijakan pangan masih tidak menguntungkan petani. Kebijakan untuk pengurangan subsidi pupuk dan bunga kredit KUT masih dilanjutkan pada tahun 1999 sehingga bunga kredit KUT menjadi 10,5% per tahun dan diikuti dengan pengurangan Kredit Likuiditas Bank Indonesia ( KLBI ) untuk pengadaan beras oleh Bulog. Kebijakan pengurangan KLBI untuk pengadaan beras oleh Bulog tersebut berdampak pada semakin lemahnya Bulog dalam mengatur stok nasional dan pedagang beras nasional semakin meguasai pasar perberasan nasional. Sedangkan rendahnya tingkat bunga KUT dibandingkan bunga kredit komersim ternyata menimbulkan ‘ moral hazard’ yangberupa penyimpangan penggunaan KUT tersebut untuk usaha di luar usaha tani atau bahkan didepositkan pada bank-bank komersial untuk memperoleh keuntungan selisih bunga.

Kondisi krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi tersebut juga berdampak pada ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk memenuhi keutuhan pangannya sehingga terjadi kondisi kekurangan pangan dan gizi. Untuk itu pemerintah melaksanakan program penjualan beras murah bagi keluarga miskin melalui program OPK ( Operasi Pasar Khusus ) oleh Bulog yang dimulai pada bulan juni 1998. Namun, kenyataannya sebagian masyarakat tersebut semakin menurun daya – belinya akibat dari meningkatnya pengangguran akibat pengurangan tenaga kerja di sektor industri. Untuk itu sejak agustus 1998

pemerintah merancang program penyelamatan yang dikenal dengan Jaring Pengaman Sosial ( JPS ) di bidang pendidikan, kesehatan dan pemerataan pendapatan bagi pengangguran melalui program padat karya yang ternyata efektif dilakukan pada tahun 1999.

Sebelum Indonesia memasuki krisis ekonomi dan moneter, Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yakni antara 5% sampai dengan 7% per tahunnya. Dari segi teori pertumbuhan makro yang relatif tinggi tersebut diharapkan pula akan memperbaiki kinerja sektor pertaniana Indonesia, serta tingkat kesejahteraan masyarkat pertanian Indonesia. Tetapi kenyataan empiriknya tidaklah demikian. Salah satu indikator penting yang digunakan untuk mengetahui tinggi rendahnya kesejahteraan petani adalah nilai tukar produk pertanian.66 Semakin tinggi nilai tukar produk pertanin, semakin tinggi kesejahteraan para petani. Sebaliknya semakin rendah nilai tukar produk pertanian semakin rendah kesejahteraan petani. Di Indonesia nilai tukar produk pertanian petani mengalami penurunan dari tahun ke tahun seperti terlihat dalam tabel berikut :

66

NTP atau nilai tukar petani adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani misalnya pupuk. Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.

Tabel 1. Nilai Tukar Produk Pertanian di Jawa

Tahun Jawa Barat Jawa Tengan Yogyakarta Jawa Timur

1988 105,95 111,58 109,08 113,26

1989 103,65 106,34 102,33 104,63

1990 105,70 106,02 104,02 104,30

1991 105,97 104,21 104,21 102,83

1992 102,30 99,56 101,39 100,00

Sumber : Warta HKTI , No.16 XIV, hal 29, 1997.

Dari angka-angka tersebut nampak bahwa harga yang diterima oleh petani dari produk hasil pertanian mereka, khususnya produk dari sub sektor pertanian yakni padi, tidak sebanding dengan harga-harga yang dibayarkan petani baik untuk konsumsi maupun untuk keperluan usaha tani. Harga padi diatur oleh pemerintah agar harga beras di Indonesia dapat dijangkau oleh semua sektor masyarakat Indoensia. Setiap tahun pemerintah menentukan harga gabah. Namun setiap tahun pula subsidi pemerintah terhadap harga beberapa jenis saprodi dikurangi. Akibatnya memang menjadikan para petani harus membayar keperluan mereka lebih dari harga dasar produk pertanian mereka.67

67

Loekinan Soetrisno. 1998. Pertanian Pada Abad ke 21.Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 8-9

Perimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan penerimaan bersih yang diperoleh , sering kurang menguntungkan produsen pertanian yang begitu banyak macam dan jumlahnya mengalir ke kota-kota untuk menghidupi sektor kota. Sering terjadi bahwa harga komoditi pertanian dinilai rendah terhadap barang industri yang datang dari kota. Dalam hubungan dini, dapat dikatakan, bahwa daerah pedesaan telah lama mensubsidi daerah perkotaan, dengan jumlah nilai ekspor yang cukup besar. Kepincangan nilai tukar antara barang yang dihasilkan di sektor desa dan kota ini lambat laun harus dibenahi sehingga tercapai ‘trade off’ antara pembangunan desa dan kota. Disinilah pentingnya memberi nilai tukar yang berarti terhadap hasil-hasil pertanian.68

Pada sisi produksi pangan pemerintah masih memberi insentif kepada petani menjadi Rp1.500/kg yang disertai dengan penurunan bunga kredit KUT ternyata efektif meningkatkan produksi beras nasional sebesar 1,03 juta ton pada tahun 1999. Kemudian pada tahun 2000 pemerintah memberlakukan Bea Masuk beras impor sebesar Rp430/kg dan pemberian kredit pengadaan untuk KUD masih efektif meningkatkan produksi beras nasional sebesar 652 ribu ton. Selain itu, ketidaktepatan pemerintah untuk mengganti dengan program KKP ( Kredit Ketahanan Pangan ). Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah no.6/2001 mewajibkan pemerintah daerah untuk mendorong terbentuknya Lumbung Pangan Masyarakat Desa ( LPMD ) sebagai lembaga

68

milik rakyat desa/kelurahan dan perdagangan bahan pangan yang dibentuk dan dikeola oleh masyarakat.

Pada tahun 2002 terjadi peningkatan produksi karena meningkatnya produktifitas namun terjadi penurunan harga beras internasional yang menyebabkan jumlah beras impor meningkat. Mengingat keterbatasan kemampuan Bulog mengelola beras pemerintah maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah ( PP ) no 68/2002 membentuk cadangan pangan hingga di tingkat daerah untuk konsumsi, bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat. Kemudian, pada akhir tahun 2002 pemerintah menaikkan HDPP melalui inpres no. 9/2002 menjadi Rp1725/kg yang ternyata masih digunakan sebagai patokan harga bagi petani untuk produksi di tahun 2003. Hal ini terbukti dengan terjadinya peningkatan produksi walaupun relatif kecil yaitu sekitar 2,7 juta ton karena harga internasional relatif lebih murah dari harga domestik.

Pada tahun 2003 dengan PP no.7 / 2003 Bulog berstatus sebagai Perusahaan Umum ( Perum ) dan berada di bawah Kementerian Negara BUMN yang tentunya tidak lagi sepenuhnya Lembaga Pemerintah tetapi juga menjadi Badan Usaha yang harus mampu menghasilkan keuntungan dari usahanya. Sebagai perusahaan tentunya Perum Bulog akan selalu meminimalkan kerugian dari bahan pangan yang dikelolanya sehingga prinsip semakin kecil stok di gudang Perum Bulog lebih menguntungkan. Alternatif upaya untuk memperkecil kerugian maka Perum Bulog akan melakukan perputaran stok lebih cepat sehingga efisien jika melakukan stok dalam bentuk beras dari pada gabah yang

dapat disimpan lebih lama. Perubahan kebijakan manajemen Perum Bulog tersebut berdampak pada semakin jauhnya posisi Perum Bulog dengan petani produsen yang menjual produk dalam bentuk gabah. Namun, Perum Bulog masih ditugasi oleh pemerintah untuk mengelola beras pemerintah untuk Raskin sedangkan Menteri Perdagangan melakukan pembatasan impor beras.

Pembatasan impor beras masih berlaku hingga tahun 2004 dan walaupun HDPP tidak mengalami perubahan ternyata terjadi peningkatan produksi beras nasional sekitar 1,2 juta ton. Pemerintah dengan PP no. 28/2004 menentukan tentang keamanan, mutu dan gizi pangan untuk melindungi masyarakat dari kandungan kimia pada bahan pangan, standarisasi mutu dan gizi pangan. Namun kemudian dengan Inpres no. 2/2005 tertanggal 2 maret 2005 pemerintah merubah HDPP menjadi HPP yang relatif lebih ‘ rigid’ walaupun ditentukan meningkat tetapi membatasi Perum Bulog dalam pembelian beras untuk pemerintah. Kondisi ekonomi pada saat itu relatif kurang baik terutama dengan peningkatan harga BBM ( Bahan Bakar Minyak ) yang terjadi pada tanggal 10 Oktober mengeluarkan Inpres no. 13/2005 yang menetapkan HPP meningkat menjadi Rp 2280/kg agar memotivasi petani untuk peningkatan produksi pangannya.

