• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam dan Demokrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Islam dan Demokrasi"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Islam dan Demokrasi Islam dan Demokrasi

Oleh Drs. M. Zainuddin, MA Oleh Drs. M. Zainuddin, MA 10/02/2002

10/02/2002

Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,

partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality

kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.

(keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.

artikel Drs. M. Zainuddin, MA lainnya artikel Drs. M. Zainuddin, MA lainnya 16/02/2003

16/02/2003

Haji dan Masyarakat Kita Haji dan Masyarakat Kita Total 1 artikel

Total 1 artikel

Lebih lengkap lihat biodata penulis Lebih lengkap lihat biodata penulis artikel baru artikel baru 15/08/2007 15/08/2007 Anick H.T. Anick H.T. Netral Agama Netral Agama 13/08/2007 13/08/2007

Musharaf Berada Dalam Kepungan Musharaf Berada Dalam Kepungan 30/07/2007

30/07/2007

Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan 30/07/2007

30/07/2007 Novriantoni Novriantoni

Jilbab dan Kebab Turki Jilbab dan Kebab Turki 23/07/2007

23/07/2007

Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih

Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih PolitisPolitis artikel sebelumnya artikel sebelumnya 24/01/2002 24/01/2002 Daniel S. Lev Daniel S. Lev

Islam Liberal; Menciptakan Kembali Indonesia Islam Liberal; Menciptakan Kembali Indonesia 02/09/2001 02/09/2001 Burhanuddin Burhanuddin Vocal Minority Vocal Minority 26/08/2001 26/08/2001 Burhanuddin Burhanuddin

Membangun Pluralitas Alquran Membangun Pluralitas Alquran 03/02/2002

03/02/2002

Cupet, Pandangan Amerika ke Dunia Luar  Cupet, Pandangan Amerika ke Dunia Luar  03/02/2002

03/02/2002 Bahtiar Effendy Bahtiar Effendy

Mengaitkan Islam dengan Demokrasi Mengaitkan Islam dengan Demokrasi

Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,

partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini

(2)
(3)

kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.

(keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.

Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi

pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi.

legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan

Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyatberfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pe

yang aspiratif dan distributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pe rtimbangan,rtimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.

pemerintah.

Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar  Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar  bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera. Nah, bagaimanakah kon

Nah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif sep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif  Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan

Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiomidiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim?

Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang

Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islammenyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam

tidak compatible dengan demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam.

dalam negara yang berbasis mayoritas Islam.

Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama

Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasidan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari

memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk  sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk  berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan

meliputi: syura, musawah, adalah, amanah, masuliyyah dan hurriyyah, bagimana maknahurriyyah, bagimana makna masing-masing elemen tersebut?

masing-masing elemen tersebut?

Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara Pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal

Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ah

sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin.l halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang b

Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang b ertugas memilih kepala negara atauertugas memilih kepala negara atau khalifah (Madani, 1999: 12).

(4)

Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan

terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.

bersama.

Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk  Kedua, al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk  rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa lain dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia

“ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”. (lihat Madani, 1999:14).

Islam”. (lihat Madani, 1999:14).

Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa

dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap

memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaranrakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.

rakyat.

Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu

dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai

dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai

konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal

sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nyaini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim (Tolchah, 199:26).

Bani Hasyim (Tolchah, 199:26).

Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa

oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa

tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58.

SWT dalam surat an-Nisa’:58.

Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur  dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur  atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.

(5)

Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus

yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.

dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak  yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak  ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa

ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagaiumat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat wajib khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka

dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagitidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya

penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya

kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.

kezaliman akan semakin merajalela.

Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen

demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.

demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.

Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis. Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dun

masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dun ia Islamia Islam dalam sejarahnya?

dalam sejarahnya?

Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan

Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus denganotoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan

‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islamalasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena

agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen dsebelum itu juga ada eksperimen demokratisasiemokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nab

dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin (lihat Mahasin,i dan khulafaurrasyidin (lihat Mahasin, 1999:31).

1999:31).

Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh

(6)

pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak 

demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, diamana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.

Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis

Huntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington

mengidentikkan demokrasi dengan the Western Christian Connection (lihat Imam, 1999:x-xi, Hefner, 2000:4-5). Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan

kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.

Zainal Abidin Bagir, MA dan Fathi Aris Omar:

Demokrasi adalah Cara Menerjemahkan Nilai-nilai

Islam

20/12/2004

Pertanyaanpun muncul: bagaimana kelangsungan hidup embrio demokrasi dan nasib rezim otoriter yang masih bercokol di sejumlah negara muslim itu? Apakah memang terdapat ketidaksesuaian yang substansial antara Islam dan sistem demokrasi? Itulah sebagian pertanyaan yang mengemuka pada seminar International Center for Islam and Pluralism (ICIP) bertajuk The Future of Islam, Democracy, and Authoritarianism in the Muslim World.

Rontoknya sebagian rezim pemerintah otoriter dan kuatnya arus demokratisasi di

berbagai belahan dunia, ikut terasa auranya di sejumlah negara mayoritas berpenduduk  muslim. Pertanyaanpun muncul: bagaimana kelangsungan hidup embrio demokrasi dan nasib rezim otoriter yang masih bercokol di sejumlah negara muslim itu? Apakah

memang terdapat ketidaksesuaian yang substansial antara Islam dan sistem demokrasi? Itulah sebagian pertanyaan yang mengemuka pada seminar International Center for  Islam and Pluralism (ICIP) bertajuk The Future of Islam, Democracy, and

(7)

Guna mereview hasil seminar tersebut, Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal  mewawancarai salah seorang perumus hasil seminar, Zainal Abidin Bagir, MA (dosen Studi Agama dan Lintas Budaya UGM) dan seorang intelektual Malaysia, Fathi Aris Omar (kolumnis Malaysiakini.com). Berikut petikan wawancara yang berlangsung  Kamis (16/12) tersebut.

NOVRIANTONI: Bung Zainal, apa yang melatarbelakangi penyelenggaraan

seminar The Future of Islam, Democracy, and Authoritarianism in the Muslim World  kemarin?

ZAINAL ABIDIN BAGIR: Yang diperbincangkan selama dua hari itu adalah salah satu masalah terpenting di dunia muslim saat ini, yaitu tentang Islam, demokrasi, dan

otoritarianisme. Di situ kita memperbincangkan pengalaman yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah negara muslim, baik dari Timur-Tengah maupun Asia. Dari acara ini, kita dapat mendengarkan pengalaman yang berbeda-beda dari berbagai wilayah

tentang gagasan Islam dan demokrasi secara umum. Di situ dipertanyakan apakah Islam compatible dengan demokrasi, dan pertanyaan-pertanyaan lain.

NOVRIANTONI: Apa yang bisa disimpulkan dari pertanyaan itu?

ZAB: Sayang, yang bisa disimpulkan tidak terlalu tegas, tapi cuk up bertanggung jawab. Kalau bicara pada level teks tentang apakah Islam sesuai dengan demokrasi atau tidak, akan banyak sekali tafsiran yang bisa dikemukakan dari satu kitab yang sama. Dari Alquran, orang bisa menunjukkan kesesuaian antara Islam dengan demokrasi. Dan dari sana juga, orang bisa menilai bahwa terdapat sistem politik lain yang dianjurkan Islam. Nah, salah satu persoalan terbesar ketika bicara soal sistem pemerintahan Islam yang ideal, yaitu soal apa yang kita jadikan acuan. Apakah kita mengacu pada teks seperti Alquran, hadis, tafsir klasik, dan lain sebagainya, atau melihat sikap pemeluk Islam, atau bentuk pemerintahan yang berkembang di mayoritas negara-negara muslim. Kalau bicara pada level teks, saya kira jawabannya sangat ambigu atau tidak bisa dipastikan. Jadi soal apakah Alquran mendukung demokrasi atau tidak, akan tergantung pada kesimpulan umat Islam sendiri. Artinya, itu bukan pertanyaan yang jawabannya tersedia begitu saja dalam Alquran.

