• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo Jusuf Kalla dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo Jusuf Kalla dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SEJARAH KEDAULATAN PANGAN DI INDONESIA DAN GAMBARAN

UMUM KONDISI PERTANIAN INDONESIA SERTA KEBIJAKAN

JOKOWI DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN BAGI

INDONESIA

2.1. Politik Pangan Era Orde Lama

Persoalan pangan tidak terlepas dari tersedianya lahan pertanian yang akan dijadikan sebagai sarana utama dalam berproduksi. Sarana yang digunakan untuk bercocok tanam hingga menghasilkan berbagai jenis hasil produksi dan yang akan digunakan sebagai bahan konsumsi. Pangan sebagai kebutuhan masyarakat moderen sekarang yang salah satunya beras dan diperoleh dari tanaman padi merupakan kebutuhan yang sangat mendesak di era ini. Ketersediaan beras menjadi isu penting untuk untuk di bahas. Ketersediaan dan pemerataan distribusi beras serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat sejak dulu sampai sekarang merupakan isu sentral yang berpengaruh terhadap kebiijaksanaan ekonomi nasional.

(2)

oleh banyak negara di dunia. Kedua, pasar beras sangat tipis, tidak lebih dari total produksi dibandingkan dengan misalnya jagung, kedelai dan gandum yang masing-masing mencapai 15%,30% dan 25% dari total produksi. Ketiga, harga beras sangat tidak stabil jika dibandingkan dengan misalnya gandum. Keempat, struktur pasar dunia untuk beras bersifat oliogopolisik, sekitar 80% dari total perdagangan beras dunia dikuasai oleh 6 negara yakni Thailand, Vietnam, Pakistan, Cina, Myanmar dan AS. Kelima, belakangan ini Indonesia merupakan negara importir terbesar. Tahun 1998, impornya mencapai 31% dari total beras yang diperdagangkan di pasar dunia. Keenam, di sebagian besar negara di Asia termasuk Indonesia, umumnya beras diperlakukan sebagai barang upah dan barang politik.53

53

Tulus Tambunan.2003.Perkembngan Sektor Pertanian di Indonesia.Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal 202

(3)

Mengapa hal tersebut sangat penting karena, politik pertanian yang berkaitan langsung dengan ketersediaan pangan pada hakekatnya menurut Amartya Sen adalah “bagaimana kita mampu menciptakan sistem politik kuat dan yang bisa menciptakan petani dan keluarganya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses politik itu sendiri, meningkatkan what farmers can be or can do- capabilities”. Inilah yang dimaksud dengan ‘ development as freeedom’ ungkap pemenang hadiah Nobel dalam bidang ekonomi tersebut. Hal ini kental dengan proses politik. Ujungnya adalah apakah kita akan mendapatkan Presiden Indonesia nanti yang cinta petani dan pertanian. Karena hanya dengan dasar cinta kepada petani dan pertanian inilah sistem politik, ekonomi dan yang lainnya akan berpihak kepada petani dan pertanian, yang akan melahirkan Indonesia sebagai negara kuat, sejahtera , besar dan membanggakan .54

Setelah kemerdekaan tahun 1945-1950, Pemerintah RI mendirikan Jawatan Pengawasan Makanan Rakyat untuk mengganti lembaga ketahanan pangan bentukan Belanda dan Jepang, serta melakukan operasi intervensi. Pada masa Kabinet VII – IX, penanganan distribusi pangan khususnya beras ditangani Upaya pencapaian swasembada pangan sejak awal kemerdekaan bangsa dititikberatkan pada beras sebagi bahan pangan utama bangsa Indonesia. Usaha tersebut diawali dengan penggantian lembaga yang mengatur bahan makanan beras termasuk bentukan Belanda pada April 1939 yaitu VMF ( Voedings Midedelen Fonds ) sebagai pelaksana Rijst Ordonantie tahun 1948.

54

(4)

oleh Menteri Persediaan Makanan Rakyat (PMR) dan Jawatan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (PPBM). Demikian pula untuk kelembagaan pertanian, pada masa awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia masih memanfaatkan lembaga yang dibangun pada masa kolonial, baik Belanda maupun Jepang. Namun setelah proklamasi kemerdekaan, dengan dibentuknya kabinet presidensiil tanggal 2 September 1945, urusan pertanian diserahkan kepada Kementerian Kemakmuran. Kaitannya dengan ketahanan pangan, di daerah-daerah yang dikuasai Republik Indonesia, Kementerian Kemakmuran menyusun program pembangunan pertanian yang diberi nama Rencana Produksi Tiga Tahun atau dikenal sebagai Plan Kasimo. Dasar pemikirannya adalah untuk mengatasi kelangkaan pangan pada saat itu dan diperparah dengan mengalirnya ratusan ribu pengungsi dari daerah-daerah yang diserbu Belanda. Plan Kasimo disusun pada tahun 1947 dan dilaksanakan pada tahun 1948-1950. Tujuannya adalah: (1) mencukupi kebutuhan rakyat akan bahan makanan pokok terutama beras, jagung, ketela, kacang tanah, kedele, ikan dan daging secara mandiri; (2) memenuhi sekitar 10 persen kebutuhan pakaian rakyat secara mandiri; dan (3) mengusahakan tersedianya kelebihan produksi untuk diekspor.

(5)

harga beras termasuk pembelian beras di dalam negeri dan dari luar negeri. Tahun 1957 daerah-daerah mulai tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat tentang pelaksanaan pembelian beras dalam negeri karena tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah dan akibatnya pada awal tahun 1958 dibentuk YBPP di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk peningkatan produksi tani nasional maka pemerintah membentuk Padi Sentra pada tahun 1958, yaitu upaya intensifikasi yang dipusatkan pada sentra-sentra produksi padi ( 5 unit di Jawa Tengah dan 5 unit di Jawa Timur ) dengan luasan masing-masing sekitar 1000 hektar dan petani padi diberi kredit dalam bentuk uang dan natura ( bibit dan pupuk ). Kemudian dengan PP No. 7 Tahun 1958 dibentuk DBM ( Dewan Bahan Makanan ) yang beranggotakan Menteri-menteri yang berwenang di bidang penyaluran dan produksi pada beras serta bahan pangan lainnya dan pelaksanaanya dilakukan oleh YBPP di beberapa daerah sentra produksi padi tersebut.

