• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISTILAH

4.4 Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak

pengukuran. Dari sisi keterkaitan sistem teknologi dan sarana/prasarana yang digunakan juga sudah memadai baik data pengukuran manual di lapangan maupun data perhitungan dengan aplikasi pengukuran GT menggunakan komputer. Selanjutnya, dilihat dari pembinaan dan penyiapan sumberdaya manusia, sudah cukup memadai karena selain dilatih petugas juru ukur yang baru juga dilakukan pelatihan penyegaran (up grading) bagi petugas yang lam baik di Ditjen Perhubungan Laut maupun Ditjen Perikanan Tangkap.

Walaupun secara umum terdapat kesamaan pengukuran GT kapal, tapi ternyata masih terdapat perbedaan hasil pengukuran seperti ditemukan selama penelitian ini. Untuk menghindari penyimpangan ukuran kapal atau perbedaan metode pengukuran kapal yang berakibat terjadinya ketidak-akuratan dalam penetapan nilai pungutan perikanan untuk kapal penangkap ikan yang berpotensi menyebabkan kerugian negara atau bahkan kerugian dipihak pengusaha, maka perlu disusun metode pengukuran kapal perikanan. Selain hal tersebut, hasil pengukuran kapal perikanan yang benar dan lebih akurat, memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut untuk tujuan perolehan, sebagai berikut (1) dimensi kapal, (2) redesain Kapal Perikanan, bagi kapal – kapal yang dibuat oleh pengrajin kapal perikanan untuk mendapatkan gambar-gambar sebagai berikut (a) gambar rencana garis (lines plan drawing), (b) gambar bentuk desain konstruksi atau rencana umum (general arrangement drawing), (c) gambar bentuk desain konstruksi melintang, (3) karakter kapal, (4) rancangan perubahan untuk pembesaran atau sebaliknya, (5) pengukuran bersama antara pihak Ditjen Perhubungan Laut dengan Ditjen Perikanan Tangkap.

4.4 Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak

Berdasarkan data dari sampel kapal di Sibolga dan Belawan tersebut, dengan mempertimbangkan tarif PPP/PHP sesuai PP 19 tahun 2006, maka jika pengukuran kapal tersebut akurat maka potensi PNBP dari kedua jenis kapal ikan di kedua pelabuhan ikan ini adalah sebesar RP 731.244.646,-, yaitu terdiri dari PPP sebesar Rp 161.764.810,- dan PHP sebesar Rp 569.479.836,- (Tabel 19). Saat ini di Sumatera Utara terdapat 162 unit kapal pukat cincin dan 125 unit kapal pukat ikan yang

48

berukuran 25-30 GT. Potensi PNBP dari kapal-kapal ikan tersebut adalah sebesar Rp 4.685.319.532,-, yang terdiri dari PPP sebesar Rp 886.697.225,- (dipungut satu kali dalam satu kali umur usaha) dan PHP Rp 3.798.622.307,- (dipungut setiap tahun). Perhitungan PNBP tersebut dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari 49 Sampel Kapal Pukat Cincin dan Pukat Ikan 25-30 GT di Belawan dan Sibolga

Rincian Jumlah GT Nilai PPP (Rp) Nilai PHP (Rp) Total Nilai (Rp) Pukat ikan (25 unit) 1.255,61 123.426.070 385.374.012 508.800.082

Belawan 486,55 47.828.062 160.095.985 207.924.047

Sibolga 769,05 75.598.008 225.278.027 300.876.035

Pukat cincin (24 unit) 1.2777,96 38.338.740 184.105.824 222.444.564

Belawan 728,28 21.848.310 104.917.405 126.765.715

Sibolga 549,68 16.490.430 79.188.419 95.678.849

Jumlah 2.533,57 161.764.810 569.479.836 731.244.646

Tabel 20. Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kapal Pukat Cincin dan Pukat Ikan 25-30 GT di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Sampel di Belawan dan Sibolga

Rincian Jumlah Kapal Rata-rata ukuran kapal (GT) Jumlah GT Nilai PPP (Rp) Nilai PHP (Rp) Total Nilai PNBP (Rp) Pukat cincin 162 53,49 8.377 251.310.600 1.788.490.977 2.039.801.577 Pukat ikan 125 50,22 6.464 635.386.625 2.010.131.330 2.645.517.955 Jumlah 287 886.697.225 3.798.622.307 4.685.319.532

Sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PNBP dari sumberdaya alam perikanan dialokasikan sebanyak 20% untuk Pemerintah (Pusat) dan sebanyak 80% untuk seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia yang jumlahnya sebanyak 497 kabupaten/kota. Jika pengukuran kapal dilakukan dengan tepat dan tertib maka dari kapal-kapal pukat cincin dan pukat ikan yang berukuran 25-30 GT di Provinsi Sumatera Utara akan potensi PNBP nasional menjadi sebesar Rp 104.685.319.532,-. Angka tersebut didapat dari penjumlahan rata-rata PNBP yang diterima Ditjen Perikanan Tangkap untuk seluruh Indonesia

49

setiap tahun sebesar Rp 100 milyar ditambah dengan potensi penerimaan PNBP dari Sumatera Utara hasil penertiban kapal ikan berukuran 25 – 30 GT. Dengan demikian, setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia akan mendapat “bagian” sebesar Rp 168.507.557,-, yaitu 80% dari Rp 104.685.319.352,- dibagi 497 kabupaten/kota (Ditjen Otonomi Daerah, 2009). Khusus untuk Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 kabupaten/kota akan mendapat ‘bagian’ PNBP sebesar Rp 5.560.749.367,- .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpangan ukuran kapal ( mark-down) untuk kategori kapal pukat cincin dan pukat ikan tersebut mencapai lebih dari 50% nilai ukuran kapal yang sebenarnya. Mengingat baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Pusat tidak menarik pungutan perikanan dari kapal-kapal berdokumen mark-down maka jelas sekali bahwa PNBP dari Sektor Perikanan banyak yang hilang. Di samping itu, masalah ini jika dilihat dengan spektrum yang lebih luas adalah merupakan illegal fishing. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darmawan (2006) bahwa illegal fishing dilakukan oleh kapal-kapal yang telah memiliki SIUP/SIPI namun kapal-kapal tersebut tidak memenuhi ketentuan tertulis pada SIPI, antara lain jenis alat tangkap, jalur penangkapan, ukuran GT dan mesin kapal tidak sesuai yang tertera di SIPI.

Penyimpangan tersebut hendaknya segera diatasi dengan baik, yaitu dimulai dengan sistem desentralasi perijinan yang akuntabel dan insentif kepada pengusaha untuk melakukan pelaporan spesifikasi kapal ikan dan jenis alat tangkap yang digunakan dengan benar. Desentralisasi tersebut akan lebih mendekatkan pusat layanan perijinan kepada para pengusaha. Proses perijinan akan lebih cepat jika dilakukan oleh perwakilan Pemerintah Pusat/DJPT di daerah (Dinas Perikanan Provinsi dan UPT Pusat). Selain itu, penegakan hukum oleh aparat pemerintah hendaknya bukan hanya oleh PPNS dan jajaran PSDKP tetapi juga oleh penegak hukum lainnya. Kesesuaian surat-surat kapal dengan kondisi aktual kapal juga akan memudahkan para petugas tersebut karena ada kepastian hukum yang dijadikan referensi bersama, yaitu antara penegak hukum dan obyek penegakan hukum.

Potensi PNBP seyogianya harus gencar diperkenalkan atau disosialisasikan kepada berbagai pihak agar mereka memahami dan mendukung penggalangan PNBP.

50

PNBP tersebut akan meringankan beban pemerintah daerah. Selain itu, mungkin para pengusaha juga akan memiliki kebanggaan karena telah memberikan kontribusi kepada pengelolaan perikanan. Strategi pemerintah dalam kebijakan PNBP pada tahun 2010 s/d 2014 diarahkan pada kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam upaya pencapaian optimalisasi dan efektifitas PNBP (Anonimous a, 2010). Disamping itu, dana PNBP yang dialokasikan ke kabupaten/kota dapat digunakan langsung terutama untuk pengelolaan sumberdaya perikanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Hal ini, sesuai dengan kebijakan pemerintah ke depan yang akan lebih mengembangkan pemanfaatan dana yang berasal dari PNBP untuk pengembangan perikanan tangkap ke daerah penghasil sesuai dengan kajian earmarking approach yang telah dilakukan oleh Departemen Keuangan (Anonimous b, 2010). Selanjutnya disebutkan bahwa pendekatan

earmarking merupakan kebijakan untuk mendesain suatu pendapatan tertentu menjadi sumber pendanaan bagi kegiatan pelayanan umum yang juga tertentu. Kubu ekonom yang pro terhadap pendekatan ini mengatakan bahwa pendekatan earmarking

merupakan salah satu alat untuk memacu masyarakat pembayar pajak mendukung pengeluaran atau belanja negara untuk kegiatan pelayanan umum tertentu karena mereka menganggap penggunaan dana tersebut memiliki manfaat secara langsung kepada mreka. Disamping itu, dana PNBP yang dialokasikan ke kabupaten/kota dapat digunakan langsung teru tama untuk pengelolaan sumberdaya perikanan. Pada pinsipnya PNBP merupakan upaya untuk memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti dikatakan oleh Zeller et al. (2006). Hal ini juga berlaku untuk setiap usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan luar seperti kasus nelayan Andon di Raja Ampat (Bailey et al.2006).

