• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Submodel Ekologis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Submodel Ekologis"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Submodel Ekologis Eko-Inovasi Pengelolaan Air

Sumberdaya air merupakan bagian dari kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat secara lestari, sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Ketetapan ini ditegaskan kembali dalam pasal 1 Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960 bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan kekayaan nasional. Sumberdaya air ini memberikan manfaat serbaguna untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di segala bidang baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun bidang ketahanan nasional. Secara keseluruhan definisi konservasi sumberdaya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumberdaya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.

Konservasi air dapat diartikan sebagai usaha-usaha untuk meningkatakan jumlah air tanah yang masuk ke dalam tanah dan untuk menciptakan penggunaan air yang efisien. Setiap perlakukan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat hilirnya. Konservasi tanah dan air merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, sehingga boleh dikatakan bahwa berbagai tindakan konservasi tanah merupakan juga tindakan konservasi air (Arsyad, 2000).

Menurut Sugandhy (1999), perlindungan dan pelestarian fungsi sumberdaya air untuk menjamin keberlanjutan tata air perlu dilakukan melalui pendekatan tata ruang. Pada skala wilayah, upaya konservasi dilakukan dengan penetapan dan pengelolaan kawasan lindung khususnya kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, daerah resapan air, daerah aliran sungai, danau dan situ.

Embung adalah salah satu metode teknologi konservasi air dengan teknik pemanenan air atau water harvesting (Subagyonoet.al. 2005). Kegunaannya untuk menampung air permukaan dan air hujan yang mengalir. Embung memerlukan tanah bagian bawah (sub soil) yang cukup kedap air, serta lahan yang cukup luas (Aguset.al. 2002). Embung menjadi alternatif yang paling baik untuk menyediakan sumber air bersih di PUSPIPTEK, selain dari sumber air Sungai Cisadane yang ada saat ini. Keberadaan embung di kawasan PUSPIPTEK disajikan pada Gambar 16.

Eko-inovasi pada pengelolaan air di Kawasan PUSPIPTEK ini dilakukan dengan pembuatan sumber air selain Sungai Cisadane yaitu embung di kawasan sekaligus sebagai tampungan air hujan. Air dari embung dialirkan secara gravitasi dengan sistem pemipaan ke tempat pengolahan air sehingga ada penghematan biaya pemompaan air yang selama ini menggunakan pompa air hanya dari sungai Cisadane.

(2)

63

(3)
(4)

64

Oleh karena itu adanya embung yang akan menyelamatkan sumberdaya air yang tujuan akhirnya untuk dipergunakan bagi kemakmuran rakyat secara lestari (UUD 45 Pasal 33 ayat 3). Adanya embung sekaligus juga melakukan konservasi air (Arsyad. 2000) sekaligus akan menjamin perlindungan, pelestarian fungsi sumber daya air sehingga dapat menjamin keberlanjutan sumber daya air (Sugandhy,1997). Data pengolahan air yang ada di PUSPIPTEK saat ini disajikan pada Tabel 7.

Saat ini, volume air bersih yang diproduksi di PUSPIPTEK sejumlah 233.280 m3 per bulan, atau 7.776 m3 per hari. Adapun curah hujan di kawasan ini rata-rata 154,9 mm/tahun. Dengan demikian, pada area hujan pergedungan di kawasan PUSPIPTEK seluas 2.609.200 m2, diperoleh volume air hujan yang turun di kawasan sejumlah 404.165.080 m3 per tahun. Apabila diasumsikan sekitar 50 persen dari volume total air hujan tersebut, volume air hujan yang dialirkan ke embung adalah 202.082.540 m3 per tahun. Setelah dikurangi jumlah air yang hilang akibat faktor evaporasi dan penyerapan (30 persen), maka ketersediaan air dalam embung adalah 141.457.778 m3 per tahun atau 387.556 m3per hari. Total luas embung embung yang tersedia di PUSPIPTEK adalah 15.000 m2. Dengan rata-rata kedalaman 3 m, maka diperoleh kapasitas embung sebanyak 45.000 m3.

Tabel 7 Data pengolahan air eksisting di PUSPIPTEK

Data Pengolahan Air Nilai Satuan

Air yang diproduksi di

Puspitek 233.280 m3/bulan

Waktu olah 30 Hari

Kapasitas perhari 7.776 m3 Data ketersediaan air hujan

Curah hujan 154,9 mm/tahun

Luas area hujan pergedungan

(Data MP Puspitek 6(1)) 2.609.200 m2

Volume air hujan 404.165.080 m3/tahun

Asumsi 50% air hujan dapat

dialirkan ke embung 202.082.540 m3/tahun

Faktor evaporasi dan

penyerapan embung 30% 60.624.762 m3/tahun

Ketersediaan air dalam embung 141.457.778 m

3

/tahun 387.556 m3/hari Kapasitas embung

Luas total embung

diperumahan dan kawasan 15.000 m2

Jika kedalaman air dalam

embung dijaga 3 M

Kapasitas embung 45.000 m3

Sumber: Hasil Analisis Survei 2013

Kondisi ini memperlihatkan dan menjadi bukti saintifik bahwa embung sebagai wilayah untuk mengkonservasi air yang seharusnya run off ke laut hingga mencapai 141.457.778 m3 per tahun dan mendukung pelaksanaan Kawasan eko-inovasi di PUSPIPTEK, sehingga dapat menjamin keberlanjutan air di Kawasan PUSPIPTEK.

(5)

Green Building Council Indonesia (GBCI), menetapkan bahwa untuk mendapatkan kategori penilaian platinum atau nilai 4 poin, adalah dilakukan substitusi atas bahan baku air bersih sebesar 30% dari kondisi awal. Terkait hal tersebut, dari 233.280 m3/bulan volume air yang diproduksi PUSPIPTEK saat ini, diperlukan substitusi dari sumber air alternatif sebanyak 69.984 m3/bulan atau 2.333 m3/hari. Apabila diasumsikan bahwa kapasitas air dalam embung setara 80 hari, maka kapasitas embung yang diperlukan adalah (2.333 m3 x 80 hari) = 186.624 m3. Agar Kawasan PUSPIPTEK dapat memenuhi kategori platinum, maka diperlukan adanya kapasitas embung tambahan yang diperlukan adalah: 186.624 m2 - 45.000 m3 = 141.624 m3. Apabila rata-rata kedalaman embung 3 m, maka diperlukan luas embung tambahan adalah: 141.624 m3/3 m = 47.208 m2. Pembangunan embung seluas itu, membutuhkan investasi sebesar Rp. 7.960.243.200. Angka ini diperoleh dari hasil perhitungan untuk pekerjaan penggalian, pemasangan got dan saluran, serta mobilisasi, demobilisasi, dan cleaning. Uraian mengenai investasi dan biaya yang diperlukan selengkapnya disajikan dalam Tabel 8.

Penghitungan penghematan biaya produksi air bersih dengan eko-inovasi di PUSPIPTEK, didasarkan pada penghematan biaya produksi air bersih setelah dilakukan substitusi 30% air yang berasal dari bahan baku air hujan. Biaya produksi air bersih adalah Rp. 1300/m3, terdiri atas biaya untuk listrik sebesar Rp. 1.235/m3 dan biaya bahan kimia sebesar Rp. 65/m3. Adanya penggunaan sistem saat ini, biaya untuk listrik adalah 90 persen dari biaya total, dan biaya untuk bahan kimia adalah 5%. Dengan menggunakan air hujan sebagai bahan baku air bersih, biaya yang diperlukan turun menjadi Rp. 910/m3. Angka ini diperoleh dari perhitungan biaya untuk listrik turun menjadi Rp.864,5/tahun (90 persen), dan biaya untuk bahan kimia menjadi Rp.45,5/m3 (10 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa diperoleh penghematan sebesar: Rp. 1.300 – Rp. 910 = Rp. 390 / m3. Apabila nilai tersebut dikalikan dengan volume produksi air bersih sejumlah 7.776 m3/hari, maka total penghematan adalah Rp.3.032.640/hari atau Rp. 1.106.913.600/tahun. Perhitungan perhematan yang dapat dicapai selengkapnya,disajikan pada Tabel 9 berikut.

