• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.6 Pornografi

Pornografi berasal dari bahasa Yunani, istilah ini terdiri dari kata porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau photo yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara implisit menunjuk bahwa pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Dalam konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi atau bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks (Lutfan,2006:11).

Tepat kiranya apa yang dikemukakan oleh Johan Suban dalam buku Lutfan. Menurutnya, pornografi dapat dipahami sebagai suatu penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, video kaset, pertunjukkan dan kata-kata ucapan dengan maksud untuk merangasang nafsu birahi (Lutfan,2006:13).

Pornografi selalu berkaitan dengan persoalan seksual, lebih dari itu, disebut pornografi jika tampilan tersebut bertujuan untuk merangsang nafsu birahi. Lesmana memberikan beberapa kriteria untuk dapat memasukkan suatu gambar, tulisan, gerakan, atau apapun dalam kategori pornografi atau tidak, yaitu, (Lutfan,2006:39) :

1. Terdapat unsur kesengajaan untuk membangkitkan nafsu birahi orang lain.

2. Bertujuan atau mengandung maksud untuk merangsang nafsu birahi (artinya, sejak semula memang sudah ada rencana atau maksud di benak pembuat atau pelaku untuk merangsang nafsu birahi khalayak atau setidaknya dia mestinya tahu kalau hasilnya dapat menimbulkan rangsangan di pihak lain).

3. Produk tersehut tidak mempunyai nilai lain kecuali sebagai sexual simultant semata-mata.

4. Berdasarkan standar kotemporer masyarakat setempat, termasuk sesuatu yang tidak pantas diperlihatkan atau dipegakan secara umum.

Dari berbagai kenyataan empiris dan melalui pertimbangan yang matang, serta merujuk pada rumusan-rumusan pengertian yang sudah ada sebelumnya. Menurut Lutfan Muntaqo, pornografi dapat dirumuskan sebagai berikut :

”Pornografii adalah pengungkapkan permasalahan seksual yang erotis dan sensual melalui suatu media yang bertujuan atau dapat mengakibatkan bangkitnya nafsu birahi atau timbulnya rasa muak, malu, jijik bagi orang yang melihat, mendengar atau menyentuhnya, yang bertentangan dengan agama dan atau adat istiadat setempat.” (Lutfan,2006:40-41).

persoalan tersendiri, ia dihujat tetapi juga dibutuhkan, ia ingin mengekspresikan (norma/adat), keyakinan (agama) dan seterusnya yang selama ini terbentuk dan menjadi acuan teologis-normatif bagi setiap komunitas (Lutfan,2006:159).

Teks pornografi mendefinisikan hasrat-hasrat erotik dengan mengasingkannya dari konteks makna alamiahnya, selain terluput juga dari analisis estetika. Sebagai teks, pornografi biasanya memanfaatkan dan mereduksi tubuh perempuan sebagai tanda. Menurut Thelma McCormack dalam buku Kasiyan bahwa ada beberapa ciri menonjol dari teks pornografi, diantaranya adalah pertama, pornografi melakukan pelanggaran atas kaidah-kaidah sosial baku, karena ia menampilkan bentuk-bentuk perilaku seksual yang tak terima bagi masyarakatnya. Kedua, pelanggaran atas kaidah-kaidah baku di dalam pornografi ditampilkan seolah-olah ia merupakan bagian alamiah dari kehidupan sehari-hari, seakan-akan ia memang diperbolehkan dan dipraktikkan secara luas oleh masyarakat (Kasiyan,2008:258-259).

Dalam hal erotisme pornografi, kebutuhan dapat berarti mendua. Pertama, objek pornografi (pemilik tubuh dalam gambar porno) atau pencipta pornografi, umumnya memperoleh bayaran yang cukup besar atas pemuatan gambar porno miliknya yang di muat si suatu media massa. Artinya, objek pornografi menghasilkan sejumlah uang untuk kepentingan pribadi. Kedua, erotisme-pornografi dibutuhkan masyarakat, karena itu masyarakat memiliki andil yang besar terhadap

munculnya erotisme di media massa. Alasan kedua ini merupakan persoalan substansi yang menjadikan erotisme media mssa sebagai benang kusut yang sulit ditanggulangi dari masa ke masa. Substansi ini pula yang menyebabkan kontrol sosial masyarakat terhadap pemberitaan erotisme di media massa menjadi sangat longgar, sementara perintah (penguasa) sendiri tidak mampu berbuat lebih banyak karena kesulitan piranti hukum. Inilah persoalan, sehingga erotisme media massa menjadi sisi gelap media massa dan eksploitasi perempuan terbesar oleh media massa sepanjang masa (Burhan,2005:109).

