• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Tujuh Kata

Dalam dokumen Islam dan Demokrasi (Halaman 24-42)

Oleh Saiful Mujani

31/07/2002

Sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah beberapa hari yang lalu membuat kesepakatan amat penting tentang masalah hubungan antara agama dan negara. Persisnya, permohonan agar MPR  tidak memasukan Tujuh Kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 45.

Sebagaimana diketahui umum, tujuh kata itu adalah "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya."

artikel Saiful Mujani lainnya

01/05/2006

Pelajaran dari Parlemen Syariat

04/04/2004 Fenomena PKS

24/03/2003

Demokrasi Chauvinistik 

05/08/2001

Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi

Total 4 artikel

artikel baru

15/08/2007 Anick H.T. Netral Agama

13/08/2007

Musharaf Berada Dalam Kepungan

30/07/2007

Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan

30/07/2007 Novriantoni

Jilbab dan Kebab Turki

23/07/2007

Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih Politis

artikel sebelumnya

24/01/2002 Daniel S. Lev

Islam Liberal; Menciptakan Kembali Indonesia

02/09/2001 Burhanuddin Vocal Minority

26/08/2001 Burhanuddin

Membangun Pluralitas Alquran

28/07/2002

Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran

24/07/2002

Anisia Kumala Masyhadi

Dari Pembebasan Perempuan Menuju Pemberdayaan Perempuan Modern Dari Koran Tempo, Rabu, 31 Juli 2002

Sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah beberapa hari yang lalu membuat kesepakatan amat penting tentang masalah hubungan antara agama dan negara. Persisnya, permohonan agar MPR  tidak memasukan Tujuh Kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 45.

Sebagaimana diketahui umum, tujuh kata itu adalah "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya."

Sebenarnya aspirasi dari tokoh-tokoh Ormas Islam besar seperti itu tidak baru. Tokoh-tokoh ormas itu, seperti Kiai Hasyim Muzadi, Syafi'I Maarif, dan Nurcholish Madjid, dan banyak tokoh agama lainnya, sudah lama menunjukan sikap seperti itu. Tapi, ngumpul bersama, dan membuat pernyataan bersama untuk masalah yang penting dalam sejarah politik umat Islam ini, adalah kejadian yang jarang. Mereka menegaskan sikap mereka tersebut sebagai bentuk partisipasi politik agar pasal 29 UUD 45 substansinya tidak  berubah. Partsipasi dari mereka ini penting karena mereka kekuatan sosial-keagamaan

strategis untuk memberikan kekuatan MPR agar tidak ragu bersikap dalam masalah hubungan agama dan politik ini. Di samping itu, partisipasi tersebut penting mengingat masih ada kekuatan di MPR yang menghendaki Tujuh Kata itu dimasukkan, dan

kehendak yang terakhir ini ternyata telah dijadikan salah satu dalih kelompok yang menolak Amandemen UUD 45 yang berkaitan dengan pasal-pasal lain yang telah dihasilkan selama ini. Karena itu aspirasi untuk memasukan Tujuh Kata itu ke dalam pasal 29 bisa menjadi pengganjal keseluruhan proses amandemen Konstitusi kita yang sangat mendesak itu.

Kekuatan di MPR yang sampai hari ini tetap memperjuangkan dimasukannya Tujuah Kata tersebut ke dalam pasa 29 UUD 45 adalah Fraksi Pesatuan Pembangunan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan fraksi Bulan Bintang dari Partai Bulan Bintang

(PBB). Musyawarah lintas fraksi apakah itu secara resmi melalui FAH I maupun secara tidak resmi melaui berbagai lobi untuk mencapai kata sepakat mengenai masalah tersebut terus diupayakan. Kita berharap mereka sukses. Kalau tidak sukses, voting kemungkinan besar akan menjadi pilihan. Kalau voting dilakukan, kemungkinan aspirasi seperti yang dikehendaki tokoh-tokoh agama di atas akan berhasil mengingat lebih dari dua pertiga suara di MPR kemungkinan besar menghendaki hal yang sama, atau mempertahankan isi pasal 29 UUD 45 tersebut.

