• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Potensi Pertanian

Usahatani di Kabupaten Badung sebagian besar masih bersifat tradisional, di mana tanah masih merupakan modal utama dalam proses produksi pertanian. Di Kabupaten Badung ditanam berbagai jenis tanaman pangan, tanaman perkebunan, serta terdapat berbagai jenis peternakan. Produksi dan produktivitas tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Kabupaten Badung disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9. Luas areal. produksi dan produktivitas tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Kabupaten Badung

Komoditi Luas (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Kw/Ha) Padi 21.293 121.712 57,16 Jagung 61 177 29,02 Ubi kayu 342 6.849 200,26 Ubi j alar 191 3.746 196,13 Kacang tanah 739 938 12,69 Kedelai 1.791 2.172 12,13 Kelapa 2.554,64 2.414,040 9,45 Kopi robustan 537,24 277,890 5,17 Kopi arabika 887,38 266,520 3,00 Cengkeh 402,21 11,770 0,29 Panili 71,25 1,600 0,22 Jambu mete 101,79 4,340 0,43 Kapuk 424,99 1 8,000 0,42 Coklat 406,50 116,310 2,86

Dalam Tabel 9 dapat dilihat bahwa produktivitas tanaman perkebunan masih rendah, karena masyarakat lebih cendrung mengusahakan tanaman pangan. Di Kabupaten Badung disamping dihasilkan tanaman pangan dan perkebunan, masyarakat juga mempunyai penghasilan tambahan dari ternak. Ternak yang paling diminati oleh masyarakat setempat adalah babi, ayam buras, dan ayam pedaging. Populasi ternak di Kabupaten Badung disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Populasi ternak di Kabupaten Badung tahun 2000, 2001, 2002

Jenis ternak Populasi (ekor) 1998 1999 2000 2001 2002 Sapi potong 46.960 45.114 44.403 39.262 40.302 Kambing 2.181 1.505 1.655 918 421 Babi 187.460 175.998 167.614 149.893 90.986 A. buras 986.597 993.957 912.915 826.710 422.345 A.pedaging 233.877 243.030 232.512 234.805 211.832 A.petelur 30.847 30.447 29.569 23.071 44.911 Itik 92.678 89.569 85.105 87.134 77.555

Sumber: Badung Dalam Angka 2002,

DalamTabel 10 dapat dilihat bahwa dalam lima tahun terakhir perkembangan ternak secara keseluruhan cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh karena adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan serta adanya kecendrungan masyarakat untuk mengurangi mengkonsumsi daging baik karena

alasan spiritual maupun alasan kesehatan. Ternak sapi, babi, ayam buras, kambing dan itik sangat akrab dipelihara oleh masyarakat karena sangat mudah diuangkan dan juga dibutuhkan oleh masyarakat untuk kepentingan upacara.

Disamping peternakan, perikanan juga merupakan mata pencaharian beberapa penduduk di Kabupaten Badung. Produksi perikanan ini diharapkan mampu untukmeningkatkan status gizimasyarakat.Produksiperikanan diKabupaten Badung disajikan padaTabel 11

Tabel 11. Luas pemeliharaan, produksi, dan nilai perikanandi Kabupaten Badung tahun 1998 s.d 2002

Luas, produksi, dan nilai perikanan

Tahun

1998 1999 2000 2001 2002

Luas perikanan (Ha):

-Tambak 3,00 3,00 3.00 - - -Kolam 23,68 22,65 24,65 24,65 24,65 -Sawah 128,65 175,03 181,55 171,80 171,78 Produksi (ton): -Tambak 24,10 13,50 12,40 - - -Kolam 28,78 18,91 27,56 31,60 45,57 -Sawah 19,63 20,79 31,33 35,53 20,87

Nilai (jutaan rupiah)

-Tambak 482,00 1.080,00 1.116,00 - -

-Kolam 143,90 180,10 275,60 252,00 683,55

-Sawah 98,15 207,90 313,30 253,44 313,05

Dari Tabel 11dapat dilihat bahwa pada nilai perikanan cendrung meningkat dari tahun ketahun.Hal ini karena masyarakat cendrung untuk mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewani.