Tabel 8 Investasi dan biaya yang diperlukan untuk skenario substitusi 30% Air dari kebutuhan total air bersih

Skenario Substitusi

bahan Baku Air bersih Nilai Satuan

Harga

satuan Biaya

Persentasi untuk

mendapatkan nilai 4 point

pada penilaian GBCI 30%

Kapasitas substitusi 69.984 m 3

/bulan 2.333 m3/hari Kapasitas air didalam

embung setara 80 Hari Kapasitas embung yang

diperlukan 186.624 m3 Kapasitas embung Tambahan 141.624 m3 Penambahan Luasan 47.208 m2 Investasi penyaluran air dari embung ke

pengolahan air

Jalur 1 dari embung di

(6)

66

Skenario Substitusi

bahan Baku Air bersih Nilai Satuan

Harga

satuan Biaya

Jalur 2 dari embung di

perumahan ke WTP 1800 M Penggalian embung 141.624 m3 Penggalian embung 141.624 m3 36.000 5.098.464.000 penggalian Jalur 1 120 m3 50.000 6.000.000 penggalian Jalur 2 216 m3 50.000 10.800.000 Pemasangan Got U 20 x 30 cm beton jalur 1 1.000 m 360.000 360.000.000 Pemasangan Got U 20 x 30 cm beton jalur 2 1.800 m 360.000 648.000.000

Mob demob & cleaning 1 Lot 1.836.979.200 1.836.979.200

Jumlah Investasi 7.960.243.200

Tabel 9 Hasil perhitungan penghematan biaya produksi air bersih dengan eko-inovasi

Penghematan yang diharapkan Nilai Satuan

Biaya produksi air/m3 (Harga Normal) 1300 Rp/m3

Komposisi biaya listrik 95%

Komposisi biaya bahan kimia 5%

Listrik (95%) 1235 Rp/m3

bahan Kimia (10%) 65 Rp/m3

Dengan bahan baku air hujan

Listrik (90%) 864,5 Rp/m3

bahan Kimia (10%) 45,5 Rp/m3

Biaya produksi air/m3 910 Rp/m3 Penghematan biaya produksi air/m3 390 Rp/m3 Penghematan biaya produksi air perhari

3.032.640 Rp. Penghematan biaya produksi air pertahun

1.106.913.600 Rp.

Eko-inovasi Pengelolaan Energi Penggunaan AC dengan Solar Cell

Isu tentang krisis energi dan pemanasan global sudah tidak asing lagi bagi masyarakat dunia. Berbagai teknologi dan inovasi terus dikembangkan dalam mencari solusinya. Di samping pencarian berbagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, penghematan energi pun dilakukan untuk menekan laju konsumsi energi. Jadi solusi krisis energi tidak hanya datang dari segi produksi energi alternatif, namun dari segi konsumsinya.

(7)

Konsumsi listrik yang terbesar pada gedung diantaranya adalah pada sistem pendinginan udara. Pendingin udara/air-conditioner (AC) konvensional mengkonsumsi energi listrik yang relatif sangat besar. Hal ini tentunya menuntut daya listrik yang besar. Pada umumnya listrik masih dihasilkan dari bahan bakar fosil, sehingga penggunaan AC konvensional berdampak tidak langsung pada emisi gas rumah kaca, sebagai penyebab peningkatan efek pemanasan global. Selanjutnya, adanya pemanasan global menyebabkan suhu lingkungan semakin panas, sehungga semakin banyak industri, rumah tinggal, dan gedung yang menggunakan AC, sehingga bukan saja menjadikan konsumsi enrgi yang bertambah namun juga menyebabkan siklus perusakan lingkungan dan krisis energi yang terus berlanjut. Namun, penghambatan penggunaan AC adalah hal yang mustahil dilakukan. Karena itu, diperlukan inovasi pendingin udara yang menggunakan sumber energi terbarukan, serta ramah lingkungan, salah satunya adalah AC dengan tenaga surya. Berbagai studi untuk menghitung kinerja thermal, serta efisiensi energi pada penggunaan AC solar powered system sudah dilakukan. Dincer dkk (1996) telah menghitung thermal performance dari solar powered refrigation system. Sementara itu, Assilzadeh et.all (2005) juga telah melakukan simulasi dan optimasi penggunaan LiBr solar absortion cooling system. Perhitungan penghematan dengan inovasi penggunaan AC LiBr solar powered diperoleh dengan menghitung selisih atas biaya yang diperlukan atas penggunaan AC konvensional yang digunakan saat ini, dengan total biaya yang dibutuhkan (termasuk biaya investasi, dan biaya operasional), jika menggunakan AC LiBr solar powered. Dengan menggunakan AC konvensional, daya listrik yang digunakan untuk kapasitas pendinginan sebesar 870 kW di PUSPIPTEK adalah 1.041KwH per jam. Harga listrik PLN adalah Rp. 947/KwH. Investasi yang dibutuhkan pada AC konvensional adalah Rp. 1.731.661.708. Setelah ditambahkan biaya instalasi dan integrasi, total capital costsehingga menjadi Rp. 2.026.044.199, dengan demikian, annual expenses penggunaan AC konvensional adalah Rp. 1.944.815.876.

Pada perhitungan yang sama seperti dituliskan selengkapnya dalam Tabel 10, jika menggunakan AC LiBr solar powered, diperoleh angka annual expenses sebesar Rp. 10.822.886. Dengan demikian ada selisih sebesar Rp. 1.933.992.990, yang dihitung sebagai nilai penghematan per tahun. Biaya operasional pertahun untuk AC dengan solar cell meliputi power delivery, listrik, pemeliharaan peralatan dan sirkulasi air. Pada perhitungan ini dilakukan analisis regresi sehingga didapatkan grafik hubungan power AC dan biaya operasional per tahun dalam Euro yang disajikan pada Gambar 14.

y = 6165,x-0,54 R² = 0,986 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 50 100 150 200 250 300 (Euro/kW) (Euro/kW) Power ((Euro/kW))

Gambar 17 Hasil analisis regresi power dan biaya operasional untuk AC dengan Solar Cell

Data AC PUSPIPTEKdan AC LiBr Solar Powered dengan Nilai Investasi dan hasil perhitungan penghematan biayanya disajikan pada Tabel 10. Untuk penerapan eko-inovasi dengan AC solar cell maka akan dapat dihemat Rp. 1.933.992.990 per tahun.

(8)

68

Penggunaan AC Libr solar merupakan penggunaan AC yang sangat tepat untuk mendukung terlaksananya kawasan eko-inovasi. Hal ini disebabkan AC LiBr solar menggunakan energi terbarukan berupa energi panas matahari yang selama ini tidak termanfaatkan. Selain itu penggunaan AC ini juga akan mengurangi eksploatasi dan penggunaan bahan bakar migas (bahan bakar fosil) yang selama ini dieksploitasi dari alam dan cadangannya sudah sangat menipis. Pada pembakaran bahan bakar fosil juga akan dihasilkan gas rumah kaca (GRK) sehingga penggunaan AC LiBr solar akan menurunkan GRK secara signifikan. Oleh karena itu maka penggunaan AC LiBr solar menjadi sangat ramah lingkungan yang akan mendukung terlaksananya pembangunan berkelanjutan, serta akan mendatangkan keuntungan finansial karena adanya penghematan finansial yang cukup besar.

Tabel10 Perhitungan penghematan dengan AC LiBr Solar Powered

Data Nilai Satuan

Air Cooler Puspitek Kapasitas pendinginan di

PUSPIPTEK 870 kW

Penggunaan Listrik/jam 1.041 kW

Durasi penggunaan 8 Jam

Penggunaan listrik perhari 8.328 KwH

Biaya listrik LWBP 947 Rp/Kwh

Biaya maintenance 3% % x Nilai investasi

Hari operasional 240 HARI

Biaya investasi 127

Euro/kW (Kapasitas) AC LiBr Solar Powered

Annual expenses (maintenance,

operating energy dan biaya air) 0,5% >700 kW

2,0% 700 kw-100kw 3,0% <100kW Biaya investasi 158 Euro/kW (Kapasitas) Installation cost 5% >100kW 25% <100kW Integration cost 12% >100kW 20% <100kW

asumsi nilai tukar Euro dgn

Rupiah Rp 15.700 per Euro

Parameter Air Cooler Puspitek AC LiBr Solar Powered Biaya Investasi 1.731.661.708 2.164.577.136 Installation cost 86.583.085 108.228.857 Integration cost 207.799.405 259.749.256 Total Capital Cost 2.026.044.199 2.532.555.249 Annual expenses 1.944.815.876 10.822.886 Selisih annual expenses

(9)

Penggunaan Lampu LED

Penghematan lainnya dapat dilakukan pada penghematan dengan penggantian lampu dengan lampu LED dengan kuat penyinaran yang sama. Perhitungan ini dilakukan untuk lampu PJU di Kawasan PUSPIPTEK. Lampu LED saat ini sudah banyak digunakan sebagai lampu penerangan baik di dalam gedung maupun sebagai lampu penerangan jalan. Dibandingkan lampu konvensional, penggunaan lampu LED memiliki banyak kelebihan antara lain (Graesser et.al, 2006): (1) Hemat energi karena pemakaian daya yang rendah, dan efisiensi yang diperoleh menggunakan LED mencapai 86%; (2) mempunyai umur pemakaian yang relatif panjang; (3) intensitas cahaya besar; (4) tidak panas; (5) mudah disusun dalam panel; (6) mempunyai ukuran dimensi paling kecil; (7) cahaya lurus; (8) banyak warna; (9) tidak memerlukan perawatan; (10) distribusi sinar lebih merata; dan (11) mampu menggunakan back-up baterai dan mampu menyimpan daya dari solar cell. Dalam rangka mendukung konsep Eko-inovasi di PUSPIPTEK, selain penggantian AC konvesional ke AC LiBr Solar Powered, maka dilakukan penggantian lampu konvensional dengan lampu LED, khususnya untuk penerangan jalan umum (PJU) yang saat ini memerlukan banyak biaya untuk daya listrik yang digunakan.Seperti disajikan pada Tabel 11, saat ini terdapat 700 buah PJU di seluruh kawasan PUSPIPTEK.