Proporsi kekuatan politik di parlemen ini merupakan perkembangan penting dalam politik nasional kita. Tahun 50-an proporsi antara yang pro dan kontra atas dijadikannya Islam sebagai dasar negara cukup seimbang sehingga berakhir dengan deadlock dalam Konsituante. Dalam konteks politik kita jangka panjang, sikap PPP dan PBB tersebut sebenarnya suatu hal yang wajar, sebab perubahan sikap elite politik untuk hal-hal yang fundamental dalam bernegara membutuhkan waktu panjang. Sementara itu, penolakan PKB dan PAN terhadap pemasukan Tujuh Kata pada UUD 45 itu adalah suatu kemajuan kalau dilihat dari konteks konstitusi modern. Demikian juga sikap yang sama dari Golkar  sebab mayoritas elite Golkar dan pendukungnya diperkirakan berasal dari kalangan santri yang pada tahun 50-an dulu mendukung Masyumi dan Partai NU yang merupakan tulang punggung aspirasi asas Islam dalam politik tahun 5 0-an.

Dalam banyak hal sikap PKB, PAN, dan Golkar itu mencerminkan basis sosial

masyarakat politik kita, yakni Jama'ah Nahdliyin (NU), Muhammadiyah, dan kelompok-kelompok Islam lain yang punya sikap politik yang sama. Kalau perhatian difokuskan ke Golkar di mana alumni HMI merupakan komponen besar di dalamnya, maka sikap

Golkar dalam masalah Tujuh Kata itu juga mencerminkan dinamika dan perubahan kultur  politik yang telah berlangsung di kalangan alumni HMI ini. Kalau kepemimpinan

intelektual dipandang penting untuk penyemaian kultur politik baru yang lebih inklusif  ini, sebagaimana dipercayai banyak ilmuwan sosial, maka tokoh-tokoh seperti Gus Dur  (NU), Syafi'i Maarif (Muhammadiyah), dan Cak Nur (HMI) telah memberikan

sumbangan penting bagi perubahan politik kita sekarang. Mereka, lewat elaborasi-elaborasi keislaman yang dilakukan selama ini, telah membantu para elite dan massa politik umat untuk tidak merasa "berdosa" untuk membangun politik modern, yang membedakan wilayah politik dari wilayah agama. Mereka dan para pembentuk kultur  politik modern lainnya di tanah air telah menanam dan menyebarkan kekuatan psikologis

di antara umat sehingga penolakan terhadap Tujuh Kata itu untuk dimasukan ke dalam Konstitusi kita setidaknya dirasakan tidak bertentangan dengan Islam, atau malah

sebaliknya, suatu keharusan Islami kalau menggunakan perspektif dari tokoh-tokoh umat seperti Cak Nur.

Kekuatan politik Pro Tujuh Kata itu sekarang bukan hanya harus berhadapan dengan partai nasionalis seperti PDI-P dan partai-partai yang berbasis agama non-Islam, tapi juga dengan partai-partai yang secara sosiologis berbasis Islam santri. Sebelum bertarung di luar, mereka harus bertarung di dalam rumah sendiri, umat Islam Santri. Repotnya, saudaranya yang serumah ini, mendapat dukungan dari kekuatan sosial umat yang memiliki pabrik-pabrik besar, seperti NU dan Muhammadiyah, yang cukup produktif  memproduksi simbol-simbol keislaman sehingga mereka punya legitimasi kuat dalam pertarungan memperebutkan makna keagamaan dalam konteks politik nasional kita. Kekuatan sosial-politik dari dalam umat seperti ini tidak ada pada tahun 50-an.

Namun demikian, perjuangan PPP dan PBB untuk memasukan Tujuah Kata itu ke dalam Konstitusi kita, bukanlah politik yang tidak masuk ak al. Mereka percaya bahwa sentimen massa umat terhadap Syariat Islam masih kuat walapun makna "syariat Islam" itu sendiri sesungguhnya tidak jelas dalam hubungannya dengan sistem politik modern. Karena itu, mereka melihat sentimen itu sebagai sumber daya politik untuk diolah sedemikian rupa dalam mendulang suara pemilih nanti.

Di samping itu, bagi PPP dan PBB, meninggalkan isu Tujuh Kata itu secara politik bukan langkah yang gampang, sebab konstituen mereka selama ini sudah mengenal partai

mereka sebagai partai Islam, sebagai partai yang punya agenda agar syariat Islam

ditegakan oleh negara. Tujuh Kata tersebut, karena itu, sudah menjadi semacam bagian dari identitas partai. Sebagaimana diketahui membangun identitas partai bukanlah perkara gampang. Bagi PPP yang sudah punya pendukung cukup besar (sekitar 12%) mempertahankan identitas ini menjadi lebih penting.

