• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER. bersama, khususnya perjuangan pembebasan dari struktur yang menindas) untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER. bersama, khususnya perjuangan pembebasan dari struktur yang menindas) untuk"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER

A. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menurut Doni Koesoema adalah sebuah usaha dari individu baik secara pribadi (melalui pengolahan pengalamannya sendiri), maupun secara sosial (melalui pengolahan pengalaman atas struktur hidup bersama, khususnya perjuangan pembebasan dari struktur yang menindas) untuk membantu menciptakan sebuah lingkungan yang membantu pertumbuhan kebebasannya sebagai individu sehingga individualitas dan keunikannya dapat semakin dihargai.1 Pengertian ini menggambarkan bahwa pendidikan karakter adalah upaya seseorang dalam mengatur keinginan individual sehingga menjadi keharmonisan sikap terhadap diri dan orang lain.

Menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan karakter: Usaha membimbing perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum.2 Pendapatnya ini dilandasi oleh pemahaman konsepnya yang berorientasi kepada penanaman budi pekerti (sopan dan santun atau tata krama). Dengan kata lain pendidikan budi pekerti adalah pengajaran tentang bagaimana membimbing siswa memiliki sopan santun.

1 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2007), 194

2

Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Deawantara Bagian Pertama Pendidikan (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan tamansiswa, 2011), 485

(2)

Sedangkan menurut Thomas Lickona pendidikan karakter memiliki 3 karakteristik (komponen) yaitu: moral knowing, moral feeling dan moral acting.3 Pendapat Thomas Lickona didasari oleh konsepsinya tentang pendidikan moral sikap hormat dan tanggung jawab yang diterapkan di sekolah.

Berdasarkan teori di atas terdapat paradigma yang berlainan dalam mendefinisikan pendidikan karakter, namun hal yang menyatukan persepsi terletak pada proses yang sama yakni pendidikan. Paradigma yang berlainan inipun tampaknya yang menjadi realitas bahan perdebatan yang akhirnya pendidikan karakter banyak yang dimaknai secara parsial. Mungkin inilah di antara penyebab terjadinya penanaman karakter pada anak menjadi kurang efektif.

B. Asal-usul Pendidikan Karakter

Asal muasal kapan munculnya pendidikan karakter adalah bagian yang sering menjadi pertanyaan berbagai lapisan masyarakat terutama dalam lingkup akademik. Dalam sejarah peradaban manusia, pendidikan karakter mendapatkan perhatian khusus sejak digemakan oleh peradaban Yunani kuno dengan para filsufnya hingga sekarang menjadi suatu program pemerintah Indonesia melalui kurikulum 2013

Dalam konteks peradaban Islam bahwa pendidikan karakter (akhlaq) sudah muncul seiring dengan tugas kerasulan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah swt, bahkan menjadi program prioritas Rasulullah saw dalam

3

Thomas Lickona, Educating for Character How our schools can teach respect and

responsibility,1991. Diterjemahkan Juma Abdu Wamaungo, Mendidik untuk Membentuk Karakter Bagaimana sekolah dapat memberikan Pendidikan tentang sikap Hormat dan Bertanggung jawab (Jakarta, Bumi Aksara: 2012), 84

(3)

menjalankan da’wahnya sebagai utusan Allah untuk seluruh ummat, meskipun pada saat itu prioritasnya adalah masyarakat Mekkah yang sedang menghadapi kemerosotan akhlaq. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari4 bahwa ia ditugaskan oleh Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlaq manusia.

