• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Post Purchase Dissonance

B. 1. Definisi Dissonance

Disonansi merupakan sebuah konsep yang terjadi dimana manusia mencoba untuk menyeimbangkan konsistensi dan keharmonisan diri terhadap pendapat, perilaku maupun nilai-nilai yang muncul karena adanya ketidaknyamanan psikologis sebagai hasil dari situasi tersebut (Festinger, 1958).

Festinger dalam Ginting (2009) mengatakan bahwa “Kemunculan disonansi akan menimbulkan tekanan tersendiri untuk mengurangi atau menghilangkannya. Kekuatan dari tekanan untuk mengurangi disonansi tersebut sebenarnya adalah fungsi dari besarnya sebuah disonansi”, yang artinya munculnya disonansi akan mengarah dan memotivasi individu untuk menurunkan tingkat disonansi itu

sendiri. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara mengubah perilaku ataupun mengubah pandangan atau kognitif mengenai disonansi tersebut.

B. 2. Definisi Post Purchase Dissonance

Disonansi kognitif yang timbul setelah pembelian disebut Post Purchase Dissonance (disonansi setelah pembelian), yaitu adanya perasaan tidak nyaman mengenai belief mereka atau perasaan yang cenderung mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman & Kanuk, 2007). Post purchase dissonance terjadi ketika konsumen ragu terhadap keputusan membeli yang telah dilakukannya. Biasanya konsumen yang telah mengalami disonansi ini akan menyimpan atau membuang produk tersebut. Namun ada juga konsumen yang tetap melakukan pembelian sekalipun telah mengalami post purchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Semua hasil dari proses pembelian berakhir pada tingkat kepuasaan yang dialami konsumen, dimana akan ada konsumen yang menjadi loyal terhadap suatu barang/produk, konsumen yang kembali melakukan pembelian, ataupun konsumen yang berganti produk/barang. Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) menjelaskan adanya keraguan ataupun kecemasan merupakan reaksi umum dari post purchase dissonance. Hawkins (1972) mengatakan bahwa kecemasan ini disebut state anxiety atau kecemasan yang bersifat sementara. State anxiety adalah kondisi emosional yang mengalami perubahan karena adanya situasi yang mengancam baik itu secara fisik maupun psikologis(Cattell & Scheier, 1961).

Berdasarkan sejumlah uraian di atas maka dapat disimpulkan postpurchase dissonance merupakan kondisi keraguan yang terjadi setelah pembelian yang

17

kemudian konsumen akan melakukan sejumlah perilaku untuk mengubah atau menyesuaikan diri dengan disonansi yang terjadi.

B. 3. Indikator Pengukuran Post Purchase Dissonance

Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) menyatakan ada 3 (tiga) dimensi dalam pengukuran Postpurchase Dissonance, yaitu:

1. Emotional (Kondisi Emosi)

Munculnya ketidaknyamanan psikologis sebagai konsekuensi dari keputusan pembelian. Perasaan tidak nyaman secara psikologis yang dialami seseorang setelah membeli suatu produk menunjukkan bahwa ia sedang mengalami postpurchase dissonance.

2. Wisdom of Purchase (Kebijaksanaan Pembelian)

Pembelian yang dilakukan merupakan pilihan diri sendiri yang menunjukkan bahwa barang atau produk yang dibeli memiliki fungsi dan daya guna yang dibutuhkan. Jika barang atau produk yang dibelanjakan benar dan tepat dalam penggunaan maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.

3. Concern Over Deal (Kesadaran Setelah Pembelian Dilakukan)

Kesadaran individu setelah melakukan pembelian, dimana yang menjadi alasan dilakukan pembelian tersebut merupakan hasil pengaruh dari lingkungan atau agen penjual atau atas dasar pertimbangan diri sendiri (kebebasan dalam memutuskan untuk melakukan pembelian). Jika pembelian dilakukan karena pengaruh sejumlah informasi dari luar diri

individu maka individu tersebut akan cenderung mengalami postpurchase dissonance.

B. 4. Faktor-faktor Post Purchase Dissonance

Holloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) juga mengemukakan sejumlah faktor-faktor yang menyebabkan terjadi postpurchase dissonance yaitu: (1). Alternatif produk yang ditolak memiliki sejumlah hal yang menarik; (2). Produk yang dipilih memunculkan sejumlah faktor negatif; (3). Banyaknya variasi alternatif produk yang muncul; (4). Terjadinya kekacauan kognitif pada individu ketika melakukan pemillihan; (5). Peran kognitif dalam pemilihan produk; (6). Adanya pujian dan bujukan; (7). Munculnya perilaku yang tidak sesuai atau yang dipandang negatif pada saat melakukan pembelian; (8). Ketersediaan informasi; (9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi; dan (10). Pengetahuan mengenai produk.

Berdasarkan sejumlah faktor yang dikemukakan di atas (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007; Holloway, dalam Loudon & Bitta, 1993) maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ada dua faktor dasar yang menyebabkan postpurchase dissonance yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari diri individu sendiri yaitu kepribadian yang menyebabkan seseorang merasa cemas, khawatir dan sulit untuk mengambil keputusan, memiliki komitmen penuh ketika melakukan pembelian serta jumlah informasi dan pengetahuan yang dimiliki individu mengenai produk. Faktor eksternal adalah berbagai kondisi di luar individu yang tidak dapat dikontrol

19

seperti adanya bujukan dari orang sekitar dan banyaknya alternatif produk menarik yang tersedia (Kotler & Keller, 2009).

B. 5. Proses Keputusan Pembelian

Ada sejumlah tahapan yang akan dilewati oleh konsumen ketika melakukan pembelian dan tahapan inilah yang dijadikan dasar pengetahuan oleh para pemasar untuk memahami perilaku konsumen (Kotler & Keller, 2009; Hawkins & Mothersbaugh, 2010; Lovelock & Wirtz, 2011).

Kotler & Keller (2009) dan Hawkins & Mothersbaugh (2010) mengungkapkan serupa bahwa ada 5 tahapan ketika konsumen mengambil keputusan yaitu: Problem Recognition, Information search, Evaluation of alternatives, Purchase decision, dan Postpurchase Behavior.

Gambar 1. Five stage Model of the Consumer Buying Process Sumber: Kotler & Keller, 2009

Lebih lanjut Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membagi 3 tipe pengambilan keputusan:

1. Nominal Decision Making, dimana keputusan untuk membeli hanya didasarkan pada pengetahuan yang terbatas pada satu produk yang disukai dan evaluasi setelah pembelian juga terbatas.

2. Limited Decision Making, melibatkan pencarian informasi baik secara internal maupun eksternal sehingga berbagai alternatif muncul dan evaluasi terhadap pembelian juga terbatas. Limited Decision Making Problem Recognition Information search Evaluation of alternative Purchase decision Postpurchase behavior

hampir sama dengan Nominal Decision Making, yang berbeda adalah adanya variasi alternatif dan terjadi ketika munculnya kebutuhan secara emosional.

3. Extended Decision Making, melibatkan pemikiran dan pencarian infomasi yang panjang (baik internal maupun eksternal) yang diikuti oleh sejumlah alternatif yang kompleks dan cenderung mengalami postpurchase dissonance.

Proses di atas menjelaskan adanya tahapan yang akan dilalui oleh konsumen ketika mengambil keputusan namun sebenarnya tahapan-tahapan tersebut tidak dilalui oleh konsumen secara keseluruhan artinya semakin penting sebuah produk untuk dipertimbangkan maka semakin pula tahapan tersebut akan kita ikuti (Kotler & Keller, 2009).

Dokumen terkait