Kenyataannya, jumlah produksi di tahun 2005 menurun dan harga beras meningkat signifikan sehingga pemerintah mengijinkan Perum Bulog untuk mengimpor beras sebesar 70.000 ton pada bulan desember 2005 walaupun harga internasional relatif lebih tinggi dari harga domestik. Hingga awal tahun 2006 ternyata harga beras masih naik sementara belum masuk masa panen padi maka

pemerintah mengijinkan lagi perum bulog untuk mengimpor beras dan terealisasi sebesar 83.000 ton. Untuk memenuhi stok pangan pemerintah maka pada saat panen besar di musim hujan 2006 Perum Bulog melakukan pembelian gabah disamping dalam bentuk beras seperti yang selama ini dilakukan dan terealisasi sekitar 1,25 juta ton setra beras. Akan tetapi karena pada akhir 2006 stok Perum Bulog hanya tinggal sekitar satu juta ton dan harga pada bulan november meningkat maka pemerintah mengijinkan lagi Perum Bulog untuk mengimpor sebesar 210 ribu ton untuk memperkuat stok. Harga beras di bulan desember ternyata terus meningkat yang mengindikasikan bahwa stok beras di masyarakat semakin menipis maka perum Bulog diijinkan untuk mengimpor lagi sebesar 500 ribu ton beras untuk mengantisipasi peningkatan harga yang lebih tinggi lagi.

Pada bulan januari 2007 ternyata harga beras terus naik sehingga Perum Bulog mengadakan Operasi Pasar dengan jumlah yang relatif besar sehingga menguras stok beras di gudang Bulog tetapi hingga bulan februari ternyata harga masih naik terus. Untuk stabilisasi harga beras tersebut akhirnya pemerintah melakukan impor beras lagi sebesar 500 ribu ton akan tetapi harga beras naik dan diperkirakan bahwa harga beras akan mencapai tingkat keseimbangan baru yang cukup tinggi. Kenaikan harga tersebut ternyata mulai menurun lagi pada bulan maret yaitu saat mulai ada panen di daerah-daerah produsen padi dan pada 31 maret 2007 dikeluarkan Inpres no.3 2007 yang menentukan HPP gabah kering giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar

hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp 2575 / kg di penggilingan atau Rp 2.600/kg di gudang Bulog.

Pada tahun 2008 dengan kondisi iklim yang cukup mendukung maka pemerintah optimis untuk dapat meningkatkan produksi beras nasional dan untuk memberikan patokan harga maka dikeluarkan Inpres no. 1/2008 yang menentukan HPP gabah kering panen sebesar Rp2.200/kg dan gabah kering keliling sebesar Rp 2.800/kg . Disamping itu, pembatasan impor beras masih diberlakukan dan tercatat jumlah impor yang dilakukan oleh pedagang sekitar 110.596 ton dan Perum Bulog sebesar 30.200 ton. Kemudian pada tahun 2009 dengan didukung oleh iklim yang kondusif maka produksi padi meningkat sekitar 3,5 juta ton padi dari pertambahan luas panen sebesar 515 ribu hektar. Pemerintah dengan inpres no.7/2009 meningkatkan HPP gabah kering giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14 % dan kadar hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp3.300/kg di penggilingan, atau Rp3.345/kg di gudang Bulog.

Demikian pula kondisi pada tahun 2010 dengan kemarau yang basah memungkinkan petani melakukan penanaman sepanjang tahun termasuk di areal sawah tadah hujan sehingga diperkirakan terjadi kenaikan produksi padi. Namun kenyatan menunjukkan bahwa penanaman padi secara terus menerus sepanjang tahun menyebabkan terjadinya eksplosi hama wereng di beberapa daerah sentra produksi padi. Selain itu, musim kemarau yang basah juga menyebabkan rendahnya rendemen gabah beras karena gabah yang tidak dapat memenuhi

persyaratan kering giling. Pada tahun 2010 tercatat pengadaan beras oleh Perum Bulog dari dalam negeri hanya 1,896 juta ton dari impor sebesar 468 ribu ton.