Doni Koesoema berpendapat bahwa keberadaan pendidikan karakter adalah seusia dengan munculnya istilah pendidikan itu sendiri, yakni pada akhir abad 18, meskipun sebenarnya pendidikan karakter sudah ada sejak zaman Yunani kuno yang dikenal dengan pendidikan karakter Aristokratis ala Homeros hingga pendidikan karakter modern yang melahirkan peradaban baru melalui kekuatan sains.5

Berdasarkan kajian di atas bahwa pendidikan karakter merupakan bagian inti dari sebuah pendidikan. Karena hakekat tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang cerdas dan baik. Sebagaimana pendapat Thomas Lickona bahwa pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu membimbing para generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku yang berbudi.6

Berdasarkan perjalanan sejarah bangsa, pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia. Beberapa tokoh pendidikan

4

ِق َلَ ْخَ ْلِا َم ِراَكَم َمِّمَتُ ِلِ ُتْثِعُباَمَنِا Artinya: Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia (Imam Al Bukhari, Al Adab Al Mufrad 273 Syarah Muhammad Luqman As-Salafi) 5

Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, 13 6

Thomas Lickona, Educating for Character How our schools can teach respect and responsibility,1991. Diterjemahkan Juma Abdu Wamaungo, Mendidik untuk Membentuk Karakter Bagaimana sekolah dapat memberikan Pendidikan tentang sikap Hormat dan Bertanggung jawab (Jakarta, Bumi

(4)

Indonesia modern yang kita kenal, seperti R.A Kartini yang dikenal dengan pendidikan gender (emanipasi wanita), Soekarno dengan ideologi kenegaraan dan sebagainya. Mereka telah mencoba menerapkan pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Pendidikan Karakter mulai dicanangkan dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional, pada 2 Mei 2010. Tujuannya untuk mengembangkan karakter dan budaya bangsa sebagai bagian yang terintegritas pada sistem pendidikan nasional.7 Sedangkan di zaman kepemimpinan presiden Jokowi mengangkat program pendidikan karaketer dengan istilah populernya yaitu program revolusi mental yang direfleksikan dalam bentuk kurikulum 2013.

C. Konsepsi Pendidikan Karakter 1. Nashih Ulwan

Konsepsi Nashih Ulwan tentang metode pendidikan anak dalam Islam memberikan definisi bahwa pendidikan moral adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak-anak sejak masa pemula hingga ia menjadi mukallaf.8 Pendidikan moral didasarkan pada landasan keimanan kepada Allah swt. Pendidikan moral yang berpijak pada iman dan taqwa

7

Fatchul Muin, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik dan Praktik, 323-324 8

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam. Penerjemah Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), jilid 1,193

(5)

kepada Allah swt merupakan faktor yang dapat meluruskan tabiat yang menyimpang dan memperbaiki jiwa kemanusiaan.9.

Konsep tersebut menggambarkan bahwa pendidikan moral Nashih Ulwan sangat erat keterkaitannya dengan pendidikan iman. Tanpa pendidikan iman, pendidikan moral tidak mungkin tercapai dengan baik, karena konsep moral adalah bagaimana seseorang dapat dinilai baik atau buruk. Sedangkan pendidikan iman merupakan sikap individual dalam bertanggung jawab terkait dengan apa yang diucapkan, di benarkan oleh hati dan dilaksakan dalam bentuk keyakinannya kepada Allah swt dan Rasulnya. Pendidikan iman bersifat komprehensif, karena sikap iman tidak hanya berkaitan dengan tanggung jawabnya sebagai hamba kepada Allah swt, akan tetapi sikap iman berimplikasi pada tatanan sosial. Karena itu pendidikan iman, pendidikan moral dan pendidikan karakter adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Sebagaimana kutipan Nashih Ulwan dari Ghandi, tokoh pemimpin India yang menyatakan bahwa Agama dan moral yang luhur adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Agama adalah ruh moral, sedangkan moral merupakan cuaca bagi ruh itu. Dengan kata lain, agama memberikan makan, menumbuhkan dan membangkitkan moral, seperti halnya air memberikan makan dan menumbuhkan tanaman.10

9 Subhan, Fauti, Konsep Pendidikan KarakterAnak dalam Islam: Studi atas Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, http://digilib.uinsby.ac.id/id/eprint/7185, 30 Juni 2016

10

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam. Penerjemah Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, 196

(6)