Ceriteranya agak berbeda untuk PBB. Ia partai kecil, dengan jumlah pemilih sekitar 2%. Mempertahankan identitas diri sebagai partai Islam, dan menjadikan Tujuh Kata agar  masuk ke dalam Konstitusi kita, kemungkinan akan membuat partai ini tetap sebesar itu. Namun demikian, 2% adalah angka yang cukup lumayan dibanding puluhan, kalau bukan ratusan, partai lain yang tak punya suara di DPR/MPR. Karena itu, mempertahankan 2%, dengan tetap memertegas identitasnya sebagai pendukung Tujuah Kata itu, mungkin dirasa lebih aman bagi elite partai ini. Melakukan lompatan besar, misalnya dengan

melupakan masalah Tujuh Kata tersebut, bisa memunculkan ketidakpastian lebih besar  untuk hasil pemilu 2004 nanti. PBB bisa ditinggalkan pendukungnya selama ini. Tapi ia bisa juga mendapat dukungan dari pemilih yang dulu tidak memilihnya akibat dari perubahan sikapnya terhadap Tujuh Kata tersebut. Dihadapkan dengan ketidakpastian politik semacam ini, politisi biasanya bersikap konservatif, yakni mempertahankan pola rekrutmen yang sudah dikenalnya. Dalam kasus PBB, dan apalagi PPP, mobilisasi pemilih dengan isu keagamaan seperti masalah Tujuh Kata itu sudah akrab dengan

mereka, dan juga sesungguhnya lebih mudah karena menyangkut sentimen umat. Karena menyangkut sentimen, kejernihan bagaimana sebuah isu akan diperjuangkan partai tidak 

banyak diperlukan. Lebih dari itu, saya kira politis PBB, dan juga PPP, percaya bahwa isu Islam, termasuk Tujuh Kata itu, dengan strategi kampanye yang lebih baik, akan mendongkrak perolehan suara mereka.

Tapi, manipulasi atas agama pasti tidak akan menjadi monopoli PPP dan PBB, sebab partai-partai lain yang berbasis santri juga akan dipaksa melakukan hal yang sama, setidaknya untuk menetralisir sentimen massa dari pengaruh PPP dan PBB. Akibatnya, pertarungan untuk sebuah makna syariat Islam dalam konteks politik Indonesia

diperkirakan akan tetap mewarnai kampanye pemilihan umum 2004 nanti.[]

Takrif Demokrasi

Para ilmuwan Muslim membahaskan masalah ini dengan panjang lebar. Ada berpendapat menyatakan Islam tiada sama dengan demokrasi, ada juga yang berpendapat ia adalah sama dengan demokrasi. Ada berpendapat, di sana ada persamaan dan juga

perbezaan.Fahmi Huwaidi dalam bukunya al-Islam wa al-Dimuqratiyah menjelaskan bahawa dua keadaan yang menjadi kesalahan besar kepada Islam iaitu ketika seseorang yang menyatakan Islam sama dengan demokrasi dan ketika ia menyatakan Islam

menentang demokrasi. Sesungguhnya perkara ini memerlukan kepada kebebasan dan penjelasan yang mendalam.

Dr. Dyiauddin al-Ris dalam bukunya yang bertajuk Nazariah al-Siyasah al-Islamiah menyebut:

i. Kalimat “bangsa” atau “rakyat” dalam sistem demokrasi hanya terhad dalam rakyat negara tërsebut atau dikenali sebagai “Nasionalisme”.. Bangsa tersebut dibatasi oleh sempadan geografi, yang hidup dalam satu iklim di mana individu-individu di dalamnya terikat oleh ikatan darah, jenis, bahasa dan kebudayaan. Menurut Islam, “umat” tidak  harus terikat oleh sesuatu tempat, darah atau bahasa tetapi terikat dalam bentuk akidah.. ii. Matlamatnya adalah untuk material semata-mata manakala Islam meliputi kerohanian dan kebendaan dengan memberi semua keperluan tersebut secara seimbang.

Menurut demokrasi Barat, kekuasaan rakyat adalah secara mutlak. Umat adalah

pemegang kekuasaan tertinggi. Umat boleh membuat dan membatalkan undang-undang dan segala keputusan meskipun keputusan itu bertentangan dengan norma-norma susila atau bertentangan dengan kepentingan manusia secara keseluruhan. Perkara ini berbeza dengan Islam yang mana kekuasaan itu tertakluk kcpada undang-undang Islam.Umat tidak boleh bertindak melebihi batas-batas yang ditetapkan dalam ajaran Islam.