Upaya peningkatan produksi padi nasional tersebut ternyata belum optimal karena kenyataanya pada tahun 1959 impor beras mencapai 3,5 milyar rupiah sehingga Kementerian Pertanian Kabaniet Kerja memutuskan untuk dapat swasembada beras dalam waktu tiga tahun ( 1959-1962 ). Rencana ini dikenal dengan Rencana SSB yang dilakukan dengan upaya :

(6)

Benih Unggul, Pupuk, Pemberantasan HPT, Irigasi dan Perbaikan Budidaya)

b) Rencana Jangka Panjang dengan ekstensifikasi pertanian rakyat ke lahan kering pasang surut dan perluasan sawah. Untukmempercepat realisasi SSB maka dengan INPRES No. 1/1959 dibentuk KOGM ( Komando Operasi gerakan Makmur ) yang dipimpin langsung oleh Presiden. Namun pada tahun 1960 dengan diterbitkannya Ketetapan MPRS no II/1960 tentang garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana tahap I yang menuntut peningkatan produksi pangan non beras maka pada tahun 1963/64 SSB dirubah menjadi SSBM ( Swa Sembada Bahan Makanan).

(7)

kebijakan tersebut maka pada tahun 1964 dengan Peraturan Presiden No. 3 Tahun 1964 diadakan reorganisasi DBM dengan membentuk Badan Pelaksana. Dengan surat keputusan DBM No.001/SK/DM/64 maka pada tanggal 1 April 1964 YUBM dan YBPP dilebur menjadi BPUP ( Badan Pelaksana Urusan Pangan ) dengan kondisi pada saat itu terjadi impor beras sebesar 1.009.700 ton dengan harga beras Rp202,08/kg.

(8)

departemen kemakmuran dan usaha usaha modernisasi pertanian melalui BIMAS, INMAS, INSUS, SUPRA INSUS, dalam gerakan revolusi hijau merupakan tanggapan pemerintah untuk menjadikan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian bangsa. Meski berbagai kebijakan tersebut saat ini mendapat kritik yang cukup tajam karena pada banyak kasus tidak meberikan hal yang lebih baik bagi pertanian malah menjadi bumerang bagi pembangunan pertanian selanjutnya.55

Pada tahun 1964/65 dilakukan DEMAS sebagai pengembangan dari teknik Panca Usaha Lengkap dalam meningkatkan produksi padi yang kemudian dikembangkan menjadi program BIMAS. Sementara upaya tersebut belum memberikan hasil yang nyata, kondisi perberasan menunjukan bahwa pada tahun 1965 , gudang BPUP kosong, impor macet ( 203.200 saja ) persediaan devisa habis, inflasi meningkat dan harga beras mencapai Rp726,04/kg. Kontribusi sektor pertanin sebesar 52,4% terhadap PDB dan naiknya harga beras mendorong inflasi mencapai 650% . Untuk pengendalian operasional bahan-bahan kebutuhan pokok maka pada bulan April 1966 dibentuk KOLOGNAS ( Komando Logistik Nsional ) bidang Ekubang dan pada tanggal 22 Agustus 1966 dengan Keppres 182/1966 ditentukan bahwa KOLOGNAS kedudukannya berada dibawah

2.2. Politik Pangan Era Orde Baru

55

(9)

Presidium Kabinet Ampera dan Ketua Presidium Kabinet sebagai Panglima KOLOGNAS. Kemudian, pada tanggal 31 Agustus dikeluarkan Keputusan Presidium Kabinet Ampera No 11/EK/KEP/1996 yang melebur BPUP ke dalam KOLOGNAS.

(10)

KCI) maka agar penerapan varietas tersebut dapat dilakukan secara luas kemudian pemerintah memberi subsidi terhadap pupuk -pupuk tersebut. Kenyataan lain menunjukkan bahwa penerapan varietas unggul tersebut memunculkan eksplosi hama wereng sehingga pemerintah menganjurkan untuk menggunakan pestisida kimia yang disertai pula dengan pemberian subsidi harga. Dukungan pemerintah untuk upaya peningkatan produksi padi/beras juga dilakukan melalui pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi, baik di daerah sentra produksi maupun daerah pengembangan produksi padi/beras di Indonesia. Semua upaya tersebut dilakukan secara terintegrasi yang kemudian disebut dengan program BIMAS yang disempurnakan.

(11)

mendapat kesempatan kerja laki-laki yang menggunakan ‘sabit bergerigi’. Revolusi di bidang ‘pasca panen’ terjadi dengan menurunnya kegiatan perontokan padi dari ‘meng-iles’ dengan kaki oleh para perempuan di pedesaan ke perontokan dengan sistem ‘dibanting’ atau bahkan dengan alat perontok ( Thresher ) , baik sistem ‘pedal’ atau mesin. Revolusi teknologi pasca panen juga terjadi antara tahun 1966 dan 1973 yaitu bergesernya kegiatan penumpukan padi dengan tangan yang bisanya dilakukan oleh kaum perempuan di pedesaan dengan tingkat penurun lebih dari 50% oleh penggilingan-penggilingan padi skala kecil di pedesaan terutama di Jawa.

(12)

Mutu Makanan Rakyat dengan terbitnya INPRES ( anggaran program bantuan ) No 14/1974. Pelaksanaan kebijakan ini diikuti dengan program Optimalisasi Lahan kering dan pekarangan untuk tanaman pangan dan palawija serta pembangunan saluran irigasi kecil termasuk saluran tersier dan kuarter. Pemerintah juga memotivasi peningkatan produksi jagung dengan penetapan harga dasar jagung.

