• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Komik di Indonesia

Dalam dokumen 2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI (Halaman 33-37)

2.3. Tinjauan Komik 1. Pengertian Komik

2.3.5. Potensi Komik di Indonesia

Sempat mati surinya dunia perkomikan di Indonesia tidak membuat para generasi-generasi baru komik Indonesia untuk menyerah, kelahiran generasi baru komik Indonesia benar-benar terputus dari masa lalu dan bayang-bayang gaya komik Indonesia masa silam.

Seperti sumber yang terdapat dalam Jurnal Desain (Mustaqim 45):

…dimana komik Indonesia terlahir dengan caranya sendiri dan tanpa adanya orang tua yang akan mengasuhnya. Kapankah kelahirannya? Karena lahir tanpa orang tua yang mengandungnya, maka ‘renesans’ komik Indonesia ini tersembunyi dan dikandung di benak masing-masing anak muda yang memimpikan kehadiran kembali komik buatan anak sendiri, terutama komik miliknya yang paling diimpi-impikan. Kelahirannya pun tidak ditandai apa-apa, melainkan berupa tanda-tanda kelahiran yang terserak dimana-mana.

Salah satu kelahiran awal komik Indonesia yang fenomenal adalah Caroq, sebuah komik dengan tema kepahlawanan, dengan seruannya yang terkenal, “Pahlawan sudah mati!? Siapa bilang!” Lalu terlihatlah sosok bertopeng dengan otot-otot yang menonjol mempertontonkan kepahlawannya sambil menghunuskan celurit dan melompat ke arah ketinggian bangunan. Hup! Dan orang-orang diingatkan kembali bahwa, “Komik Indonesia sudah mati!? Siapa bilang!”

Dari uraian di atas terlihat bahwa Indonesia masi mempunyai potensi yang bagus, dimana banyak sekali generasi-generasi baru yang bermunculan untuk menyemarakkan dunia komik Indonesia lagi. Selain Caroq, di bawah bendera Qomic Nasional (QN) terbit pula Kapten Bandung, era komikus tunggal telah ditinggalkan dan mulai menyadari betapa pentingnya berkerjasama dalam satu naungan studio komik, seperti Sraten yang sempat menelorkan Patriot, sebuah komik mengenang pahlawan-pahlawan klasik Indonesia seperti Godam, Gundala, Maza, dan Aquanus. Selain itu masih banyak lagi komikus-komikus lainnya yang membuat komik dengan gaya yang disukainya, seperti Archy & Meidy (gaya manga), dan komik-komik lainnya dengan gaya independen. Serta ada juga komik keagamaan/religius, seperti Mizan (komik Islam) dan Kanesius (komik Kristiani). 2.4.Tinjauan Aspek Historis

Surabaya sebagai salah satu kota tertua di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan Sura dan Buaya terdapat banyak cerita mengenai asal usulnya, salah satunya yang terkenal adalah mengenai pertarungan antara ikan Sura dan Baya. Berikut cerita mengenai legenda dari simbol Sura dan Baya dari buku “Kumpulan Cerita Rakyat (Legenda) Nusantara” oleh M.B. Rahimsyah:

Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkelahian antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkali-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang ataupun yang kalah.

Akhirnya setelah bosan dan lelah mereka pun menghentikan pertarungan, ikan hiu Sura yang sudah memiliki rencana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya membuat sebuah kesepakatan, yaitu membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Si ikan hiu Sura berkuasa sepenuhnya di dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan Buaya berkuasa di daratan dan mangsanya harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, mereka menentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut. Mereka berdua pun akhirnya menyetujui kesepakatan tersebut. Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Baya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.

Tetapi pada suatu hari, ikan hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memang tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan ikan hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah melihat ikan hiu Sura melanggar janjinya.

Kemudian terjadilah perdebatan di antara mereka, ikan hiu Sura yang merasa tak bersalah tenang-tenang saja, ia menganggap bahwa sungai berair dan ia penguasa air sehingga sungai juga merupakan daerah kekuasaannya. Namun Buaya beranggapan lain, ia beranggapan bahwa sungai tempatnya di darat dan bukan di laut sehingga sungai merupakan daerah kekuasaannya.

Keduanya pun saling bersikukuh dengan pemikirannya masing-masing, buaya yang merasa dikerjai oleh ikan hiu Sura tidak terima dan membatalkan kesepakatan tersebut hingga akhirnya terjadilah pertarungan lagi untuk memutuskan siapa yang paling hebat dan siapa penguasa tunggal.

Pertarungan sengit antara ikan hiu Sura dan Buaya semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang

keluar dari luka-luka kedua binatang itu. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali.

Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan ikan hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara ikan Sura juga tergigit ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.

Pertarungan antara ikan hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikaitkan dengan peristiwa ini. Dari persitiwa inilah kemudian dibuat lambang Kotamadya Surabaya yaitu gambar ikan Sura dan Buaya (Rahimsyah 8-10)

Gambar 2.28. Monumen Sura dan Baya

(Sumber: http://imponk.blogsome.com/2005/10/15/kisah-sura-dan-baya/) Namun ada juga yang berpendapat Surabaya berasal dari kata Sura dan Baya. Sura berarti jaya atau selamat baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selamat menghadapi bahaya. Bahaya yang dimaksud adalah serangan tentara Tar-tar yang hendak menghukum raja Jawa. Seharusnya yang dihukum adalah Kertanegara, karena Kertanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang yang diserbu oleh tentara tar. Setelah mengalahkan Jayakatwang orang-orang Tar-tar merampas benda dan puluhan gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok.

Raden Wijaya tidak terima diperlakukan seperti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar-tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke Tiongkok.

Selanjutnya, dari hari peristiwa kemenangan Raden Wijaya inilah ditetapkan sebagai hari jadi kota Surabaya.

Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 November 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya, yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda.

Di zaman sekarang, pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kala musim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Di musim kemarau kadangkala tempat-tempat genangan air menjadi daratan kering itulah Surabaya.

Dalam dokumen 2. ANALISIS DAN TINJAUAN TEORI (Halaman 33-37)

Dokumen terkait