NOVRIANTONI: Artinya, masih tersedia ruang untuk kontestasi gagasan tentang sistem politik apa yang paling ideal bagi dunia Islam?

ZAB: Saya kira, banyak sekali pemikir muslim kontemporer yang menganggap

demokrasi adalah sistem terbaik yang sulit dicarikan alternatifnya, sekalipun kita juga melihat kekurangan-kekurangan sistem demokrasi. Mungkin inilah sistem yang terbaik  dari yang terburuk. Tapi di antara yang berkontestasi dalam soal sistem politik paling ideal itu, juga terdapat mereka yang mendambakan sistem negara Islam, sistem khilafah, dan juga model Iran, yaitu sistem Velayat-e-Faqih. Semuanya berusaha mencari

(8)

NOVRIANTONI: Bung Zainal, dalam seminar itu terlontar juga statemen bahwa otoritarianisme dan demokrasi, secara umum tidak bisa dinilai baik-buruknya. Dalam beberapa hal, sejumlah negara otoriter dapat dikatakan baik. Apa maksudnya?

ZAB: Itu adalah pandangan Dr. Patricia Martinez, seorang pemikir dari Malaysia.

Pandangan itu tidak bisa diartikan bahwa dia mendukung negara yang ototiter. Dia hanya ingin menegaskan bahwa otoritarianisme dan demokrasi itu bukan sesuatu yang dapat dinilai baik dalam segala hal, atau buruk secara total. Menurutnya, dalam kasus-kasus tertentu, sebentuk otoritarianisme mungkin diperlukan dalam sebuah negara yang secara umum menerapkan demokrasi.

NOVRIANTONI: Seperti Singapura, Malaysia, atau Cina?

ZAB: Mungkin. Memang agak sulit menentukan seperti apa bentuk otoritarianisme yang diperlukan itu. Tapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri, pembangunan ekonomi tentunya membutuhkan lebih banyak stabilitas. Untuk itu, kadang-kadang diperlukan sedikit otoritariasme. Tapi hal penting lain yang disampaikan Dr. Martinez ketika itu juga,

sekarang bukan saatnya lagi berharap pada otoritarianisme. Artinya, sudah lewat masanya ketika beberapa derajat otoritarianisme bisa diterima.

NOVRIANTONI: Bung Fathi, apa yang bisa Anda komentari dari pernyataan seperti tadi itu?

FATHI ARIS OMAR: Saya tidak paham mengapa persoalan ini dibicarakan orang. Mengapa harus dikontradiksikan antara kebebasan demokrasi dengan kemajuan ekonomi, seperti dalam kasus Singapura atau Malaysia. Saya kira, seharusnya antara kebebasan demokrasi dan kemajuan ekonomi berjalan seiring dan tidak perlu dipertentangkan. Memang pada waktu-waktu tertentu seperti dalam kondisi darurat, kita menemukan periode-periode yang sering memerlukan otoritarianisme. Tapi kita juga tahu, kejadian seperti itu pada akhirnya menjadi antitesis atas perkembangan manusia yang saat ini mengandalkan kemajuan ekonomi yang berasaskan pengetahuan. Di situlah kreativitas manusia dan inovasi-inovasi baru menjadi unsur terpenting kemajuan dan kesejahteraan. Itu semua membutuhkan lebih banyak kebebasan. Saya kira, demokrasi selalu memberi ruang untuk kemajuan.

NOVRIANTONI: Bung Fathi, apakah Anda melihat peran signifikan NU dan Muhammadiyah sebagai dua elemen civil society terbesar di Indonesia dalam

memuluskan langkah demokrasi elektoral di Indonesia pada pemilu kemarin? Dan, apakah Malaysia punya institusi civil society yang cukup kuat mengimbangi

pemerintah berkuasa?

FAO: Saya kira Malaysia jauh lebih mundur dalam soal ini. Dalam tempo 6 tahun terakhir, Indonesia jauh lebih maju. Malahan, ketika Orde Baru masih berjaya,

sebenarnya elemen-elemen civil society Islam di Indonesia sudah mengeluarkan wacana-wacana yang manarik dan baru. Dan itu sebenarnya modal sosial yang sangat berharga

(9)

bagi Indonesia untuk melangkah ke depan. Di Malaysia, faktor yang paling serius

menghambat perkembangan masyarakat sipil atau civil society adalah suasana yang tidak  demokratis.

Suasana yang tidak demokratis itu ikut menghambat perkembangan wacana-wacana Islam yang lebih plural sifatnya. Kesulitan lain, wacana Islam yang ce nderung

fundamentalis tidak pernah mendukung demokrasi. Tulang punggung gerakan oposisi di Malaysia, yaitu Partai Islam se-Malaysia (PAS), sama sekali tidak demokratis. Mereka tidak memunculkan wacana baru soal HAM, demokrasi, feminisme, dan

multikulturalisme. Semua itu belum dibicarakan secara mendalam, b aik oleh pihak  oposisi, apalagi pemerintah.

NOVRIANTONI: Bung Zainal, bagaimana Anda melihat peran NU dan Muhammadiyah sebagai dua elemen civil society terbesar di Indonesia dalam menopang proses demokratisasi?

ZAB: Peran keduanya sangat besar dalam menyebarkan pemahaman Islam yang bisa menerima demokrasi, konsep HAM, keseteraan gender dan lainnya. Tapi selain

keduanya, yang tidak kalah penting adalah peran LSM-LSM yang lebih kecil, yang bermunculan setelah zaman reformasi. Mereka inilah elemen-elemen masyarakat sipil yang bisa masuk hingga ke level grassroot dan menyampaikan pemahaman tentang konsep-konsep tersebut. Selain mereka, pemikiran-pemikiran para intelektual muslim mutakhir, juga mampu menunjukkan bahwa demokrasi adalah salah satu pilihan sistem politik terbaik untuk umat Islam saat ini. Salah satu contohnya adalah salah seorang pembicara seminar ICIP kemarin, Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl. Meskipun dia tidak  hadir secara fisik di tengah-tengah kita, tulisan-tulisannya telah mengilhami banyak  orang di Indonesia untuk memahami kaitan antara Islam dan demokrasi secara lebih baik. NOVRIANTONI: Salah satu kesalahpahaman masyarakat Islam akan demokrasi adalah kekhawatiran terseretnya ketentuan-ketentuan syariat yang sudah qath’i ke ranah mekanisme voting . Apakah kehkawatiran ini cukup beralasan?

ZAB: Saya kira harus diakui, dalam setiap agama terdapat hal-hal yang tidak bisa

diganggu gugat atau mutlak, dan itu tidak bisa didemokratikkan. Tapi perlu diingat, kalau bicara demokrasi, kita sesungguhnya bicara soal sistem politik; tentang sebuah sistem kemasyarakatan. Pembicaraan soal itu saya kira sangat terbuka sesuai dengan apa yang dianggap ideal oleh masyarakat Islam. Ini juga persoalan yang bersifat epistemologis, menyangkut bagaimana cara kita membaca atau mendekati Alquran. Kita harus

menetapkan Alquran sebagai apa? Kalau kita menganggap Alquran adalah kitab moral, berisi ajaran tentang nilai-nilai, maka kita mesti mencari nilai-nilai dari situ. Lalu d ari situlah kita wajib menggunakan akal untuk menerjemahkan nilai-nilai esensial tersebut ke dalam sistem yang tepat untuk situasi saat ini. Hanya dengan cara itulah Islam akan

menjadi rahmat bagi semesta alam.