(13)

akumulasi residu pestisida tersebut. 56 Tidak heran apabila Indonesia mengalami ancaman yang serius , terjadinya krisis pangan. Untuk mengatasai hal tersebutlah Presiden waktu itu Soeharto membuka keran impor pangan dari luar negeri. Pada Orde Baru setelah tahun 1984 berhasil mencapai swasembada beras, namun pada tahun 1998 kembali mengalami krisis pangan. Pada tahun 2003, pemerintah berhasil mengatasi krisis pangan yang terjadi pada tahun 1998 tersebut dengan menggenjot produksi pangan domestik melalui berbagai kebijakan yang komprehensif. Impor beras bahkan pernah mencapai puncaknya pada tahun 1998,

sebesar 5,8 juta ton, dan 4 juta ton pada

tahun1999yangIndonesiamenjadiimportirberasterbesardidunia.Indonesia juga masih rutin menjadi importir gula dengan tingkat ketergantungan pada impor

mencapai30persendanpernahmenjadinomorduaimportirterbesardi dunia setelahRusia.Padahalkitapernahmenjadieksportirgulaterbesarkeduadi dunia padatahun1930an.57

Pembangunan pertanin REPELITA III merupakan lanjutan dan peningkatan dari segala usaha yang telah dilakukan dalam PELITA II, dimana sasaran yang belum tercapai harus dirampungkan, hasil-hasil positif yang telah dicapai dikembangkan terus, sedangkan masalah baru yang timbul sebagai akibat

Ini jelas akibat dari penggunaan berlebihan pestisida kimia yang cepat sekali merusak unsur hara tanah.

56

Triwibowo Yuwono.2012. Pembangunn Pertanin : Membangun Kedaulatan Pangan. UGM Press.Yogyakarta hal 57-63

57

Delima Hasri.2008. Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional.

(14)

dinamika pembangunan harus segera dipecahkan. Berdasarkan pengalaman-pengalaman dari REPELITA II, maka pada REPELITA III pembangunan pertanian yang ditujukan yaitu :

1. Meningkatkan produksi pangan menuju swasembada karbohidrat non terigu, sekaligus meningkatkan gizi mayarakat melalui penyediaan protein, lemak , vitamin dan mineral.

2. Meningkatkan tingkat hidup petani melalui peningkatan penghasilan petani

3. Memperluas lapangan pekerjaan disektor pertanian dalam rangka pemerataan pendapatan

4. Meningkatkan ekspor sekaligus mengurangi impor hasil pertanian

5. Meningkatkan dukungan yang kuat terhadap pembangunan industri untuk menghasilkan barang jadi atau setengah jadi

6. Memanfaatkan dan memelihara kelestarian sumber daya alam, serta memelihara dan memperbaiki lingkungan hidup

7. Meningkatkan pertumbuhan pembangunan pedesaan secara terpadu dan serasi dalam kerangka pembangunan daerah. 58

Pada REPELITA III ( 1979-83 ) pemerintah mencanangkan Program Diversifikasi Pangan59

58

Departemen Pertanian R.I. 1979.REPELITA III. Jakarta.hal 78

yang berbasis Sagu dengan INPRES No. 20/1979 yang

59

(15)

didukung oleh Bantuan Presiden ( Banpres ) untuk pengembangan tanaman dan industri Sagu dan Jagung., terutama di Kawasan Timur Indonesia. Akan tetapi, ternyata jumlah impor beras mencapai 2,6 juta ton di tahun 1979 sehingga pemerintah mencanangkan program intensifikasi60 dan ekstensifikasi61 padi melalui program Insus-Opsus untuk meningkatkan produksi sekaligus menekan impor dengan memberi motivasi bagi petani untuk meningkatkan produksi pangan. Kenyataannya kemudian titik berat pelaksanaan program Insus-Opsus tersebut mengurangi perhatian pemerintah terhadap upaya difersifikasi produksi pangan selain beras. Keadaan tersebut diperparah dengan terjadi eksplosi hama wereng biotipe baru dibeberapa daerah dan agar tidak terjadi penurunan produksi yang meluas maka pemerintah melakuka introduksi variets Cisadane, Krueng Aceh dan Bahbolon untuk daerah-daerah tertentu. Pada kondisi tersebut pemerintah juga melakukan bantuan pangan untuk daerah-daerah yang kekurangan pangan tetapi dengan introduksi mie instan sebagai salah satu komponen bantuan yang disadari atau tidak ternyata kemudian industri mie instan tersebut berpotensi menghambat program pengembangan sagu, jagung dan umbi-umbian untuk diversifikasi pangan.62

diversifikasi juga diperhatikan dalam pengembangan wilayah sehingga terjadi keseimbangan antara propinsi maju dan propinsi yang sedang tumbuh.

60

Intensifikasi adalah peningkatan produktivitas sumber daya alam, peningkatan penggunaan teknologi tepat guna, peningkatan penggunaan tanah kering, perairan dan areal pasang surut serta peningkatan pemanfaatan segla sarana produksi seperti air, benih unggul, pupuk dan insektisida.

61

Ekstensifikasi adalah usaha untukmeningkatkan luas panen tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, perluasan areal penanaman kapan ikan denganmemperluas budidaya ikan, perluasan penanaman rumput unggul untuk makanan ternak, mengembalikan kawasan hutan yang telah menjadi areal tanah kritis, serta perluasan sumber daya lainnya.

62

(16)

Dalam menjalankan berbagai kegiatan usaha pokok, pelaksanaannya dilapangan diarahkan agar dapat berjalan secara terpadu dan tidak secara sendiri-sendiri, serta berdasarkan kebijaksanaan dasar pembangunan pertanian yang isinya sebagai berikut :

1. Kebijaksanaan usahatani terpadu, adalah suatu kegiatan pembinaan terhadap usahatani yang mempunyai satu cabang usaha atau beraneka ragam cabang usaha, dalam memanfaatkan secara optimal , segala sumber dana dan daya yang dimilikinya, untuk mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan petani atau produsen lain dalam arti luas.

2. Kebijaksanaan komoditi terpadu, yaitu suatu kegiatan pembinaan terhadap peningkatan produksi berbagai komoditi secara seimbang baik ditinjau secara vertikal mulai produksi pengolahan sampai pemasaran, maupun secara horizontal dalam menetapkan imbangan antara berbagai kelompok komoditi.

