• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT

B. Posisi Pendidikan Agama Islam

POSISI Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989 Lembaga

Keagamaan

BAB III Hak warga negara untuk memperoleh pendidikan Pasal 17

Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan dan dengan mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Bab IV Pasal 11

(6) Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.

Madrasah BAB V Jenjang Pendidikan pasal 14

(2) Warga negara yang ber umur 7 tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara, sampai tamat.

Pasal 15

(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan.

BAB XIII Peran serta Masyarakat pasal 47

(1) Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional

(2) Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan.

Dalam isi kurikulum yang merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran penyelenggaraan pada masa itu menempatkan Pancasila dalam setiap jenis, jalur, jenjang pendidikan pada urutan nomor satu di atas pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan agama masih dianggap second class.

Pasal 39

(2) isi kurikulum setiap jenis, jalu r dan jenjang pendidikan memuat: 1. Pendidikan Pancasila

2. Pendidikan agama; dan

3. Pendidikan kewarganegaraan.11

Pendidikan agama dalam undang-undang nomor 2 tahun 1989 ditempatkan pada posisi kedua sebab pancasila masih dianggap sebagai ideologi tunggal.

Undang-undang nomor 2 tahun 1989 memandang pembangunan nasional di bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri, baik berkenaan dengan aspek jasm aniyah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.12

11 U ndang-U ndang R epublik Indonesia no. 2 tahun 1989, Semarang, Tugu Muda, 1989, hlm.22.

12 Soedijarto, M em antapkan Sistem P endidikan N asional, Jakarta, Grasindo, 1993,

C. Perbedaan Posisi Lembaga Pendidikan Agama Islam dan Sekolah Umum

Menurut undang-undang nomor 2 tahun 1989 yang masih menyebutkan pendidikan agama secara global, maka mempengaruhi unit cost anggaran pemerintah u ntuk sekolah agama swasta tahun 1995-1996.

No. Sekolah Agama Swasta Nominal

1. Madrasah Aliy*h swasta Rp 4000 / anak / tahun

2. Madrasah Tsanawiyah swasta Rp 6000 / anak / tahun 3. Madrasah Ibtidaiyah swasta Rp 64.000 / anak / tahun

Unit cost anggaran pemerintah untuk sekolah umum negeri

No: Sekolaii Umum Negeri Nominal

1. Sekolah Menengah Atas Rp 333.000 / anak / tahun

2. Sekolah Menegah Pertama Rp 245.000 / anak / tahun

3. Sekolah Dasar Rp 182.000 / anak / tahun

Anak didik yang oerada di bawah Departemen Agama merasakan kebijakan yang diskriminatif. Kesenjangan ini tak pelak memunculkan pendapat yang mengatakan bahwa pemerintah melakukan kebijaksanaan yang diskriminatif terhadap usulan dari berbagai pihak agar dikotomi sistem penganggaran pendidikan segera diakhiri.13

'J M. Saerozi, Pendidikan Agama Dalam Era Pluralisme, Yogya, Tiara Wacana, 2004,

Pasal 4 UU nomor 2 tahun 1989 tentang tujuan pendidikan nasional di samping menegaskan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, juga memberikan gambaran tentang karakteristik manusia Indonesia yang utuh, yaitu manusia:

a. Yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Yang berbudi pekerti luhur.

c. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan. d. Yang sehat jasmani dan rohani.

e. Berkepribadian yang mantap dan mandiri.

f. Yang memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan

kebangsaan.14

D. Posisi Pendidikan Agama Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Pendidikan Agama Islam Departemen Agama RI 1997/1998

Himpunan peraturan perundang-undangan pendidikan agama Islam pada sekolah umum Departemen Agama RI 1997/1998 memutuskan hal-hal yang mengakui pendidikan agama secara terperinci sebagai berikut:

B A B I

Ketentuan Umum

Pasal 1

Dalam keputusan bersama ini yang dimaksud dengan:

1. Pendidikan Agama adalah Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Agama Kristen Protestan, Pendidikan Agama Kristen Katolik, Pendidikan Agama Hindu, Pendidikan Agama Budha.