Pendidikan moral Nashih Ulwan memberikan arahan pada orang tua dan guru agar bertanggung jawab terhadap anak agar menghindari segala perilaku yang mengarah kepada kebinatangan dan 4 (empat) hal perbuatan buruk, moral terendah dan sifat yang hina, yaitu: 1) Suka berbohong, 2) Suka mencuri, 3) Suka mencela dan mencemooh, dan 4) Kenakalan dan penyimpangan.11

Teori di atas menegaskan bahwa perbuatan berbohong, mencuri, mencela, mencemooh dan kenakalan dan penyimpangan adalah nilai-nilai moral yang menimbulkan kerusakan, baik yang berakibat fisik maupun psikis. Perbuatan tersebut hakekatnya sangat merugikan orang lain, karena pembahasan nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari nilai karakter yang memiliki dimensi sosial-kultural dan hal ini akan penulis deskripsikan dalam pembahasan khusus nilai-nilai karakter.

Metode yang digunakan dalam konteks pendidikan moral Nashih Ulwan secara inklusif menggunakan 4 (empat) macam metode yaitu: 1) Metode keteladanan, 2) Metode kebiasaan, 3) Metode nasehat, dan 4) Metode perhatian.

Dari keempat metode tersebut sejalan dengan konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi terutama metode keteladanan dan metode kebiasaan yang menjadi prioritas dalam bagian konsepnya maupun metode yang digunakan dalam implementasi pendidikan karakter di pendidikan anak usia dini. Namun sisi perbedaannya yang paling dominan adalah pendekatan

11

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam. Penerjemah Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam

(7)

yang digunakan oleh Nashih Ulwan adalah pendekatan agama (islam) saja tanpa diimbangi teori-teori aktual, meskipun pendekatan agama juga digunakan oleh konsepsi pendidikan karakter Ratna Megawangi yang bersifat universal. Pendekatan agama akan sangat baik ketika diimbangi dengan pendekatan lainnya, akan tetapi pendekatan yang digunakan Nashih Ulwan menunjukkan karakteristik Islami sebagai bentuk pendidikan yang memiliki ruang lingkup terbatas pada masyarakat yang beragama Islam. Jika mengacu pada kaidah bahwa Islam itu indah, Islam itu damai, dan Islam adalah agama yang universal. Maka konsep Nashih Ulwan akan menjadi titik kelemahan yang memungkinkan pembelajaran pendidikan agama Islam menjadi pendidikan yang terkotak-kotak, karena pemahaman Islam secara parsial akan menghasilkan individual yang kurang bijak dalam mensikapi permasalahan yang dihadapinya, bahkan cenderung akan menghasilkan pembelajaran yang tidak efektif serta mencetak anak-anak yang memiliki karakter yang kurang baik, misalnya menganggap diri paling benar dan bangga diri yang berlebihan (sombong) dan kurang menghargai dan menghormati orang lain, karena metode yang digunakan dalam pembelajaran pendidikan agama lebih menekankan pada aspek kognitif, sehingga menghasilkan out put yang paham tentang agama, namun perilakunya cenderung bertentangan dengan kebaikan (agama). Hal ini menjadi realitas dan faktualitas yang di alami umat Islam Indonesia saat ini.

Dalam hal ini, idealnya pendidikan agama Islam harus mampu mengikuti perkembangan-perkembangan yang dapat meningkatkan kualitas

(8)

pendidikan Islami yang akhirnya akan berimbas bagaimana menerapkan da’wah Islami yang sesuai dengan apa yang di lakukan oleh Rasulullah saw dalam membangun masyarakat Madinah yang berperadaban dan maju.

Keterkaitan konsep Nashih Ulwan dengan kondisi budaya, sosial dan politik di Indonesia yang memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang heterogen tentu sangat memungkinkan bisa diterapkan, apabila menggunakan pendekatan yang komprehenshif. Sehingga tujuan pendidikan agama Islam untuk mencetak manusia-manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlaqul karimah dan cerdas serta kreatif akan dapat dicapai dengan maksimal.

2. Ki Hadjar Dewantara

Konsep pendidikan karakter Ki Hadjar Dewantara sebenarnya secara implisit terdapat dalam pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan karakter Ki Hadjar Dewantara adalah pengajaran tentang perilaku baik dan buruk yang diterapkan pada siswa secara bertahap.