Tabel 12 memperlihatkan hasil analisa perbandingan biaya penghematan yang diperoleh jika menggunakan lampu LED pada PJU, dibandingkan dengan penggunaan lampu konvensional. Dengan memperhitungkan umur pakai (untuk LED hingga 40.000 jam), daya listrik, dan harga lampu, diperoleh bahwa penggunaan lampu konvensional memerlukan biaya sebesar Rp. 3.226.667/titik/ 40.000 jam pemakaian. Sementara itu, jika menggunakan LED, biaya yang diperlukan sebesar Rp. 603.000/titik/40.000 jam pemakaian. Dengan demikian diperoleh penghematan sebsar Rp. 2.623.667/titik/40.000 jam pemakaian. Dengan mengalikan angka ini terhadap 700 titik PJU, maka penghematan yang diperoleh adalah Rp. 1.836.566.667/40.000 jam pemakaian atau Rp.163.454.433/tahun. Pada penerapan eko-inovasi pada penggunaan lampu LED pada PJU PUSPIPTEK dapat dihemat Rp. 163.454.433,- per tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa penggunaan lampu LED sangat mendukung dilakukannya eko-inovasi mengingat lampu LED menggunakan sumber energi yang jauh lebih hemat, sehingga akan berkontribusi mengurangi baik eksploitasi maupun penggunaan bahan bakar fosil untuk memproduksi listrik. Oleh karena itu, maka baik gas rumah kaca maupun entropi (panas yang dihasilkan pada saat terjadi perubahan bentuk energi yang satu menjadi energi yang lain yang hilang ke lingkungan) juga menjadi jauh lebih rendah, sehingga akan mendukung terjadi pembangunan berkelanjutan.

Tabel 11 Data lampu PJU PUSPIPTEK

Data Nilai Satuan

Daya lampu LED 13 Watt

Daya lampu PJU PUSPIPTEK 85 Watt

Umur pakai lampu LED 40.000 Jam

Umur pakai lampu PJU

PUSPIPTEK 6.000 Jam

Harga lampu LED 135.000 Rp

Harga lampu PJU PUSPIPTEK 25.000 Rp

Tarif listrik 900 Rp/KWH

Waktu penerangan jalan/hari 10 Jam

(10)

70

Tabel 12 Hasil analisa perbandingan biaya penghematan dengan lampu LED

No Parameter LED PJU

PUSPIPTEK

1 Umur pakai 40.000 6.000

2 Konsumsi listrik (watt) 13 85

3 Harga lampu 135.000 25.000

4 Penggunaan listrik Selama 40.000 Jam 520 3.400

5 Tarif listrik (Rp) 468.000 3.060.000

6 Penggantian lampu selama 40.000 Jam 1 7

7 Biaya penggantian Lampu 135.000 166.667

8 Total biaya selama 40.000 Jam 603.000 3.226.667

9 Penghematan biaya selama 40.000 jam 2.623.667

Penghematan untuk seluruh PJU di

PUSPIPTEK/40.000 jam 1.836.566.667 Rp.

40.000 jam setara dengan 11 Tahun

Penghematan pertahun 163.454.433 Rp.

Investasi pembelian lampu LED 94.500.000 Rp.

Eko-inovasi Pengelolaan Limbah Domestik

Kawasan PUSPIPTEK terdiri dari Kawasan Perkantoran dan Labotorium, Kawasan Perumahan dan Kawasan Industri Berbasis Teknologi (rencana pengembangan). Dilain pihak semua kegiatan antropogenik yang dilakukan di kawasan ini akan menghasilkan limbah baik limbah cair maupun limbah padat. Adapun jenis limbah meliputi air limbah domestik, sampah domestik, limbah laboratorium dan limbah B3. Saat ini limbah di kawasan PUSPIPTEK telah ditangani dengan baik yaitu meliputi limbah B3 dari Laboratorium dan limbah radio aktif dari BATAN.

Pada dasarnya eko-inovasi pada pengelolaan air juga dihasilkan dari penghematan untuk pengolahan limbah air domestik. Limbah air domestik adalah air yang dihasilkan dari aktifitas sanitasi personal yang berada di lingkungan Kawasan PUSPIPTEK yang pembuangannya selama ini langsung ke tempat penampungan limbah kota. Contoh aktifitas personal: antara lain adalah air bekas wudhu, mandi, cuci tangan, cuci peralatan namun tidak termasuk air yang berasal dari urinoir dan WC. Saluran pengumpul untuk limbah ini juga sudah tersedia, hanya saja air yang selama ini langsung dibuang ke saluran limbah kota kemudian akan diarahkan ke embung– embung yang akan dibangun dikawasan PUSPIPTEK sebagai upaya untuk menampung air hujan. Posisi embung yang akan digunakan untuk penampungan air ini akan disampaikan pada Gambar 18 berikut dengan lingkaran merah.

(11)
(12)
(13)

Lokasi embung ini dipilih karena berada di tengah pusat–pusat penelitian yang berada dikawasan puspitek antara lain kelompok Batan dan kelompok LIPI (P2M, P2K, P2F, P2KIM, LET dan P2SMTP). Selain itu level muka air antara pusat–pusat penelitian tersebut dengan embung masih memungkinkannya air mengalir secara gravitasi dan sudah tersedianya jaringan drainase sehingga untuk mengkoleksi air limbah domestik ini tidak diperlukan lagi investasi pembuatan saluran baru. Investasi yang dilakukan adalah pembuatan saluran terusan dari saluran drainase yang sudah ada dan mengalir ke saluran kota kemudian harus kita alihkan ke embung.

Lokasi pembuatan saluran terusan dari pusat–pusat penelitian ke embung dapat dilihat pada Gambar 18 peta rencana pengembangan sistem drainase kawasan PUSPIPTEK yang dilingkari warna biru. Saluran terusan terdiri dua saluran untuk kelompok Batan (saluran no 2 serta 3) dan dua saluran untuk kelompok LIPI (saluran no 1 dan 4). Perkiraan panjang saluran terusan ini berdasarkan hasil estimasi dari peta rencana pengembangan sistem drainase kawasan PUSPIPTEK adalah:

Saluran no 1 dari (P2KIM, LET dan P2SMTP) = 104 m

Saluran no 2 dari Batan = 260 m

Saluran no 3 dari Batan = 52 m

Saluran no 4 dari (P2M, P2K dan P2F) = 20 m

Peralatan pengolahan air limbah domestik ini juga tidak diperlukan yang baru karena fasilitas pengolahan air yang ada saat ini sudah dapat mengolah bahan baku air yang bersumber dari embung. Perkiraan jumlah air yang akan dapat di kumpulkan dari limbah air domestik dari tiap pusat–pusat penelitian yang sudah disebutkan dengan jumlah SDM 4677 orang (karyawan dan estimasi tamu). Perhitungan detail tentang perkiraan air yang dapat di daur ulang, analisa investasi dan penghematan disajikan pada Tabel 13 dan Tabel 14 dengan penghematan per tahun adalah Rp. 144.463.176.

Dilakukannya pengolahan air limbah akan membantu mengimplementasikan terbangunnya kawasan eko-inovasi PUSPIPTEK, mengingat pengolahan tersebut sekaligus menerapkan prinsip 3R (Reuse, Recycle, and Reduce) seperti yang digariskan pada Agenda 21 menjamin terjadi adanya kegiatan 3R ini juga sekaligus ikut serta melaksanakan prinsip konservasi sumberdaya air dalam rangka keberlanjutan sumberdaya air di lokasi penelitian. Oleh karena itu, pengelolaan air limbah tersebut bukan saja menghemat biaya namun juga sekaligus menerapkan prinsip 3R, prinsip produksi bersih dan prinsip ramah lingkungan.

Implementasi eko-inovasi dilakukan pada pengelolaan sampah domestik. Oleh karena itu, penelitian ini juga melakukan perhitungan pengolahan kompos sampah organik yang berasal dari guguran daun dan sampah organik lainnya. Hasil pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa di Kawasan PUSPIPTEK telah dilakukan pemisahan sampah organik dan sampah non organik untuk memperbaiki perilaku warga PUSPIPTEK untuk agar lebih peduli lingkungan. Pada pengolahan kompos telah dilakukan analisis finansial untuk dapat menghitung pendapatan bersih untuk pengolahan kompos.

(14)

73

Tabel 13 Biaya investasi dan penghematan pada eko-inovasi limbah air domestik

Pekerjaan Jumlah Satuan Harga

satuan Biaya Saluran no 1 12 m3 50.000 624.000 Saluran no 2 31 m3 50.000 1.560.000 Saluran no 3 6 m3 50.000 312.000 Saluran no 4 2 m3 50.000 120.000 Pemasangan got U 20 x 30 cm beton saluran 1 104 M 360.000 37.440.000 Pemasangan got U 20 x 30 cm beton saluran 2 260 M 360.000 93.600.000 Pemasangan got U 20 x 30 cm beton saluran 3 52 M 360.000 18.720.000 Pemasangan got U 20 x 30 cm beton saluran 4 20 M 360.000 7.200.000

Mob demob & cleaning 1 Lot 15.957.600 15.957.600 Jumlah biaya Investasi 175.533.600 Kapasitas produksi kompos adalah 7 m3/hari, menghasilkan total 1.500 kg kompos halus per hari. Dengan harga jual Rp. 600/kg untuk kompos halus dan Rp. 1.250/kg kompos granul, maka diperoleh pemasukan dari penjualan kompos sebesar Rp. 216.000.000 / tahun. Disamping kompos pemasukan juga diperoleh dari penjualan sampah plastik yang telah dipilah, sejumlah 10 kg/hari. Dengan harga jual Rp. 4.000/kg, diperoleh hasil penjualan plastik sebesar Rp. 9.600.000/tahun. Total pendapatan adalah Rp. 216.000.000 + Rp. 9.600.000 = Rp. 225.600.000.