5.4. Sosial Ekonomi

Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat mencerminkan tingkat intelektual suatu bangsa atau negara. Sejauh mana pendidikan telah tercapai, kemampuan penduduk membaca dan menulis, kemampuan penduduk berbahasa Indonesia sangat penting mendapat perhatian dalam pembangunankhususnya dalam upaya mencerdaskan bangsa. Untuk itu penyediaan sarana dan prasarana pendidikan mutlak diperlukan. Untuk menunjang pembangunan di bidang pendidikan, perlu didukung oleh sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Di bawah ini disajikan sejumlah sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Kabupaten Badung Tabel 12)

Tabel 12. Jumlah sekolah, murid, dan guru di Kabupaten Badung

Jenis sekolah Jumlah sekolah Jumlah murid Jumlah guru

TK 127 8.917 427

SD 250 2.540 2.354

SLIP 40 5.430 1.252

SLTA 29 11.097 1.006

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa jumlah Sekolah Dasar paling banyak dibandingkan dengan yang lainnya. Demikian pula halnya dengan guru, jumlah guru di sekolah Dasar paling banyak. Kalau dilihat dari jumlah murid, ternyata murid yang berpendidikan SMA yang terbanyak. Ini berarti bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan semakin meningkat.

Di samping pendidikan, kesehatan masyarakat juga perlu mendapat perhatian dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Manusia di samping sebagai obyek juga sekaligus subyek dalam pembangunan, di mana manusia sebagai perencana, pelaksana, dan pengevaluasi program pembangunan yang ada. Di Bawah ini disajikan sarana/prasarana kesehatan yang ada di Kabupaten Badung (Tabel 13).

Tabel 13.Sarana/prasarana kesehatan di Kabupaten Badung

Nomor Sarana/prasana kesehatan Jumlah

1 Rumah sakit 2

2 Puskesmas 1 1

3 Puskesmas pembantu 41

4 Apotik 56

5 Klinik KB 53

Sumber: Badung dalam angka 2002

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa sarana kesehatan di Kabupaten Badung cukup lengkap, hal ini wajar karena Kabupaten Badung adalah daerah pariwisata

sehingga semua fasilitas kesehatan tersedia dalam jumlah yang memadai, di samping karena jumlah penduduk Kabupaten Badung cukup tinggi.

Kehidupan masyarakat di Kabupaten Badung dihiasi dengan keanekaragaman, baik dalam bidang sosial politik, sosial agama/budaya, maupun sosial ekonomi. Komposisi penduduk Kabupaten Badung dilihat dari segi agama yang dianut disajikan dalam Tabel 14.

Tabel 14. Komposisi penduduk Kabupaten Badung dirinci menurut agama yang dianut

Agama Jumlah Persen

Hindu 325.467 95,16 Islam 8.916 2,61 Katolik 2.809 0,82 Kristen 4.149 1,21 Buda 672 0,20 Jumlah 342.013 100,00

Sumber: Badung dalam angka 2002

Di Bali, khususnya Kabupaten Badung yang menganut agama Hindu masih mayoritas (95,16%) sedangkan 4,84% lainnya adalah masyarakat non Hindu. Agar setiap umat beragama dapat melakukan ibadah sesuai dengan agama/kepercayaan masing-masing, di Kabupaten badung telah ada sejumlah tempat peribadatan yang berupa 2.755 buah pura, 12 buah mesjid, 11 buah langgar, 31 buah mushola, 25 buah gereja, dan empat (4) buah kelenteng.

