• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Kebudayaan

Dalam dokumen Potensi Kabupaten Probolinggo (Halaman 52-58)

Kabupaten Probolinggo mempunyai berbagai macam kebudayaan yang beraneka ragam dan berpotensi untuk dilestarikan dan diperkenalkan di dunia internasional. Kebudayaan yang dimiliki Kabupaten ini terdiri dari: tari glipang, ludruk, tradisi ngiring kucing, upacara tugel kuncung dan tugel tombak, wayang topeng, dan upacara kasada.

 Tari Glipang

Tari Glipang lahir di Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo ini sudah lama

dikenal masyarakat. Tari Glipang berasal dari kebiasaan masyarakat. Kebiasaan yang sudah turun temurun tersebut akhirnya menjadi tradisi. Pak Parmo yang merupakan cucu dari

pencipta Tari Glipang ini mengatakan

bahwa “Glipang” bukanlah nama yang sebenarnya dari tarian tersebut. Awalnya nama tari ini adalah “Gholiban” berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Musik tradisional Glipang adalah instrumen utama pengiring tarian ini. Tari Glipang adalah tarian yang menggambarkan tentang gagahnya seorang pemuda yang sedar berlatih keprajuritan.

53  Ludruk

Ludruk merupakan suatu bentuk pementasan drama kehidupan yang disajikan dengan pendekatan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Timur pada umumnya. Ludruk tumbuh dan berkembang hampir di semua daerah Jawa Timur bagian Timur termasuk di daerah Probolinggo. Tampilan ludruk khas Probolinggo memiliki perbedaan dengan ludruk-ludruk lainnya, yakni pada bahasa yang dipakai. Ludruk Probolinggo menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang dicampur dengan bahasa Madura Pesisiran, baik dalam bentuk kidungan maupun dialog para pemainnya.

 Tradisi Ngiring Kucing

Tradisi Ngiring Kucing adalah tradisi masyarakat Probolinggo, tepatnya suku Tengger yang mendiami wilayah Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber. Tradisi ini merupakan upacara adat dengan memandikan seekor kucing hitam untuk memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk menurunkan hujan di Desa Tengger agar petani bisa memulai proses bercocok tanam. Kucing berbulu hitam sebagai salah satu perlengkapan upacara merupakan lambang mendung hitam. Masyarakat berharap melalui doa yang mereka panjatkan, awan segera menyelimuti kawasan di atas desa mereka hingga akhirnya turun hujan.

Pada akhir prosesi, dukun desa yang memimpin jalannya upacara akan memandikan kucing dengan air kembang dan dawet atau cendol. Sementara itu, warga yang membawa dawet untuk didoakan, meminum dawet itu bersama-sama. Sebagian besar warga Tengger bermata pencaharian sebagai petani sayur, diantaranya adalah petani kentang, kubis, dan bawang. Upaca ini telah dilakukan selama berpuluh-puluh tahun.

54

 Upacara Tugel Kuncung dan Tugel Gombak

Upacara Tugel Kuncung dan Tugel Gombak juga merupakan salah satu upacara tradisional yang diselenggarakan oleh masyarakat Tengger di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo.

Upacara ini diadakan untuk anak laki-laki yang berumur empat tahun, yang siap untuk melakukan khitan. Proses pertama yang dilakukan adalah memotong rambut dahi dari anak laki-laki yang mengikuti jalannya upacara, untuk mendapatkan berkat dan kesejahteraan dari Tuhan.

Sementara itu, Tugel Gombak adalah upacara untuk anak perempuan. Upacara ini wajib bagi masyarakat

Tengger dan yang akan selalu diadakan sekali dalam seumur hidup. Sebelum upacara, masyarakat menggelar doa bersama di Pura setempat. Lalu, dukun yang memimpin upacara ini akan memotong rambut para peserta inisiasi.

Masyarakat setempat percaya bahwa Tugel Kuncing dan Tugel Gombak dilakukan untuk melempar nasib buruk jauh dari remaja pubertas, dan diharapkan mereka akan terhindar dari berbgaia rintangan hidup dan memiliki kemakmuran di masa depan

 Wayang Topeng

Wayang Topeng adalah bentuk lain dari pertunjukkan wayang di Jawa Timur. Wayang Toperng berkembang di

Malang, Probolinggo, Situbondo, dan Sumenep. Acara in seperti boneka manusia, yang dimainkan oleh seniman topeng menggunakan pemain manusia. Cerit itu sendiri didasarkan pada cerita klasik Mahabarata dan Ramayana.

Gambar. 15 Tradisi Tugel Gombak

55  Upacara Kasada

Upacara Kasada adalah hari raya adat Suku Tengger yang digelar setiap hari ke-14 di bulan Kasada dalam penanggalan Jawa. Dalam Upacara Kasada, suku Tengger melempar aneka sesajen berupa sayuran, buah-buahan, hasil ternak bahkan uang ke kawah Gunung Bromo

Sesajen yang dibawah untuk sesembahan bukanlah sesajen biasa. Sesajen haus disiapkan beberapa hari sebelumnya dan dirapal mantra terlebih dahulu oleh dukun atau tabib. Dukun dan tabib yang berhak merapal mantra hanyalah dukun atau tabib yang dinyatakan llus tes mantra oleh tetua desa.