Beliau juga menjelaskan bahawa Islam tidak dapat disamakan dengan sistem-sistem yang lain sama ada faham autokrasi, teokrasi dan demokrasi dengan pengertian yang sempit. Ini disebabkan kekuasaan tertinggi dalam Islam sangat utuh dan mantap yang berpadu kepada umat dan syariat Islam. Oleh itu, umat dan syariat merupakan pemegang

kekuasaan penuh dalam negara Islam.

Meskipun demokrasi Barat memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi ia tidak memiliki sebarang prinsip yang membatasinya atau nilai-nilai yang menjadi landasan

kehidupannya seperti kebebasan mutlak, digunakan untuk membela kepentingan

sesetengah kelompok yang kuat dan meruntuhkan nilai-nilai murni termasuk nilai-nilai murni demokrasi itu sendiri. Apabila perkara ini terjadi, maka sistem demokrasi yang digambarkan sebagai terbaik menjadi lebih kejam daripada kediktatoran.

Demokrasi ialah kesepakatan rakyat untuk memilih sebahagian orang yang akan memerintah dan mengatur urusan mereka.Dengan cara itu rakyat terhindar daripada memilih seorang pemimpin yang tidak mereka kehendaki dan dari sistem yang menindas mereka. Demokrasi boleh difahami sebagai satu sistem yng mempunyai undang-undang berprosedur yang mengkhususkan siapa yang berwibawa untuk membuat sesuatu

keputusan secara kolektif dan melalui prosedur apakah yang harus digunakan untuk  membut keputusan.Demokrasi mengandungi prosedur-prosedur demi untuk mencapai keputusan secara kolektif dalam suasana menjamin penyertaan secara maksima yang boleh tercapai bagi mereka yang berkepentingan,termasuklah kepentingan ini ialah : i. kepentingan hak untuk samarata

ii. kepentingan golongan majoriti yang memerintah dan jaminan kepada hak minoriti. Ini adalah untuk memastikan keputusan kolektif dipersetujui oleh sebilangan suara yang secukupnya untuk membuat keputusan tersebut.

iii. Prinsip undang-undang

iv. Jaminan berpelembagaan untuk kebebasan berkumpul dan luahan pendapat dan hak-hak kebebasan lain-lain yang akan membantu menjamin siapa yang akan membuat keputusan atau dipilih untuk buat keputusan supaya boleh memilih dari pilihan-pilihan yang terbaik.

Demokrasi sebenarnya cara atau metode bagi menghalang sokongan yang memerintah untuk terus menerus menyesuaikan kuasa yang ada padanya untuk kepentingan

matlamatnya sahaja. Atau dengan kata yang berbeza sedikit, politik demokrasi moden ialah pemerintah di mana pemerintah dipertanggungjawabkan dalam tindakan mereka dihadapan orang awam dari rakyat jelata yang bertindak secara tidak langsung melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih dalam satu suasana persaingan dan permuafakatan. Bagi pemikir-pemikir politik Islam yang utama, definisi sedemikian yang difahami dari demokrasi adalah amat sesuai dengan nilai-nilai syura yang diamalkan dalam ajaran Islam. Walaupun demikian ada di kalangan pemikir Islam menganggap dengan penuh

keyakinan demokrasi tidak sesuai dengan Islam. Demokrasi juga bermaksud kuasa politik  dan segala hak politik diserahkan kepada rakyat. Demokrasi juga bukan sahaja bentuk  kerajaan tetapi juga satu bentuk masyarakat. Namun ada sebahagian pemikir Islam

sahaja tanpa melihat elemen-elemen Islam seperti syura, keadilan, persamaan yang lebih lengkap dan mantap sifatnya dalam ajaran Islam.

Kategori Penerimaan dan Penolakan terhadap Demokrasi

Dalam hal tersebut, terdapat tiga aliran pendapat mengenai demokrasi iaitu : 1. Golongan menolak demokrasi secara mutlak iaitu menanggapnya sebagai satu

peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Antara pendukung pendapat ini ialah Taqiyuddin Nabhani, Pengasas Hizbul Tahrir Islami dalam bukunya Nizam al-Hukm fi al-Islam, 1989 yang menyebutkan bahawa demokrasi adalah bertentangan dengan akidah Islamiah. Mereka mendakwa bahawa tidak ada apa-apa dalam tradisi Islam yang serasi dengan kerajaan berperlembagaan dan perwakilan. Demokrasi juga merupakan legasi imperialis Barat.