Pengeluaran-pengeluaran untuk listrik, perawatan, tenaga kerja dan pengemasan mencapai Rp. 181.584.000/tahun. Oleh karena itu masih terdapat margin keuntungan yang diperoleh dari pengolahan sampah adalah Rp. 44.016.000. Hasil analisis selengkapnya disajikan pada Tabel 14.

Adanya pemanfaatan kembali sampah mudah urai untuk dijadikan kompos dan penjualan sampah plastik merupakan upaya untuk melakukan prinsip 3R dan prinsip produksi bersih. Oleh karena itu, pemanfaatan sampah tersebut bukan saja dapat mendatangkan keuntungan finansial, namun juga akan mendukung penuh terlaksananya kawasan PUSPIPTEK sebagai kawasan eko-inovasi.

Tabel 14 Penghematan pada eko-inovasi limbah air domestik Penghematan yang

diharapkan 1300 Rp/m3 biaya olah

Biaya produksi air/m3 (Harga Normal)

Komposisi biaya listrik 40% Rp/m3 Komposisi biaya bahan

kimia 5% Rp/m3

Listrik (40%) 520 Rp/m3

bahan kimia (5%) 65 Rp/m3

Penghematan dengan bahan Baku air limbah domestik

(15)

Selisih biaya olah 715 Rp/m3 Penghematan biaya

produksi air perhari

401.287 Rp/m3 Penghematan biaya

produksi air pertahun

144.463.176 Rp/m3

Pekerjaan Jumlah Satuan Harga

satuan Biaya Saluran no 1 12 m3 50.000 624.000 Saluran no 2 31 m3 50.000 1.560.000 Saluran no 3 6 m3 50.000 312.000 Saluran no 4 2 m3 50.000 120.000 Pemasangan got U 20 x 30 cm beton saluran 1 104 m 360.000 37.440.000 Pemasangan got U 20 x 30 cm beton saluran 2 260 m 360.000 93.600.000 Pemasangan got U 20 x 30 cm beton saluran 3 52 m 360.000 18.720.000 Pemasangan got U 20 x 30 cm beton saluran 4 20 m 360.000 7.200.000

Mob demob & cleaning 1 Lot 15.957.600 15.957.600

Jumlah investasi 175.533.600

Penghematan biaya olah 1300 Rp/m3 Biaya produksi air/m3

(Harga Normal)

Komposisi biaya listrik 40% Rp/m3 Komposisi biaya bahan

kimia 5% Rp/m

3

Listrik (40%) 520 Rp/m3

bahan kimia (5%) 65 Rp/m3

Penghematan dengan bahan Baku air limbah domestik

Biaya olah 585 Rp/m3

Selisih biaya olah 715 Rp/m3

Penghematan biaya

produksi air perhari 401.287 Rp/hari Penghematan biaya

(16)

75

Tabel 15 Hasil analisis finansial pengolahan kompos

Pengolahan Kompos Nilai Satuan

Kapasitas 7 m3/h

Plastik 10 kg/hari

Harga Jual Kompos Halus 600 Rp/Kg

Harga Jual Kompos Granul 1250 Rp/Kg

Harga Jual Plastik 4000 Rp/Kg

Gaji BHL 50000 Rp/hari

Jumlah BHL 18 Orang

TDL 947 Rp/Kwh

Jam Operasional 8 Jam

Kebutuhan Daya Listrik 10% beban 125 kW

Hari Kerja 240 Hari

Biaya Perawatan 3% * Tenaga kerja

Biaya pengemasan 1%

* nilai penjualan asumsi semua produk dijual dalam bentuk kompos halus

Produksi Kompos halus 1500 kg/hari

Biaya Operasional

Listrik 68.184.000 Rp/Tahun

Tenaga Kerja (kerja/2 hari ) 108.000.000 Rp/tahun

Biaya Perawatan 3.240.000 Rp/tahun

Pengemasan 2160000 Rp/tahun

Biaya Operasional 181.584.000 Rp/tahun Pemasukan

Kompos halus 216.000.000 Rp/Tahun

Plastik 9.600.000 Rp/Tahun

Pemasukan 225.600.000 Rp/Tahun Margin/ Hasil Keuntungan 44.016.000 Rp/Tahun

Analisis Submodel Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Eko-inovasi

Pemilihan alternatif pengelolaan kawasan eko-inovasi dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan keputusan AHP. Penilaian alternatif berdasarkan kriteria adanya regulasi dan kebijakan, dukungan teknologi, pendanaan dan kemampuan SDM dilakukan oleh pakar. Pakar tersebut melakukan penilaian terhadap alternatif berdasarkan kriteria adanya regulasi dan kebijakan, dukungan teknologi, pendanaan dan kemampuan SDM yang sudah dirumuskan. Alternatif model pengelolaan eko-inovasi Kawasan PUSPIPTEK yaitu sistem manajemen terpusat (sentralisasi), sistem manajemen berdasarkan klaster, sistem manajemen desentralisasi dan sistem manajemen partnership. Hirarkhi pemilihan alternatif model pengelolaan kawasan eko-inovasi disajikan pada Gambar 19.

(17)

Gambar 19 Hirarki pemilihan pengelolaan kawasan eko-inovasi menggunakan metode AHP

Hasil pengolahan AHP yang dilakukan berdasarkan penilaian pakar disajikan pada Gambar 19. Untuk menentukan sistem pengelolaan eko-inovasi yang paling optimal, maka pada tahap awal ditentukan kriteria-kriteria yang dapat mempengaruhi terhadap pemilihan alternatif-alternatif yang ada. Berdasarkan hasil pakar maka ditentukan empat kriteria yang meliputi; aspek regulasi dan kebijakan, dukungan teknologi, pendanaan serta kemampuan sumber daya manusia. Pada kriteria ditentukan prioritas yang paling mempengaruhi terhadap model pengelolaan kawasan eko-inovasi. Hasil pengolahan data yang diambil dari wawancara para pakar memperlihatkan regulasi dan kebijakan adalah merupakan kriteria yang paling dominan dengan nilai 0,329, prioritas kedua dukungan teknologi dengan nilai 0,282, prioritas ketiga pendanaan dengan nilai 0,215 dan kemampuan SDM dengan nilai 0,173 dengan konsistensi rasio sebesar 0,044. Hasil secara lengkap disajikan pada Gambar 20. Untuk implementasi eko-inovasi ini memerlukan payung regulasi dan kebijakan untuk dapat menjalankannya sehingga ada kesinambungan dalam implementasinya.

Gambar 20 Hasil pengolahan AHP prioritas kriteria pemilihan sistem pengelolaan eko inovasi

FOKUS KRITERIA

ALTERN ATIF

PEMILIHAN SISTEM PENGELOLAAN EKO-INOVASI

Regulasi dan Kebijakan Dukungan Teknologi Pendanaan Kemampuan SDM sistem manajemen terpusat (sentralisasi) sistem manajemen berdasarkan klaster sistem manajemen desentralisasi sistem manajemen partnership

(18)

77

Selanjutnya, berdasarkan pakar maka sistem pengelolaan Kawasan Eko-Inovasi yang paling sesuai adalah sistem partnership dengan nilai 0,442, model sentralisasi dengan nilai 0,245, model klaster dengan nilai 0,167 dan model desentralisasi dengan nilai 0,146 dengan konsistensi rasio 0,022. Hasil analisis disajikan pada Gambar 21. Hal ini sejalan dengan keinginan semua pemangku kepentingan PUSPIPTEK yang terdiri dari Kemenristek, BPPT, BATAN dan LIPI dimana pengelolaan yang memaksimalkan peran fungsi masing-masing LPNK menjadi sangat penting dalam mewujudkan Kawasan Eko-inovasi.

Gambar 21 Hasil pengolahan AHP prioritas pengelolaan kawasan eko-inovasi Hasil analisis AHP ini sejalan dengan kondisi di PUSPIPTEK yang terdiri dari Pusat/Balai/Laboratorium dibawah BATAN, LIPI, BPPT, KLH dan Kemenristek. Sehingga pengelolaan partnership menjadi sistem yang sangat sesuai dengan kawasan PUSPIPTEK karena pendanaan eko-inovasi dapat dilakukan berdasarkan sharing pendanaan dari masing-masing instansi yang terlibat dengan Kepala PUSPIPTEK sebagai Kepala Pengelolaan Kawasan.

Pengelolaan kawasan PUSPIPTEK dengan sistem partnership merupakan sistem yang dapat diimplementasikan dengan baik di Kawasan PUSPIPTEK mengingat sistem pengelolaan tersebut akan memungkinkan dilakukannya kerjasama yang baik dari seluruh balai/pusat/laboratorium yang terlibat di bawah satu koordinator yang jelas. Adanya model partnership memungkinkan terjadi sinergi serta meminimalkan terjadinya konflik antar penghuni kawasan karena semua penghuni memiliki peran dan tanggung jawab dalam mengelola kawasan baik secara internal di dalam balai/pusat/laboratorium serta berkontribusi dalam pengelolaan kawasan PUSPIPTEK secara effisien dan effektif serta akan terjadi sharing ilmu pengetahuan dan sekaligus implementasi berbagai hal secara kemitraan.