Suku Tengger sendiri adalah pemeluk agama Hindu lama. Tidak seperti umat Hindu lainnya yang beribadah di candi-candi, Suku Tengger justru melakukan di punden, danyang, dan poten. Poten inilah yang menjadi tempat diselenggarakannya Upacara Kasada. Poten merupakan sebidang tanah di lautan sapasir di kaki Gunung Bromo dan terdiri dari beberapa bangunan dan ditata dalam suat komposisi.

Upacara Kasada dilakukan Suku Tengger sebagai bentuk rasa syukur atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah, memohon agar dijauhkan dari malapetaka, serta yang utama adalah sebagai peringatan pengorbanan Raden Kesuma, anak Jaka Seger dan Lara Anteng, penguasa Suku Tengger di zaman dulu.

Gambar. 17 Suku Tengger membawa sesajen untuk dilempar di Kawah Gunung Bromo

56 Dalam upacara Kasada,

masyarakat Tengger berkumpul dengan membawa hasil bumi dan peternakan yang ditata di tempat bernama ongkek. Mereka berbondong-bondong membawa sesajen ini ke kawah Gunung Bromo untuk kemudian dilemparkan ke dalamnya.

Uniknya, Upacara Kasada ini juga dimanfaatkan pengemis dan warga suku Tengger yang tinggal di pedalaman untuk berebut mendapatkan ongkek yang berisi sesajen tadi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sengaja datang jauh-jauh hari dan membuat tempat tingggal sementara di Gunung Bromo.

Terdapat beberapa tahapan uang harus dilalui warga Suku Tengger supaya Upaca Kasada ini berlangsung khidmad. Upacara Kasada dimulai dengan pengukuhan sesepuh Tengger. Lalu ada pula pagelaran sendratari yang mengisahkan kehidupan Rara Anteng dan Jaka Seger di Desa Ngadisari.

Upacara Kasada juga menjadi salah satu tes yang harus dilalui calon dukun. Jika calon dukun ini melakukan kesalahan dalam prosesi Upacara Kasada, mama ia akan gagal ditunjuk sebagai dukun.

Upacara Kasada

dilanjutkan tepat tengah malam, dimana pelantikan dukun dan pemberkatan masyarakat di padang pasir Gunung Bromo. Seorang dukun sangat dihormati di kalangan Suku Tengger karena merupakan pemimpin keag

amaan. Maka dari itu, seorang dukun harus lulus ujian menghafal mantra-mantra sebelum dilantik.Setelah itu, barulah ongkek tersebut dikorbankan di Puden

Gambar. 18 Sesajen dilempar ke dalam Kawah Gunung Bromo

Gambar. 19 Suku Tengger dalam perjalanan menuju ke kawah Gunung Bromo

57

Cemara Lawang dan dilempar ke kawah Gunung Bromo yang menandai puncak Upacara Kasada.

Sejarah Upacara Kasada

Upacara Kasada sudah digelar sejak zaman kerajaan Majapahit. Suku Tengger sendiri diyakini merupakan keturunan Rara Anteng (putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (putra Brahmana), sehingga penggabungan dua nama tersebut menjadi asal mula nama suku ini.

Asal mura upacara Kasada pun tak lepas dari kehidupan keluarga Rara Anteng dan Jaka Seger. Setelah bertahun-tahun menikah, mereka belum juga dikaruniai anak. Rara Anteng dan Jaka Seger kemudia memutuskan bertapa di Gunung Bromo memohon diberikan keturunan

Di tengah pertapaan tersebut, mereka mendapat petunjuk akan dikabulkan keinginan untuk memiliki keturunan dengan syarat anak bungsu mereka harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Pasangan ini menyetujui syarat tersebut dan dikaruniai 25 orang anak, dengan Kesuma sebagai si bungsu.

Tahun demi tahun berlalu, kesediaan mereka mengorbankan anak bungsu ke kawah Gunug Bromo pun ditagih. Namun, mereka tidak tega sehingga terjadi malapetaka dan membuat bumi gelap gulita.

Setelah tahu janji yang diucap kedua orang tuanya, Kesuma si anak bungsu pun bersedia dikorbankan demi menyelamatkan negeri sehingga dunia kembali tenang.

Guna menghormati pengorbanan tersebut, warga Suku Tengger setiap tahunnya menggelar Upacara Kasada dengan melempar sesaji ke Kawah Bromo. Masyarakat Suku Tengger dikenal sangat taat kepada adat, tak heran Upacara kasada ini tetap dilestarikan samai sekarang.

Upacara Kasada pun membawa banyak manfaat bagi masyarakat suku Tengger itu sendiri. Selain sebagai ajang meminta keselamatan, Upacara kasada juga mampu menyedot atensi wisatawan untuk datang menyaksikannya.

58 BAB III

Dalam dokumen Potensi Kabupaten Probolinggo (Halaman 52-58)

Dokumen terkait