Jadi ketika bicara soal Islam dan demokrasi, tidak berarti kita hendak merelatifkan hal-hal yang mutlak di dalam Islam, tapi lebih pada soal penerjemahan Islam itu sendiri.

(10)

Untuk bisa kreatif, di situ kita dituntut mengoptimalkan penggunaan akal. Inilah yang mungkin bisa juga disebut jihad; menggunakan akal untuk menentukan sistem apa yang terbaik sebagai penerjemahan nilai-nilai Alquran. []

Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi Oleh Saiful Mujani

05/08/2001

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan kepolisian.

Kita bisa memperdebatkan apa yang dimaksud dengan “syari’ah Islam.” Lepas dari perdebatan ini, saya kira setiap Muslim punya sebuah kultur politik bahwa Nabi

Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang dibangunnya, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukn saja seorang

pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. D alam diri Nabi, dua kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan kepemimpinan politiknya atas dasar Syari’ah.

Dengan wafatnya Nabi, kepemimpinan politik model ini seharusnya juga berakhir, karena memang tidak ada lagi Nabi setelahnya. Tapi para Sahabat sebagai pelanjut

kepemimpinan umat dari Nabi telah berusaha meneruskan pola kepemimpinan ini. Sahabat bukan saja pemimpin politik tapi juga otoritas keagamaan setelah Nabi.

Dalam proses sejarah, peniruan atau pengidealan ke masa Nabi ini tidak mudah berkenan dengan semakin kompleks dan besarnya umat. Pembagian otoritas ke dalam otoritas politik kekuasaan dan otoritas kegamaan menjadi tak terhindarkan. Tapi Nabi dan Madinah di bawah kepemimpinan Nabi tetap bernilai dan menjadi orientasi dan

legitimasi kekuasaan dalam perjalanan sejarah politik umat. Para pemikir Muslim yang mendukung demokrasipun tetap harus merujuk kepada kepemimpinan Nabi dan politik di bawah kepemimpinannya, misalnya dengan “mendemokrasikan” Madinah dan

“mendemokrat-kan” Nabi. Ini sah saja, sebagai suatu tafsiran. Demikan halnya bagi yang menentang upaya ini. Kita umat Islam, sepertinya sudah ditakdirkan oleh sejarah supaya terus bergumul dengan persoalan ini. Pergumulan ini begitu nyata. Kita punya contoh nyata yang mencerminkan pergumulan ini: Saudi Arabia, Reublik Islam Iran, Politik 

(11)

Islam di Sudan, dan Rezim Taliban di Afghanistan. Semua rezim ini dengan caranya sendiri-sendiri mengklaim bertumpu pada syari’at Islam.

Tapi kita juga punya Turki, Indonesia Pasca-Suharto, Mali, Bangladesh, dan Jordania yang telah mencoba bereksperimen dengan demokrasi. Tapi, eksperimen inipun bukan perkara mudah. Tantangan besar di antaranya datang dari kelompok umat sendiri yang berorientasi pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan publik di mana negara bertanggungjawab atas pelaksanaannya. Tantangan ini sebagian menyumbang terhadap instabilitas demokrasi di negara-negara Muslim. Kenapa?

Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur massa

mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa

keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada

kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka sistem politik yang cocok untuk ini adalah non-demokrasi, misalnya saja otoritarianisme atau bahkan totalitarianisme.

Pluralisme ini terkait dengan unsur lain dari kultur demokrasi, yakni toleransi politik dan saling percaya sesama warga (interpersonal trust) dalam sebuah nega ra-bangsa, lepas apapun latar belakang primordialnya. Bila unsur-unsur ini lemah dalam masyarakat, maka demokrasi tidak bisa hidup dengan baik. Di dalam masyarakat Islam, baik itu yang sekarang ataupun yang menjelma dalam sejarah yang panjang, yang berkultur politik  demokrasi itu hanya satu varian dari umat. Mereka membangun kultur ini di antaranya melalui penafsiran atas doktrin Islam dan melalui praktek politik umat.

Di samping itu, ada varian lain, yakni yang meyakini Syari’ah Islam, terutama yang dipraktikkan Rasulullah dan para Sahabat, sebagai landasan sistem politik terbaik bagi umat sekarang. Apa yang berlangsung di dalam umat Islam sendiri kemudian adalah pertarungan tafsir dan pelembagaan terhadapnya untuk menjadikan masing-masing tafsirnya dominan dalam sebuah masyarakat politik. Pertarungan ini memunculkan konflik kultural yang bisa jadi sehat dalam kehidupan umat, tapi bisa juga berimplikasi pada sikap dan prilaku yang tidak demokratis: kurang toleran dan kurang percaya terhadap sesama, walapun sama-sama Muslim. Bila ini yang tumbuh, maka pada

(12)

terbaik bagi umat. Ini sebagian menjelaskan kenapa eksperimen demokrasi di negara-negara Muslim yang telah lama berlangsung, seperti Turki dan Pakistan, tidak kunjung stabil. Sumbernya adalah interpersonal distrust yang tumbuh dari pertentangan tadi.

Di tanah air, munculnya aspirasi untuk menerapkan syari’at Islam belakang ini, harus dilihat dalam konteks demokrasi yang sedang diupayakan. Di mana-mana di dunia Muslim, gerakan “politik syari’ah” ini pada dasarnya tidak menjadikan demokrasi sebagai sarana dan tujuan politik. Seringkali politik syri’ah merupakan perlawanan

terhadap demokrasi. Kecenderungan ini logis saja adanya. Sebab, gerakan politik syari’ah pada dasarnya menghendaki agar semua Muslim menjalankan syari’ah Islam seperti yang difahami oleh satu versi tertentu. Misalnya, hukum rajam, hukum potong tangan,

pemberlakukan lembaga keuangan bebas bunga, dll., adalah bagian dari syari’ah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Muslim yang percaya bahwa hukum-hukum semacam itu bukan bagian utama dari syari’ah, dan karena itu dapat diabaikan?

Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif  masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam keberadaannya.

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan kepolisian.

Keterbatasan demokrasi ini harus disadari oleh kelompok demokrat dan kelompok politik  syari’ah yang memperjuangkan aspirasi politiknya di jalur demokrasi. Demokrasi tidak  akan mampu mewadahi kekuatan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. []

(13)

Jumat, 28 Mei 2004 www.pikiran rakyat.com

Demokrasi & Islam Bisa Sejalan

Ulil, ”Tak Perlu Dipertentangkan Bila Ada Perbedaan”

BANDUNG,(PR).-Demokrasi politik Islam merupakan keniscayaan dan ha rus dilakukan. Demikian disampaikan oleh Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar Abdalla pada diskusi panel bertajuk "Liberalisasi Politik Islam dan Pendidikan Demokrasi" di

Auditorium PKM UPI, belum lama ini.