Analisis Struktur Lembaga Kawasan Eko-Inovasi

Pada penelitian ini terdapat 17 permasalahan yang terkait dengan kelembagaan pengembangan eko-inovasi di Kawasan PUSPIPTEK baik langsung maupun tidak langsung. Adapun permasalahan-permasalahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 16 dan gambaran dari masing-masing peringkat permasalahan berdasarkan nilai driver power dapat dilihat pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22, nilai driver power permasalahan tertinggi terdapat pada nomor 7 atau partisipasi pemangku kepentingan untuk perbaikan lingkungan, sedangkan yang memiliki nilai driver power terendah adalah permasalahan nomor 17 atau banyaknya limbah organik dan an-organik yang dihasilkan.

(19)

Permasalahan-permasalahan tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage, dan independent.

Tabel 16 Permasalahan dalam kelembagaan pengembangan eko-inovasi di Kawasan PUSPIPTEK

No Permasalahan Driver

Power

Rank Level

1 Peralatan yang idle dan tua 4 6 2

2 Tingkat pelayanan pengguna kawasan 4 6 2

3 Pertumbuhan kawasan 6 5 3

4 Pertumbuhan penduduk 10 4 4

5 Kualitas SDM 13 3 5

6 Sistem perencanaan kawasan 16 2 6

7 Partisipasi pemangku kepentingan untuk perbaikan lingkungan

17 1 7

8 Biaya pemulihan lingkungan 16 2 6

9 Revisi kebijakan pengadaan IPAL terpadu 10 4 4

10 Peran pemerintah 10 4 4

11 Pengaturan pembuangan limbah 13 3 5

12 Tenaga keamanan kawasan 10 4 4

13 Kepedulian perilaku pemangku kepentingan kawasan

16 2 6

14 Pelayanan pengelola kawasan 4 6 2

15 Perilaku pemangku kepentingan kawasan terhadap lingkungan

13 3 5

16 Teknologi / kualitas lingkungan 6 5 3

17 Banyaknya limbah organik dan an-organik yang dihasilkan

1 7 1

Adapun permasalahan prioritas dalam kelembagaan pengembangan eko-inovasi di kawasan PUSPIPTEK adalah : (1) Partisipasi pemangku kepentingan untuk perbaikan lingkungan, (2) Sistem perencanaan kawasan, (3) Biaya pemulihan lingkungan, (4) Keperdulian perilaku pemangku kepentingan kawasan, (5) Kualitas SDM, dan (6) Pengaturan pembangunan pengolahan limbah terpadu.

Hasil analisis ISM menggambarkan pendapat para ahli bahwa prioritas kegiatan dalam penyusunan strategi pengelolaan Kawasan Eko-Inovasi yang berkelanjutan terdiri dari komponen struktur. Komponen struktur tersebut dibagi menjadi tiga elemen utama yaitu elemen dependent, elemen linkage dan elemen independent. Adapun hasil analisis ISM dapat dilihat pada matriks Driver Power-Dependence seperti yang tertera pada Gambar 24. Pada Gambar 24 terlihat bahwa level yang termasuk pada elemen independent adalah level 7 hingga level 5 yang diawali di level 7 yaitu partisipasi pemangku kepentingan untuk perbaikan lingkungan. Level 6 diikuti oleh sistem perencanaan kawasan, biaya pemeliharaan lingkungan dan kepedulian perilaku pemangku kepentingan kawasan. Pada level 5 adalah kualitas SDM, pengaturan pembuangan limbah dan perilaku pemangku kepentingan kawasan terhadap lingkungan. Enam permasalahan prioritas berada pada sektor independent dengan faktor pendorong yang besar. Oleh karena itu, keenam elemen ini merupakan elemen-elemen yang paling menentukan dalam penyusunan strategi kelembagaan pengelolaan eko-inovasi yang berbasis kawasan.

(20)

79

Sektor linkage memberikan makna setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Posisi elemen prioritas menumbuhkan kemampuan mandiri dalam upaya hidup sehat, berada di dekat sektor linkage, yang berarti faktor tersebut dapat berubah menjadi sektor linkage apabila faktor-faktor yang lain mendukung sub elemen tersebut. Hasil analisis di sektor linkage berisi elemen pada level ke empat yaitu pertumbuhan penduduk, revisi kebijakan pengadaan IPAL, peran pemerintah dan tenaga keamanan kawasan.

Gambar 22 Peringkat permasalahan berdasarkan nilai driver power

Sektor dependent yang berisi elemen pada level 3 hingga level 1, memberikan makna bahwa keenam elemen prioritas tersebut sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Level 3 adalah pertumbuhan kawasan dan teknologi / kualitas lingkungan. Pada level 2 terdiri dari peralatan yang sudah idle dan tua, tingkat pelayanan pengguna kawasan dan pelayanan pengelola kawasan. Terakhir pada level 1 adalah banyaknya limbah organik dan an-organik yang dihasilkan.

(21)

Gambar 23 Diagram hirarki dari elemen-elemen permasalahan

Pada Gambar 23 diperlihatkan bahwa partisipasi pemangku kepentingan untuk perbaikan lingkungan dianggap merupakan hal yang utama oleh responden dalam kegiatan pengelolaan kawasan eko- inovasi. Menurut Blake dan Broofield (1987), pemangku kepentingan perlu diletakkan sebagai land manager atau menjadi pusat pengaturan setiap permasalahan dan berdasarkan persepsi dasar masyarakat. Karena menurut Kartasasmita (1996), pembangunan memang dapat berjalan dengan mengandalkan kekuatan yang ada pada pemerintah, namun hasilnya tidak akan sama jika dibandingkan dengan pembangunan yang mendapat dukungan dan partisipasi pemangku kepentingan. Dengan demikian perjalanan dalam pembangunan menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, sangat diperlukan partisipasi pemangku kepentingan.

(22)

81 0 Dependence D R I V E R P O W E R DEPENDENCE 17 1, 2, 14 3, 16

Sektor III Linkage Sektor IV Independent Sektor II Dependent Sektor I Autonomous 4, 9, 10, 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 5,11,15 6,8,13 7

Gambar 24 Matrik driver power-dependence untuk elemen prioritas

Prioritas kegiatan berikutnya adalah sistem perencanaan kawasan kegiatan dibutuhkan untuk meminimalkan biaya dan kesalahan di lapangan dalam bentuk konsep kegiatan, sehingga biaya pemeliharaan kawasan pun dapat ditekan dengan mengutamakan kegiatan sesuai dengan konsep eko-inovasi pada pengelolaan air, limbah dan energi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan adanya partisipasi pemangku kepentingan kawasan berupa pikiran, tenaga, keahlian, maupun finansial, maka kepedulian pemangku kepentingan pada pengelolaan kawasanpun dapat ditingkatkan dan lebih memiliki daya ungkit yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang yang merupakan salah satu bentuk pengakuan legal akan perlunya partisipasi masyarakat.

Berdasarkan hasil identifikasi pada elemen pelaku eko-inovasi kawasan PUSPIPTEK diperoleh hasil bahwa elemen ini terdiri dari empat belas sub elemen pelaku/pemangku kepentingan yang terlibat yaitu:

1. Pemerintah pusat (G-1): Kementerian Riset dan Teknologi merupakan Kementerian yang mempunyai tugas pokok dan fungsi kebijakan IPTEK dan penanggungjawab kawasan PUSPIPTEK melalui Asdep Penyedia dan pengguna iptek.

2. Pemerintah pusat terkait (G-2): BAPPENAS, Kemenperin, Kemenkeu merupakan kementerian yang terkait dengan pendanaan, pembinaan industri dan kebijakan terkait.

3. Pemerintah pusat terkait lingkungan (G-3): KLH Cq Pusarpedal di Kawasan, merupakan pusat sarana pengujian dan pengendalian lingkungan dan jasa konsultasi lingkungan.

4. Pemerintah daerah (G-4): Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Bogor.

5. Pengelola kawasan (G-5): Asdep Jaringan Penyedia dengan Pengguna Iptek dengan tugas merumuskan rekomendasi kebijakan jaringan Iptek, mengimplementasi dan mengevaluasi kebijakan dan memfasilitasi koordinasi LPNK di bawah koordinasi Iptek.

6. Lembaga Litbang (BPPT, LIPI, BATAN) di Kawasan PUSPIPTEK (G-6): sebagai lembaga penelitian, pengujian dan administrasi pelayanan pengguna Iptek.

(23)

7. Perguruan tinggi (G-7): sebagai mitra untuk dapat mengembangkan Iptek dan sumber SDM.

8. Industri/IKM (swasta) sebagai pengguna jaringan iptek (G-8).

9. Investor/lembaga keuangan/modal ventura, sebagai sumber pendanaan bagi IKM (G-9).

10. Masyarakat sekitar (G-10): sebagai pihak yang merasakan dampak secara langsung adanya kawasan PUSPIPTEK merupakan faktor yang tidak boleh dilupakan karena akan sangat menentukan dimana kawasan itu berada maka akan sangat terkait dengan kondisi masyarakat sekitar tanpa dukungan masyarakat sekitar maka suatu sistem tidak akan dapat berjalan.

11. Peneliti/perekayasa Lembaga Litbang di Kawasan (G-11): merupakan SDM yang bertugas untuk menjalankan fungsi penelitian, pelayanan dan fasilitasi industri.