Dana APBN khususnya dana dekonsentrasi yang dialokasi ke Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 917,75 juta dan PAD tahun 2010 dari retribusi pengujian kapal sebesar Rp 55.316.250,-, serta dana dekonsentrasi tahun 2011 sebesar Rp 3.5 milyar. Jika dibandingkan dengan dana PNBP yang akan diterima langsung ke Kabupaten/kota melalui dana langsung ke rekening pemerintah

51

daerah kabupaten/kota se Sumatera Utara berupa block grant sebesar Rp 5,56 milyar, maka upaya optimasi PNBP melalui perbaikan pengukuran kapal harus menjadi prioritas.

Berdasarkan wawancara dan diskusi yang dilakukan bahwa pengecilan ukuran GT kapal dari ukuran yang sebenarnya (mark-down), khususnya untuk kapal 10 – 30 GT di Provinsi Sumatera Utara diperkirakan berkisar 90% dari jumlah kapal yang ada. Sedangkan di seluruh Indonesia terjadi pengecilan antara 30 s/d 80% dari ukuran sebenarnya. Dengan perkiraan pengecilan tersebut dapat dibuat suatu simulasi potensi penerimaan Negara bukan pajak di Sumatera Utara. Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa jika dilakukan penertiban GT kapal ukuran 10-30 GT, akan didapat potensi PNBP dari perikanan Provinsi Sumatera Utara sebesar Rp 9.260.449.367,-.

Tabel 21. Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Ukuran Kapal 10 – 30 GT Jika 90% Kapal di Provinsi Sumatera Utara Memiliki Data GT Lebih Kecil dari Ukuran Sebenarnya (mark-down)

Rincian Jumlah Kapal Jumlah Kapal (90%) Jumlah GT Nilai PPP (Rp) Nilai PHP (Rp) Total PNBP (Rp) KAPAL 10-20GT: Purse seine Pukat Ikan Bagan Gill net Bubu 312 281 118 56 67 31 7 6.098 2.904 3.485 1.597 378 564.291.917 182.954.117 285.466.503 41.818.084 40.462.336 13.590.877 2.986.912.391 1.302.021.432 903.111.804 609.847.056 126.912.318 45.019.781 3.551.204.307 1.484.975.549 1.188.578.307 651.665.140 167.374.654 59.610.658 KAPAL20-30 GT: Purse seine Pukat Ikan Bagan Gill net Bubu 364 328 138 66 79 36 9 7.115 3.388 4.066 1.863 440 998.547.071 251.310.600 635.386.625 48.787.764 47.206.058 15.856.023 4.710.697.989 2.010.131.330 2.010.131.330 711.488.232 148.064.371 52.523.078 5.709.245.060 2.039.801.578 2.645.517.955 760.275.996 195.270.430 68.379.101 Jumlah 676 609 1.562.838.988 7.697.610.380 9.260.449.367

52

Selanjutnya, simulasi potensi PNBP untuk seluruh kapal ukuran 10-30 GT di seluruh Indonesia jika dilakukan penertiban ukuran GT kapal disajikan pada Tabel 22. Sebagaimana terlihat pada Tabel 22, apabila penertiban kapal 10-30 GT dilakukan di seluruh Indonesia, maka PNBP akan meningkat antara Rp 59.697.533.871,- s/d Rp 103.642.529.472,- , sehingga alokasi pemanfaatan PNBP untuk kabupaten/kota akan mendapat sebesar Rp 257.058.566,- s/d Rp 327.794.816,-.. Yakni rata-rata PNBP pertahuan sebesar Rp 100 milyar ditambah nilai potensi PNBP di atas dikalikan 80% sebagai bagian kabupaten/kota dibagai jumlah seluruh kabupaten/kota.