2.1.7 Komunikasi Sebagai Proses Simbolik

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadinata disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi merupakan lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga negara Indonesia (Sobur,2004:156).

Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan

objek maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dengan objek tersebut (Sobur,2004:157).

Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu benda fisik(dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi itu ditandai dengan kemiripan, misalnya patung Soekarno adalah ikon Soekarno dan foto anda pada KTP adalah ikon anda (Mulyana,2005:84).

Pada intinya dalam berkomunikasi, secara tidak langsung pesan yang kita komunikasikan terhadap orang lain akan mengandung simbol-simbol yang dalam penerimaannya simbol-simbol tersebut dapat dimengerti bergantung sesuai dengan kehidupan sosial budaya dari masing-masing individu yang menerima pesan tersebut.

2.1.8 Representasi

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia representasi berarti apa yang mewakili atau perwakilan. Piliang (2003:21), dalam bukunya

Hipersemiotika, mengungkapkan bahwa representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi juga berarti sebuah konsep yang digunakan dalam proses pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia; dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

Ada empat komponen dasar dalam industri media yang mengemas pesan dan produk :

1. Khalayak yang memperoleh pesan dan mengkonsumsi produk

2. Pesan atau produk itu sendiri

3. Teknologi yang selalu berubah, yang membentuk baik industri maupun bagaimana pesan tersebut dikomunikasikan.

4. dan penampakan akhir dari produk itu tersebut.

Komponen – komponen ini yang secara bersamaan berinteraksi di sekitar dunia sosial dan budaya, menempati suatu ruang yang diperjuangkan secara terus – menerus. Perubahan garis bentuk ruang ini dapat menimbulkan pola-pola dominasi dan representasi yang berbeda-beda. Film dan televisi mempunyai bahasa sendiri dengan sintaksis (susunan kalimat) dan tata bahasa yang berbeda.

Tata bahasa ini terdiri dari bermacam unsur yang akrab, seperti pemotongan gambar (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close up),

pengambilan dua gambar (two shot), dan lain-lain. Akan tetapi, bahasa tersebut juga meliputi kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbiter (berubah-ubah) serta metafora. Tingkatan representasi yang paling sederhana mencakup sekedar penggambaran informasi budaya nyata. Tetapi bahasa film atau video mulai bermain begitu khalayak ingin melakukan lebih banyak, misalnya memperlihatkan wajahnya dari jarak dekat, memperlihatkan dari depan bergerak menuju kamera, dan dari belakang menjauhi kamera, dan seterusnya. Representasi gabungan akan mengedit seluruh pengambilan gambar yang berbeda ke dalam satu rangkaian. Rangkaian-rangkaian ini merupakan sumber dasar film (Sardar, Ziaudin, 2005: 156).

Menurut Stuart Hall (1977), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada di situ membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara khalayak dalam memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem

representasi lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan, atau gambar) khalayak mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara khalayak mempresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang khalayak gunakan dalam merepresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang khalayak berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, khalayak bisa memaknai representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif. Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua, pendekatan intensional di mana khalayak menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang khalayak terhadap sesuatu. Dan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis, pendekatan ini khalayak percaya bahwa khalayak mengkonstruksikan makna lewat bahasa yang khalayak pakai.

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, adalah bahasa, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada di dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang “lazim”, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

2.1.9 Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna (Sobur,2004:15). Secara etimologis istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti ”tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.

Menurut Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal sama objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes dan Kurniawan dalam Alex Sobur,2004:15).

Sedangkan menurut John Fiske, semiotika adalah studi tentang penandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna (Fiske,2004:282).

Terdapat tiga bidang penting dalam studi semiotik,yakni:

yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dilambangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat tanda dan kode bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

(Fiske,2004:60).

Dari beberapa pendapat di atas maka diketahui bahwa semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda, tentang bagaimana memaknai tanda yang ada dalam pesan komunikasi.

Dokumen terkait