12. Pemanfaat jasa wisata iptek (mahasiswa/SLTA/SLTP/SD/umum) (G-12):merupakan pihak pengguna kawasan PUSPIPTEK.

13. Lembaga Standarisasi Penilai Eko-Kawasan (GBCI) (G-13): merupakan lembaga yang menilai kawasan dari segi eko.

14. Pengguna jasa PUSPIPTEK (G-14): ( jasa konsultasi, jasa analisa, diklat), merupakan pihak pengguna jasa PUSPIPTEK.

Berdasarkan analisis dengan menggunakan teknik ISM, maka elemen pelaku pengembangan yang terdiri dari 14 sub elemen dapat digambarkan dalam bentuk hirarki dan dibagi dalam empat sektor. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kemenristek (G1), Pengelola kawasan (G-5) dan Lembaga Litbang (G-6) merupakan sub elemen kunci dalam pengembangan eko-inovasi kawasan PUSPIPTEK sehingga perlu dikaji lebih hati-hati karena sub elemen ini akan mendukung pelaku yang lain. Berdasarkan pemisahan tingkat pada reachability matriks, maka dapat dilakukan penetapan hirarki melalui ranking dengan merujuk pada aspek driver power. Diagram model struktur elemen pelaku pengembangan dapat dilihat pada Gambar 25. Struktur hirarki menunjukan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub elemen pelaku pengembangan. Hal ini berarti bahwa sub elemen pelaku pengembangan yang satu akan didukung oleh sub elemen pada hirarki dibawahnya.

(24)

83

Gambar 25 Diagram hirarki dari elemen-elemen pelaku/pemangku kepentingan Berdasarkan matrik driver power dan dependence maka dapat dikelompokkan kedalam empat sektor sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 26. Sektor I merupakan sektor autonomous, sektor II merupakan sektor dependent, sektor III merupakan sektor lingkage dan sektor IV merupakan sektor independent.

Dependent Level 1 Level 2 Level 3 Linkage Level 4 Independent Level 5 G-12. Pemanfaat jasa Iptek G-3 KLH G-2. Pemeritah Pusat terkait G-9. Investoe G-13. GBCI G-8. Industri/IKM G-10. Masyarakat Sekitar G-4. Pemda G-7. Perguruan Tinggi G-11. Peneliti kawasan G-1. Kemenristek G-6. Lembaga Litbang G-5. Pengelola Kawasan

(25)

0

Gambar 26 Matrik driver power-dependence pelaku/pemangku kepentingan Berdasarkan matrik driver power dan dependence menunjukan bahwa sub pemerintah pusat terkait (G-2), KLH (G-3), perguruan tinggi (G-7) dan peneliti kawasan (G-11) merupakan sektor linkage. Hal ini berarti sub elemen ini mempunyai kekuatan penggerak tinggi tetapi mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap elemen pelaku yang lain. Pada setiap tindakan pada sub elemen ini akan menghasilkan sukses pengembangan eko-inovasi, sedangkan lemahnya tindakan pada sub elemen ini akan menyebabkan kegagalan pengembangan program ini, oleh karena itu maka sub elemen ini perlu dikaji secara hati-hati. Sub elemen pengelola kawasan (G-5), lembaga litbang (G-6) dan Kemenristek (G-1) berdasarkan klasifikasi tersebut tergolong dalam kelompok independent. Hal ini menunjukan bahwa sub elemen ini mempunyai kekuatan pendorong yang tinggi tetapi tingkat ketergantungan terhadap pengembangan eko-inovasi tinggi.Analisis lebih lanjut menyatakan bahwa pemda (G-4), masyarakat sekitar (G-10), industri/IKM (G-8), Investor (G-9), GBCI (G-13), pemanfaat iptek (G-12) dan pengguna jasa iptek (G-14) adalah termasuk peubah bebas (dependent). Dalam hal ini berarti mempunyai kekuatan penggerak yang rendah dan tingkat ketergantungan tinggi, sehingga sub elemen ini merupakan akibat dari sub elemen yang lain.

DEPENDENCE D R I V 1.1.1.1.1.1 E R P O W E R G-12, G-13 G-1 Linkage Independent Dependent Autonomous 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 9 10 9 G-2, G-7, G-3,G-11 G-5 G-4, G-10, G9 G-6 G-8, G-9, G-13

(26)

85

Tahapan Implementasi

Validasi Sub Model Ekologis Eko-Inovasi

Hasil Penilaian GBCI dengan Implementasi Eko-Inovasi

Salah satu model penilaian eko pada kawasan adalah telah dirumuskan oleh GBCI. Dalam pembangunan kawasan atau revitalisasi kawasan yang memiliki konsep eco/green techno park, maka seluruh aspek diatas harus diselaraskan dengan kriteria dalam penentuan apakah suatu kawasan tersebut termasuk dalam kategori green atau tidak. Sederet prasyarat dalam pengembangan kawasan sudah disiapkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) dalam rangka penilaian tersebut. Pencapaian penilaian green atau tidaknya suatu kawasan disebut dengan peringkat. Peringkat ini merupakan akumulasi nilai yang diperoleh suatu kawasan terhadap penilaian kriteria yang sudah ditetapkan. Hasil penilaian GBCI pada kondisi eksisting dan pada implementasi model eko-inovasi dapat meningkatkan dari penilaian Bronze ke Platinum. Ringkasan hasil penilaian eksisting dan implementasi model eko-inovasi disajikan pada Tabel 17 dan Tabel 18.

Tabel 17 Persyaratan kawasan yang dapat dinilai GBCI dan ketersediaan di Kawasan PUSPIPTEK

NO JENIS DOKUMEN NORMA KETERSEDIAAN

1

Masterplan kawasan atau rencana induk

kawasan. ADA ADA

2 Minimum luas kawasan yang dianjurkan 1Ha 460 Ha 3

Jumlah gedung/bangunan sesuai fungsi

minimum 2 unit 20 unit

4 Kesediaan data gedung ADA ada

5

Izin lingkungan atau surat kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL/UPL.

ADA ada

*Keterangan

1 Ditunjukkan dengan adanya Masterplan/Roadmap kawasan PUSPIPTEK 2 Ditunjukkan dengan gambar layoutPUSPIPTEK dan HGB/U/K

3 Ditunjukkan dengan gambar layoutPUSPIPTEK dan IMB yang pernah dikeluarkan

4 Ditunjukkan dengan gambar teknik/As Build

Drawing

(27)

Tabel 18 Hasil penilaian GBCI kondisi eksisting dan dengan model Eko-Inovasi

No Kriteria Hasil Penilaian

Kondisi Eksisting*

Hasil Penilaian dengan

Eko-inovasi*

1 Eligibility memenuhi memenuhi

2 Peningkatan ekologi lahan (LEE) 13 18

3 Pergerakan dan konektivitas 11 20

4 Manajemen dan konservasi air 9 13

5 Manajemen siklus material 5 13

6 Bangunan dan infrastruktur 3 6

7 Strategi kesejahteraan masyarakat 2 11

Jumlah Nilai 43 81

Kategori BRONZE PLATINUM

*Hasil Penilaian sebelum dan sesudah eko-inovasi disajikan pada Lampiran Kelayakan Implementasi Eko-inovasi

Pada analisis kelayakan implementasi Eko-inovasi maka ada beberapa asumsi yang dilakukan yaitu:

1. Untuk biaya investasi hanya ditahun ke – 0

2. Untuk selanjutnya disebut biaya maintenance dari tahun ke - 1 sd 10 3. Biaya maintenance untuk perawatan embung 5% dari investasi per tahun 4. Asumsi kenaikan TDL 10%/tahun

5. Asumsi kenaikan biaya &income 10%/tahun

Pada analisis kelayakan penghematan yang didapatkan dengan implementasi eko-inovasi dianggap sebagai pendapatan. Modal tetap investasi dihitung dari biaya peralatan dan biaya lain yang timbul dengan implementasi inovasi pada air, limbah dan energi yang telah dihitung sebelumnya. Pada analisa kelayakan ini menghasilkan NPV pada discount factor 15 % pada Rp 3.895.228.761, IRR 23,20% dan PBP 4,48 tahun. Berdasarkan hal tersebut maka implementasi model eko-inovasi di Kawasan PUSPIPTEK layak dilakukan dan akan memberikan dampak positif yaitu kawasan yang lebih nyaman dengan predikat GBCI Platinum.Adapun arus kas kelayakan yang lebih detil dapat dilihat pada Tabel 19.

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan melalui penyusunan pengembangan kebijakan eko-inovasi di Kawasan PUSPIPTEK maka penelitian ini menghasilkan kebaruan (novelty) serta tinjauan aspek epistemologis sebagai berikut :

1) Penajaman Perangkat Penilaian Pembangunan Berkelanjutan GBCI

Sejak tahun 1992 di Rio Jenero masyarakat dunia sepakat untuk mengadopsi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini secara jelas mengidentifikasikan bahwa keberlanjutan memerlukan perubahan proses jangka panjang yang menyangkut teknologi, infrastruktur, perilaku serta kelembagaan (Renning.1998). Pertemuan terakhir Rio+20 terjadi kesepakatan global perubahan target capaian pembangunan dari Millinium Goals menjadi Sustainable Development Goals yang menekankan pada ekonomi hijau namun implementasinya berbeda pada masing-masing negara. Berbagai studi telah banyak dilakukan dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan, baik dalam tataran pengembangan paradigma, teori maupun implementasi. Studi-studi ini pada dasarnya mencari berbagai upaya, baik pada level makro, meso maupun mikro dalam mengartikulasikan pembangunan berkelanjutan. Model-model yang dikembangkan

(28)

87

seperti eko-efisiensi, kota hijau (green city), kota pintar (smart city), serta model-model lain yang dapat mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan.