Tabel 22. Simulasi Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Pungutan

Perikanan Terhadap Kapal Ikan Berukuran 10 – 30 GT jika Ukuran Kapal Diperkecil 30%, 50% dan 70% dari ukuran sebenarnya (mark down) di Seluruh Indonesia No Simulasi Ukuran GT Dikecilkan Nilai PPP (Rp) Nilai PHP (Rp) Nilai PNBP (Rp) PNBP Bagian Kab/Kota (Rp) 1 2 3 30% dari total 50% dari total 70% dari total 7.857.471.702 18.947.272.982 26.526.182.174 51.840.162.169 55.083.105.212 77.116.347.297 59.697.633.871 74.030.378.104 103.642.529.472 257.058.566 280.129.381 327.794.816

Simulasi di atas menunjukkan bahwa jika dilakukan penertiban GT kapal di seluruh Indonesia, maka PNBP akan meningkat dan kabupaten/kota akan mendapat alokasi manfaat langsung yang semakin meningkat. Di samping itu, dilihat dari sisi pemanfaatan sumberdaya perikanan, akan semakin baik dan tidak akan terjadi konflik dengan nelayan tradisional karena tidak terjadi pelanggaran jalur penangkapan ikan yang semula di jalur I berpindah ke perairan teritorial, laut ZEEI dan bahkan laut lepas. Untuk kepentingan yang lebih luas maka PNBP dari pungutan perikanan yang merupakan salah satu bagian dari proses perijinan usaha penangkapan ikan juga harus merupakan alat yang efektif untuk mengelola sumberdaya perikanan secara luas. Hal ini dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada pengelolaan sumberdaya alam dari pada hanya menggunakan instrumen perijinan

53

usaha sebagai cara untuk mendapatkan penerimaan negara. Dengan upaya penertiban ukuran GT kapal, maka akan didapat manfaat ganda yaitu penerimaan negara yang meningkat yang dapat dikembalikan manfaatnya secara langsung kepada masyarakat, seperti perbaikan habitat daerah penangkapan, juga secara umum dapat dilakukan pengelolaan sumberdaya alam. Dengan alasan tersebut maka penertiban ukuran GT kapal harus menjadi program nasional prioritas, yaitu program pengukuran GT kapal perikanan nasional.

54

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dihasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

(1) Secara umumukuran kapal pukat cincin dan pukat ikan di Belawan dan Sibolga menurut dokumen kapal adalah 29,08 GT (sd ±1,38 GT). Namunhasil pengukuran ulang menghasilkan ukuran rata-rata sebesar 51,71 GT (sd ±14,81 GT), sehingga ditemukan adanya penyimpangan ke bawah (mark down)

sebesar 22,62 GT.

(2) Pengukuran GT kapal di Belawan dan Sibolga oleh Ditjen Perhubungan Laut merujuk pada peraturan Menteri Perhubungan KM No. 6 tahun 2005, sama seperti yang dilakukan oleh petugas pemeriksa kapal ikan dari Ditjen Perikanan Tangkap.

(3) Potensi PNBP dari 49 sampel kapal pukat cincin dan pukat ikan yang terdaftar berukuran 25-30 GT di Sibolga dan Belawan jika dinyatakan dengan ukuran yang sebenarnya adalah Rp 731.244.646,- yang terdiri dari PPP sebesar Rp 161.764.810,- dan PHP sebesar Rp 569.479.836,-. Jika 287 unit kapal pukat cincin dan pukat ikan yang terdaftar di Sumatera Utara tersebut dinyatakan dengan ukuran yang sebenarnya maka potensi PNBP adalah sebesar Rp 4.685.319.532,- yang terdiri dari PPP Rp 886.697.225,- dan PHP Rp 3.798.622.307,- .

5.2 Saran

(1) Dalam jangka pendek perlu dilakukan pengukuran ulang kapal secara bersama antara Ditjen Perhubungan Laut dengan Ditjen Perikanan Tangkap dengan landasan hukum berupa Keputusan Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri

55

Kelautan dan Perikanan. Adapun dalam jangka panjang perlu disusun program nasional pengukuran GT kapal perikanan.

(2) Perlu perbaikan dan peningkatan pelayanan usaha penangkapan ikan dalam bentuk yang lebih nyata, yakni percepatan waktu penerbitan SIUP dan SIPI, dengan cara pendelegasian kewenangan yang lebih luas ke Pemeritah Daerah. (3) Perlu perbaikan kualitas data dalam statistik perikanan tangkap untuk

menunjang pengelolaan perikanan, khususnya pengambilan kebijakan nasional dan daerah. Sebagai contoh, statistik perikanan perlu menyajikan data cross-tabulation tentang ukuran kapal yang digunakan untuk mengoperasikan jenis alat tangkap yang berbeda.

(4) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai GT kapal perikanan untuk alat penangkapan ikan yang berbeda sehingga dapat diketahui koefisien dari GT kapal yang lebih mendekati ukuran kapal yang sebenarnya.

56

Dokumen terkait