Menurut Ki Hadjar Dewantara ada empat tahapan dalam pendidikan budi pekerti, yaitu: 1) setiap pengajaran berupa pembiasaan semata-mata yang bersifat global dan spontan atau occasional, yakni belum berupa teori yang terbagi-bagi menurut jenisnya kebaikan dan keburukan. Pengajaran ini diterapkan pada Taman Indria dan Taman Anak, usia 5-8 tahun, 2) Hendaknya anak-anak diberi pengertian tentang tingkah laku kebaikan dalam hidupnya, pengajaran ini diterapkan pada Taman- Muda, usia 9-12 tahun, 3) Anak-anak selain mengerti juga melatih diri terhadap perilaku yang sukar dan berat dengan disengaja, pengajaran ini diterapkan pada Taman-Dewasa, usia

(9)

14-16 tahun, dan 4) Biasa melakukan kebaikan, menginsyafi, serta menyadari akan maksud dan tujuannya dan melaksanakan perilaku yang berat, pengajaran ini diterapkan pada Taman Guru, usia 17-20 tahun.12

Metode pendidikan budi pekerti Ki Hadjar Dewantara menggunakan 4 (empat) tahapan, yaitu: 1) Syari’at, ditujukan untuk anak-anak kecil dan harus di artikan sebagai pembiasaan bertingkah laku serta berbuat menurut peraturan atau kebiasaan umum. Guru memberikan contoh atau perintah dimana perlu, anak-anak melakukannya, sedangkan materinya berupa perilaku yang bersifat spontan 2) Hakekat, yaitu kenyataan atau kebenaran dan yang mengandung maksud memberi pengertian agar mereka menjadi insyaf dan sadar tentang segala kebaikan maupun kebalikannya, 3) Tarekat, perbuatan dengan sengaja untuk melatih diri melakukan kebaikan bagaimanapun sukar dan beratnya, dan 4) Ma’rifat, yakni mereka harus sudah memahami adanya hubungan antara tata tertib lahir dan kedamaian batin, cukup berlatih dan biasa menguasai dirinya sendiri dan menempatkan di dalam garis-garis syari’at dan hakekat.

Berdasarkan konsep di atas menunjukkan bahwa pendidikan budi pekerti Ki Hadjar Dewantara sejalan dengan konsepsi pendidikan karakter Ratna Megawangi. Namun ada perbedaan yang paling mendasar di antara keduanya, yaitu tidak ditemukannya nilai-nilai karakter (budi pekerti) yang terstruktur (terjadwal) untuk pembelajaran anak usia dini (usia 5-8 tahun) dalam konsep pendidikan budi pekerti Ki Hadjar Dewantara, tetapi

12

Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Deawantara Bagian Pertama Pendidikan (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan tamansiswa, 2011), 485

(10)

menggunakan materi pendidikan karakter dalam bentuk spontanitas. Hal ini menjadi satu kelemahan untuk pendidikan karakter dalam konteks pendidikan kontemporer. Jika dikaji dari sudut pandang efektifitas belajar, maka tidak adanya nilai karakter akan menghambat proses belajar karena guru tidak memiliki materi yang jelas. Sedangkan aspek materi merupakan bagian dari unsur-unsur pendidikan yang vital selain adanya unsur guru, murid, dan sebagainya yang menjadikan proses pendidikan bisa dilaksanakan.

Selain itu pendidikan budi pekerti Ki Hadjar Dewantara tidak menggunakan pendekatan yang komprehensif khususnya agama yang sangat penting sebagai landasan mendidik anak-anak agar memiliki dasar yang kuat untuk menghadapi gelombang kehidupannya di masa yang akan datang. Hal ini menjadi titik kelemahan jika ditinjau dari konsep pendidikan kontemporer. Pendidikan karakter yang tidak melibatkan agama, akan mewujudkan anak-anak yang bermoral (mengerti baik dan buruk), tetapi belum tentu menjalankan agamanya dengan baik. Begitu pula anak-anak yang paham agama belum tentu berkarakter baik. Karena itu, pendidikan agama dan pendidikan moral dan pendidikan budi pekerti adalah memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