Penelitian ini secara umum bertujuan menyusun pengembangan kebijakan eko-inovasi pada kawasan pusat penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan mengintegrasikan sub model ekologis dan sub model kelembagaan. Hasil studi berupaya untuk menemukan pengembangan kebijakan eko-inovasi yang terbaik di Kawasan PUSPITEK telah menghasilkan beberapa hal meliputi; pada submodel ekologis melalui eko-inovasi air, energi dan limbah domestik telah dihasilkan submodel ekologis yang memberikan nilai ekonomis yang lebih effisien dalam hal biaya yang dibutuhkan serta keuntungan pelestarian sumber daya alam terutama aspek sumber daya air dan aspek energi dalam pengelolaan ekologis kawasan. Melalui difusi teknologi di dalam kawasan dengan mengintegrasikan pengelolaan air, energi dan limbah, terbukti bahwa penerapan teknologi hijau memberikan dampak positif dalam pengelolaan kawasan. Pengembangan submodel ekologis dengan menggunakan variabel-variabel yang dikembangkan oleh GBCI pada kawasan PUSPIPTEK secara umum dapat diimplementasikan. Namun demikian, PUSPIPTEK sebagai kawasan pengembangan iptek dan objek vital nasional yang di dalamnya terdapat reaktor nuklir maka perangkat penilaian GBCI belum cukup untuk mencakup keseluruhan aspek yang diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan khususnya pada kawasan yang memiliki kekhususan seperti PUSPIPTEK.

Konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada tiga aspek yang meliputi ; aspek ekologi, ekonomi dan sosial belum tercermin secara utuh di dalam perangkat penilaian GBCI. Perangkat penilaian yang dikembangkan lebih menekankan pada aspek internal kawasan dan belum secara mendalam memberikan perhatian terhadap externalitas yang mempengaruhi keberadaan kawasan dimaksud. Keberlanjutan suatu kawasan tidak hanya ditentukan oleh seberapa jauh upaya yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan di dalam kawasan, lebih dari pada itu peran para pemangku kepentingan diluar kawasan seperti halnya masyarakat sekitar kawasan, pemerintah, industri merupakan merupakan faktor penentu dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan kawasan. Hal ini sangat berkaitan dengan berbagai kebijakan yang diambil oleh para pemangku kepentingan serta keberadaan kelembagaan yang dapat menciptakan kawasan berkelanjutan. Oleh karena itu secara umum, perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap perangkat penilaian yang telah dikembangkan untuk memasukkan lebih komprehensif terhadap aspek sosial dan ekonomi yang dapat memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Menelaah kategori dan kriteria yang dikembangkan oleh GBCI serta berdasarkan konsep eko-inovasi yang dikembangkan di kawasan PUSPIPTEK, penelitian ini memberikan penajaman terhadap kategori maupun kreteria yang ada sebagai berikut; 1) kategori Strategy Kesejahteraan Masyarakat (Community Wellbeing Strategy (CWS)) pada aspek keamanan dan keselamatan (Safe and Secure Environment ) baik di dalam maupun luar kawasan yang terkena dampak pada kasus seperti kawasan PUSPIPTEK diperlukan kriteria-kriteria yang lebih rinci mencakup standar-standar pencegahan, penanganan kedaruratan nuklir serta jaminan sosial seperti asuransi atau kompensasi bagi masyarakat terkena dampak. Pada kriteria inovasi, penelitian ini memberikan dimensi yang lebih komprehensif terhadap Perangkat Penilaian Kawasan Berkelanjutan. Sustainable Development Goals telah menetapkan bahwa pembangunan ekonomi kedepan berlandaskan pada ekonomi hijau yang mengedapankan peran inovasi. Kriteria yang dikembangkan oleh GBCI masih terbatas pada bagaimana kawasan mengimplementasikan teknologi ramah lingkungan (add-on innovation). Sebagai kawasan pengembang teknologi, penelitian ini juga memberikan pengkayaan terhadap

(29)

kriteria inovasi tidak saja terbatas pada pemanfaatan teknologi, akan tetapi nilai yang tinggi seharusnya diberikan kepada upaya pengembangan teknologi hijau.

Kriteria inovasi juga harus diperluas cakupannya tidak saja pada aspek fisik atau teknologi akan tetapi sangat penting untuk memasukkan inovasi non fisik berupa inovasi sosial seperti kebijakan, kelembagaan. Inovasi yang berkaitan dengan kebijakan akan memberikan dimensi yang lebih luas terhadap implementasi berbagai teknologi hijau karena di dalamnya mengandung komitmen dari pemangku kepentingan yang berada di dalam kawasan untuk bersama sama mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran untuk memperkaya perangkat penilaian kawasan berkelanjutan, dengan mengusulkan agar kriteria inovasi yang berada dalam kategori pada strategi kesejahteraan masyarakat sebaiknya ditingkatkan menjadi kategori tersendiri sehingga perangkat penilaian yang semula berjumlah 6 kategori menjadi tujuh kategori. Untuk memperkuat inovasi dalam perangkat penilaian, maka inovasi harus di definisikan secara luas seperti halnya konsep eko-inovasi maka dapat diklasifikasikan sebagai teknologi inovasi, inovasi organisasi, inovasi kawasan serta eko-inovasi sosial.

Kelembagaan Eko-inovasi Struktur Lembaga Eko-inovasi

Untuk dapat mewujudkan kawasan PUSPIPTEK sebagai kawasan ekologis maka diperlukan upaya-upaya proaktif diberbagai aspek yang menyangkut kebijakan, kelembagaan, partisipasi masyarakat serta unsur lainnya yang dapat mendukung terwujudnya kawasan eko-inovasi PUSIPTEK. Kelembagaan secara umum dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek meliputi aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian. Aspek kelembagaan berkaitan dengan norma, nilai, kebiasaan. Pada aspek kelembagaan perubahannya bersifat kultural dan berlangsung lama. Sedangkan aspek keorganisasian menekankan pada struktur atau struktur sosial yang menitikberatkan pada aspek peran, aktivitas, hubungan antar peran, integrasi sosial. Pada aspek keorganisasian bersifat struktural dan perubahan sosial berlangsung cepat. Dari pengertian di atas, maka penelitian ini melihat dari kedua aspek tersebut.

Kelembagaan dan sistem pengelolaan eko-inovasi di kawasan PUSPIPTEK disusun berdasarkan hasil analisis data AHP dan ISM. Pada pemilihan sistem pengelolaan kawasan yang merupakan pilihan terbaik adalah model partnership dan Kemenristek (G1), Pengelola kawasan (G-5) dan Lembaga Litbang (G-6) merupakan sub elemen kunci dalam pengembangan eko- inovasi Kawasan PUSPIPTEK sehingga perlu dikaji lebih hati-hati karena sub elemen ini akan mendukung pelaku yang lain. Sesuai dengan kondisi kelembagaan saat ini serta permasalahan yang dihadapi pengelola PUSPIPTEK maka layaknya sebuah kawasan pada umumnya memiliki entitas khusus dimana kawasan PUSPIPTEK secara fungsional memiliki ciri tertentu/spesifik dan khusus. Mizany et al. (2008) menyatakan bahwa kawasan khusus dapat dicirikan oleh 4 (empat) karakteristik umum yakni; a. A form of government, b. Governed by a board, c. Provide services and facilities dan d. Has defined boundaries. Oleh karena itu, dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus melalui kawasan khusus seperti halnya PUSPIPTEK dibutuhkan adanya lembaga yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan tersebut.

Implementasi model partneship pada kawasan PUSPIPTEK memiliki kompleksitas yang tinggi tercermin dari permasalahan yang dihadapi serta para pemangku kepentingan yang berpengaruh terhadap pengelolaan PUSPIPTEK. Untuk menjawab hal tersebut diperlukan adanya struktur lembaga yang berfungsi optimal agar terjadi sinergi antara

(30)

89

pengelola kawasan dan lembaga litbang serta pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan pertimbangan model kelembagaan kawasan khusus PUSPIPTEK secara desentralisasi sebagai berikut; Untuk menjawab hal tersebut diperlukan adanya struktur lembaga yang berfungsi optimal agar terjadi sinergi antara badan pengelola kawasan dan lembaga litbang serta pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan pertimbangan model kelembagaan kawasan khusus PUSPIPTEK secara desentralisasi sebagai berikut; 1. tercipta kemandirian kawasan, karena Badan Pengelola Kawasan diberikan otonomi dan bersifat independen untuk mengelola sendiri kawasannya; 2. terjadi effisiensi pegawai, karena pegawai yang dibutuhkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan; 3. terjadi pemanfaatan sumber daya lainnya termasuk dana karena Badan Pengelola Kawasan akan bekerja sesuai mendekati skala ekonomi atau paling tidak sesuai dengan lingkup tugas dari kawasan yang dikelolanya serta; 4. terjadi percepatan pertumbuhan kawasan yang mendukung perekonomian lokal, nasional dan regional. Dari sudut pengelolaan secara profesional sesuai Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) memberikan peluang rekruitmen terhadap tenaga-tenaga profesional di bidangnya melalui rekruitmen aparatur sipil negara dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Hal ini memberi peluang yang lebih luas agar PUSPIPTEK dikelola dengan prinsip-prinsip managemen modern.