Usai era Orde Baru, sektor pertanian kembali memasuki era baru, dimana pembangunan pertanian tidak lagi bersifat sentralistik. Era reformasi yang dicirikan dengan otonomi daerah mengharuskan sektor pertanian bersifat desentralistik, yang diikuti pula oleh program penelitian dan pengembangan yang bersifat lebih spesifik lokasi, meskipun gaungnya masih rendah. Fokus riset pada padi masih mendominasi di seluruh provinsi, sehingga belum terlihat kekhasan dan potensi yang dimiliki masing-masing provinsi tersebut. Sejak 2000 perhatian pembangunan pertanian pada palawija mulai tumbuh dengan diluncurkannya program GEMA PALAGUNG Departemen Pertanian, 1998. Fokus pembangunan pertanian pada ketahanan pangan tetap dipertahankan, sambil pula menjalankan program pembangunan pertanian berupa pengembangan agribisnis, swasembada daging sapi dan kerbau serta gula, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, serta peningkatan kesejahteraan petani.

Pada Musrenbang Pertanian Nasional yang diselenggarakan pada pertengahan Mei 2014 telah menyepakati program Pembangunan Pertanian-Bioindustri untuk Peningkatan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Biomas yang dihasilkan harus mampu menggerakkan usahatani, baik dari sisi kecukupan ekonomi, energi, dan kebutuhan ekologi tanah dan tanaman . Selaras dengan Permentan No. 50 tahun 2012, konsep pembangunan pertanian berbasis kawasan telah pula disepakati dan akan diimplementasikan oleh seluruh

pengambil kebijakan pembangunan pertanian di pusat dan provinsi/kabupaten/kota, melalui alokasi anggaran DIPA TA 2015 sekitar 30 persen untuk pelaksanaannya.

Pembangunan kemandirian pangan tetap harus dikaitkan dengan pelestarian sumber daya pertanian, yang terdiri tanah, air, iklim, dan tanaman. Kualitas sumber daya pertanian yang buruk, akan menghasilkan kualitas produk pertanian yang buruk pula; dan bahkan produk pertanian yang tumbuh dan berkembang pada lahan yang tidak optimal dan cemar misalnya, tidak akan mendapat respon positif dari pasar. Terlebih pada era globalisasi dan persaingan pasar bebas yang akan datang. Indonesia sebagai Negara dengan biodiversity terbesar harus mampu memelihara dan melakukan konservasi .

Membangun kemandirian pangan seperti yang sudah dicanangkan oleh pemerintah, salah satunya harus dimulai dengan perencanaan yang komprehensif, didukung oleh penelitian/perekayaan, pengkajian, pengembangan, serta penerapan teknologi pertanian, didorong oleh pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, serta diperkuat oleh peran pendampingan oleh penyuluh di lapangan. Dengan demikian diharapkan akan tercipta titik pertumbuhan baru sentra produksi pertanian pada berbagai level administrasi pemerintahan, sehingga akan mampu menciptakan kondisi yang dinamis dengan pendapatan masyarakat, dalam hal ini adalah petani. Keberhasilan pembangunan pertanian dalam menjaga swasembada pangan, khususnya beras, telah mendapat apresiasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keberhasilan dalam meningkatkan

produktivitas padi dari 4,56 menjadi 5,15 ton/ha menutup tahun 2014, merupakan kerja keras seluruh insan pertanian, termasuk petani di dalamnya.

Dalam dunia nyata yang makin dinamis seperti sekarang ini, perencanaan pembangunan pertanian menuju kemandirian pangan menduduki posisi yang sangat strategis. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan pertanian, selain harus dengan cepat memperhitungkan kekuatan internal, juga harus mampu memprediksi kekuatan ekternal, yang akan menjadi pesaing dan sekaligus mitra. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan pertanian Indonesia, sangat membutuhkan dukungan teknologi inovasi, yang handal, teruji, dan mampu memberikan respon cepat terhadap perubahan lingkungan strategis dan kebutuhan dalam pengambilan keputusan. Kekayaan sumber daya biotik dan abiotik yang sangat berlimpah dan terbesar di dunia untuk wilayah tropis, kekayaan posisi geografis dan iklim, serta kekayaan pangsa pasar terbesar ke lima di dunia merupakan anugrah bagi bangsa Indonesia untuk dipertahankan dan dijaga keseimbangannya. 69

Pertanian di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertanian memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai

69

Haris Syahbuddin dan Eleonora . Reformasi Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertananian.. diakses darihttp://www.litbang.pertanian.go.id/buku/reformasi-kebijakan-menuju/BAB-IV-11.pdf pukul 21:30 tgl 04-05-2017 WIB

hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan.70

70

http//: siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Proritas Masalah Pertanian di Indonesia/agriculture.pdf diakses pada 15-05-2017 pukul 02.00 WIB