5.5.Karakteristik Responden

5.5.1. Umur

Dari 100 orang kepala keluarga yang diambil sebagai responden semua berjenis kelamin laki-laki. Rata-rata umur kepala keluarga responden di daerah pertanian (Badung Utara) 45, 52 tahun dengan kisaran 27 s.d 70 tahun) dan rata- rata umur kepala keluarga di daerah pariwisata (Badung Selatan) 47,72 tahun (dengan kisaran 27 s.d 63 tahun).

Dilihat dari rata-rata umur kepala rumah tangga, ternyata masih tergolong usia produktif. Penduduk yang tergolong produktif mempunyai sifat respon terhadap suatu inovasi, dan masih produktif untuk melakukan kegiatan. Sampai pada umur tertentu, semakin tua umur, semakin meningkat kekuatan fisik dan pada tingkatan umur tertentu semakin tua umur, kekuatan fisik menurun, yang berarti produktivitasnya menurun.

Sebaliknya, apabila umur dikaitkan dengan pengalaman, maka semakin tua umur semakin banyak pengalaman yang diperoleh. Karena pengalaman juga rnenunjukkan produktivitas, sehingga dengan meningkatnya umur maka produktivitas meningkat.

5.5.2.Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk suatu masyarakat merupakan faktor penting untuk melihat mutu sumber daya manusia. Tingkat pendidikan dapat menentukan kemajuan pembangunan suatu masyarakat, karena pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan penduduk. Dalam pembangunan pertanian,pendidikan merupakanfaktor pelancar tingkat pendidikan formal kepala rumah tangga penduduk di Badung Utara dan Badung Selatan berturut-turut 9,4 tahun dan 7,2 tahun atau dengan kata lain tingkat pendidikannya masih rendah

Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu daerah (BPS, 1998). Tingkat pendidikan yang rendah akan mempersulit untuk mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian serta mempersulit difusi suatu inovasi pada rnasyarakat. Hariandja (1979) mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu sumber kemiskinan selain kurangnya tanah sebagai sumber penghasilandan jumlah anggota yang besar.

5.5.3. Penguasaan Lahan

Besar kecilnya pendapatan masyarakat terutama petani) tergantung dari luas penguasaan lahannya., kesuburan lahan, jenis lahan, jenis komoditi yang diusahakan, serta tingkat penerapan teknologi. Rata-rata luas penguasaan lahan penduduk cli Badung Utara dan Badung Selatan sebesar 33,39 dan 24.38 are

sedangkan luas pemilikannya ternyata lebih besar dibandingkan dengan luas penguasaannya yaitu 50.87 dan 48,61 are. Baik penguasaan maupun pemilikan tanah penduduk di Badung Utara lebih besar dan di Backing Selatan. Hal ini disebabkan karena Badung Utara merupakan daerah pertanian sementara Badung Selatan adalah daerah pariwisata. Untuk menentukan luas tanah yang ideal bagi seseorang (terutama petani) tidakmudah, karena hal ini tergantung dari banyak faktor seperti kemampuan lahan untuk berproduksi, topografi, jenis tanah, penggunaan lahan, serta jauh tidaknya letak lahan dari pasar. Baik di Badung Utara maupun di Badung Selatan penguasaannya tanahnya lebih rendah dan rata- rata penguasaan lahan rumah tangga di Bah. Dari sensuspertanian 1993 dilaporkan rata-rata luas penguasaan lahan rumah tangga petani di Bali 72 are(Sensus Pertanian, 1993).

Singarimbun dan Penny (1976, dalam Sudana, 1984) menyatakan bahwa, suatu rumah tangga petani untuk dapat hidup dengan cukupan paling sedikit harus memiliki 70 are sawah dan 30 are tegalan atau pekarangan. Sedangkan menurut Direktorat Jendral Transmigrasi (dalam Raharjo, 1979), dikatakan suatu rumah tangga untuk dapat hidup secara layak harus memiliki tanah minimal 200 are (2 hektar), yang terdiri atas satu hektar sawah, 0,75 hektar tegalan, dan 0,25 hektar pekarangan. Kalau mengikuti pendapat tersebut dan terutama di Badung Selatan sebagian besar lahan pertanian telah beralih fungsi ke non pertanian, serta tanah banyak yang merupakan tanah kapur, maka kesimpulan untuk menyatakan penduduk hidup di bawah garis kecukupan perlu ditinjau kembali.