Hal ini menunjukan adanya pengakuan dari pemerintah tentang peran serta pendidikan agama dalam upaya ikut serta mensukseskan tujuan pendidikan nasional.

2. Setiap murid/siswa wajib mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dipeluknya.

3. Setiap murid/siswa penganut aliran kepercayaan wajib mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama pilihanya.

Peraturan ini mengindikasikan adanya kebebasan yang diberikan pemerintah dalam mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. 15

BAB II

Penyelenggaraan

Pasal 2

(1) Pada sekolah/kursus negeri di lingkungan pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

15 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, H im punan P eraturan

wajib diberikan pendidikan agama, paling kurang dua jam pelajaran seminggu pada setiap kelas.16

Pasal ini menjelaskan pentingnya akan pendidikan agama disampaikan di sekolah atau kursus, meskipun jam pelajaran pandidikan agama belum banyak, setidaknya peserta didik mempunyai waktu untuk mempelajari agama yang dianutnya.

Pasal 3

Pendidikan agama diberikan oleh guru pendidikan agama atau guru pendidikan agama tidak tetap atau Pembina agama.

Pasal 4

(1) Apabila terdapat sekurang-kurangnya 10 orang murid / siswa pada suatu kelas yang menganut agama tertentu, maka pendidikan agama yang bersangkutan wajib diberikan dikelas itu.

(2) Apabila tidak ada guru pendidikan agama pada sekolah yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pendidikan agama tertentu, maka dapat diangkat guru pendidikan agama tidak tetap.

(3) Pelaksanaan pendidikan agama bagi murid / siswa yang dikelasnya diajarkan pendidikan agamanya dilakukan oleh Pembina agam a.17

Yang menjadi pertanyaan adalah apabila ada murid/siswa yang berbeda agama dan tidak adanya ketersedian guru pendidikan agama tetap atau tidak tetap maupun Pembina agama, apakah harus mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinanya atau diperbolehkan untuk tidak

16 Ibid, hlm.209 17 Ibid, hlm.210

mengikutinya. Maka dalam peraturan ini masih memerikan penyempurnaan dalam hal hak untuk memperoleh pelajaran agama sesuai dengan keyakinanya.

E. Posisi Lembaga Pendidikan Agama Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Pendidikan Agama Islam Departemen Agama RI 1999/2000

Dalam himpunan peraturan perundang-undangan pendidikan agama Islam pada sekolah umum Departemen Agama RI 1997/1998 yang masih ada beberapa kekurangan dan memerlukan penyempurnaan maka dalam himpunan peraturan perundang-undangan pendidikan agama Islam pada sekolah umum Departemen Agama RI 1999/2000 yang memuat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor : 0487/U/1992 menyempurnakannya dengan menambahkan pasa! yang berkaitan dengan posisi peserta didik yang berbeda agama dan keyakinan dan tidak tersedianya guru pendidikan agama tetap atau tidak tetap maupun Pembina agama.

BAB V

Pengelolaan

Pasal 9

(1) Pendidikan agama diberikan oleh guru pendidikan agama atau guru pendidikan agama tidak tetap atau Pembina agama.

(2) Apabila dalam satu kelas di suatu sekolah terdapat sekurang-kurangnya 10 orang siswa yang memeluk agama tertentu, pendidikan agama siswa yang bersangkutan wajib diberikan dikelas tersebut.

(3) Apabila dalam suatu sekolah tidak memiliki guru agama yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pendidikan agama tertentu dapat diangkat guru pendidikan agama tidak tetap.

(4) Pelaksanaan pendidikan agama bagi siswa yang dikelasnya tidak diajarkan pendidikan agama yang dipeluknya, dilakukan oleh Pembina agama.