Ia mengatakan, hingga saat ini memang masih banyak orang yang mempertentangkan antara demokrasi dengan Islam, karena adanya pemikiran bahwa demokrasi berarti

pengakuan akan adanya kedaulatan rakyat (manusia), sedangkan di dalam Islam yang ada hanyalah kedaulatan Tuhan. Menurut Ulil, Tuhan memang memiliki kedaulatan yang mutlak, tapi kedaulatan Tuhan di bumi telah diwakilkan kepada manusia dan dengan sendirinya manusia memiliki kedaulatan untuk menjalankan aturan dan hukum Tuhan di bumi.

Lebih lanjut ia mengatakan, kenyataannya memang ada keunikan dan perbedaan antara Islam dengan demokrasi yang lahir dari sistem sosial budaya barat. Namun dalam beberapa level, baik demokrasi maupun Islam dapat sejalan. Namun, ujar Ulil,

sebenarnya tidak perlu dipertentangkan mengenai perbedaan itu dan lebih baik mencari hal baik yang bisa dijalankan dan membuang hal-hal yang tidak baik.

"Mempertentangkan dua entitas yang sebetulnya tidak bertentangan itu mirip sekali dengan pemikiran Samuel Huntington (sejarawan dan orientalis--red). Sikap saling hujat dan mengkafirkan satu sama lain juga harus ditinggalkan, karena itu merupakan

kemunduran dalam berpikir," ujarnya.

Ulil mengatakan, ada hal yang bernilai universal baik dalam Islam maupun demokrasi. Islam dapat diterima oleh berbagai bangsa di dunia karena memiliki nilai-nilai universal itu, begitu juga yang terjadi dengan demokrasi. Pada hal-hal yang universal inilah dua sistem tersebut dapat bertemu dan sejalan. "Bagi saya Islam dan demokrasi itu sejalan.

(14)

Memang ada hal-hal negatif di dalam demokrasi dan itu tidak perlu kita ambil. Islam pun harus menerima juga bila ada kritik dari demokrasi," ujarnya.

Karena yakin Islam dan demokrasi sejalan, Ulil percaya bahwa dalam tataran ideal

syariah Islam harus ditegakan sebagai hukum negara. "Tapi pertanyaannya hukum Islam yang mana? Karena interpretasi saya dengan anda tentu berbeda. Saya sendiri melihat bahwa hukum Islam yang saat ini didorong untuk ditegakan bukan syariah tapi fiqih, yang interpretasi di kalangan ulama pun masih berbeda-beda," ungkapnya.

"Karena itu dalam hal ini, seperti juga dalam prinsip demokrasi, yang harus dilakukan adalah negosiasi dan kompromi untuk mencari cara yang terbaik. Dalam sejarah Islam pun, khilafah ideal itu hanya ada pada zaman Rasulullah SAW dan sebagian masa

Khulafaur Rasyidin yang tidak lebih dari masa tiga puluh tahun. Setelah itu dalam masa tujuh abad kejayaan Islam, motif yang ada adalah motif kekuasaan," imbuhnya.

Sementara itu, Andi Hakim dari Masyarakat Universitas Lintas Agama (Maula) mengatakan, demokrasi oleh kalangan Islam di Indonesia dan di negara lain, telah

menjadi sistem yang diterima. Ia menjelaskan, dalam pemilu di kurun waktu 1999-2004 ada perubahan pilihan masyarakat, dari dasar sentimen perjuangan keagamaan yang berbau daulah untuk menegakkan fiqih, kepada tema agama sebagai nilai universal.

Begitu juga dengan diterimanya pemilu legislatif dan pemilu presiden sebagai mekanisme transformasi kekuasaan dengan cara demokratis, sadar atau tidak, dapat dikatakan sebagai penerimaan kelompok Islam di Indonesia atas ide-ide liberal dan demokrasi, sebagai

solusi etika universal yang memang harus dijalankan untuk memperoleh legitimasi pemilih. "Kalau anda menolak demokrasi, harus dipertanyakan kenapa ikut mencoblos dalam pemilu," ujarnya.

Diskusi panel tersebut memang berlangsung cukup hangat, terutama dengan pertanyaan dan pernyataan dari para mahasiswa aktivis Hizbut Tahrir, yang menyatakan tidak setuju dengan demokrasi dan liberalisme. Para aktivis ini juga menyebarkan selebaran yang mempertanyakan, mengapa panitia mengundang Ulil Abshar Abdalla --yang dicap sebagai "antek" liberalisme Amerika Serikat-- di kampus UPI yang "religius". (A-132)***

(15)

---Demokrasi Chauvinistik  Oleh Saiful Mujani

24/03/2003

Demokrasi yang disanjung-sanjung dan dipuja sebag ai sistem pemerintahan terbaik  ketika disatukan oleh Bush dengan mesin perang, ia kemudian menjadi hantu yang

menakutkan bagi bangsa lain. Kalau orang takut dengan kebangsaan chauvinisitik, maka ketakutan itu sekarang ditambah dengan demokrasi khauvinistik, yakni penguasaan dan penjajahan negara lain dengan kedok demokrasi. Hasilnya adalah sebuah demokrasi tanpa bangsa, kecuali satu bangsa, yakni bangsa Amerika.

Ratusan ribu tentara Amerika dan sekutunya, dengan senjata pembunuh paling mutakhir  yang pernah dimiliki umat manusia, sekarang sedang memerangi Irak. Retorika

Washington dengan perang itu adalah pembebasan rakyat Irak dari tirani Saddam Hessein. Setelah rezim Saddam jatuh, pada gilirannya Amerika akan membangun demokrasi di sana. Demokrasi dibangun dengan perang dan pendudukan.

Tidak sedikit yang membenarkan retorika ini. Kasus Jerman dan Jepang dijadikan

pembenar terhadap perang sepihak terhadap Irak tersebut. Amerika dan sekutunya perang melawan Jerman dan Jepang, dan kemudian Amerika dan sekutunya membantu kedua negara itu untuk kembali pulih setelah hancur dan kalah perang, dan membangun politik  demokrasi di sana.d

Kasus Jepang dan Jerman tersebut tak terbandingkan dengan kasus Irak. Amerika dan sekutunya dibenarkan melakukan perang terhadap Jepang dan Jerman tersebut. Nazisme Jerman sudah bergerak menundukkan hampir semua daratan Eropa. Jepang sudah

menjajah hampir semua kawasan asia Timur dan Tenggara. Jepang bahkan telah memulai memerangi Amerika dengan pengeboman Pearl Harbor yang terkenal itu.

Siapa pun tak ada yang meragukan bahwa Jepang dan Jerman merupakan ancaman nyata terhadap kedaulatan negara-negara lain. Perlawanan dan kemudian menundukkan dua negara ini dengan segala cara merupakan tindakan yang tak terhindarkan, dan karena itu dibenarkan. Kata senator Larry Byrd dalam pidatonya di Senat Amerika sehari sebelum perang Amerika terhadap Irak itu menjelma, perang semacam itu adalah keniscayaan, tak  bisa dihindari.

(16)

Sementara itu, perang terhadap Irak adalah perang karena pilihan, bukan karena keniscayaan. Artinya, perang terhadap Irak itu bisa dihindari kalau Bush

menghendakinya. Masih ada jalan damai untuk melucuti senjata Irak, yang dipandang mengancam itu. Juga masih ada jalan damai untuk membebaskan rakyat Irak dan untuk  membangun demokrasi di sana, kalau memang itu yang diiinginkan.

Irak bukan Jerman, dan bukan pula Jepang. Rezim Saddam lebih dekat kalau

dibandingkan, misalnya, dengan rezim Soeharto. Keduanya represif dan brutal terhadap lawan politiknya, dan kejam terhadap gerakan separatis. Suku Kurdi di utara dan Islam Syiah di selatan ditindas secara brutal, dan kalau ada kesempatan tidak ragu-ragu

melakukan invasi ke negara tetangga seperti kasus Kuwait dan perang dengan Iran.