Penguasaan dan pemilikan lahan erat kaitannya dengan status penguasaan lahan. Sebagai akibat terjadinya perubahan dalam status penguasaan lahan. maka rata-rata luas pemilikan berbeda dengan luas lahan garapan pertanian rumah tangga. Luas pemilikan berarti luas milik yang digarap ditambah dengan luas milik yang tidak digarap (disakapkan, disewakan dan sebagainya), sedangkan luas garapan berarti luas lahan yang disakap ditambah luas milik yang digarap (tidak termasuk luas milik yang digarap orang lain). Di daerah penelitian pemilikan lebih luas dari penguasaan lahan, ini berarti ada sebagian tanah miliknya yang dikerjakan orang lain (disakapkan, disewakan, dan sebagainya).

5.6.Pendapatan

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran dan atau kesejahteraan sesorang atau masyarakat, sehingga pendapatan mencerminkan kemajuan ckonomi suatu masyarakat. Tujuan pokok dan pembangunan nasional adalah meningkatkanpendapatan, masyarakat, ini berarti bahwa pendapatan masyarakat dapat dipakai untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan ini dapat dilihat dari tiga aspek yaitu besarnya, pertumbuhan dan distribusinya. Untuk mengkaji pendapatan dalam penelitian ini dilakukan dengan dua (dua) pendekatan yaitu:

1. Pendekatan produksi (production approach), yaitu dengan menghitung sernua nilai produksi barang dan jasa yang dapat dihasilkan dalam suatu periode tertentu.

2. Pendekatan pendapatan (income approach) yaitu dengan menghitung sernua nilai keseluruhan balas jasa yang dapat diterima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu periode tertentu.

Dalam tulisan ini pendapatan yang dicari adalah pendapatan yang berasal dariusahatanidan non usahatani. Pendapatan dari usahatanidihitung berdasarkan jumlah produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga per unit produksi yang berlaku di daerah penelitian kemudian dikurangi dengan biaya-biaya riil yang dikeluarkan selama proses produksi. Sedangkan pendapatan dari luar pertanian dihitung berdasarkan hasil riil yang diterima sebagai imbalan tenaga kerja yang dicurahkan di tempat mereka bekerja.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan yang intensif berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Pembangunan yang intensif berarti terjadi penanaman modal (investasi) yang intensif.

Dari hasil penelitian diperoleh, pendapatan rumah tangga penduduk di Badung. Utara (sebagai daerah pertanian) sebesar Rp. 22.766.192,12 dan Badung Selatan (sebagai daerah pariwisata) Rp. 22.172.715,15. Dengan membagi pendapatan rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga, maka diperoleh pendapatan per kapita sebesar Rp. 3,871.801,38./tahun di wilayah Badung Utara dan Rp.5.472,329/tahun di wilayah Badung Selatan. Dengan memakai uji statistik (t.test), ternyata secara statistik pendapatan masyarakat di wilayah Dadung Utara sangat berbeda nyata dengan pendapatan masyarakat di wilayah Badung Selatan Ini berarti bahwa masyarakat di wilayah Badung Utara sangat membutuhkan

Besarnya pendapatan masyarakat di wilavah Badung Selatan ini karena Badung Selatan merupakan pusat pariwisata sehingga perekonomian masyarakatnya lebih baik dibanding dengan masyarakat, di Badung Utara.

Bila dibandingkandengan Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Badung tahun 2001, ternyata baik pendapatan masyarakat di wilayah Badung Utara maupun Badung Selatan lebih kecil. di mana PDRB perkapita berdasarkan alas harga konsyan 1993 sebesar Rp 5,591 .260,67 (BPS, 2002).

