• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Bakteri Keratinolitik dari Feses Ular Sanca (Python sp.)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Potensi Bakteri Keratinolitik dari Feses Ular Sanca (Python sp.)

Hasil kemampuan aktivitas keratinolitik didapatkan 2 isolat yang memiliki indeks keratinolitik paling besar yaitu FU7 dan FU10. Selanjutnya isolat diuji kemampuannya dalam mendegradasi limbah keratin. Uji degradasi keratin dilakukan pada media cair dengan penambahan limbah keratin (bulu ayam dan rambut kambing). Kultur diinkubasi selama 25 hari pada suhu 30°C. Pada hari terakhir inkubasi, kultur disaring dengan kertas saring dan dikeringkan pada suhu 45°C selama 24 jam. Setelah kultur disaring dan dikeringkan, didapatkan hasil bobot kering dalam bentuk persentase yang dapat dilihat pada Gambar 3.

62,5 56,9 35,9 19,2 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 FU7 FU10 Penurunan B obot Keri ng (%) Isolat Bakteri Bulu Ayam Rambut Kambing

Gambar 3. Degradasi Limbah Keratin setelah 25 hari

Isolat bakteri keratinolitik FU7 mampu mendegradasi limbah bulu ayam hingga 62,5% dan limbah rambut kambing 35,9%, sedangkan kemampuan isolat bakteri keratinolitik FU10 dalam mendegradasi bulu ayam mencapai 56,9% dan rambut kambing hanya sekitar 19,2%. Perbedaan kemampuan isolat dalam mendegradasi bulu ayam dan rambut kambing disebabkan oleh kadar sistin yang terkandung dalam kedua limbah tersebut, yang menentukan tingkat kesulitan

20

degradasi keratin. Kadar sistin bulu ayam berkisar 7,63%, sedangkan pada rambut kambing sebesar 9,5% (Wilson & Lewis, 2008).

Mekanisme degradasi keratin diduga diawali oleh enzim disulfida reduktase yang beraksi pada ikatan disulfida yang berfungsi menjaga kestabilan mekanik keratin. Proses tersebut memudahkan keratinase untuk melanjutkan proses degradasi bulu (Rahayu, 2010). Berdasarkan tingkat kemudahan hidrolisis, keratin digolongkan menjadi soft keratin dan hard keratin. Kuku, sisik, bulu, atau wool lebih mudah dihidrolisis dibanding rambut manusia, kemudahan tersebut berkaitan dengan kandungan sistinnya (Kunert, 2000). Kandungan sistin pada keratin berkisar antara 11-20% dan tidak dimiliki oleh jenis protein lainnya. Jembatan sistin merupakan struktur penting keratin yang dapat menghambat kerja enzim proteolitik dalam memecah keratin sehingga diperlukan keratinase untuk memotong ikatan peptida keratin dan mengurai ikatan disulfida pada residu sistin (Presland et al., 1989). Proses keratinolitik memberikan efek langsung berupa dihasilkannya protein, lipid, asam amino terlarut serta residu gugus thiol dari sistein (Wojeiech & Anna, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yue et al. (2011) diperoleh isolat bakteri keratinolitik Bacillus sp. 50-3 dari feses kadal Calotes versicolor yang dapat mendegradasi bulu ayam utuh sebagai sumber karbon dan nitrogen setelah 36 jam diinkubasi pada suhu 37°C. Bakteri ini memiliki aktivitas keratinase yang relatif tinggi sebesar 680±25 U/ml. Pada hasil pengamatan uji in vitro untuk aktivitas keratinase yang dilakukan oleh Megiandari (2009) menunjukkan tidak adanya perubahan atau lisis dari tepung bulu ayam sebagai substrat dengan berbagai konsentrasi yang ditambahkan ekstrak kasar enzim lapisan mukosa usus biawak air (Varanus salvator). Hal ini menandakan tidak ditemukan adanya suatu aktivitas enzim keratinase.

Pada penelitian Hasan et al. (2013), bakteri keratinolitik yang diisolasi dari tanah pasir Mesir yang telah diidentifikasi sebagai Bacillus amyloliquefaciens MA20 dan Bacillus subtilis MA21 diinkubasi pada media cair basal yang mengandung 1% wool sebagai sumber karbon dan nitrogen. Kedua isolat tersebut dapat mendegradasi wool menjadi bubuk pada hari ke-5 inkubasi pada suhu 37°C. Menurut Harde et al. (2011), isolat Bacillus merupakan salah satu bakteri

21

penghasil enzim keratinase. Enzim tersebut akan memutuskan ikatan disulfida pada protein keratin. Keratin merupakan protein yang terdapat pada bulu, rambut, kulit, kuku, tanduk, sisik dan berbagai bagian tubuh makhluk hidup lainnya yang bersifat tidak larut dalam air (insoluble). Keratinase merupakan enzim yang dapat melarutkan keratin dengan memutus ikatan disulfidanya.

