• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Tentara dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dalam dokumen Tentara dalam Al-Quran : kajian mauḍû’î (Halaman 156-161)

BAB III TENTARA MENURUT AL-QURAN

A. Posisi Tentara dalam Kehidupan Bermasyarakat

Pada masa awal Islam, belum ditemukan sistem pemerintahan yang memisahkan antara sipil dan militer. Seorang individu dapat berperan dalam banyak hal, tidak ada perbedaan, meskipun individu tersebut memiliki status sosial yang tinggi. Di Negara besar seperti Romawi dan Persia, seorang Raja dan Kaisar sangat mungkin terlibat langsung di medan perang meskipun mereka berperan sebagai komandan tertinggi, tanpa terlibat kontak fisik. Selain itu, seorang tentara bisa saja merangkap sebagai pedagang, perajian, petani, dan sebagainya. Jadi, tidak jarang ditemui seorang prajurit yang gagah berani, jika sudah menggeluti pekerjaannya sehari-hari ia sama sekali tak tampak garang dan menakutkan.

Tentara bukanlah sebuah pekerjaan idaman atau sebuah sumber mata pencaharian bagi masyarakat Madinah. Alasan logis kenapa tentara muslim di Madinah dahulu belum menjadi sebuah pekerjaan tetap ialah pada dasarnya perang menjadi pilihan terakhir untuk mengatasi sebuah konflik. Jika terpaksa perang terjadi, semua kebutuhan perang baik logistik maupun persenjataan ditanggung secara swadaya sehingga tidak membebani kas negara. Hasil

kemenangan perang yang berupa ghanimah dan tawananlah yang sedikit dapat mengobati derita dan beratnya perjuangan para prajurit dan tentara. Selain itu, kondisi ekonomi negara Madinah yang saat itu hanya mengandalkan komoditas dan letaknya di gurun pasir yang jauh dari peradaban maju sangat tidak mungkin untuk membiayai banyaknya ekspedisi dan perang yang sering terjadi.

Sistem sosial yang diterapkan di Madinah, setelah kedatangan Nabi dan kaum Muhajirin menghendaki adanya sikap dan tanggung jawab bersama sesuai dengan kapasitas dan kepentingan masing-masing. Seorang sahabat Nabi dalam kapasitas sebagai pedagang memiliki tanggung jawab penuh untuk melaksanakan prinsip-prinsip kejujuran dan menghindari kecurangan dan penipuan. Namun ketika seorang sahabat tersebut berperan sebagai tentara yang harus membela tumpah darahnya maka ia memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perang dengan baik sesuai dengan prinsip dan aturan yang ditetapkan oleh Nabi. Sistem semacam ini membuat para tentara menyatu dalam kehidupan masyarakat, tanpa adanya pembedaan. Semua masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dan sederajat di hadapan Nabi dan negara Madinah.

Masyarakat Madinah secara kultural merupakan masyarakat yang memiliki pengalaman peperangan cukup lama. Berbeda dengan masyarakat Quraisy di Makkah yang cenderung menghindari peperangan demi menjamin kunjungan ke Makkah dan amannya bisnis mereka.

Pada awal hijrah, tak satu pun kaum Anshar terlibat pada tanggung jawab patroli militer di daerah perbatasan Madinah. Demikian juga dengan kaum Muhajirin yang sama sekali tak diberikan tanggung jawab untuk memiliki aset dan perumahan sebagai tempat tinggal dan tempat mencari nafkah. Semua pihak saling membantu dan saling melengkapi kekurangan masing-masing. Hal yang sama juga berlaku pada saat seorang sahabat bertindak sebagai tentara, seorang prajurit yang tidak memiliki kuda atau pun unta tidak memutuskan semangat mereka untuk ikut berperang, meskipun mereka harus berjalan kaki bermil-mil jaraknya.