3. Thomas Lickona

Thomas Lickona menyatakan bahwa karakter adalah nilai dalam tindakan. Karakter seseorang terbentuk melalui proses, seiring suatu nilai menjadi suatu kebajikan. Untuk menghasilkan karakter yang baik (components of good character), harus memiliki tiga komponen, yaitu: moral

(11)

knowing, moral feeling, dan moral action.13 Adapun penjelasan tentang tiga

komponen karakter tersebut, sebagai beriku:

Moral knowing, ada enam aspek yang menjadi dominan sebagai tujuan pendidikan karakter, yaitu: 1) moral awareness (kesadaran moral), 2)

knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), 3) perspective taking

(penentuan perspektif), 4) moral reasoning (pemikiran moral), 5) decision

making (pengambilan keputusan), dan 6) self-knowledge (pengetahuan

pribadi)14

Moral feeling adalah aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter, yaitu: 1) conscience (nurani), 2) self esteem (percaya diri), 3) empathy (merasakan penderitaan orang lain), 4) loving the good (mencintai kebenaran), 5) self control (mampu mengontrol diri), dan 6) humality (kerendahhatian).

Moral action adalah tindakan nyata dari kedua aspek tersebut di atas (moral knowing dan moral feeling). Moral action terdiri dari 3 aspek, yaitu: 1) competence (kompetensi), 2) will (keinginan), dan 3) habit (kebiasaan)

Ketiga komponen tersebut saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Moral knowing, moral feeling dan moral acting tidak akan berfungsi manakala satu bagian dari ketiga komponen tersebut terpisah.15William Kilpatrik dalam Ratna Megawangi menyatakan bahwa salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif

13

Thomas Lickona, Educating for Character, 83 14

Thomas Lickona, Educating for Character, 108 15

(12)

ia mengetahuinya, adalah karena ia tidak terlatih melakukan kebajikan atau perbuatan-perbuatan bermoral16

Terkait hal ini, Ratna Megawangi memiliki pandangan yang sama, bahwa pendidikan karakter harus melibatkan aspek knowing the good, feeling

the good dan acting the good secara simultan dan berkesinambungan.17

Pendapat yang memiliki kemiripan dengan pandangan Thomas Lickona adalah pendapat Majid dan Andayani bahwa ada tiga tahap moral dalam pendidikan moral, yaitu 1).Moral knowing, 2) Moral loving/feeling, dan 3) Moral doing/ acting18

Mencermati teori di atas, bahwa pendidikan karakter yang hanya mengajarkan moral knowing, tidak menjadi jaminan bahwa orang tersebut berkarakter. Begitu pula seseorang yang mengetahui banyak tentang pendidikan agama belum tentu menjadi orang yang berkarakter, yaitu orang yang seirama antara pikiran, ucapan, dan tindakan.

Menurut Ratna Megawangi bahwa orang yang berkarakter adalah orang yang konsisten antara pikiran dan tindakan.19 Hal ini sangat sesuai dengan ajaran Islam yang melarang untuk melakukan perbuatan munafik, yaitu orang yang tidak selaras antara pikiran, kata dan tindakan. Dengan demikian konsep pendidikan Ratna Megawangi sejalan dengan konsep pendidikan karakter Nashih Ulwan, Ki Hadjar Dewantara maupun Thomas Lickona.

16

Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, 110 17 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter, 111 18

Abdul Majid dan dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011)

19

(13)

Berdasarkan referensi yang penulis ketahui bahwa tokoh pendidikan karakter itu banyak jumlahnya, namun karena keterbatasan penulis pada ruang dan ketersediaan waktu, maka dalam hal ini, penulis hanya membatasi pada 3 tokoh pendidikan karakter saja, yakni: Abdullah Nashih Ulwan, Ki Hadjar Dewantara dan Thomas Lickona. Dengan alasan bahwa yang penulis ketahui tentang pemikiran tokoh tersebut ternyata memiliki maenstrem yang sama dan sejalan dengan konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi. Ketiga tokoh di atas hanyalah sebagai contoh bahwa konsepnya relevan dengan konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi.

