• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep teori pembangunan berkelanjutan mengalami berbagai perkembangan yang ditinjau dari berbagai disiplin ilmu,yang pada prinsipnya adalah berupaya untuk mesinergikan konsep ekonomi dengan konsep lingkungan. Pada implementasinya sejak empat puluh lima tahun lalu perkembangannya sangat lambat dan bahkan persepsi dari industri serta pengambil keputusan masih dalam cara berpikir Neo clasical ekonomi yang lebih pada menekankan pertumbuhan tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan.

Dalam ranah ilmu pengetahuan perkembangan teori yang berkaitan dengan permasalahan lingkungan dan proses pembangunan dan perdebatan berkaitan dengan pendekatan teori yang dilakukan terus berlangsung sampai saat ini. Menurut Pollit et all (2010) bahwa ada dua pendekatan dalam teori ekonomi untuk mengatasi permasalahan sumber daya alam dan lingkungan meliputi ekonomi lingkungan(environmental economic) dan ekonomi ekologi (ecological economics). Teori Ekonomi Lingkungan lebih memfokuskan kepada effesiensi penggunaan sumber daya alam yang tak terbarukan

(non renewable resources) dan dampak negatif dari aktivitas ekonomi serta kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pajak dan fiskal. Teori Ekonomi Ekologi lebih berfokus pada ekonomi keberlanjutan atau pembangunan berkelanjutan. Pada teori ekonomi keberlanjutan faktor kelembagaan dan politik menjadi faktor penting dalam implementasi teori ini. Adapun pertanyaan yang penting harus dijawab dalam mengimplemtasikan ekonomi keberlanjutan menurut Renning (2000) adalah 1) Bagaimana melakukan identifikasi dan promosi teknologi untuk memenuhi target keberlanjutan dan 2) Apakah hanya fokus kepada teknologi saja menjadi sangat mikro dan harus dipikirkan konsep umum inovasi yang diperlukan. Pertanyaan ini akan dapat menjawab permasalahan mengatasi krisis ekonomi saat ini serta permasalahan lingkungan saat ini, dan pembangunan ekonomi masa depan berorientasi pada pertumbuhan hijau (green growth).

Sebagai konsep baru eko-inovasi memerlukan penyesuaian dan penelitian lebih lanjut dalam memperkaya konsep yang telah ada dikarenakan konsep eko-inovasi memiliki kompleksitas yang tinggi serta pada implementasinya konsep eko-inovasi dibangun berdasarkan pengalaman industri. Oleh karena itu, memahami dengan baik proses inovasi merupakan hal penting dalam mewujudkan paradigma pembangunan berkelanjutan (Renning, 2000). Hal ini diperkuat oleh Geels (2002) dalam Katarzyna (2013) yang menyatakan bahwa dalam proses transisi teknologi terdapat multi level prepective yang didalamnya terdapat socio tehnical lansdcape (material infrastructure, cultural beliefs, symbols and values), the sociotechnical regym(knowledge, engenering practices, governance structures, manufacturing practices) and the technological niche (space insulated from competitive schalanges where innovation can survive and develop). Berdasarkan acuan di atas, maka eko-inovasi harus dilihat secara holistik antara sistem manajemen ilmu pengetahuan, komersialisasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta proses pelembagaan iptek yang bertujuan mengoptimalkan sumberdaya inovasi dalam mewujudkan keberlangsungan pembangunan.

Dalam konteks pendekatan ilmu sosial Buttel (2000) menyatakan bahwa teori modernisasi ekologi (ecological modernization) merupakan teori sosial dengan pendekatan sosiologi dalam mengatasi kerusakan lingkungan akibat dari proses modernisasi serta industrialisasi. Teori ini dapat memfasilitasi dua kepentingan secara bersama-sama antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Mengingat hal ini merupakan pendekatan baru dalam teori ilmu sosial, ilmu lingkungan dan keberlanjutan proses pembangunan maka Teori Modernisasi Ekologi memberikan peluang serta memiliki konsep yang lebih maju dari konsep pembangunan berkelanjutan yang telah ada.