(5) Bagi siswa yang tidak memeluk agama sedang diajarkan pada saat berlangsungnya pelajaran agama dikelas itu diberi kebebasan. 18

Kebebasan yang dimaksud pada pasal 9 ayat 5 adalah kebebasan untuk mengikuti pendidikan agama atau tidak mengikuti pendidikan agama yang diajarkan.

Adapun peraturan perundang-undangan ini, di samping memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama dalam mengikuti pendidikan agamanya juga mewajibkan siswa atau murid untuk mengikuti pendidikan agama sesuai dengan keyakinanya.

BAB vn

SISWA Pasal 12

(1) Setiap siswa wajib mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dipeluknya.19

Keputusan-keputusan di atas adalah posisi pendidikan agamanya, tentang posisi lembaga pendidikan agamanya tertuang dalam keputusan

18 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, H im punan P eraturan

Perundang-U ndangan P endidikan A gam a Islam 1999/2000, Jakarta, Depag RI, 1998, hlm.206

Menteri Agama Republik Indonesia nomor : 368 tahun 1993 tentang Madrasah Ibtidaiyah.

B A B I Ketentuan umum

Pasal 1

(1) Madrasah Ibtidaiyah selanjutnya dalam keputusan ini disebut MI adalah sekolah dasar yang berciri khas Islam yang menyelenggarakan program pendidikan enam tahun;

(2) MTN adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang diselenggarakan pemerintah; (3) MIS adalah Madrasah Ibtidaiyah Swasta, yaitu madrasah yang

diselenggarakan oleh masyarakat.20

Dalam hal ini, masyarakat diberikan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan Islam.

BAB

n

Tujuan Pasal 2

(1) Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa dalam mengembangkan kehidupanya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan mendidik siswa menjadi manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia sebagai muslim yang menghayati dan mengamalkan agamanya, serta mempersiapkan siswa untuk

20

mengikuti pendidikan di Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.21

Pada pasal ini memuat tentang pengakuan pemerintah akan posisi lembaga pendidikan Islam (Madrasah Ibtidaiyah) mempunyai posisi yang sama dengan sekolah umum (Sekolah Dasar) dalam hal kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan umum yang lebih tinggi.

BAB m

SISWA Pasal 12

(1) Seorang siswa dapat ke MI atau SD lain yang sederajat atau apabila memenuhi persyaratan yang berlaku.22

Dalam hal ini posisi Madrasah Ibtidaiyah sama dengan Sekolah Dasar pada tahapan perpindahan kelas atau sekolah.

Dalam hal kesetaraan lembaga pendidikan Islam dan umum, pada tataran sekolah lanjutan juga demikian. Sebagaimana keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor : 369 TAHUN 1993 tentang Madrasah Tsanawiyah.

B A B I

Ketentuan Umum

Pasal 1

(1) Madrasah Tsanawiyah selanjutnya dalam keputusan ini disebut MTs adalah sekolah lanjutan tingkat pertama yang berciri khas agama Islam yang

21 Ibid, him.228 22 Ib id; him.232

menyelenggarakan program tiga tahun setelah Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar.

(2) MTs Negeri adalah Madrasah Tsanawiyah yang diselenggarakan oleh pemerintah.

(3) MTs Swasta adalah Madrasah Tsanawiyah yang diselenggarakan oleh masyarakat.23

BAB n

Tujuan

Pasal 2

(1) MTs bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar sebagai perluasan dan peningkatan pengetahuan, agama dan ketrampilan yang diperoleh di Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah Dasar yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupanya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat, warga negara dan sesuai dengan tingkat perkembanganya serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan menengah dan/atau mempersiapkan mereka untuk hidup dalam masyarakat.24

BAB VII

SISWA Pasal 10

(1) Semua lulusan Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar serta satuan pendidikan yang setara dapat menjadi siswa di M Ts.25

23 Ib id , hlm.232 24 Ibid, him. 252 25 Ibid, him. 259

Dalam hal ini MTs dapat menerima siswa lulusan Sekolah Dasar maupun Madrasah Ibtidaiyah.