Implikasi konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi dengan pemikiran Nashih Ulwan berpusat pada prinsip dasar moral yang ditanamkan berupa nilai-nilai keimanan. Ratna Megawangi menempatkan nilai-nilai religius pada urutan pertama dari 9 pilar karakter yaitu cinta pada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya.

Adapun pemikiran Ki Hadjar Dewantara memfokuskan pendidikan karakter melalui empat tahapaan metode pengajaran yang diberikan sesuai dengan tahapan usia anak. Ratna Megawangi menempatkan pendidikan karakter sesuai tahapan usia dengan landasan teori perkembangan anak dan sistem pembiasaan

Sedangkan Thomas Lickona, menempatkan ciri-ciri dari karakter yang baik dengan menekankan pada tiga komponen karakter sebagai bagian dari penting penanaman moral pada anak yang bersifat satu kesatuan. Hal ini relevan dengan Ratna Megawangi yang menempatkan metode pendidikan karakter harus

(14)

melibatkan aspek knowing the good, feeling the good dan acting the good secara simultan dan berkesinambungan.

Dengan demikian konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi secara teori memiliki persamaan dengan pendidikan moral maupun pendidikan budi pekerti, namun secara praktik memiliki perbedaan. Perbedaan inilah yang menjadi titik kelebihan konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi dibandingkan lainnya. Kelebihan konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi terletak pada:

a. Spesialisasi pendidikan karakter anak usia dini b. Memiliki guru yang terstandar

c. Menerapkan co- parenting

d. Menggunakan kurikulum karakter eksplisit e. Menggunakan acuan nilai 9 pilar karakter

Kelebihan konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi tersebuat di atas, pembahasannya dapat dilihat pada Bab IV tesis ini. Konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi sesungguhnya sejalan juga dengan pendidikan karakter persepsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dicanangkan sejak tahun 2010 yakni sejak zaman SBY menjadi presiden. Selanjutnya di era kepemimpinan Jokowi, muncul pendidikan karakter yang dikemas dalam kurikulum 2013 yang diterbitkan pada tahun 2014.

Konsep pendidikan karakter Ratna Megawangi telah di uji cobakan pada anak-anak usia dini (SBB) sejak tahun 2000 dengan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan anak –anak yang sekolah TK reguler maupun anak usia dini yang tidak sekolah. Oleh karena itu Ratna Megawangi termasuk konseptor dalam

(15)

merumuskan 18 nilai-nilai karakter versi kemendikbud dan konseptor kurikulum 2013 hanya saja keterlibatannya tidak sampai finishing pada hal-hal tekhnis maupun lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Peserta yang maju ke babak final dipilih dari seleksi 5 finalis yang memiliki nilai tertinggi hasil kumulatif dari semua aspek penilaian yang dikategorikan dalam

Pembentukan PPID di Lingkungan Pemerintah Kota Bandung merupakan komitmen dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Pengembangan media pembelajaran komik manga digital berbasis android pada materi sistem hormon untuk kelas XI di MAN 2 BandarLampung yang memudahkan pemahaman

Selain itu budaya yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kubu Raya adalah budaya kerjasama dan profesionalitas yang ditunjukkan oleh

Data kemampuan komunikasi matematis siswa, Data kemampuan komunikasi yang digunakan diperoleh dari hasil posttest yang dilakukan diakhir pembelajaran pada kelas VII-D

2 (2019) 200 Berdasarkan hasil survey, observasi awal dan wawancara di SDN Tenggerejo II Kec.Kedungpring Kab.Lamongan proses pembelajaran matematika masih bersifat teacher

Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas X7 SMA Negeri 2 Siak Hulu untuk KD 5.1 Memahami pernyataan

 Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang pengetahuan mengidentifikasi peristiwa pada teks (Bahasa Indonesia KD 3.8 dan 4.8) serta sikap menerima