3. Kebijaksanaan wilayah terpadu, adalah suatu kegiatan pembinaan wilayah pertanian sebagai bagian dari wilayah seutuhnya, dengan memperhatikan potensi wilayah secara seimbang, baik ditinjau dari kepentingan sektoral maupun kepentingan teriotorial.63

63

Departemen Pertanian .R.I.Op.Cit hal 87

(17)

Upaya pemerintah untuk peningkatan produksi beras kemudian semakin ditingkatkan pada REPELITA IV ( 1984-1988 ) dengan meningkatkan sarana dan prasarana, termasuk input penunjang produksi padi di seluruh daerah dengan mengutamakan perhatian pada daerah-daerah sentra produksi padi. Bahkan, keseriusan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi pangan itu ditunjukkan dengan perubahan struktur kelembagaan Depertemen Pertanian RI yaitu selain Menteri Pertanian yang dijabat oeh Prof. Ir. Sedarsono Hadisapoetra di angkat pula Ir. Achamd Affandi sebagai Menteri Muda Urusan Pangan. Upaya pengerahan segala upaya di bidang pangan yang dimulai dengan perbaikan kondisi lapangan dan usaha tani hingga kelembagaan pertanian yang didukung oleh kondisi iklim yang baik ternyata menghasilkan peningkatan produksi beras yang relatif tinggi sehingga dapat dicapai Swasembada beras pada tahun 1984/85 dengan produksi padi nasional mencapai 25,9 juta ton setara beras. Pada saat itu terjadi kelebihan stok beras nasional sehingga dilakukan ekspor beras termasuk untuk program bantuan ke Afrika yang kekurangan pangan. Prestasi pencapaian swasembada beras yang didambakan selama empat dekade tersebut membawa Presiden Soeharto menerima penghargaan FAO karena dianggap telah mampu menjadikan Indonesia dari negara pengimpor menjadi pengekspor beras.

(18)

impor beras lagi untuk mengamankan stok. Kemudian pemerintah melaksanakan Program Supra-Insus yang disertai dengan introduksi varietas IR-64 sebagai upaya peningkatan produksi padi nasional akan tetapi peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi pangan per kapita ternyata mempersulit upaya untuk mempertahankan swasembada beras.

(19)

Gizi yang disebut dengan UPGK ( Upaya Perbaikan Gizi Keluarga ) dengan harapan dapat mempercepat diversifikasi pangan ditingkat rumah tangga.

Pemerintah pada prinsipnya masih melakukan upaya pengembangan produksi pangan yaitu dengan melakukan introduksi varitas padi baru seperti IR-72 Ciliwung dan Bengawan serta motivasi perluasan penggunaan traktor untuk pengolahan lahan pada tahun 1989. Upaya peningkatan produksi padi nasional tersebut ternyata memberikan peningkatan produksi dari 28,34 juta ton di tahun 1988 menjadi 30,41 juta ton di tahun 1989 atau meningkat sebesar 2,07 juta ton. Kemudian, pelaksanaan program Pegendalian Hama Terpadu ( PHT ) semakin diperluas dan ditunjang dengan dicabutnya subsidi pestisida pada tahun 1990. Selain itu, penelitian untuk menghasilkan varietas padi yang tahan hama dan penyakit tetap dikembangkan sehingga pmerintah mengintroduksikan dua varietas padi hasil rekayasa Badan Tenaga Atom Nasional yang dinamakan varietas Atomita-1 dan Atomita-2. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap usaha tani maka pemerintah mengeluarkan UU No.2 / 1992 tentang budidaya tanaman, kemudian untuk dapat meningkatkan pelaksanaan program diversifikasi pangan secara nasional maka pada tahun 1993 dibentuk kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura.

(20)

Tanaman Industri ( HTI ) dan juga diintroduksikan varietas Memberamo serta varietas lain untuk daerah pasang surut dan lebak. Pemerintah juga melakukan perbaikan irigasi desa dan mengintroduksi Urea Tablet serta sistem percepatan tanam dengan tabur benih langsung dan TOT ( Tanpa Olah Tanah ). Selanjutnya, setelah FAO mengadakan World Food Summit pada tahun 1996 yang melahirkan konsep “food security” atau ketahanan pangan maka pemerintah Indonesia merumuskan kembali sasaran program pengembangan pangan dari swasembada on trend ke program ketahanan pangan nasional. Program tersebut menjadi

landasan untuk menerbitkan UU No. 7/ 1996 tentang pangan agar memberi perlindungan hukum untuk upaya pengembangan pangan nasional. Upaya pengembangan pangan tetap dilakukan oleh pemerintah dengan menyediakan modal usaha melalui program Kredit Usaha Tani selanjutnya disingkat menjadi ( KUT ) dan pada sisi lain pemerintah melakukan perluasan areal padi dengan program pembukaan lahan gambut sejuta hektar. Akan tetapi upaya-upaya tersebut relatif tidak efektif meningkatkan produksi beras nasional karena hanya terjadi peningkatan produksi sebesar sekitar 882 ribu ton dibandingkan produsi tahun 1995.

International Food Policy Research Institu ( IFRRI ) TANGGAL , 13 Juni

(21)

...”there is no magic solution that will make the 2020 vision is realiti. The action nededs not new, but it will requare joint efforts by

individuals, household, local, international community. Goverment

in both developing and deleloped countries must chang theri

priorities and policies to reflect the vision...”

Campur tangan pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif, telah mengantar Indonesia dalam era swasesembada beras sejak tahun 1984. Sebagaimana diketahui dapat dibedakan dala 3 hal yaitu :

1. Seasembada absolut artinya selisih suplay dan demand beras sama dengan nol

2. Swaembada subsektoral pangan artinya ekspor bahan pangan dapat membiayai impor pangan

3. Swasembada sektoral artinya ekspor seluruh komoditas pertanian dapat membiayai impor pangan.64

Dari sudut pandang swasembada sektoral, sebelum tahun 1984 sebenarnya Indonesia sudah tergolong swasembada, karena bila ekspor komoditas pertanian kita sangat mampu bahkan surplus untuk mengimpor pangan. Akan tetapi ada dampak negatif dari revolusi hijau tersebut dan memiliki kelemahan seperti :

1. Merubah padi yang tidak rontok, menjadi rontok

64

(22)

