DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK DI
DAERAH PARIWISATA DAN NON
PARIWISATA
Oleh :
IR. NI WAYAN PUTU ARTINI, MP.
NIP : 195912311986012002
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS
PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
DISTRIBUSI PENDAPATAN PENDUDUK DAERAH PARIWISATA DAN NON PARIWISATA DI KABUPATEN BADUNG
RINGKASAN
Berbagai program yang dijalankan pemerintah pada hakekatnvamempunyai
tujuan utama yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Walaupun berbagai
upaya dan kebijakan telah dilakukan pemerintah namun kesejahteraan masyarakat
belum merata. Hal ini dapat dilihat dan realitas yang ada, di mana masih ada daerah
yang kondisi sosialnya masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain atau dengan
kata [am masih ada gap keadaan sosial ekonomi masyarakat baik antar lapisan
masyarakat (vertical inequity] maupun antar daerah (spatial inequity). Permasalahan
ini menjadi agenda serius dalam pembangunan, sementara pemerintah selalu berusaha
memperbaiki kondisi sosial ekonomi daerah-daerah yang masih tertinggal.
Kabupaten Badung yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Badung Utara
(merupakan daerah pertanian) yang dalam penelitian mi dikategorikan daerah non
pariwisata, Badung Selatan merupakan daerah pariwisata) dan Badung Tengah yang
merupakan transisi antara daerah pariwisata dan non pariwisata. Penelitian ini
dilakukan di daerah pariwisata dan non pariwisata.
Adapun tujuan dan penelitian mi adalah untuk mengetahui karakteristik.
pariwisata dan non pariwisata Besarnya sampel yang diambil sebanyak KKJ kepala
keluarga (50 orang di daerah pariwisata dan 50 orang di daerah non pariwisata).
Dalam penelitian ini yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.
Data primer dikumpulkan dengan memakai daftar pertanyaan (kuesioner), wawancara
mendalam, dan observasi; sedang data sekunder diperoleh dan instansi-instansi terkait
dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Data dianalisis secara deskriptif yaitu
mendiskripsikan, memberikan penafsiran-penafsiran yang memadai terhadap fakta
yang diperoleh dengan interpretasi yang rasional terhadap fakta-fakta di lapangan dan
analisis Gini Ratio untuk menentukan distribusi pendapatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah non pariwisata luas pemilikan
dan luas garapan pen duduk lebih luas dibandingkan dengan di daerah pariwisata.
Rata-rata pemilikan dan penguasaan tanah di daerah non pariwisata 33,39 arc dan
50,87 arc sementara di daerah pariwisata pemilikan dan penguasaannya
masing-masing 24,38 are dan 48.61 are. Pendapatan penduduk di daerah non pariwisata dan
daerah pariwisata masing-masing Rp 3.871.801,38 dan Rp 5.472.329,47 per kapita
per tahun. Distribusi pendapatan per kapita per tahun penduduk di daerah non
pariwisata dan di daerah pariwisata tergolong dalam ketimpangan sedang dengan
Discription analyses shows three results:
1. Land owner and land holder in non tourism area were 33.39 acre and 50.87
acre while in tourism area were 24.38 acre and 48.61 acre respectively
2. Annual income per capita at non tourism and tourism region were
3.871.801,38 rupiahs and 5.472.327,47 rupiahs
3. The population income at this two type region were medium in equally
PRAKATA
Puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang
WidiWasa/TuhanYangMaha Esaatasanugrah-Nya sehinggapenelitianinidapat
diselesaikan dengan baik.Penelitian ini dilaksanakan di daerah pariwisata dan non
pariwisata di Kabupaten Badung, Propinsi Bali.
Pada kesempatan mi penulis mengucapkan terima kasih kepada masyarakat di
daerah pariwisata dan non pariwisata yang telah membantu peneliti
dalammemberikan informasi ataupun data yang diperlukan, sena terima kasih juga
kami sampaikan pada semua pihak yang telah membantu peneliti baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa apa yang disajikan dalam penelitian ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu tegur sapa dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca akan penulis terima dengan kerendahan hati.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga apa yang disajikan dalam tulisan ini ada
manfaatnya.