2. Golongan yang bersetuju dengan demokrasi secara mutlak. Antara golongan ini ialah Syeikh Muhammad Husein dalam artikelnya Tanbih al-Ummah wa Tanziyah al-Millah yang menyeru berpegang kepada demokrasi sebagai satu wasilah untuk menumbangkan diktator. Menurutnya, diktator terbahagi kepada dua iaitu diktator politik dan diktator  agama dan diktator agama adalah yang paling sukar dihapuskan.

3. Golongan ini tidak menerima atau menolak secara mutlak.Mereka membezakan demokrasi sebagai alat dengan demokrasi sebagai satu bentuk pegangan. Golongan ini semakin mendapat tempat di kalangan umat Islam sekarang ini. Termasuk dalam

golongan ini seperti Muhammad Khatami, Presiden Iran, Muhmmad Mahdi Syamsuddin, seorang ulamak syiah, Yusuf al-Qaradhawi, Rashid al-Ghannoushi., Taufiq al-Shawi dan Hassan al-Turabi. Pendokong demokrasi Islamik menekankan konsep-konsep syura, bai’ah, permuafakatan, ijtihad dan maslahah untuk menunjukkan bahawa Islam tidak  berkurangan dalam landasan-landasan asas yang secocok dengan tatacara dan matlamat demokrasi.

Al-Afghani, Abduh dan Rashid Rida menyatakan antara faktor kemunduran umat Islam ialah wujudnya pemimpin politik yag jahat.Pemerintahan yang kejam menyebabkan umat Islam lupa terhadap perkara perundingan dan kesatuan.

Menurut Rashid al-Ghannoushi, demokrasi adalah hasil evolusi sejarah yang meluas dan bukan sekadar buatan para teorist mahupun jurist atau pemikir-pemikir 

politik.Kebanyakan daripada prinsipnya diceduk dari suasana zaman pertengahan Eropah yang melalui perkembangan sehinggalah terbentuk bersama-sama sejarah yang panjang ini satu sistem. Orang-orang Eropah banyak mengambil pengajaran dari tamadun Islam untuk membantu mencipta satu masyarakat yang disinari dengan konsep-konsep nilai sosial di mana dengan itu lahirnya demokrasi liberal. Perhubungan Eropah dengan Islam telah membuka mata Eropah ketika itu dari kehinaan Feudalisme dan dari kongkongan agama dan dari kediktatoran kepada elitis pihak pemerintah.

Menurutnya, banyak pemimpin-pemimpin Islam yang naik kuasa selepas Khulafa’ al-Rasyidin membelakangkan syura sehingga zaman kita ini. Barat pula mendahului perkara ini hari ini dalam mengamalkan nilai-nilai syura seperti kebebasan dan menjernihkan kebebasan berpolitik. Negara Eropah berjaya mengasaskan sistem secara syura ini dalam kerajaan mereka yang mereka namakan demokrasi. Dengan lain perkataan, syura yang datang dari bumi Islam menjadi layu kerana tidak dipelihara dengan rapi rupa-rupanya subur berkembang di bumi bukan Islam.

Hassan al-Turabi pula menjejaki titik tolak penukaran demokrasi moden bermula dari amalan kontrak yang dikenali sebagai peristiwa bai’ah. Menurutnya, beberapa amalan demokrasi mempelajarinya dari feqh siasah hasil perhubungan mereka dengan Islam. Menurut Dr. Abdullah Ahmad Qaderi bahawa jika dibandingkan sistem demokrasi dengan sistem diktator, maka sistem dcmokrasi lebih baik kerana ía memberi

kebebasansan bersuara. Apabila pemerintahan Islam hilang, maka di hadapannya ada dua sistem, perlulah ia rnemilih sistem yang dapat memberi kebebasan dakwah, kebebasan memilih pernimpin yang soleh yang kemungkinan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Ini berlainan dengan sistem diktator yang menjurus manusia ke arah hawa nafsu dan tiada berpeluang untuk memilih pemimpin. Ini tidak bermakna harus orang mukmin mengambil demokrasi apabila hilangnya pemerintahan Islam.