2. Merubah padi yang besar air tinggi menjadi padi pendek, menyebabkan tidak dapat dilakukan mina padi. Padahal hasil penjualan ikon dari mina padi mendapat 2-3 kali hasil penjualan padinya. Revolusi hijau menyebabkan terjadi peingkatan produksi padi akan tetapi pendapatan petani menurun karena hasil tambahan dari mina padi, pemeliharaan ayam, itik. Selain daripada itu panen padi rontok di musim hujan, memerlukan biaya besar untuk ongkos panen. Akhirnya timbul budaya negatif (1) petani menjual padi saat hijau (ijon) , (2) petani menjual padi sebelum di panen (tebasan), (3) petani menjual padi saat panen (4) petani tidak dapat melakukan usaha mina padi65

Pada tahun 1996 tersebut pemerintah juga turut meratifkasi GATT pada putaran Urugay yang berarti akan semakin membuka perdagangan produk pertanian, termasuk bahan pangan secara membuka perdagangan produk pertanian, termasuk bahan pangan secara lebih luas dengan negara-negara lain. Kenyatan yang terjadi adalah bahwa produsen pangan nasional tidak mampu menghadapi tekanan pasar internasional yang cenderung oligopolistik dan semakin lemahnya posisi Indonesia dalam perjanjian-perjanjian perdagangan dengan negara-negara maju. Kondisi tersebut diperburuk dengan terjadinya krisis

. Ini menjelaskan bagaimana dampak negatif dari kebijakan yang dibuat oleh Rezim Orba yang ingin mensuskseskan swasembada beras akan tetapi dengan metode penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebih.

65

(23)
(24)

2.3. Politik Pangan Era Pasca Reformasi

Setelah lengsernya presiden Soeharto pada tahun 1998 dan sistem politik Indonesia memasuki era reformasi tetapi kenyatannya kebiijakan pangan masih tidak menguntungkan petani. Kebijakan untuk pengurangan subsidi pupuk dan bunga kredit KUT masih dilanjutkan pada tahun 1999 sehingga bunga kredit KUT menjadi 10,5% per tahun dan diikuti dengan pengurangan Kredit Likuiditas Bank Indonesia ( KLBI ) untuk pengadaan beras oleh Bulog. Kebijakan pengurangan KLBI untuk pengadaan beras oleh Bulog tersebut berdampak pada semakin lemahnya Bulog dalam mengatur stok nasional dan pedagang beras nasional semakin meguasai pasar perberasan nasional. Sedangkan rendahnya tingkat bunga KUT dibandingkan bunga kredit komersim ternyata menimbulkan ‘ moral hazard’ yangberupa penyimpangan penggunaan KUT tersebut untuk usaha di luar usaha tani atau bahkan didepositkan pada bank-bank komersial untuk memperoleh keuntungan selisih bunga.

(25)

pemerintah merancang program penyelamatan yang dikenal dengan Jaring Pengaman Sosial ( JPS ) di bidang pendidikan, kesehatan dan pemerataan pendapatan bagi pengangguran melalui program padat karya yang ternyata efektif dilakukan pada tahun 1999.

Sebelum Indonesia memasuki krisis ekonomi dan moneter, Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yakni antara 5% sampai dengan 7% per tahunnya. Dari segi teori pertumbuhan makro yang relatif tinggi tersebut diharapkan pula akan memperbaiki kinerja sektor pertaniana Indonesia, serta tingkat kesejahteraan masyarkat pertanian Indonesia. Tetapi kenyataan empiriknya tidaklah demikian. Salah satu indikator penting yang digunakan untuk mengetahui tinggi rendahnya kesejahteraan petani adalah nilai tukar produk pertanian.66 Semakin tinggi nilai tukar produk pertanin, semakin tinggi kesejahteraan para petani. Sebaliknya semakin rendah nilai tukar produk pertanian semakin rendah kesejahteraan petani. Di Indonesia nilai tukar produk pertanian petani mengalami penurunan dari tahun ke tahun seperti terlihat dalam tabel berikut :

66

(26)

Tabel 1. Nilai Tukar Produk Pertanian di Jawa

Tahun Jawa Barat Jawa Tengan Yogyakarta Jawa Timur

1988 105,95 111,58 109,08 113,26

1989 103,65 106,34 102,33 104,63

1990 105,70 106,02 104,02 104,30

1991 105,97 104,21 104,21 102,83

1992 102,30 99,56 101,39 100,00

Sumber : Warta HKTI , No.16 XIV, hal 29, 1997.

Dari angka-angka tersebut nampak bahwa harga yang diterima oleh petani dari produk hasil pertanian mereka, khususnya produk dari sub sektor pertanian yakni padi, tidak sebanding dengan harga-harga yang dibayarkan petani baik untuk konsumsi maupun untuk keperluan usaha tani. Harga padi diatur oleh pemerintah agar harga beras di Indonesia dapat dijangkau oleh semua sektor masyarakat Indoensia. Setiap tahun pemerintah menentukan harga gabah. Namun setiap tahun pula subsidi pemerintah terhadap harga beberapa jenis saprodi dikurangi. Akibatnya memang menjadikan para petani harus membayar keperluan mereka lebih dari harga dasar produk pertanian mereka.67

67

(27)

Perimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan penerimaan bersih yang diperoleh , sering kurang menguntungkan produsen pertanian yang begitu banyak macam dan jumlahnya mengalir ke kota-kota untuk menghidupi sektor kota. Sering terjadi bahwa harga komoditi pertanian dinilai rendah terhadap barang industri yang datang dari kota. Dalam hubungan dini, dapat dikatakan, bahwa daerah pedesaan telah lama mensubsidi daerah perkotaan, dengan jumlah nilai ekspor yang cukup besar. Kepincangan nilai tukar antara barang yang dihasilkan di sektor desa dan kota ini lambat laun harus dibenahi sehingga tercapai ‘trade off’ antara pembangunan desa dan kota. Disinilah pentingnya memberi nilai tukar

yang berarti terhadap hasil-hasil pertanian.68

Pada sisi produksi pangan pemerintah masih memberi insentif kepada petani menjadi Rp1.500/kg yang disertai dengan penurunan bunga kredit KUT ternyata efektif meningkatkan produksi beras nasional sebesar 1,03 juta ton pada tahun 1999. Kemudian pada tahun 2000 pemerintah memberlakukan Bea Masuk beras impor sebesar Rp430/kg dan pemberian kredit pengadaan untuk KUD masih efektif meningkatkan produksi beras nasional sebesar 652 ribu ton. Selain itu, ketidaktepatan pemerintah untuk mengganti dengan program KKP ( Kredit Ketahanan Pangan ). Pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah no.6/2001 mewajibkan pemerintah daerah untuk mendorong terbentuknya Lumbung Pangan Masyarakat Desa ( LPMD ) sebagai lembaga

68

(28)

milik rakyat desa/kelurahan dan perdagangan bahan pangan yang dibentuk dan dikeola oleh masyarakat.