Teori Modernisasi Ekologi menggabungkan antara kelembagaan dan kemampuan teknologi dalam industri kapital yang diimplementasikan dalam konsep eko-inovasi. Dalam perkembangannya perspektif modernisasi ekologi menuai kritik. Menurut Bettel(2000) teori modernisasi ekologi terlalu menekankan pada determinisme teknologi, terlalu berorientasi produktivitas dan kurang menekankan pada peran kekuasaan. Hal ini bias karena konsep modernisasi ekologi dibangun dari pengalaman-pengalaman empiris industri transformatif di Negara-negara Eropa Utara. Teori Ekonomi Hijau belum mengoptimalkan peran pemerintah maupun pemerintah daerah, dengan modernisasi ekologi sehingga pemerintah dan pemerintah daerah harus mengambil porsi yang lebih besar dalam proses maupun dinamika inovasi.

Berbagai teori, pendekatan maupun strategi yang dikembangkan dalam implementasi eko-inovasi lebih banyak dilakukan pada kawasan industri yang dalam proses produksinya menggunakan teknologi hijau. Hal ini tidak cukup optimal hanya menerapkan teknologi hijau di dalam proses produksinya yang belum memasukkan aspek social teknologi di dalamnya. Oleh karena itu terjadi argumentasi dan kritik yang

95

dilakukan pada aspek sosial, yakni terjadi shipting dari penghematan terhadap tenaga kerja kepenerapan teknologi yang mampu menghemat sumberdaya (Andersen, 2008).

Forsyth (2003) dalam bukunya Critical Political Ecology; The Politics of Environmental Science menjelaskan bahwa kajian ekologi politik merupakan kelanjutan dari kajian cultural ecology yang berfokus pada pengelolaan lahan yang dikondisikan secara budaya dan lokal, sementara ekologi politik lebih memfokuskan kepada aspek politik atas terjadinya kerusakan sumberdaya alam. Terjadinya konflik kepentingan antara para pihak yang berkepentingan dengan sumber daya alam, masyarakat pada tingkat lokal, negara dan pihak lain yang berkepentingan, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dalam proses pembangunan (Forsyth, 2003). Bryant dan Bailey (1997) menekankan pada pendekatan aktor dimana asumsi yang mendasar pendekatan aktor adalah; 1. Biaya dan manfaat yang dinikmati aktor tidak merata; 2. Distribusi biaya manfaat mendorong ketimpangan dan; 3. Dampak sosial ekonomi memiliki implikasi politik. Disisi lain Forsyth (2003) menawarkan pendekatan kritis dalam mendiskripsikan fenomena ekologi politik yang meliputi; 1. Dominasi terhadap alam terkait dengan kapitalisme menyebabkan degradasi lingkungan; 2. Pendekatan baru bersifat post strukturalist pengaruh sejarah dan budaya terhadap evolusi konsep perubahan degradasi lingkungan sebagai kekuatan linguistic dan politik; 3. Mengkritik konsep balance of nature; equilibrium ecology.

Komisi Eropa dalam mengukur ekonomi inovasi menggunakan definisi sebagai berikut "produksi, asimilasi atau eksploitasi produk, proses produksi, layanan atau manajemen atau metode bisnis yang baru untuk organisasi (mengembangkan atau mengadopsi itu) dan yang menghasilkan, sepanjang siklus hidupnya, pengurangan risiko lingkungan, polusi dan lainnya dampak negatif penggunaan sumber daya (termasuk penggunaan energi) dibandingkan dengan alternatif yang relevan". Andersen (2005) mengklasifikasikan eko-inovasi kedalam lima kategori yang terdiri; 1. Add-on innovations (pollution-and resource handling technologies and services); 2. Integrated innovation (cleaner technology processes and products); 3. Eco-efficient technological system innovation (new technological); 4. Eco-organizational system innovation(new organizational structure) and 5. General purpose eco-efficient innovations.