Laju dan kesempurnaan degradasi keratin oleh mikroorganisme sangat bergantung pada jenis substratnya dan hal ini erat berkaitan dengan kandungan sistin. Substrat yang sering digunakan untuk mempelajari aktivitas hidrolisis keratinase adalah bulu ayam (Riffel et al., 2003, Werlang & Brandelli, 2005), rambut manusia (Macedo et al., 2005), bulu sapi dan wool (Huang et al., 2003).

Untuk melihat peptida atau asam amino terlarut, dilakukan pengukuran nilai optical density (OD) pertumbuhan bakteri pada hari ke-25 menggunakan spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 280 nm. Hasil pengukuran OD dapat dilihat pada Gambar 4.

0,544 0,937 0,954 0,298 0,841 0,901 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

Kontrol FU7 FU10

OD

280

Supernatan

Bulu Ayam Rambut Kambing

Gambar 4. Peptida terlarut yang diukur pada panjang gelombang 280 nm. Hasil serapan OD masing-masing supernatan lebih tinggi daripada OD Kontrol. Nilai OD FU7 pada bulu ayam sebesar 0,937 dan rambut kambing 0,841, sedangkan nilai OD FU10 pada bulu ayam sebesar 0,954 dan rambut kambing 0,901. Hasil serapan OD perlakuan lebih tinggi daripada kontrol disebabkan karena terjadinya pelepasan asam amino selama pengkulturan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi degradasi pada bulu dimana enzim keratinase mampu memutus ikatan disulfida keratin menjadi asam amino terlarut sehingga semakin

22

banyak cahaya yang diserap sampel (absorbansi tinggi), maka konsentrasi protein terlarut semakin besar.

Kebanyakan protein mengabsorbsi cahaya ultraviolet maksimum pada 280 nm. Panjang gelombang 280 nm merupakan panjang gelombang yang memiliki afinitas kuat dengan asam amino yang memiliki cincin aromatik seperti sistin, triptofan dan tirosin (Layne, 1957). Hal ini terutama untuk mengidentifikasi adanya asam amino, seperti tirosin, triptofan dan fenilalanin yang mempunyai gugus aromatik. Asam amino tersebut merupakan asam amino yang dihasilkan dari pemecahan protein keratin. Triptofan mempunyai absorbsi maksimum pada 280 nm, sedangkan untuk tirosin mempunyai absorbsi maksimum pada 278 nm. Fenilalanin menyerap sinar kurang kuat dan pada panjang gelombang lebih pendek (Tiwary & Gupta, 2012).

Pengukuran pertumbuhan bakteri selama inkubasi dilakukan pada hari ke-0, 10 dan 25. Berdasarkan pengamatan, pola pertumbuhan meningkat seiring dengan jumlah hari inkubasi. Hasil pengukuran pertumbuhan isolat bakteri dapat dilihat pada Gambar 5.

0 5 10 15 20 25 0 10 25 Jum lah Sel Bakteri (Log C F U/ m l)

Waktu Inkubasi (hari)

Bulu Ayam FU7 Rambut Kambing FU7 Bulu Ayam FU10 Rambut Kambing FU10

Gambar 5. Pertumbuhan FU7 dan FU10 selama Inkubasi

Masing-masing isolat bakteri menunjukkan respon pertumbuhan selama pengkulturan. Hal ini sejalan dengan meningkatnya serapan OD, dimana asam amino terlarut dimanfaatkan bakteri keratinolitik sebagai nutrisi untuk tumbuh. Jumlah populasi awal FU7 pada bulu ayam sebanyak 11,98 Log CFU/ml, meningkat pada hari ke-10 menjadi 17,92 Log CFU/ml dan pada hari ke-25

23

sebanyak 19,66 Log CFU/ml, sedangkan jumlah populasi awal bakteri FU7 pada rambut kambing sebanyak 11,88 Log CFU/ml, pada hari ke-10 menjadi 17,79 Log CFU/ml dan pada hari ke-25 sebanyak 19,65 Log CFU/ml. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12 (hal. 40). Pertumbuhan jumlah masing-masing isolat berbeda satu sama lain dimungkinkan oleh perbedaan fase pertumbuhannya sehingga mempengaruhi jumlah populasi bakteri.

Menurut Wojeiech & Anna (2010), produksi enzim keratinase maksimal bergantung pada faktor lingkungan seperti suhu, suplemen media, konsentrasi substrat keratin dan waktu inkubasi. Waktu inkubasi merupakan waktu yang dibutuhkan enzim keratinase untuk memecah protein keratin menjadi protein yang larut (soluble protein). Namun, biosintesis enzim proteolitik dan keratinolitik oleh bakteri umumnya berada pada akhir fase eksponensial atau awal fase stasioner.

Pada fase stasioner, sel bakteri akan berjumlah paling banyak dibandingkan dengan fase lag, log dan kematian. Selain itu, perbedaan laju pertumbuhan ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah tipe dan jenis bakteri itu sendiri maupun kemampuan bakteri tersebut dalam memanfaatkan nutrisi yang tersedia dalam media untuk proses metabolismenya. Metabolit primer dihasilkan mikroorganisme pada saat pertumbuhan eksponensial dan metabolit sekunder dihasilkan pada fase stasioner (Crueger & Crueger, 1984).

BAB 5

Dokumen terkait