Sementara itu, Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Dustur al-Wihdah al-Thaqafah Bayna al-Muslimun mengatakan bahawa demokrasi bukanlah agama yang diletakkan dalam barisan Islam melainkan hanyalah sebuah sistem interaksi antara pemerintah

dengan rakyatnya. Kita perlu melihatnya kembali untuk memahami bagaimana demokrasi memberikan penghormatan individu bagi pendukung dan pembangkang dengan

kedudukan yang sama. Dan bagaimana dia memberi dorongan kepada orang-orang yang tidak sejalan dan sependapat untuk mengatakan “tidak”, tanpa rasa takut dipenjara atau ditangkap. Sikap dan tindakan yang keterlaluan serta pemerintahan diktator merupakan bencana yang memakan agama dan dunia kita.

Said Hawwa pada mulanya menolak demokrasi tetapi akhirnya menerima demokrasi apabila berpendapat demokrasi adalah jalan terbaik untuk mendapat kejayaan di negara umat Islam .Ahmad Shawqi al-Fanjari dalam bukunya Hurriyat al-Siyasah fi al-Islam (Kebebasan Berpolitik dalam Islam) dan buku Kayfa Nahkum bi al-Islam fi Dawlah 'Asriah (Bagaimana Kita Memerintah dengan Islam dalam Negara Moden) mengatakan setiap zaman mempunyai terminologi sendiri untuk merumuskan konsep demokrasi dan kebebasan. Apa yang disebut oleh demokrasi adalah sama apa yang disebut dalam ajaran Islam tentang keadilan ('adl), hak (haqq), perundingan (Shura) dan persamaan

(musawat).Ini kerana pemerintahan demokrasi memberi perhatian kepada elemen-elemen keadilan dan kenenaran kepada rakyat dan rakyat berpitipasi dalam menentukan perkara tersebut. Sebagai contoh bai’ah sama dengan hak memilih dan ijma’ itu sebagai satu kehendak majoriti. Kalimah 'hurriyat al-siyasah' (kebebasan berpolitik) sememangnya tidak ada disebut dalam al-Quran tetapi elemen-elemennya terdapat dalam al-Quran selengkapnya.Ia hanya berbeza dari segi terminologi tetapi mempunyai matlamat yang sama. Apa yang disebut sebagai 'hurriyat al-siyasah' adalah sama dengan apa yang

dilaungkan oleh Islam sejak 14 kurun yang lalu tentang al-Shura. Malah Islam memberi penekanan terhadap suhulah al-Hijab antara pemimpin dan rakyat dan adanya sifat rahmah dan tarahum.(rahmat dan kasih mengasihani) antara kedua-dua pihak.

Dalam pertemuan penulis dengan Rashid al-Ghannoushi, beliau menegaskan bahawa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi bahkan berkongsi beberapa ciri yang sama di mana kepentingan bersama dapat bertukar antara satu sama lain. Beliau menyeru kepada umat Islam supaya menerima demokrasi sebagai satu langkah untuk membebaskan negara dari pemerintahan diktator yang menghalang kebebasan bersuara dan pilihanraya umum. Beliau berkeyakinan melalui demokrasi yang bercirikan Islam merupakan jalan untuk menobatkan Islam sebagai syariat tertinggi. Hujah al-Ghannou shi bahawa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi ialah kerana sistem autoriti sivil diwujudkan di mana perlakuan politiknya diserahkan kepada rakyat. Dalam sistem demokrasi, beberapa mekanisme demokrasi seperti kebebasan bersuara, sistem berparlimen, pilihanraya boleh diwujudkan dan diinstitusikan dengan melaksanakan shura. Oleh itu, beliau menegaskan bahawa demokrasi diperlukan kerana kebaikannya. Ia merupakan mekanisme bagi warga muslim untuk memanfaatkan sebaik mungkin darinya bagi mewujudkan semula

pemerintahan moden berasaskan shura dan demokrasi Islami.

Di sini ada baiknya kita memerhatikan pandangaan Yusuf al-Qaradhawi mengenai Islam dan demokrasi. Beliau menegaskan bahawa negara Islam menjalankan sistem-sistem terbaik yang terdapat pada sistem demokrasi, tetapi itu tidak bererti bahawa negara Islam merupakan salinan daripada sistem demokrasi Barat. Ia serupa dengan demokrasi Barat dari segi memberi kebebasan, tanggungjawab pemimpin dan majlis perundingan. Namun

Dalam dokumen Islam dan Demokrasi (Halaman 24-42)

Dokumen terkait