Apabila dilihat dari konsep-konsep di atas maka konsep eko-inovasi yang ada lebih menekankan implementasi pada kawasan industri. Maka dalam penelitian ini implementasi eko-inovasi dilakukan di kawasan pusat penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki atmosfir pengembangan iptek yang lebih besar dari sekedar menghasilkan produksi barang. Oleh karena itu, sebagai kawasan sistem tertutup, implementasi eko-inovasi tidak saja dilakukannya difusi iptek yang dihasilkan oleh lembaga penelitian yang berada di PUSPIPTEK sebagai add-on innovations pada kawasan PUSPIPTEK. Namun demikian, sebagai kawasan sumber ilmu pengetahuan penerapan model eko-inovasi tidak terbatas pada difusi teknologi, akan tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya jejaring iptek serta knowledge sharing antar para peneliti dimana akan menghasilkan produk baru. Akumulasi iptek di dalam kawasan yang menerapkan eko-inovasi ini akan merubah tatanan cara berfikir maupun perilaku serta membangun budaya iptek yang berfokus pada pengembangan iptek yang dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Pandangan yang bersifat pro dan kontra serta perkembangan ilmu yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan menjadi semakin komplek dan akan terus berlanjut seiring denga terjadinya perubahan lingkungan yang disertai pula dengan kerusakan lingkungan. Oleh karena, penelitian pengembangan kebijakan eko-inovasi Kawasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ini memperkuat Teori Modernisasi Ekologi yang memadukan antara kelembagaan, teknologi serta komitmen pemerintah dalam upaya

mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Walaupun demikian perlu diakui bahwa untuk menjamin keberlanjutan ekologi di kawasan tidak cukup hanya bertumpu pada teori modernisasi ekologi, maka teori politik ekologi harus menjadi acuan khususnya dalam membangun etika dan moral setiap individu, komunitas maupun sistem sosial di dalam kawasan yang berorientasi pada mindset ekologi dalam pengembangan eko-inovasi di kawasan PUSPIPTEK.

Studi ini berkontribusi pula terhadap konsep-konsep yang dikembangkan terdahulu dengan menghasilkan pengkayaan terhadap konsep eko-inovasi yang dikembangkan oleh Komisi Eropa maupun klasifikasi eko-inovasi yang dikembangkan oleh Andersen (2005). Pada konsep eko-inovasi yang dikembangkan oleh Uni Eropa maka instrumen yang dikembangkan tidak saja hanya terbatas pada upaya yang dilakukan dalam melakukan penghematan terhadap material (eko-efisiensi) yang digunakan oleh industri baik secara individu maupun kelompok perusahaan akan tetapi perlu dimasukkan aspek-aspek yang berkaitan dengan proses pelembagaan eko-inovasi baik di industri maupun pada kawasan secara luas. Pada klasifikasi eko-inovasi yang dikembangkan oleh Andersen (2005), penelitian ini memberikan sumbangan pada perlunya memasukkan jejaring eko-inovasi dan manajemen pengetahuan yang berwawasan lingkungan sebagai salah satu klasifikasi eko-inovasi khususnya eko-inovasi pada kawasan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Implikasi Kebijakan

Implikasi kebijakan dan pengembangan strategi eko-inovasi di kawasan pusat penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi pada prinsipnya mencakup aspek ekologis dan aspek kelembagaan.

a Aspek ekologis secara tehnis dengan menerapkan berbagai iptek yang dapat meminimalkan penggunaan material yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan di dalam kawasan serta sekaligus mengembangkan budaya hijau, maka diperlukan adanya langkah-langkah kebijakan sebagai berikut; 1) perlu dibuat masterplan pengelolaan lingkungan kawasan puspiptek;2) pengembangan data basis teknologi hijau yang siap digunakan baik dalam kawasan maupun bagi masyarakat umum;3) perlunya dikembangkan audit teknologi yang berkaitan dengan energi, air dan pengelolaan limbah; 3) Perlu dibuat pedoman pengelolaan ekologis berbasis eko-inovasi di kawasan puspiptek.

b Aspek kelembagaan untuk menciptakan keterpaduan kerja dalam mewujudkan kawasan eko inovasi di puspiptek melalui pengembangan soft infrastruktur. Adapun langkah-langkah yang harus diambil adalah 1) Melakukan restrukturisasi kelembagaan yang saat ini agar memperkuat peran-peran para pemangku kepentingan dalam mengimplemtasikan kebijakan eko-inovasi; 2) Perencanaan program dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam kawasan; 3) Mengembangkan instrumen reward dan punsihment dalam meningkatkan partisipasi para pemangku kepentingan yang terlibat; 4) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dalam manajemen pengelolaan lingkungan melalui pendidikan dan latihan;5) Melakukan sosialisasi baik secara internal di dalam kawasan maupun ekternal; serta 6) Melakukan monitoring dan evaluasi.

Dokumen terkait