• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Besar Pengembangan Ekowisata di Danau Limboto

oleh Rosyid A Azhar *)

Seorang ahli tumbuhan Caspar Georg Karl Reinwardt memulai

petualangannya di Gorontalo pada 1821. Ia naik buloto (perahu dari kayu utuh yang dilubangi) menikmati panorama Danau Limboto yang ia sebut sebagai kebun binatang yang sangat luas. Reinwardt menggambarkan betapa danau sedimen yang kaya substrat ini menjadi rumah bagi banyak satwa, tidak hanya jenis ikan tetapi juga reptil dan burung-burungnya. Ia sangat menikmati perjalanan menuju Limboto untuk bertemu raja lokal.

Empat puluh empat tahun berikutnya, giliran Carl Benjamin Hermann Baron von Rosenberg seorang naturalis Jerman mengunjungi Gorontalo setelah dari perjalanan di wilayah Sulawesi Utara. Ian juga menyempatkan diri menikmati perjalanan ke Danau Limboto, bermalam di kediaman kepala Distrik Talaga Abdillah Hunowu dan melanjutkan perjalanan ke Ayer Panas. Secara gamblang Rosenberg menceritakan keberadaan buaya di Danau Limboto, termasuk harga telurnya di pasar. Satwa-satwa danau ini tidak lepas dari pengamatannya, ia beberkan dalam tulisan panjangnya yang berjudul Reistogten in de afdeling Gorontalo.

CERITA DARI TAPAK

Perjalanan para pelancong Eropa ini dulu digambarkan penuh warna, terasa lama dibandingkan dengan ukuran saat ini, karena Danau Limboto saat itu masih luas. Merujuk pada peta yang dikeluarkan Asisten Residen Gerrit Willem Wolter Carel Baron van Höevell, pada 1891 danau ini masih berbentuk kotak dengan muara di kiri atas peta searah jarum jam ada Sungai Datahu, Sungai Monggelomo, Sungai Marisa, Sungai Motangalo, Sungai Biyonga, Sungai Bulota, Sungai Longi, Sungai Alumbango, dan sejumlah sungai yang tidak dituliskan namanya.

Sejak dulu Danau Limboto memang memikat, setidaknya di mata peneliti asing pada masa lalu. Perjalanan berperahu akan mengajak siapa saja menikmati panorama dan hidupan lahan basah yang memukau, angin penuh uap air, bentang alam yang luas, langit biru bersih dan bukit-bukit kokoh yang memagari dataran luas Dehualolo (de vlakte Dehualolo).

Nama Limboto atau Limutu berasal dari kata limo atau limbo yang bermakna ‘aliansi 5 kerajaan (linula)’ yang mendiami sisi barat danau dan dataran Kwandang, yaitu Limehedaa dengan Olongia

Palungkeli, Huntulotiopo dengan Olongia mBui Bungale, Hungayo dengan Olongia Maranun,

Dunggala dengan Olongia Ilobuata dan Timilito dengan Olongia Hemiuto. Aliansi ini diinisiasi mBui Bungale dengan alasan persatuan, saling melindungi dan saling membantu (penuturan Raja Limboto kepada Reinwardt).

Cerita Danau Limboto yang kaya flora fauna ini memang menarik hingga kini. Kekayaan budaya yang hidup di masyarakat pesisir masih terjaga, demikian juga dengan keragaman hayatinya, semua tersajikan dalam lanskap yang unik.

Bahkan, saat ini tengah menunggu keputusan sebagai Geopark Nasional. Potensi ini harus terus digali dengan melibatkan para pihak, termasuk masyarakat desa.

Yang dibutuhkan saat ini adalah pendampingan masyarakat untuk menyatukan persepsi, mendorong semangat kemandirian, dan gerak langkah menuju kawasan ekowisata kelas dunia.

Peran-peran masyarakat dan aktor nonpemerintah yang selama ini berkecimpung di sekitar danau harus menjadi mitra yang sejajar.

Merekalah yang menggaungkan dan menguatkan narasi Danau

BUKU PANDUAN FESTIVAL

Limboto sebagai kawasan yang memiliki potensi ekowisata berkelas dunia.

Selama ini, bertahun-tahun laporan tentang Danau Limboto didominasi banyaknya produksi ikan budidaya, yang saat ini malah menjadi masalah pelik, sulit diselesaikan.

Sebagai danau endapan yang sepanjang tahun dikirimi sedimen dari 23 sungai dan anak sungai, menjadikan hamparan lahan basah ini kaya substrat, yang mendukung jaringan mata rantai makanan kehidupan, salah satunya adalah kehadiran burung-burung di kawasan ini.

Sebuah lembaga nonpemerintah yang bernama Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (BIOTA) sejak lama melakukan pendataan burung di Danau Limboto, mereka mampu menghasilkan data penting keanekaragaman hayati. Data ini menunjukkan betapa Danau Limboto sangat kaya dengan keragaman jenis burung. Kisah burung-burung yang bermigrasi di danau ini bisa menjadi titik tumpu pengembangan kerja sama internasional, baik antarpemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun korporasi.

Di jalur terbang Asia-Timur

Australasia (East-Asian Australasian Flyway) ini setidaknya terdapat 22 negara yang menjadi perlintasan para burung bermigrasi setiap tahunnya.

Di bulan Agustus-Oktober setiap tahun Perkumpulan BIOTA menggelar Festival Burung Bermigrasi yang berisi kegiatan birdwatching, penyadartahuan melalui kunjungan ke sekolah-sekolah, kampanye pelestarian secara daring maupun

menggunakan media massa, pembuatan film dokumenter, dan lainnya. Selain itu, lembaga ini juga setiap tahun melakukan Asian Waterbird Census (AWC) sebagai bagian dari International Waterbird Census (IWC).

Catatan beragamnya burung di danau ini menguatkan kesaksian dua orang bangsa Eropa yang datang pada abad XIX, sehingga Danau Limboto sangat layak untuk dijadikan kawasan pariwisata berkelanjutan (Ecotourism). Apalagi Pemerintah Provinsi Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo menyepakati kawasan Danau Limboto sebagai geosite utama dalam Geopark Gorontalo yang tidak lama lagi akan menjadi Geopark Nasional.

Tidak hanya burung, kawasan danau ini juga menjadi rumah bagi hidupnya budaya lokal yang menarik, termasuk kekayaan folklor, sejarah, cagar budaya, hingga adat kebiasaan yang masih berlaku. Potensi lokal ini harus terus dikuatkan untuk mendukung penguatan jati diri masyarakat Gorontalo yang unik dan menarik.

Kekayaan Gorontalo ini menjadi unsur penting penyusun budaya bangsa Indonesia.

Sumbangan narasi seputar Danau Limboto akan memperkaya literasi kawasan ini, sehingga semakin menarik dan memikat para peneliti dari berbagai perguruan tinggi, pelancong Nusantara maupun mancanegara, maupun mendukung peran scientizen lokal. Peran

pemerintah adalah memberi ruang dan mendukung upaya yang telah dirintis para pihak ini, pemerintah harus sadar bahwa mereka tidak cukup mampu bekerja sendiri untuk memajukan daerahnya, meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi angka pengangguran, pemerataan pendapatan, yang ujungnya adalah meningkatkan kesejahteraan.

*) Penulis adalah wartawan kompas.com

BUKU PANDUAN FESTIVAL

Dokumen terkait