Denpasar, Oktober 2015
DAFTAR ISI
3.2. Sasaran dan Manfaat Penelitian ... 10
IV. METODE PENELITIAN ... 12
5.2. Penduduk dan Mata Pencaharian ... 20
5.3. Potensi Pertanian ... 25
5.4. Sosial Ekonomi ... 28
5.5. Karakteristik Responden ... 31
5.5.1. Umur ... 31
5.5.2. Pendidikan ... 32
5.5.3. Penguasaan Lahan ... 32
5.6. Pendapatan ... 34
5.7. Distribusi Pendapatan ... 36
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
6.1. Kesimpulan ... 39
6.2. Saran ... 40
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Sumber dan besar investasi di Kabupaten Badung selama lima tahun ... 3
Tabel 2. Luas wilayah dan tata guna tanah di Kabupaten Badung ... 17
Tabel 3. Realisasi dan keadaan normal curah hujan di Kabupaten Badung ... 19
Tabel 4. Jumlah penduduk Kabupaten Badung dirinci per kecamatan ... 20
Tabel 5. Perkembangan Penduduk di Kabupaten Badung selama delapan tahun terakhir... 21
Tabel 6. Komposisi Penduduk di Kabupaten Badung ... 22
Tabel 7. Distribusi penduduk Kabupaten Badung berdasarkan lapangan Pekerjaan . 23 Tabel 8. Kontribusi berbagai lapangan usaha terhadap PDRB Kabupaten Badung tahun 2001 ... 24
Tabel 9. Luas areal, produksi dan produktivitas tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Kabupaten Badung ... 25
Tabel 10. Populasi Ternak di Kabupaten Badung ... 26
Tabel 11. Luas pemeliharaan, produksi dan nilai perikanan di Kabupaten Badung tahun 1998 s.d 2002 ... 27
Tabel 12. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Kabupaten Badung ... 28
Tabel 13. Sarana/prasarana Kesehatan di Kabupaten Badung ... 29
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Secara implisit program kebijakan pemerintah dewasa ini adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (dan atau mengurangi jumlah penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan) dan melaksanakan delapan jalur
pemerataan yaitu pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, pemerataan
pembagian pendapatan, pemerataan pembangunan, pemerataan memperoleh
pendidikan, pelayanan kesehatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan
pemerataan dalam memperoleh keadilan. Walaupun berbagai upaya dan kebijakan
telah dilaksanakan oleh pemerintah, namun tingkat kesejahteraan masih belum
merata. Hal ini dapat dilihat dari realitas yang ada, di mana masih ada daerah yang
kondisinya sosialnya masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya dengan
kata lain belum meratanya kesejahteraan masyarakat. Permasalahan ini menjadi
agenda serius dalam perkembangan dan pemerintah selalu berusaha memperbaiki
kondisi sosial ekonomi daerah-daerah yang masih tertinggal.
Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan
seseorang atau masyarakat, sehingga pendapatan itu mencerminkan kemajuan
ekonomi suatu masyarakat. Kemajuan itu dapat dilihat dari tiga aspek yaitu
tingkat pendapatan, pertumbuhan atau perkembangan pendapatan, dan distribusi
vertikal maupun horizontal. Ketiga aspek pendapatan tersebut di atas adalah
hendaknya berjalan secara seimbang agar tercapai stabilitas ekonomi yang
mantapdan dinamis.
Bali tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pariwisata mempunyai peranan
besar sebagai lokomotif pembangunan ekonomi dan sekaligus sebagai generator
dalamperubahan sosial budaya. Keadaan ini menyebabkan angka pertumbuhan
FDRB Bali selalu di atas rata-rata nasional. Dalam pembangunan pariwisata Bali,
ada beberapa masalah mendasar seperti ketidakmerataan manfaat ekonomi baik
antar lapisan masyarakat (vertical inequity) maupun ketimpangan antar daerah
(.spatial inequity), Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kodya Denpasar merupakan
tiga kabupaten yang mempunyai pendapatan sangat besar dari sektor pariwisata.
sedangkan kabupaten lainnya mendapat manfaat ekonomi yang jauh di bawah.