Begitu pula dengan kesetaraan lembaga pendidikan Islam dan umum, pada tataran sekolah lanjutan tingkat atas. Sebagaimana keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor : 370 TAHUN 1993 tentang Madrasah Aliyah.

B A B I

Ketentuan Umum

Pasal 1

(1) Madrasah Aliyah selanjutnya dalam keputusan ini disebut MA adalah Sekolah Menengah Umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departeman Agama.

(2) Siswa adalah peserta didik pada MA.

(3) Orang tua adalah ayah dan1 ibu atau wali siswa.

(4) MA Negeri adalah MA diselenggarakan oleh pemerintah.

(5) MA Swasta adalah MA yang diselenggarakan oleh masyarakat.26

BAB H

Tujuan

Pasal 2

Pendidikan di MA bertujuan:

(1) Meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan kepada jenjang yang lebih tinggi.27

Ini berarti tujuan pendidikan di Madrasah Aliyah sama dengan tujuan pendidikan Sekolah Menengah Tingkat Atas, yaitu mempersiapkan siswa dalam melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi).

b a b

vn

SISWA Pasal 10

(1) Semua lulusan Madrasah Tsanawiyah dan Sekolah lanjutan tingkat pertama serta satuan pendidikan yang setara dapat menjadi siswa di MA.27 28

Dalam hal ini calon siswa Madrasah Aliyah tidak hanya berasal dari lembaga pendidikan berciri khas Islam saja akan tetapi juga dari umum (Sekolah Menengah Tingkat Pertama atau yang sederajat).

Jadi pendidikan agama Islam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989 belum sepenuhnya mengatur secara spesifik, akan tetapi penjelasannya hanya lewat keputusan menteri

agama. Meskipun demikian, posisi pendidikan Islam telah mengalami perbaikan posisi dari pada undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 4 tahun 1950.

27 Ibid, him. 270 28 Ibid, him. 274

BAB

m

KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003

A. Kondisi Sosial dan Politik

Era reformasi bergulir pada medio 1997 sampai 1998 menandai berakhirnya kekuasaan era orde baru. Dengan terbukanya kran kebebasan demokrasi dengan sendirinya kebebasan beragama, berserikat, berkumpul dan pendapat, berimbas pula pada penuntutan hak-hak masyarakat yang pada era orde baru terpasung.

Memasuki era reformasi, sembilan tahun setelah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 diundangkan, pendidikan nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan. Bahkan UUD 1945 pun yang memayungi lahirnya setiap Undang-Undang pendidikan, tak mampu menahan dari desakan amandemen sehingga pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan berlakunya UUD hasil empat kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini mengamanatkan agar pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan nasional. Demi memenuhi amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan, maka pada tanggal 8 Juli 2003 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sini lah pendidikan agama dan keagamaan mendapatkan angin segar dan ruang gerak yang leluasa yang setidaknya ditegaskan dan diisyaratkan dalam 12 point dari Undang-Undang tersebut,

yaitu pada 1) konsideran “menimbang”, 2) Bab I tentang Ketentuan Umum, 3) Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional, 4) Pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik, 5) Pasal 17 ayat 2 tentang bentuk Pendidikan Dasar, 6) Pasal 18 ayat 3 tentang bentuk Pendidikan Menengah, 7) Pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan nonformal, Pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan, 9) Pasal 36 ayat 3 tentang aspek kurikulum, 10) Pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar, 11) Pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan 12) Pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen A gam a.29

Dampak dari era reformasi itu sendiri dapat di”manfaatkan” oleh orang Islam untuk memposisikan pendidikan agama Islam dalam undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003.