Pada tahun 2002 terjadi peningkatan produksi karena meningkatnya produktifitas namun terjadi penurunan harga beras internasional yang menyebabkan jumlah beras impor meningkat. Mengingat keterbatasan kemampuan Bulog mengelola beras pemerintah maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah ( PP ) no 68/2002 membentuk cadangan pangan hingga di tingkat daerah untuk konsumsi, bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat. Kemudian, pada akhir tahun 2002 pemerintah menaikkan HDPP melalui inpres no. 9/2002 menjadi Rp1725/kg yang ternyata masih digunakan sebagai patokan harga bagi petani untuk produksi di tahun 2003. Hal ini terbukti dengan terjadinya peningkatan produksi walaupun relatif kecil yaitu sekitar 2,7 juta ton karena harga internasional relatif lebih murah dari harga domestik.

(29)

dapat disimpan lebih lama. Perubahan kebijakan manajemen Perum Bulog tersebut berdampak pada semakin jauhnya posisi Perum Bulog dengan petani produsen yang menjual produk dalam bentuk gabah. Namun, Perum Bulog masih ditugasi oleh pemerintah untuk mengelola beras pemerintah untuk Raskin sedangkan Menteri Perdagangan melakukan pembatasan impor beras.

Pembatasan impor beras masih berlaku hingga tahun 2004 dan walaupun HDPP tidak mengalami perubahan ternyata terjadi peningkatan produksi beras nasional sekitar 1,2 juta ton. Pemerintah dengan PP no. 28/2004 menentukan tentang keamanan, mutu dan gizi pangan untuk melindungi masyarakat dari kandungan kimia pada bahan pangan, standarisasi mutu dan gizi pangan. Namun kemudian dengan Inpres no. 2/2005 tertanggal 2 maret 2005 pemerintah merubah HDPP menjadi HPP yang relatif lebih ‘ rigid’ walaupun ditentukan meningkat tetapi membatasi Perum Bulog dalam pembelian beras untuk pemerintah. Kondisi ekonomi pada saat itu relatif kurang baik terutama dengan peningkatan harga BBM ( Bahan Bakar Minyak ) yang terjadi pada tanggal 10 Oktober mengeluarkan Inpres no. 13/2005 yang menetapkan HPP meningkat menjadi Rp 2280/kg agar memotivasi petani untuk peningkatan produksi pangannya.

(30)

pemerintah mengijinkan lagi perum bulog untuk mengimpor beras dan terealisasi sebesar 83.000 ton. Untuk memenuhi stok pangan pemerintah maka pada saat panen besar di musim hujan 2006 Perum Bulog melakukan pembelian gabah disamping dalam bentuk beras seperti yang selama ini dilakukan dan terealisasi sekitar 1,25 juta ton setra beras. Akan tetapi karena pada akhir 2006 stok Perum Bulog hanya tinggal sekitar satu juta ton dan harga pada bulan november meningkat maka pemerintah mengijinkan lagi Perum Bulog untuk mengimpor sebesar 210 ribu ton untuk memperkuat stok. Harga beras di bulan desember ternyata terus meningkat yang mengindikasikan bahwa stok beras di masyarakat semakin menipis maka perum Bulog diijinkan untuk mengimpor lagi sebesar 500 ribu ton beras untuk mengantisipasi peningkatan harga yang lebih tinggi lagi.

(31)

hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp 2575 / kg di penggilingan atau Rp 2.600/kg di gudang Bulog.

Pada tahun 2008 dengan kondisi iklim yang cukup mendukung maka pemerintah optimis untuk dapat meningkatkan produksi beras nasional dan untuk memberikan patokan harga maka dikeluarkan Inpres no. 1/2008 yang menentukan HPP gabah kering panen sebesar Rp2.200/kg dan gabah kering keliling sebesar Rp 2.800/kg . Disamping itu, pembatasan impor beras masih diberlakukan dan tercatat jumlah impor yang dilakukan oleh pedagang sekitar 110.596 ton dan Perum Bulog sebesar 30.200 ton. Kemudian pada tahun 2009 dengan didukung oleh iklim yang kondusif maka produksi padi meningkat sekitar 3,5 juta ton padi dari pertambahan luas panen sebesar 515 ribu hektar. Pemerintah dengan inpres no.7/2009 meningkatkan HPP gabah kering giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14 % dan kadar hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp3.300/kg di penggilingan, atau Rp3.345/kg di gudang Bulog.

(32)

persyaratan kering giling. Pada tahun 2010 tercatat pengadaan beras oleh Perum Bulog dari dalam negeri hanya 1,896 juta ton dari impor sebesar 468 ribu ton.

Usai era Orde Baru, sektor pertanian kembali memasuki era baru, dimana pembangunan pertanian tidak lagi bersifat sentralistik. Era reformasi yang dicirikan dengan otonomi daerah mengharuskan sektor pertanian bersifat desentralistik, yang diikuti pula oleh program penelitian dan pengembangan yang bersifat lebih spesifik lokasi, meskipun gaungnya masih rendah. Fokus riset pada padi masih mendominasi di seluruh provinsi, sehingga belum terlihat kekhasan dan potensi yang dimiliki masing-masing provinsi tersebut. Sejak 2000 perhatian pembangunan pertanian pada palawija mulai tumbuh dengan diluncurkannya program GEMA PALAGUNG Departemen Pertanian, 1998. Fokus pembangunan pertanian pada ketahanan pangan tetap dipertahankan, sambil pula menjalankan program pembangunan pertanian berupa pengembangan agribisnis, swasembada daging sapi dan kerbau serta gula, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, serta peningkatan kesejahteraan petani.