Hal yang mirip dengan ini adalah tindakan brutal Soeharto terhadap lawan politiknya, misalnya terhadap PKI, politik Islam, dan gerakan separatis di Ace h dan Irian. Kalau ada kesempatan, ia tak segan-segan menduduki tetangganya, misalnya dalam kasus Timor  Timur. Bedanya, Saddam menggunakan senjata kimia, dan Soeharto tidak. Perbedaan ini belum cukup untuk menjadikan serangan terhadap Irak sebagai suatu keniscayaan untuk  membangun demokrasi di sana, sebab proses perlucutan senjata kimia tersebut sedang berlangsung dan menunjukan tanda-tanda kemajuan.

Walapun Saddam dan Soeharto kejam terhadap rakyatnya, rakyat kedua negara itulah yang langsung merasakannya. Merekalah yang punya hak untuk melawan dan

menentukan bangsanya. Kalaupun mau demokrasi, merekalah yang harus melakukannya. Kalau Amerika dan sekutunya yang kaya dan pintar-pintar itu mau membantu, bantulah secara damai gerakan rakyat mereka menentang rezim itu.

Seperti dilaporkan CNN beberapa hari sebelum perang, rakyat Irak menginginkan demokrasi tapi mereka ingin melakukannya sendiri, tidak dengan kekuatan senjata dari luar seperti yang sekarang sedang dilakukan Bush. Rakyat Irak yang miskin dan tertindas itu masih punya harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.

Rakyat Irak mengerti apa artinya demokrasi. Membangun demokrasi dengan perang, dengan pendudukan oleh kekuatan asing secara tidak sah, adalah antema, bertentangan dalam dirinya sendiri. Rakyat Irak tahu bahwa demokrasi adalah rezim domestik yang

(17)

dibangun atas dasar keinginan rakyatnya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi secara damai, bukan rezim yang dibangun dengan perang dan pendudukan oleh kekuatan asing secara tidak sah.

Kalau rakyat Irak ternyata sangat lemah dan tak mampu menumbangkan rezim Saddam dan menggantinya dengan kekuatan yang dikehendaki rakyat Irak sendiri, itu urusan mereka sendiri, bukan urusan orang Amerika –keculai mereka memang menghendaki kekuatan militer Amerika hadir di sana. Orang Amerika mengira bahwa hanya mereka yang punya harga diri dan kebanggaan terhadap bangsanya. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa rakyat Irak, seperti halnya rakyat Indonesia, punya harga diri, dan merasa bangga menjadi bagian dari bangsanya. Walapun miskin dan bodoh, rasa kebangsaan itu ada, dan pada akhirnya menentukan. Rasa kebangsaan itulah yang mungkin tersisa setelah yang lainnya lenyap dan tak dapat diraih.

Demokrasi dibangun di atas kebanggaan terhadap bangsa itu, di mana pun di dunia, kecuali orang Jepang dan Jerman yang sekarang unik, yang kurang bangga menjadi

bagian dari bangsanya. Mungkin karena sejarah pahit mereka. Menjadi orang Jepang atau Jerman menjadi tidak penting karena dalam sejarahnya identitas ini menyengsarakan mereka. Irak tidak punya pengalaman sejarah pahit seperti ini. Amerika mungkin sekarang sedang membuat identitas bangsa Irak menjadi pahit bagi orang Irak, dan sedang membuat warga Irak tidak bangga menjadi bangsanya. Apakah upaya ini akan berhasil, sejarah nanti yang akan mencatat.

Kebanggaan kebangsaan yang berlebihan seperti dirasakan orang Amerika sekarang memang bisa berdampak fatal. Keberlangsungan rezim Saddam sebagian dibangun dengan memompa rasa kebanggaan terhadap bangsa Irak ini, sehingga rakyat Irak tak  mampu melihat bahwa Saddam dengan kedok kebangsaannya sedang menghancurkan bangsa Irak sendiri.

Ini sama seperti mayoritas rakyat Amerika sekarang yang sudah terpaku dengan kebesarannya, sehingga melihat kelakuan Bush seperti sekarang sebagai wujud dari kebesaran Amerika itu. Tak mau melihat bahwa tindakan Bush setidaknya membuat Amerika sebagai bangsa menjadi tidak populer dalam masyarakat dunia, menjadi bangsa yang menakutkan bagi bangsa lain. Opini dan perasaan orang dan bangsa lain seperti ini tidak penting bagi bangsa Amerika sekarang.

(18)

Demokrasi yang disanjung-sanjung dan dipuja sebag ai sistem pemerintahan terbaik  ketika disatukan oleh Bush dengan mesin perang, ia kemudian menjadi hantu yang

menakutkan bagi bangsa lain. Kalau orang takut dengan kebangsaan chauvinisitik, maka ketakutan itu sekarang ditambah dengan demokrasi khauvinistik, yakni penguasaan dan penjajahan negara lain dengan kedok demokrasi. Hasilnya adalah sebuah demokrasi tanpa bangsa, kecuali satu bangsa, yakni bangsa Amerika.

Islam dan Tantangan Demokratisasi

Semenjak awal abad ke-21, demokrasi menjadi tema umum yang menarik perhatian banyak negara di seluruh dunia. Negara-negara bekas Uni Soviet, Eropa Timur, Timur  Tengah, Asia, dan Afrika mempunyai keinginan menyuarakan tentang

perlunya power sharing kekuasaan. Dalam power sharing kekuasaan yang menjadi bagian penting demokrasi itu terdapat aspek partisipasi, representasi, dan perlindungan warga negara. Pada demokrasi, juga meniscayakan adanya

akuntabilitas pemerintahan, aturan hukum, dan keadilan sosial.

Menurut John L Esposito (2003), dalam tatanan demokrasi, para aktivis NGO, partai

politik, asosiasi profesional, pendidikan, keuangan, pelayanan kesehatan, organisasi hak  asasi wanita dan manusia memungkinkan untuk terlibat. Soalnya, dalam sistem ini, pada dasarnya kekuasaan adalah dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak  untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Pada banyak negara dan masyarakat Islam, agama menduduki posisi yang signifikan dalam perkembangan tatanan demokrasi ini. Peran agama menjadi penting, apakah ia akan mendukung demokratisasi ataukah justru ia menjadi

penghalang bagi penciptaan sebuah masyarakat yang demokratis. Ditambah lagi, institusi agama juga banyak yang menyediakan pelayan sosial, lembaga pendidikan, sarana

kesehatan, yang tentu sangat berpengaruh pada kondisi masyarakat (Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in Europe and the Middle East, 2003). Maka kesesuaian yang jelas dan titik temu pemahaman yang jernih antara Islam dan demokrasi sangat memberikan kontribusi positif pada penciptaan ne gara dan masyarakat yang demokratis. Kritik konsep khilafah

Dalam pandangan banyak masyarakat Islam, perdebatan apakah Islam cocok dengan demokrasi atau tidak sudah menjadi polemik lama yang hingga sekarang belum tuntas. Perdebatan ini menjadi penting untuk diangkat terus-menerus,

sebab situasi dalam negara Muslim dan pada umumnya negara di dunia senantiasa berkembang dan berubah. Menurut para pakar hukum Islam, pada era abad lampau, umumnya ada tiga hubungan antara Islam dan pemerintahan yang banyak mengemuka pada masyarakat Muslim.