Dalam hal ini semua agama mendapatkan angin segar untuk berkembangnya agama dan kepercayaan yang pada era orde baru terpasung, seperti halnya agama Konghucu.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan

29 http:// kajiislam , w o rd press. C om /2008/04/26 p en d idikan-islam -antara-pem enangan-politik-dan-kekalahan-praktik

pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga- lembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya nuansa politik yang mebidani lahirnya Undang-Undang tersebut. Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak Undang-Undang teresebut.

Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu 1) pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasional, 2) pemerataan kesempatan pendidikan, 3) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan 4) efisiensi menajemen pendidikan. Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab nleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya - seperti ramai diberitakan oleh media massa seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal “yang berpihak“ terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen

agama. Dapat dikatakan, bahwa pasal-pasal yang beraroma agama dan bersentuhan dengan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi pusaran konflik yang mengundang debat sengit, unjuk rasa, sampai pada ancaman memisahkan diri dari NKRI.

B. Posisi Pendidikan Agama Islam

Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 M aret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang- Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan dibandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalu r pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Lebih dari itu, Undang-Undang ini menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan nasional. Keimanan dan ketakwaan adalah terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan.

Rumusan pendidikan yang mengedepankan spiritualitas ini kemudian menentukan arah tujuan pendidikan nasional. Tentang hal ini dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang M aha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Merujuk kepada pendapat pakar pendidikan Islam, Muhamad Athiyah al-Abrasyi dan Mohamad al-Toumy al-Syaibany tentang tujuan umum yang fundamental bagi pendidikan Islam, dapat disimpulkan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan nasional ini selaras dengan tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian maka Pasal 3 ini pun memberikan angin segar bagi pendidikan agama dan keagamaan, utamanya Islam .30

Posisi pendidikan agama Islam menurut undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003.

BAB I, pasal 16

Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Dalam hal ini pemerintah mengakui akan peran serta masyarakat dalam perwujudan pendidikan yang berbasis kemasyarakatan, pemerintah mengakui pendidikan akan lebih efektif apabila melibatkan masyarakat di dalamnya. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan menjadikan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat itu sendiri.

30 h ttp :// kajiislam , w ord press. C om /2008/04/26 p en d idikan-islam -antara-pem enangan-politik-dan-kekalahan-praktik

BAB V, pasal 12

(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

Pemenuhan hak asasi dalam memeluk agama dapat di lihat dari pemenuhan pendidikan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya serta pengajar atau pendidik yang seagama pula, jadi tidak ada paksaan dalam hal mengikuti pendidikan agama yang tidak sama.

Pasal 22

Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.

Penghargaan dapat diperoleh seseorang atas jasa-jasanya yang luar biasa dapat diperoleh lewat bidang keagamaan, hal ini sebagai bentuk pemgakuan pemerintah akan pentingnya ilmu agama dalam pendidikan. Lebih lanjut pandangan pemerintah melihat akan kesetaraan ilmu agama setara dengan ilmu- ilmu yang lain.

Pendidikan Keagamaan Pasal 30

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalu r pendidikan formal, nonformal, dan informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

Pemerintah melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Dikarenakan pentingnya ilmu agama, maka dipandang perlu untuk mempersiapkan ahli ilmu agama. Dalam penyelenggaraanya, pendidikan agama dapat dilaksanakan secara formal, informal dan non formal.

Pasal 28

(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah.

Kebutuhan akan kurikulum pendidikan menimbang akan relevansi

kebutuhan daerah setempat, maka diperlukan akan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Kurikulum Pasal 37

(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib m em u at: a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa;

d. matematika;

e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya;

h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal.

(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib m em u at: a. pendidikan agama;

b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa.31

Dalam kurikulum pendidikan nasional tahun 1989 menempatkan Pancasila pada posisi pertama dalam hal mata pelajaran kemudian baru pelajaran agama, akan tetapi pada kurikulum pendidikan nasional tahun 2003, pendidikan agama pada posisi pertama dan Pancasila di nomor dua.

Dokumen terkait