(33)

pengambil kebijakan pembangunan pertanian di pusat dan provinsi/kabupaten/kota, melalui alokasi anggaran DIPA TA 2015 sekitar 30 persen untuk pelaksanaannya.

Pembangunan kemandirian pangan tetap harus dikaitkan dengan pelestarian sumber daya pertanian, yang terdiri tanah, air, iklim, dan tanaman. Kualitas sumber daya pertanian yang buruk, akan menghasilkan kualitas produk pertanian yang buruk pula; dan bahkan produk pertanian yang tumbuh dan berkembang pada lahan yang tidak optimal dan cemar misalnya, tidak akan mendapat respon positif dari pasar. Terlebih pada era globalisasi dan persaingan pasar bebas yang akan datang. Indonesia sebagai Negara dengan biodiversity terbesar harus mampu memelihara dan melakukan konservasi .

(34)

produktivitas padi dari 4,56 menjadi 5,15 ton/ha menutup tahun 2014, merupakan kerja keras seluruh insan pertanian, termasuk petani di dalamnya.

Dalam dunia nyata yang makin dinamis seperti sekarang ini, perencanaan pembangunan pertanian menuju kemandirian pangan menduduki posisi yang sangat strategis. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan pertanian, selain harus dengan cepat memperhitungkan kekuatan internal, juga harus mampu memprediksi kekuatan ekternal, yang akan menjadi pesaing dan sekaligus mitra. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan pertanian Indonesia, sangat membutuhkan dukungan teknologi inovasi, yang handal, teruji, dan mampu memberikan respon cepat terhadap perubahan lingkungan strategis dan kebutuhan dalam pengambilan keputusan. Kekayaan sumber daya biotik dan abiotik yang sangat berlimpah dan terbesar di dunia untuk wilayah tropis, kekayaan posisi geografis dan iklim, serta kekayaan pangsa pasar terbesar ke lima di dunia merupakan anugrah bagi bangsa Indonesia untuk dipertahankan dan dijaga keseimbangannya. 69

Pertanian di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia, sektor pertanian memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat. Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau, pertanian Indonesia telah mencapai

69

(35)

hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang kedelai. Akan tetapi, dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan.70

70

http//: siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Proritas Masalah Pertanian di Indonesia/agriculture.pdf diakses pada 15-05-2017 pukul 02.00 WIB

(36)

PDI Perjuangan berpendapat bahwa misi penting sektor pertanian adalah menghasilkan pangan yang cukup dan berkualitas untuk seluruh penduduk. Peran pertanian dalam mendukung perekonomian nasional terbukti sangat besar baik pada situasi normal maupun terlebih lagi pada saat krisis. Dalam dua periode krisis , yaitu tahun 1986-1987 pada saat harga minyak bumi turun sangat tajam dalam waktu yang sangat pendek, dan pada tahun 1997-1999 pada saat terjadi krisis ekonomi dan moneter, sektor pertanin terbukti paling resisten terhadap gejolak dibandingkan sektor lain. Pada dua periode krisis tersebut, pertanian berperan sebagai penyelamat ekonomi nasional dalam bentuk penyediaan pangan, penghasil devisa dan penciptaan kesempatan kerja. Implikasi dari hal ini adalah bahwa penting sekali menempatkan sektor pertanian sebagai sektor utama penggerak roda perekonomian, bukan sekedar sebagai sektor penunjang seperti yang terjadi pada masa orde baru. Salah satu kelemahan terbesar dari kebijakan Orde Baru adalah pengabaiannya terhadap sektor pertanian, dengan menerapkan kebijakan industri yang tidak realistis dan tidak membumi, dengan menempatkan prioritas yang lebih pada sektor industri dengan kandungan impor yang tinggi dan teknologi rendah. 71

71

Muhammad Prakosa. 1999. Konsep dan Program Reformasi Kebijakan Pertanian PDI Perjuangan. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan. Hal 8

(37)

1990-1995 tingkat pendapatan riil petani rata-rata di Jawa adalah -2,24 dan di luar Jawa -2,99% , sementara pendapatan per kapita nasional naik rata-rata 4% per tahun. Swasembada beras menjadi konsumsi politik, dan petani ,menjadi bagian yang kembali terpinggirkan. Bahka secara riil pula petani dan pertanian terdesak dari prioritas pebngunan nasional.

Kontribusi sektor pertannian juga makin diabaikan tatkala ia makin terdesak oleh sektor modern. Data berikut menunjukannya.

Tabel 2. Perbandingn Pertumbuhan Antar Sektor

Sektor Tahun 1960 Tahun 1994 Pertumbuhan

Pertanian 53 16 69

Industri 10,3 40 288,3

Jasa 31,7 44,6 40,4

Sumber: BPS 1996

(38)

perbndinga alokasi kredit untuk etiap sektor atara tahun 1994-1999 yang menunjukkan betapa tersudutkannya kebijakan pertanian.72

Pokok-pokok pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat secara jelas dituangkan dalam Pasal 3 UU No. 18 Tahun 2012 dalam istilah Penyelenggaraan Pangan. Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Selanjutnya, dalam Pasal 4 dikemukakan bahwa

2.4. Kebijakan Umum Pemerintahan Jokowi JK Dalam Mewujudkan

Kedaulatan Pangan

UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, menjadi landasan utama pemerintahan Jokowi JK untuk bergerak mencapai kedaulatan pangan. Hal tersebut kemudian dikemas dalam RPJMN 2015-2019 yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Dimana dalam aturan tersebut dijelaskan program utama dari kementerian pertanianmengedepankan kedaulatan pangan sebagai salah satu agenda prioritas nasional sebagai amanat nawacita. Kedaulatan pangan dijabarkan sebagai bentuk kemampuan dalam mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, pengaturan kebijakan pangan oleh bangsa sendiri, peningkatan kemampuan untuk melindungi dan mensejahterakan pelaku utama pangan terutama petani.

72

(39)

penyelenggaraan pangan tersebut bertujuan untuk (a) meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri; (b) menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat; (c) mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat; (d) mempermudah atau meningkatkan akses pangan bagi masyarakat, terutama masyarakat rawan pangan dan gizi; (e) meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri; (f) meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang aman, bermutu, dan bergizi bagi konsumsi masyarakat; (g) meningkatkan kesejahteraan bagi petani, dan pelaku usaha pangan; dan (h) melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.