(19)

Pertama, sistem kuno, yaitu sistem negara yang alami, tidak beradab, anarkis, serta bersifat tiranik. Hukum dalam sistem ini adalah sebagaimana hukum rimba, yaitu bagaimana yang kuat memakan atau mengalahkan yang lemah.

Kedua, sistem kerajaan, yaitu adanya seorang raja atau pangeran yang mengatur semua urusan negara. Sistem ini juga banyak menguntungkan hanya pada kelas penguasa dan meminggirkan rakyat jelata, oleh karenanya sangat tiranik dan tidak mempunyai

legitimasi. Ketiga, adalah sistem kekhalifahan, yaitu adanya seorang pemimpin yang mendasarkan aturan pemerintahan pada hukum syariah. Karena dianggap sebagai pemerintahan berdasarkan syariah yang mempunyai otoritas dibandingkan manusia, maka sistem ini menjadi kuat dibanding sistem lainnya (Khaled Abou El Fadl, Islam and the Challenge of Democracy, 2003).

Berdasarkan anggapan seperti itu, maka sistem kekhalifahan saat ini juga masih banyak  yang menarik perhatian umat Islam. Mereka umumnya kembali menginginkan kejayaan kekhalifahan Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah, kembali muncul pada abad sekarang. Hal ini tampak terlihat dari fenomena Hizbut Tahrir yang banyak 

mengampanyekan khilafah Islamiyah sebagai solusi atas persoalan bangsa dan dunia. Padahal, pasca-ambruknya kekhalifahan Abbasiyah oleh tentara Mongolia pada tahun 1258 Masehi dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Mamluk di Turki yang diganti oleh pemerintahan sekuler Mustafa Kemal Ataturk, sudah banyak masyarakat Muslim yang lebih tertarik pada konsep negara kebangsaan (nation state).

Bila kita telusuri dan pikirkan lebih mendalam, pada dasarnya pada sistem khalifah terhadap persoalan yang mendasar dan problematis. Karena ia mengaku sebagai

Khalifatullah war Rasul (wakil Tuhan dan Rasulullah), maka banyak khalifah yang tidak  merasa perlu atau penting mempertanggung-jawabkan kekuasaannya. Soalnya, dia

menganggap bahwa apa saja yang dikatakan atau diperintahkan, itulah wujud dari hukum Tuhan. Dari sini, otoritanianisme dan absolutisme kekuasaan berawal muncul dan

menjadi tradisi yang dipelihara oleh banyak khalifah-khalifah di masa lalu. Padahal, sebagaimana tugas nabi sendiri, pada dasarnya adalah untuk menyejahterakan dan

memberikan bimbingan pada manusia seluruhnya. Selain itu, dalam sistem kekhalifahan, juga tidak ada pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Adanya kecenderungan romantisme masa lalu itulah maka kesesuaian antara Islam dan demokrasi di masyarakat Islam menjadi persoalan yang rumit. Selain karena anggapan awal bahwa demokrasi adalah ide Barat yang sekuler dan tidak mengakui Tuhan, mereka juga mempertanyakan di mana meletakkan kedaulatan Tuhan di antara kedaulatan rakyat dan aturan negara? Menurut Khaled Abou El Fadl (2003), pada dasarnya demokrasi sangat mendukung kedaulatan Tuhan. Tapi, kedaulatan Tuhan itu sendiri sesungguhnya bisa diketahui lewat kehendak masyarakat atau dengan memenuhi kedaulatan rakyat. Sebab, pada dasarnya yang sering dikatakan sebagai hukum atau kehendak Tuhan oleh sebagian masyarakat itu sesungguhnya adalah penafsiran manusia yang sangat beragam dan tidak terdapat kebenaran tunggal. Oleh karenanya, visi etik Al Qur'an yang

(20)

mengajarkan tentang penegakan hukum, shuro', al-'adalah, dan al-musawah adalah pilar  bagi tatanan demokrasi itu sendiri.

Menuju praksis demokrasi

Olivier Roy dalam buku Globalised Islam: The Search for a New Ummah (2004)

menyatakan bahwa perdebatan pada istilah atau konsep Islam dan demokrasi pada saat ini bukanlah menjadi persoalan yang terlampau penting. Yang lebih penting adalah

persoalan dukungan dan keterlibatan masyarakat untuk melakukan pembelajaran dan praktik demokrasi. Tentu saja, ini berlaku pada sepanjang waktu, kalangan atas dan bawah, serta dalam keadaan damai atau

konflik. Sebab, demokratisasi akan bisa ditegakkan pada masyarakat nyata, jadi bukan pada hal atau visi abstrak yang diinginkan masyarakat.

Pada wilayah ini, maka para aktor demokrasi yang berbeda mesti memberikan

pemahaman internal tentang konsep yang selanjutnya ditransformasikan menjadi hal yang praktis dan dipahami masyarakat. Jadi, bukan melulu melakukan permainan retorika istilah atau definisi administratif yang membingungkan rakyat.

Pernyataan Olivier Roy itu memang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Sebab, bila demokrasi betul-betul bisa dilaksanakan secara prosedural dan substansial, maka partisipasi publik yang luas untuk memutuskan apa yang

terbaik untuk rakyat bisa menjadi kenyataan. Jadi, persoalan pengertian dan cakupan demokrasi memang sebenarnya sangat melindungi hak dan kedaulatan rakyat. Dan semua aturan itu bisa dinegosiasikan lewat cara-cara yang beradab dan terbuka. Oleh karena itu, yang diperlukan sekarang adalah

melakukan praksis demokrasi lewat aktor-aktor dan institusi yang bisa mendukungnya. Para aktor demokrasi itu tidaklah harus berasal dari intelektual progresif yang

mempunyai ide-ide bagus sebagai komentator atau ahli politik Barat. Namun, hendaknya mereka berasal dari negara atau masyarakat di mana demokrasi itu akan dikembangkan. Tentu lebih bagus jika mereka juga mempunyai ikatan sosial dan jaringan tradisional yang mengakar pada masyarakat. Dalam istilah yang sekarang banyak dipakai orang, mereka itu adalah kompenen civil society. Civil society ini bisa terdiri dari aktivis NGO dan partai politik yang dikombinasikan dengan masyarakat pers yang bebas, atau juga dengan organisasi keagamaan dan tradisional.

Semua kekuatan itu, sebisa mungkin melakukan jaringan kebersamaan untuk menantang dan melawan semua otoritarianisme dan hegemoni negara atau pasar dunia. Dengan begitu, demokrasi nantinya tidak hanya menjadi ideologi atau wirid yang diucapkan tiap hari, namun sebagai aturan permainan dan alternatif penyaluran politik yang terbaik  untuk kedaulatan rakyat. (Kompas, Sabtu, 26 Februari 2005

(21)

Oleh Saiful Mujani

05/08/2001

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan kepolisian.