5.7.Distribusi Pendapatan

Di samping besarnya pendapatan, distribusi pendapatan yang merupakan salah satu bagian dan Trilogi Pembangunan merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan dalam pembangunan Distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator untuk menentukan/mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Pembagian pendapatan yang tidak merata tidak saja mengganggu stabilitas ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan politik (Pareto dkk., dalam Hasibuan, 1993).

Salah satu sebab terjadinya tingkat kesenjangan pembagian pendapatan di negara-negara sedang berkembang adalah keadaan struktur kegiatan ekonomi yang senjang misalnya di sektor pertanian terdapat tenaga kerja setengah menganggur yang tinggi dan tingkat pendapatan pekerja yang relatif rendah. sedangkan di pihak lain sektor manufaktur dengan teknologi yang relatif modern dan tingkat upah pekerja relatif tinggi.

Sektor pertanian adalah sektor yang menampung sebagian besar tenaga kerja dengan tingkat produktivitas yang rendah, sektor mi kebanyakan bersifat tradisional dengan tingkat pendidikan tenaga kerja yang relatif tertinggal, Banyak para ahli yang meneliti tentang kesenjangan pembagian pendapatan personal pada sektor pertanian. Dari tulisan tersebut diperoleh bahwa beberapa variabel yang berkaitan dengan kesenjangan pembagian pendapatan yaitu luas tanah, kesempatan kerja, kesempatan dalam memperoleh irigasi, status pemilikan tanah, dan tingkat pertumbuhan (Hasibuan, 1993). Sedangkan Bellante dan Jakson (1990) menyebutkan sumber ketidaksamaan pendapatan adalah perbedaan dalam human capital yang pada akhimya membawa perbedaan dalam penghasilan. Lebih lanjut disebutkan bahwa perbedaanitukarenaperbedaan citarasa dan preferensi seseorang,kesediaan menggantikan pekerjaan dengan waktu untuk leisure, jenis serta jumlah pekerjaan, dan motivasi.

Untuk mengukur keberhasilan pembangunan, hendaknya tidak hanya diukur dengan besarnya pendapatan tetapi juga dilihat dari bagaimana penyebaran pendapatan tersebut di masyarakat. Distribusi pendapatan merupakan suatu konsep yang empiris untuk menentukan atau menilai bagaimana pendapatan total populasi itu terbagi diantara satuan-satuan yang menerima pendapatan (Soejono, 1978). Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan distribusi pendapatan dalam tulisan ini adalah suatu keadaan yang menunjukkan bagaimana penyebaran total pendapatan diantara penerima pendapatan di Badung Utara dan Badung Selatan. Didalam menghitung distribusi pendapatan ini dipakai satuan

Dari hasil perhitungan dengan formula Gini Ratio diperoleh bahwa distribusi pendapatan per kapita per tahun untuk wilayah Badung Utara dan Badung Selatan tergolong dalam ketimpangan sedang dengan Gini Ratio sebesar 0,62 dan 0,65.dan

Gini Ratio di negara-negara sedang berkembang rata-rata 0,467 sedangkan untuk negara-negara maju 0,392 (Irawan dan Suparmoko, 1992). Ini berarti tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah Badung Utara maupun Badung Selatan masih perlu mendapat perhatian dan berbagai pihak.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Artini (1996) di Kecamatan Abang di mana distribusi pendapatan petani di Kecamatan Abang tergolong dalam ketimpangan ringan dengan Gini Ratio sebesar 0,229. Dari hasil penelitian Artinidkk, (2001) sebelumnya menunjukkan bahwa Gini Ratio pendapatan masyarakat Di Badung Utara dan Badung Selatan sebesar 0,64 dan 0,73. Ini berarti setelah meledaknya Bom Bali tahun 2002 pendapatan masyarakat di Daerah penelitian mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan pendapatan ini sekaligus menurunkan angka Gini (perbaikan penyebaran pendapatan).

Dokumen terkait