Dalam kaitan itu, penyediaan pangan menjadi aspek yang paling penting. Dalam pasal 12 dikemukakan bahwa penyediaan pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan ketersediaan pangan ditekankan melalui produksi pangan dalam negeri, dan impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dan cadangan pangan nasional dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri (Pasal 36).

(40)

lokal; (b) mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; (c) mengembangkan sarana, prasarana, dan teknologi untuk produksi, penanganan pascapanen, pengolahan, dan penyimpanan pangan; (d) membangun, merehabilitasi, dan mengembangkan prasarana produksi pangan; (e) mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif; dan (f) membangun kawasan sentra produksi pangan, dalam kaitan dengan pengembangan pangan lokal, pemerintah menetapkan sentra produksi pangan lokal sesuai dengan usulan pemerintah daerah

(Pasal 12 butir 5).

(41)

usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang pangan; dan (i) pengembangan industri pangan yang berbasis pangan lokal (Pasal 42). 73

Dalam hal ini, kementerian pertanian dalam hal pelaksanan perwujudan kedaulatan pangan dalam kabinet kerja Jokowi JK memiliki cara untuk mewujudkannya. Kemudian hal tersebut dirangkum dalam Sasaran strategis kementerian pertanian tahun 2015-2019, dan kemudian sasaran tersebut adalah yang menjadi program unggulan sektor pertanian, sebagai berikut (1) Pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai serta peningkatan produksi gula dan daging , (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3)a peningkatan komoditas bernilai tambah dan berdaya saing dalam memenuhi pasar ekspor dan substitusi impor, (4) penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi, (5) peningkatan pendapatan keluarga petani, serta (6) akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik.Dengan sasaran strategis tersebut, maka Kementerian Pertanian menyusun dan melaksanakan 7 Strategi Utama Penguatan Pembangunan Pertanian untuk Kedaulatan Pangan (P3KP) meliputi (1) peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan, (2) peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian, (3) pengembangan dan perluasan logistik benih/bibit, (4) penguatan kelembagaan petani, (5) pengembangan dan penguatan pembiayaan, (6) pengembangan dan penguatan bioindustri dan bioenergi, serta (7) penguatan

73

(42)

jaringan pasar produk pertanian. .74

Seperti terlihat pada surat berita online Detiknews 27 Februari 2017, Preidek Jokowi meluncurkan Bantuan Pangan Non Tunai ( BPNT ) di Cibubur, Jakarta Timur. Peluncuran dilakukan melalui program Kartu Keluarga Sejahtera ( KKS ) . Jokowi menyerahkan bantuan secara simbolis kepada 9 perwakilan keluarga penerima bantuan. Program BPNT merupakan kelanjutn Program Keluarga Harapan ( PKH ) yang telah disalurkan di 68 kabupaten/kota pada 2016 menggunakan KKS. Saat ini sudah ada 15.878 agen Layanan Keuangan Digital ( LKD ) dan Laku Pandai yang terbesar di seluruh Indonesia dan telah siap menyalurkan bantuan pangan. Pada 2017 , penyaluran ini akan dilakukan serentak di 44 kota, yang terdiri dari 7 kota di Sumatera, 34 kota di Jawa, dan 3 kota di wilayah timur.

Selain mempercayakan kepada kementerian pertanian, Presiden Jokowi Dodo juga turut bertindak dalam meninjau perkembangan pangan masyarakat Indonesia.

75

Presiden Jokowi juga mengeluarkan Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Adanya peraturan ini, Presiden berharap akan terjangkaunya harga pangan dan masalah kelangkaan pangan bisa teratasi. Misalnya jika terjadi gangguan pasokan atau harga barang berada di atas atau di bawah harga acuan

74

Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2014-2019.Kementerian Pertanian di akses dari www.pertanian.go.id. 21-05-2017 pukul 22:00 WIB.

75

(43)

yang ditetapkan pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan,melalui perpres ini, pemerintah pusat wajib menjamin stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan pokokdan barang penitng. Barang kebutuhan pokok yangg dimaksud dalam Perpre tersebut adalah antara lain, hasil pertanian, seperti beras, kedelai, bahan baku , tahu dan tempe, cabai dan bawang merah. Kemudian hasil industri seperti gula, minyak, tepung, serta hasil peternakan dan perikanan. Adapun barang penting yang dimaksud adalah, meliputi benih tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai. Juga pupuk, elpiji kemasan tiga kilogram, besi, triplek dan baja ringan.76

76

Gambar

Tabel 1. Nilai Tukar Produk Pertanian di Jawa
Tabel 2. Perbandingn Pertumbuhan Antar Sektor

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi bobot lahir dan nilai heritabilitasnya pada sapi Bali di BPTU HMT Denpasar yang dapat digunakan sebagai dasar seleksi bibit berdasarkan

Cara penghitungan dengan haemocytometer yaitu sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau garis atas dihitung, sedangkan sel yang menyinggung garis batas sebelah kanan

11 Antara berikut, yang manakah berkaitan dengan kepentingan sumber dalam rajah di atas. I Habitat

Kenaikan peringkat ini mencerminkan peningkatan pada profil kredit Indosat dan harapan S&P bahwa Indosat akan mempertahankan performansi keuangan yang meningkat

Ketiga, penegasan the living law dalam masyarakat dan kearifan lokal yang bersumber pada adat atau nilai-nilai yang hidup berkembang dalam masyarakat sebagai

Buku Fikih Ramadan juga meluruskan cara bacaan yang selama ini kurang tepat misalnya dalam bacaan kata “ramadhan” yang biasa dibaca dengan baris atas “ramadhana” seharusnya

Maka konsep Nashih Ulwan akan menjadi titik kelemahan yang memungkinkan pembelajaran pendidikan agama Islam menjadi pendidikan yang terkotak-kotak, karena pemahaman

Episode II berisi cerita tentang konflik yang dialami oleh Pangeran Samudra dengan Raja Brawijaya. Akhirnya, tidak disangka hubungan asmara gelap antara Pangeran