• artikel Saiful Mujani lainnya • 01/05/2006

Pelajaran dari Parlemen Syariat

• 04/04/2004

Fenomena PKS

• 24/03/2003

Demokrasi Chauvinistik 

• 31/07/2002

Politik Tujuh Kata

• Total 4 artikel

Lebih lengkap lihat biodata penulis

• artikel baru • 15/08/2007

Anick H.T. Netral Agama

• 13/08/2007

Musharaf Berada Dalam Kepungan

• 30/07/2007

Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan

• 30/07/2007

Novriantoni

Jilbab dan Kebab Turki

• 23/07/2007

Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih Politis

• artikel sebelumnya • 29/07/2001

(22)

• 29/07/2001

Nasaruddin Umar 

Teologi Pembebasan Perempuan

• 22/07/2001

"Keadilan Dulu, Baru Potong Tangan"

• 22/07/2001

Zuhairi Misrawi

Tafsir Humanis Atas Syariat Islam

• 15/07/2001

Burhanuddin

Carut Marut Wajah Islam

Kita bisa memperdebatkan apa yang dimaksud dengan “syari’ah Islam.” Lepas dari perdebatan ini, saya kira setiap Muslim punya sebuah kultur politik bahwa Nabi

Muhammad adalah pemimpin yang harus diteladani, dan masyarakat politik (polity) yang dibangunnya, yakni Madinah, harus dijadikan acuan. Rasulullah bukn saja seorang

pemimpin spiritual umat tapi juga seorang pemimpin politik. D alam diri Nabi, dua kekuatan ini menyatu, dan Nabi dipercaya menjalankan kepemimpinan politiknya atas dasar Syari’ah.

Dengan wafatnya Nabi, kepemimpinan politik model ini seharusnya juga berakhir, karena memang tidak ada lagi Nabi setelahnya. Tapi para Sahabat sebagai pelanjut

kepemimpinan umat dari Nabi telah berusaha meneruskan pola kepemimpinan ini. Sahabat bukan saja pemimpin politik tapi juga otoritas keagamaan setelah Nabi.

Dalam proses sejarah, peniruan atau pengidealan ke masa Nabi ini tidak mudah berkenan dengan semakin kompleks dan besarnya umat. Pembagian otoritas ke dalam otoritas politik kekuasaan dan otoritas kegamaan menjadi tak terhindarkan. Tapi Nabi dan Madinah di bawah kepemimpinan Nabi tetap bernilai dan menjadi orientasi dan

legitimasi kekuasaan dalam perjalanan sejarah politik umat. Para pemikir Muslim yang mendukung demokrasipun tetap harus merujuk kepada kepemimpinan Nabi dan politik di bawah kepemimpinannya, misalnya dengan “mendemokrasikan” Madinah dan

“mendemokrat-kan” Nabi. Ini sah saja, sebagai suatu tafsiran. Demikan halnya bagi yang menentang upaya ini. Kita umat Islam, sepertinya sudah ditakdirkan oleh sejarah supaya terus bergumul dengan persoalan ini. Pergumulan ini begitu nyata. Kita punya contoh nyata yang mencerminkan pergumulan ini: Saudi Arabia, Reublik Islam Iran, Politik  Islam di Sudan, dan Rezim Taliban di Afghanistan. Semua rezim ini dengan caranya sendiri-sendiri mengklaim bertumpu pada syari’at Islam.

Tapi kita juga punya Turki, Indonesia Pasca-Suharto, Mali, Bangladesh, dan Jordania yang telah mencoba bereksperimen dengan demokrasi. Tapi, eksperimen inipun bukan perkara mudah. Tantangan besar di antaranya datang dari kelompok umat sendiri yang berorientasi pada penerapan syari’at Islam dalam kehidupan publik di mana negara bertanggungjawab atas pelaksanaannya. Tantangan ini sebagian menyumbang terhadap instabilitas demokrasi di negara-negara Muslim. Kenapa?

(23)

Demokrasi itu sendiri membutuhkan kultur politik demokrasi, yakni kultur massa

mayoritas yang percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dibanding sistem lain. Di dalamnya ada keyakinan terhadap pluralisme politik: keyakinan bahwa

keragamaan politik, teruatama yang berkaitan dengan politik yang bertumpu pada

kekuatan primordial seperti agama, merupakan keniscayaan. Karena itu, tidak boleh ada kekuatan priomordial apapun untuk memaksakan dirinya menjadi dominan terhadap kekuatan primordial lain dalam wilayah publik. Kalau kultur ini lemah, di mana kekuatan primordial mayoritas menuntut menjadi kekuatan dominan dalam arena publik, maka sistem politik yang cocok untuk ini adalah non-demokrasi, misalnya saja otoritarianisme atau bahkan totalitarianisme.

Pluralisme ini terkait dengan unsur lain dari kultur demokrasi, yakni toleransi politik dan saling percaya sesama warga (interpersonal trust) dalam sebuah nega ra-bangsa, lepas apapun latar belakang primordialnya. Bila unsur-unsur ini lemah dalam masyarakat, maka demokrasi tidak bisa hidup dengan baik. Di dalam masyarakat Islam, baik itu yang sekarang ataupun yang menjelma dalam sejarah yang panjang, yang berkultur politik  demokrasi itu hanya satu varian dari umat. Mereka membangun kultur ini di antaranya melalui penafsiran atas doktrin Islam dan melalui praktek politik umat.

Di samping itu, ada varian lain, yakni yang meyakini Syari’ah Islam, terutama yang dipraktikkan Rasulullah dan para Sahabat, sebagai landasan sistem politik terbaik bagi umat sekarang. Apa yang berlangsung di dalam umat Islam sendiri kemudian adalah pertarungan tafsir dan pelembagaan terhadapnya untuk menjadikan masing-masing tafsirnya dominan dalam sebuah masyarakat politik. Pertarungan ini memunculkan konflik kultural yang bisa jadi sehat dalam kehidupan umat, tapi bisa juga berimplikasi pada sikap dan prilaku yang tidak demokratis: kurang toleran dan kurang percaya terhadap sesama, walapun sama-sama Muslim. Bila ini yang tumbuh, maka pada

gilirannya bisa berdampak pada sulitnya demokrasi terlembagakan sebagai sistem politik  terbaik bagi umat. Ini sebagian menjelaskan kenapa eksperimen demokrasi di

negara-negara Muslim yang telah lama berlangsung, seperti Turki dan Pakistan, tidak kunjung stabil. Sumbernya adalah interpersonal distrust yang tumbuh dari pertentangan tadi. Di tanah air, munculnya aspirasi untuk menerapkan syari’at Islam belakang ini, harus dilihat dalam konteks demokrasi yang sedang diupayakan. Di mana-mana di dunia Muslim, gerakan “politik syari’ah” ini pada dasarnya tidak menjadikan demokrasi sebagai sarana dan tujuan politik. Seringkali politik syri’ah merupakan perlawanan

terhadap demokrasi. Kecenderungan ini logis saja adanya. Sebab, gerakan politik syari’ah pada dasarnya menghendaki agar semua Muslim menjalankan syari’ah Islam seperti yang difahami oleh satu versi tertentu. Misalnya, hukum rajam, hukum potong tangan,

pemberlakukan lembaga keuangan bebas bunga, dll., adalah bagian dari syari’ah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Muslim yang percaya bahwa hukum-hukum semacam itu bukan bagian utama dari syari’ah, dan karena itu dapat diabaikan?

Sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok dalam masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif  masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Tapi

(24)

kalau sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka ia akan mengikat semua Muslim. Kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam keberadaannya.

Demokrasi punya keterbatasan untuk menampung semua aspirasi primordial yang antagonistik itu. Demokrasi tidak punya kekuatan yang cukup untuk mengakomodasi kekuatan mayoritas primordial agar norma-norma primordialnya diberlakukan sebagai kebijakan publik yang ditegakkan negara, misalnya lewat lembaga pengadilan dan kepolisian.