Hal ini menimbulkan adanya pergeseran penyerapan tenaga kerja pada berbagai
sektor di mana terdapat indikasi bahwa “eksodus”tenaga kerja dari sektor
pertanian ke non pertanian. Dampak lain yang ditimbulkan oleh sektor pariwisata
antara lain keterkaitan dan keterlibatan individual dengan masyarakat luar,
hubungan interpersonal antara anggota masyarakat, ritme kehidupan sosial
masyarakat, pola pembagian kerja, stratifikasi dan mobilitas dan sebagainya
(Cohen, dalam Pitana 1999). Dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal
terlihat bahwa pola interaksi sosial di Bali sudah mengarah pada “dominasi
ekonomi” sehingga seakan-akan pertimbangan ekonomi menjadi prioritas utama
dalam hubungan sosial di mana konformitas sosial (social conformity) yang tinggi
tergeser oleh individualisme. Di samping itu Bali telah menjadi daya tarik bagi
Kabupaten Badung yang merupakan daerah pusat pariwisata dan sekaligus
merupakan pusat aktivitas perekonomian merupakan daerah tujuan para urban.
Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang ditandai dengan pembangunan
pemukiman, pusat-pusat pembelanjaan, perkantoran, hiburan, dan sebagainya
akan membawa dampak sosial baik yang bersilat positif maupun negatif.
Kesenjangansosial yang semakin nyata merupakan dampak negatif dari
pertumbuhan ekonomi yang kurang memperhatikan aspek pemerataan.
Ketimpangan pembangunan cendrung mengakibatkan ketimpangan dalam
kesejahteraan penduduk karena kesejahteraan merupakan fungsi dari investasi
yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat investasi semakin tinggi tingkat
kesejahteraan penduduk. Di Kabupaten Badung besarnya investasi yang dilakukan
baik oleh pemerintah maupun swasta selama lima tahun terakhir disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Sumber dan besar investasi di Kabupaten Badung
Selama lima tahun terakhir
Tahun
Sumber dan besar investasi
Jumlah (Rp) Pemerintah (Rp) Swasta (Rp) Swadaya (Rp)
1995/1996 97.378.433.849,00 1.386.037.060.732,00 18.711.480.795,00 1.502.126.975,376,00
1996/1997 155.874.526.581,00 1.444.259.189.090,00 15.579.644.385,00 1.615.813.377.056,00
1997/1998 233.184.926.370,00 1.500.365305.611,31 35.262.133.000,00 1.769.442.364.981,31
1998/1999 221.906.722.752,75 827.339.922910,00 42.991.198.000,00 1.092.237.843.662,75
Kabupaten Badung membawahi enam kecamatan yaitu Kuta Selatan,
Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang; dibagi menjadi tiga wilayah
yaitu Badung Selatan (Kecamatan Kuta Utara, Tengah, dart Selatan), Badung
Tengah (Kecamatan Mengwi), dan Badung Utara (Kecamatan Abiansemal dan
Petang) mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Badung Selatan adalah daerah
pariwisata yang membutuhkan hasil-hasil pertanian untuk mensupply kebutuhan
hotel dan restoran sedangkan dilain pihak Badung Utara (Kecamatan Abiansemal
dan Petang) yang notabene daerah pertanian (non pariwisata) adalah sebagai
pemasok hasil-hasil pertanian yang dibutuhkan Badung Selatan. Ini berarti ada
simbiose yang mutualistis antara Badung Utara dengan Badung Selatan. Adanya
anggapan sementara masyarakat awam bahwa penduduk Badung Selatan lebih
sejahtera, lebih glamour, lebih makmur, dan sebagainya dibanding Badung Utara,
mendorong peneliti untuk mengetahui tingkat kesejahteran penduduk di daerah
pariwisata (Badung Selatan) dan di daerah non pariwisata (Badung Utara) dilihat
dari distribusi pendapatan masing-. masing.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang disebutkan di atas, maka
permasalahan penting yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah
distribusi pendapatan penduduk di daerah pariwisata dan non pariwisata, di mana
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan seseorang atau masyarakat, sehingga pendapatan ini mencerminkan
kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Pendapatan itu dapat dilihat dari tiga aspek
yaitu tingkat pendapatan, pertumbuhan atau perkembangan pendapatan, dan
distribusi antara individu atau rumah tangga. Ketiga aspek pendapatan tersebut
dalam perekonomian yang kegiatannya diatur dan dilaksanakan secara berencana
hendaknya berjalan secara seimbang agar tercapai stabilitas ekonomi yang mantap
dan dinamis.