Berdasarkan pertimbangan di atas dan sesuai karakteristik serta permasalahan yang dihadapi serta beban tugas dan fungsi yang diemban oleh PUSPIPTEK dalam mengembangkan kawasan eko-inovasi maka struktur lembaga yang disarankan adalah berupa Badan Pengelola Kawasan. Badan Pengelola Kawasan yang akan dibentuk harus memiliki struktur lembaga yang dapat mengoptimalkan fungsi-fungsi PUSPIPTEK ke depan baik secara internal mengelola fisik kawasan agar terjadi koordinasi yang harmonis antara pengelola dan para lembaga yang berada di dalam kawasan, sedangkan secara eksternal dapat melakukan pelayanan kepada masyarakat baik pelayanan publik maupun komersialisasi hasil-hasil iptek. Adapun model lembaga PUSPIPTEK sebagai kawasan khusus sebagaimana Tabel 17.

Kelembagaan Keberlanjutan Eko-inovasi

Permasalahan lingkungan tidak semakin ringan dan kedepan akan semakin berat hal yang hal ini disebabkan karena semakin terbatasnya sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan harus dilakukan dengan prinsip good governance menjadi environmental governance melalui sumber daya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimiliasi sosial budaya yang semakin mantap. Konsep environmental governance pada prinsipnya terdapat pada hubungan diantara pemerintah, masyarakat dan swasta. Sebagai sebuah sistem environmental governance terdiri dari aspek sosial, ekonomi, interaksi politik dan budaya diantara banyak aktor dalam masyarakat madani. Berikut adalah gambar kelembagaan keberlanjutan eko-inovasi.

(31)

Koordinasi

Kebijakan tata ruang

Kebijakan Kebijakan, kerjasama Kebijakan, insentif Penerapan iptek Komersialisasi iptek Kerjasama Pelayanan Penerapan Bimbingan, CSR Pelayanan Pelayanan Kebijakan, insentif PUSPIPTEK PEMERINTAH DAERAH PEMERINTAH PUSAT PERGURUAN TINGGI/ LEMBAGA LITBANG MASYARAKAT SWASTA/INDUSTRI

Gambar 27. Diagram Kelembagaan Keberlanjutan Eko-Inovasi

Dengan demikian, peran dari aktor aktor pemerintahan, lembaga-lembaga non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penggunaan kekuasaannya dalam pengambilan kebijakan sangat berpengaruh. Secara spasial keberadaan kawasan PUSPIPTEK tidak dapat dilepaskan dari keberadaan lingkungan sekitarnya. Langkah proaktif yang diambil untuk menciptakan kawasan berkelanjutan di PUSPIPTEK tidak akan dapat berjalan apabila tidak didukung oleh berbagai unsur baik pemerintah, pemerintah daerah, industri serta masyarakat. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat serta perubahan struktur ruang disekitar kawasan PUSPIPTEK memerlukan upaya bersama aktor-aktor yang terlibat dalam menjaga kawasan PUSPIPTEK. Beberapa unsur penting dari kelembagaan adalah institusi, yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat, norma dan tingkah laku masyarakat, peraturan dan penegakan peraturan yang dapat memberikan wadah koordinasi dan kerjasama dengan dukungan hak dan kewajiban anggota yang disepakati. Kelembagaan dapat dibagi menjadi 3 sektor meliputi sektor publik (pemerintah dan pemerintah daerah), sektor swasta (organisasi jasa dan bisnis swasta) dan sektor masyarakat.

Untuk dapat membangun kelembagaan keberlanjutan eko-inovasi di PUSPIPTEK maka masing-masing aktor harus melakukan aksi sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang yang melekat pada masing-masing lembaga, hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut; 1. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi sebagai kementerian

yang diberikan tugas untuk mengelola PUSPIPTEK harus melakukan langkah strategis agar tidak terjadi pergeseran tata guna lahan dengan menjadikan kawasan PUSPIPTEK sebagai kawasan strategis nasional. Sehingga sesuai dengan undang-undang apabila kawasan PUSPIPTEK menjadi kawasan strategis nasional maka fungsi konservasi dapat berlangsung. Disamping itu, sebagai lembaga pengembang teknologi maka diperlukan kebijakan yang mengimplementasikan produksi bersih dalam aktivitasnya serta sekaligus mengembangkan berbagai teknologi hijau.

(32)

91

Tabel 19 Model struktur lembaga PUSPIPTEK Bentuk

lembaga

Perubahan yang sangat mendasar kawasan khusus menjadi faktor kunci dimana kewenangan berada pada Badan Pengelola Kawasan

Tugas dan fungsi

1. Memiliki otoritas yang penuh dan independen dalam mengembangkan kawasan sesuai fungsinya sebagai; Center of Excelence, Pusat pengembangan teknologi dan produk nasional, Pusat informasi iptek, Pusat pengembangan bisnis inovasi, pusat pendidikan dan pelatihan technopreneurship dan SDM industri.

2. Berfungsi sebagai public services (pelayan masyarakat) dan entreprise . Model

Pengelolaan

1. Kebijakan strategis dirumuskan oleh badan pengelola bersama sama dengan para pemangku kepentingan di dalam kawasan

2. Kebijakan operasional dilakukan oleh Badan Pengelola Kawasan. 3. Badan Pengelola Kawasan bertanggung jawab kepada Menteri yang

mengkoordinasikan kawasan PUSPIPTEK

4. Kerjasama dapat dilakukan dengan masyarakat, swasta, pemerintah maupun pemerintah daerah serta international

Sumber Dana 1. Dana pemerintah APBN dan APBD 2. Dana berasal dari bisnis dan swasta 3. Dana internastional

4. Sumber-sumber lain yang tidak mengikat Implikasi

terhadap sumber daya

1. Perubahan struktur pengelolaan PUSPIPTEK serta lembaga-lembaga yang berada di kawasan PUSPIPTEK

2. Sarana dan Prasarana serta sistem pengelolaan anggaran yang mengalami perubahan.

Kendala 1. Tantangan dari internal meliputi reposisi aktivitas laboratorium maupun pusat-pusat yang selama ini berjalan masing-masing menjadi satu pengelolaan oleh Badan Pengelola Kawasan 2. Perubahan mindset dari para pemangku kepentingan Dimodifikasi dari Dawud (2003)

2. Pemerintah Daerah Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Kota Tangerang Selatan serta Kabupaten Bogor sesuai kewenangannya untuk menyusun RTRW Kawasan PUSPIPTEK sebagai kawasan strategis nasional melalui PERDA. Disamping itu, pemerintah daerah berkewajiban mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan. Diperlukan adanya perencanaan, implementasi, evaluasi dan monitoring terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.

3. Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang memiliki kewajiban untuk mempersiapkan sumber daya manusia, mengembangkan iptek yang dapat mendukung pembangunan hijau serta melakukan monitoring dan evaluasi terhadap berbagai program yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.

4. Pihak swasta yang memiliki usaha baik yang bergerak di bidang industri maupun pengembang perumahan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan aktivitasnya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku untuk menciptakan tata kelola lingkungan yang baik serta dalam aktivitas produksinya memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan.

5. Masyarakat berfungsi sebagai subjek maupun objek pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Masyarakat memiliki tanggung jawab memelihara lingkungan dengan

Gambar

Tabel 7 Data pengolahan air eksisting di PUSPIPTEK
Tabel 8 Investasi dan biaya yang diperlukan untuk skenario substitusi 30% Air dari                     kebutuhan total air bersih
Tabel 9 Hasil perhitungan penghematan biaya produksi air bersih dengan eko-inovasi  Penghematan yang diharapkan  Nilai  Satuan  Biaya produksi air/m 3  (Harga Normal)  1300  Rp/m 3
Gambar 17 Hasil analisis regresi power dan biaya operasional untuk AC                                  dengan Solar Cell
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saya merasa puas karena barang yang dijual di Butik Zoya Semarang sesuai dengan keinginan Konsumen... Correlation is significant at the 0.01

Metode pembelajaran adalah suatu cara atau strategi belajar yang digunakan guru untuk menyajikan materi dan menumbuhkan interaksi dalam proses pembelajaran dengan

Diagram peningkatan aspek keterampilan berpikir kritis siswa Dari Diagram 1 dapat diketahui bahwa peningkatan aspek klarifikasi dasar, dasar dalam mengambil keputusan,

Hasil pengamatan daun sisal yang bergejala penyakit zebra di Sumbawa, biasanya terjadi pada tanaman muda dimulai pada daun bagian bawah, ketika kondisi

Tingkat pengetahuan ini merupakan efek kognitif dari teori komunikasi S-O-R dimana dengan adanya stimulus mengenai logo baru XL, konsumen yang tidak mengetahui perubahan logo

Dengan begitu, desain komunikasi visual adalah cara berpikir rasional untuk mencari solusi dari suatu permasalahan yang diaplikasikan ke dalam berbagai media yang

Selain cambuk ada juga beberapa simbol lainnya yaitu bendera yang terbuat dari kain putih yang bertuliskan kalimat Lailahaillallah yang dibuat oleh masyarakat Sungai Kuruk

Jika selama Perjalanan, Anda harus menghadiri pernikahan, pemakaman, konferensi atau acara olahraga yang sudah diatur sebelumnya dan tidak dapat ditunda karena