Tentara pada masa Nabi memusatkan kegiatannya pada upaya untuk membela tanah air, membela persatuan Islam dan melindungi hak-hak masyarakat umum, dan mengupayakan keamanan dan perdamaian di antara umat manusia. Dalam beberapa kasus, jika terdapat pihak yang berupaya untuk mengacaukan perdamaian dan persatuan, maka para tentara Islam melakukan tindakan kepada para pengacau tersebut. Tindakan tersebut dapat berupa menyuruh mereka menyerah dan mendapat hukuman atau jika mereka melawan, pasukan muslim terpaksa memerangi mereka. Sebagai konsekuensi perang terjadi pertumpahan darah dan kehilangan harta benda serta hak milik mereka.

Madinah sebagai negara Islam di bawah pimpinan Nabi merupakan negara kecil yang dikelilingi oleh kekuatan besar. Keadaan yang demikian, menuntut para tentara Madinah untuk

selalu bersikap waspada dan selalu siap jika suatu ketika terjadi konflik yang berujung pada peperangan. Kekuatan besar tersebut terdiri dari; pasukan Musyrik Makkah, pasukan musyrik di sekitar Makkah, kaum Yahudi, kerajaan Romawi, kerajaan Persia, dan kerajaan-kerajaan kecil di Jazirah Arab. Selain itu, ancaman keamanan juga dapat muncul dari internal Madinah yang dikenal sebagai kaum Munafiq.1

Tentara muslim di Madinah pada masa awal yang jumlahnya hanya beberapa ribu tidak mungkin dapat mengatasi berbagai ancaman keamanan dari luar dan dalam negeri tanpa melalui strategi keamanan yang baik. Jika penduduk Madinah hanya mengandalkan peperangan fisik, maka kemungkinan hancurnya Madinah sangatlah tinggi. Untuk itu, dilakukanlah upaya-upaya yang dapat memperkuat kekuatan tentara melalui pemberdayaan dan penggunaan sumber daya manusia secara optimal. Dengan dilakukannya cara seperti itu, tentara memiliki banyak keterampilan dan memiliki peran penting di luar perang fisik. Di antara upaya optimalisasi dan pemberdayaan itu ialah menjalin persahabatan dan perjanjian damai dengan kabilah-kabilah yang berada di sekitar Madinah.2 Dengan cara itu, tentara mendapatkan bekal pendidikan politik, sosial, dan ekonomi dan tentunya tanpa harus melakukan peperangan. Upaya tersebut juga membuka pintu kesejahteraan melalui perdagangan, pertanian dan sebagainya.

1 Antonio, Muhammad SAW, 257.

Upaya melawan kekuatan militer lawan yang dilakukan oleh tentara muslim Madinah tentunya tidak hanya dilakukan tanpa bekal kekuatan dan kemampuan perang. Untuk mengantisipasi upaya perdamaian dan negosiasi yang buntu, tentara muslim Madinah juga menyiapkan langkah-langkah militer seperti ekspedisi (Sariyyah) yang bertujuan untuk menunjukkan kekuatan tentara muslim kepada musuh dan yang berpotensi menyerang Madinah. Selain itu, ekspedisi tersebut juga menimbulkan dampak psikologis yang positif bagi tentara muslim agar mereka lebih siap dalam menghadapi perang di masa mendatang.

Peran tentara muslim Madinah dalam menjaga keamanan dan stabilitas Madinah tak diragukan lagi, karena merekalah satu-satunya yang dapat diandalkan untuk mempertahankan tanah air, melindungi anak-anak, wanita, dan kaum lemah, serta merekalah yang mengupayakan ketenteraman dan kedamaian di dalam negara Madinah. Singkatnya, untuk menciptakan negara Madinah yang maju dan beradab, maka keamanan dan pertahanan perlu diwujudkan terlebih dahulu agar segala bentuk pembangunan sosial, ekonomi, infrastruktur dan sebagainya dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang optimal. Mengingat dulu belum dikenal pemisahan antara sipil-militer, maka tentara memiliki peran yang luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan; pertahanan dan keamanan, sosial, ekonomi, pembangunan, dan pendidikan-keagamaan.

Dalam dokumen Tentara dalam Al-Quran : kajian mauḍû’î (Halaman 156-161)

Dokumen terkait