Keterbatasan demokrasi ini harus disadari oleh kelompok demokrat dan kelompok politik  syari’ah yang memperjuangkan aspirasi politiknya di jalur demokrasi. Demokrasi tidak  akan mampu mewadahi kekuatan yang akan membunuh demokrasi itu sendiri. []

Politik Tujuh Kata

Oleh Saiful Mujani

31/07/2002

Sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah beberapa hari yang lalu membuat kesepakatan amat penting tentang masalah hubungan antara agama dan negara. Persisnya, permohonan agar MPR  tidak memasukan Tujuh Kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 45.

Sebagaimana diketahui umum, tujuh kata itu adalah "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya."

• artikel Saiful Mujani lainnya • 01/05/2006

Pelajaran dari Parlemen Syariat

• 04/04/2004

Fenomena PKS

• 24/03/2003

Demokrasi Chauvinistik 

• 05/08/2001

Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi

• Total 4 artikel

(25)

• artikel baru • 15/08/2007

Anick H.T. Netral Agama

• 13/08/2007

Musharaf Berada Dalam Kepungan

• 30/07/2007

Spiritualisme Melintasi Identitas Keagamaan

• 30/07/2007

Novriantoni

Jilbab dan Kebab Turki

• 23/07/2007

Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih Politis

• artikel sebelumnya • 24/01/2002

Daniel S. Lev

Islam Liberal; Menciptakan Kembali Indonesia

• 02/09/2001

Burhanuddin Vocal Minority

• 26/08/2001

Burhanuddin

Membangun Pluralitas Alquran

• 28/07/2002

Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran

• 24/07/2002

Anisia Kumala Masyhadi

Dari Pembebasan Perempuan Menuju Pemberdayaan Perempuan Modern Dari Koran Tempo, Rabu, 31 Juli 2002

Sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai ormas keagamaan besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah beberapa hari yang lalu membuat kesepakatan amat penting tentang masalah hubungan antara agama dan negara. Persisnya, permohonan agar MPR  tidak memasukan Tujuh Kata dari Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 UUD 45.

Sebagaimana diketahui umum, tujuh kata itu adalah "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya."

Sebenarnya aspirasi dari tokoh-tokoh Ormas Islam besar seperti itu tidak baru. Tokoh-tokoh ormas itu, seperti Kiai Hasyim Muzadi, Syafi'I Maarif, dan Nurcholish Madjid, dan banyak tokoh agama lainnya, sudah lama menunjukan sikap seperti itu. Tapi, ngumpul bersama, dan membuat pernyataan bersama untuk masalah yang penting dalam sejarah politik umat Islam ini, adalah kejadian yang jarang. Mereka menegaskan sikap mereka tersebut sebagai bentuk partisipasi politik agar pasal 29 UUD 45 substansinya tidak  berubah. Partsipasi dari mereka ini penting karena mereka kekuatan sosial-keagamaan

(26)

strategis untuk memberikan kekuatan MPR agar tidak ragu bersikap dalam masalah hubungan agama dan politik ini. Di samping itu, partisipasi tersebut penting mengingat masih ada kekuatan di MPR yang menghendaki Tujuh Kata itu dimasukkan, dan

kehendak yang terakhir ini ternyata telah dijadikan salah satu dalih kelompok yang menolak Amandemen UUD 45 yang berkaitan dengan pasal-pasal lain yang telah dihasilkan selama ini. Karena itu aspirasi untuk memasukan Tujuh Kata itu ke dalam pasal 29 bisa menjadi pengganjal keseluruhan proses amandemen Konstitusi kita yang sangat mendesak itu.

Kekuatan di MPR yang sampai hari ini tetap memperjuangkan dimasukannya Tujuah Kata tersebut ke dalam pasa 29 UUD 45 adalah Fraksi Pesatuan Pembangunan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan fraksi Bulan Bintang dari Partai Bulan Bintang

(PBB). Musyawarah lintas fraksi apakah itu secara resmi melalui FAH I maupun secara tidak resmi melaui berbagai lobi untuk mencapai kata sepakat mengenai masalah tersebut terus diupayakan. Kita berharap mereka sukses. Kalau tidak sukses, voting kemungkinan besar akan menjadi pilihan. Kalau voting dilakukan, kemungkinan aspirasi seperti yang dikehendaki tokoh-tokoh agama di atas akan berhasil mengingat lebih dari dua pertiga suara di MPR kemungkinan besar menghendaki hal yang sama, atau mempertahankan isi pasal 29 UUD 45 tersebut.

Proporsi kekuatan politik di parlemen ini merupakan perkembangan penting dalam politik nasional kita. Tahun 50-an proporsi antara yang pro dan kontra atas dijadikannya Islam sebagai dasar negara cukup seimbang sehingga berakhir dengan deadlock dalam Konsituante. Dalam konteks politik kita jangka panjang, sikap PPP dan PBB tersebut sebenarnya suatu hal yang wajar, sebab perubahan sikap elite politik untuk hal-hal yang fundamental dalam bernegara membutuhkan waktu panjang. Sementara itu, penolakan PKB dan PAN terhadap pemasukan Tujuh Kata pada UUD 45 itu adalah suatu kemajuan kalau dilihat dari konteks konstitusi modern. Demikian juga sikap yang sama dari Golkar  sebab mayoritas elite Golkar dan pendukungnya diperkirakan berasal dari kalangan santri yang pada tahun 50-an dulu mendukung Masyumi dan Partai NU yang merupakan tulang punggung aspirasi asas Islam dalam politik tahun 5 0-an.

Dalam banyak hal sikap PKB, PAN, dan Golkar itu mencerminkan basis sosial

masyarakat politik kita, yakni Jama'ah Nahdliyin (NU), Muhammadiyah, dan kelompok-kelompok Islam lain yang punya sikap politik yang sama. Kalau perhatian difokuskan ke Golkar di mana alumni HMI merupakan komponen besar di dalamnya, maka sikap

Golkar dalam masalah Tujuh Kata itu juga mencerminkan dinamika dan perubahan kultur  politik yang telah berlangsung di kalangan alumni HMI ini. Kalau kepemimpinan

intelektual dipandang penting untuk penyemaian kultur politik baru yang lebih inklusif  ini, sebagaimana dipercayai banyak ilmuwan sosial, maka tokoh-tokoh seperti Gus Dur  (NU), Syafi'i Maarif (Muhammadiyah), dan Cak Nur (HMI) telah memberikan

sumbangan penting bagi perubahan politik kita sekarang. Mereka, lewat elaborasi-elaborasi keislaman yang dilakukan selama ini, telah membantu para elite dan massa politik umat untuk tidak merasa "berdosa" untuk membangun politik modern, yang membedakan wilayah politik dari wilayah agama. Mereka dan para pembentuk kultur  politik modern lainnya di tanah air telah menanam dan menyebarkan kekuatan psikologis

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Untuk itu, maka Praktik Pengalaman Lapangan yang diselenggarakan di sekolah diharapkan benar- benar dapat menjadi pembekalan ketrampilan dari setiap mahasiswa yang nantinya

hasil yang sangat baik. I)ua jenis ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak selasih ungu dan selasih hijau dapat memerangkap lalat buah sebanyak empat spesies lalat buah, yakni

Dari database Tabel 1 akan terbentuk sebuah rute berdasarkan setiap titik yang ada pada kolom titik pertama menuju setiap titik pada kolom kedua.. Titik tersebut

Operasi antar koset tersebut akan terdefinisi dengan baik (well defined) apabila H merupakan subgrup normal sebagaimana dinyatakan dalam teorema berikut:.. Operasi

[r]

Hotel Coklat Makassar adalah salah satu hotel yang menerapkan layanan reservasi online untuk menunjang operasional hotel, dalam upaya meningkatkan Tata Kelola