Kondisi petani Indonesia pada abad ke XXI ini harus bertahan dari hantaman kebijakan globalisasi neoliberalisme, petani Indonesia bagaikan orang yang sudah jatuh dari tangga, kemudian tangga tersebut menimpa dirinya. Di tengah petani Indonesia yang tak menguasai dan memiliki tanah, petani Indonesia diserbu oleh pasar Internasional. IMF dan Bank Dunia dalam memberikan pinjaman kepada Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi dan krisis moneter juga mempersyartkan penghapusan kebijakan ekonomi nsional yang selama ini dipandang bersifat sangat distorsif. Oleh karen itu, pembangunan pertanian dimasa mendatang tidak akan terlepas dari proses globalisasi yang menimbulkan perubahan dalam berbagai aspek, baik yang menyangkut penawaran maupun permintaan hasil pertanian. Untuk itu diperlukan berbagai penyesuaian dan kebijaksanaan yang kondusif .

PDI Perjuangan berpendapat bahwa misi penting sektor pertanian adalah menghasilkan pangan yang cukup dan berkualitas untuk seluruh penduduk. Peran pertanian dalam mendukung perekonomian nasional terbukti sangat besar baik pada situasi normal maupun terlebih lagi pada saat krisis. Dalam dua periode krisis , yaitu tahun 1986-1987 pada saat harga minyak bumi turun sangat tajam dalam waktu yang sangat pendek, dan pada tahun 1997-1999 pada saat terjadi krisis ekonomi dan moneter, sektor pertanin terbukti paling resisten terhadap gejolak dibandingkan sektor lain. Pada dua periode krisis tersebut, pertanian berperan sebagai penyelamat ekonomi nasional dalam bentuk penyediaan pangan, penghasil devisa dan penciptaan kesempatan kerja. Implikasi dari hal ini adalah bahwa penting sekali menempatkan sektor pertanian sebagai sektor utama penggerak roda perekonomian, bukan sekedar sebagai sektor penunjang seperti yang terjadi pada masa orde baru. Salah satu kelemahan terbesar dari kebijakan Orde Baru adalah pengabaiannya terhadap sektor pertanian, dengan menerapkan kebijakan industri yang tidak realistis dan tidak membumi, dengan menempatkan prioritas yang lebih pada sektor industri dengan kandungan impor yang tinggi dan teknologi rendah. 71

71

Muhammad Prakosa. 1999. Konsep dan Program Reformasi Kebijakan Pertanian PDI Perjuangan. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan. Hal 8

Kekurangan dari Orde Baru ini juga hanya memahami pembangunan pertanian dari sisi politik dan politik-ekonomi semata, tidak melampaui hal itu. Sehingga swasembada beras mejadi sebuah proyek politik, bukan sebagai upaya sistematis untuk menjaga ketersediaan beras sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini terungkap, setelah antara tahun

1990-1995 tingkat pendapatan riil petani rata-rata di Jawa adalah -2,24 dan di luar Jawa -2,99% , sementara pendapatan per kapita nasional naik rata-rata 4% per tahun. Swasembada beras menjadi konsumsi politik, dan petani ,menjadi bagian yang kembali terpinggirkan. Bahka secara riil pula petani dan pertanian terdesak dari prioritas pebngunan nasional.

Kontribusi sektor pertannian juga makin diabaikan tatkala ia makin terdesak oleh sektor modern. Data berikut menunjukannya.

Tabel 2. Perbandingn Pertumbuhan Antar Sektor

Sektor Tahun 1960 Tahun 1994 Pertumbuhan

Pertanian 53 16 69

Industri 10,3 40 288,3

Jasa 31,7 44,6 40,4

Sumber: BPS 1996

Tercatat ahwa kebijaka pemerintah adalah mengedepankan sektor industri dan tekhnologi tinggi, dengan akibat sektor pertaniaan menjadi terkemudiankan. Sektor pertnanian berada di kelompok usaha kecil denga performance yng cukup memprihatinkan.ondisi tersebut tidk sangat mengherankan jika kita melihat

perbndinga alokasi kredit untuk etiap sektor atara tahun 1994-1999 yang menunjukkan betapa tersudutkannya kebijakan pertanian.72

Pokok-pokok pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat secara jelas dituangkan dalam Pasal 3 UU No. 18 Tahun 2012 dalam istilah Penyelenggaraan Pangan. Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Selanjutnya, dalam Pasal 4 dikemukakan bahwa

2.4. Kebijakan Umum Pemerintahan Jokowi JK Dalam Mewujudkan

Dokumen terkait