Pembagian pendapatan yang sangat timpang akan berakibat fatal terhadap
keadaan sosial ekonomi, sosial budaya, dan sosial politik. Kesenjangan
pendapatan yang tinggi dapat mengganggu stabilitas politik (Pareto, 1971 dalam
Hasibuan, 1993). Tingkat pendapatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai
pendekatan, salah satu pendekatan yang sering dilakukan adalah dengan memakai
pendapatan per kapita.
Di Indonesia pembangunan ekonomi sering ditunjukkan dengan
pendapatan penduduk per kapita, pertumbuhan, pemerataan, dan struktur
ekonomi. Dalam analisis ekonomi makro sederhana, maka pendapatan yang
diperoleh dialokasikan untuk konsumsi dan ditabung untuk investasi. Pendapatan
penduduk. Pembangunan dikatakan berhasil bila peningkatan pendapatan lebih
besar dari peningkatan jumlah penduduk.
Di samping pemerataan, unsur lain dari Trilogi Pembangunan adalah
pertumbuhan. Persoalan yang ada dalam pertumbuhan pendapatan adalah “trade
off dan pertumbuhan yang tinggi. Pembangunan yang mengutamakan
pertumbuhan yang tinggi akan cendrung menyingkirkan aspek pemerataan.
Demikian sebaliknya, jikatujuan pembangunan yang diutamakan adalah
pemerataan, maka tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak tercapai. Di
samping itu ada yang berpendapat bahwa masalah pemerataan adalah soal waktu,
karena dalam jangka waktu tertentu, ekonomi dengan tingkat pertumbuhan yang
tinggi akan mengurangi tingkat kesenjangan setelah melalui kesenjangan yang
tinggi (Kusnet, 1955 dalam Hasibuan, 1993).
Tjiptohenjanto (1882) menyatakan bahwa, kemiskinan berhubungan erat
dengan kesenjangan pendapatan. Dari berbagi hasil penelitian didapatkan adanya
kecendrungan bahwa kesenjangan pendapatan di daerah miskin lebih kecil
dibandingkan dengan kesenjangan pendapatan di daerah yang maju. Di samping
itu King dan Weldon (1976 dalam Artini, 1996) menemukan bahwa di daerah
pedesaan kesenjangan pendapatan lebih kecil dibandingkan dengan di daerah
perkotaan, akan tetapi rendahnya rendahnya tingkat kesenjangan pendapatan
sekaligus dibarengi dengan rendahnya pendapatan per kapita. Keberhasilan
pembangunan tidak hanya dapat diukur secara kuantitatif seperti besar dan
distribusi pendapatan, tetapi bisa juga diukur secara kualitatif seperti yang
Salah satu indikator untuk mengukur tolak ukur keberhasilan
pembangunan menurut Nasikun (1992) yaitu dengan menggunakan indeks
kualitas hidup (PQLI). Di lihat dari tujuan PQLI cocok diterapkan sebagai tolak
ukur keberhasilan pembangunan dalam kerangka model pembangunan pemerataan
melalui pertumbuhan dan model pembangunan pemenuhan kebutuhan dasar.
PQLI menunjukkan seberapa jauh masyarakat berhasil mencapai sejumlah
karakteristik sosial atau kebutuhan dasar yang menjamin kelangsungan hidup
manusia. Komponen PQLI adalah: 1) angka harapan hidup pada usia satu tahun 2)
kematian bayi dan angka melek huruf. Angka harapanhidup pada usia satu tahun
dan kematian bayi digambarkan untuk mengukur hasil dari proses sosial.
Keduanya dapat dilihat sebagai proksi kombinasi dari efek hubungan-hubungan
sosial, status nutrisi, kesehatan masyarakat, dan lingkungan keluarga. Angka
melek huruf menunjukkan kemampuan menangkap informasi tentang potensi
pembangunan dan peluang yang dimiliki oleh kelompok penduduk miskin untuk
dapat menikmati kemungkinan-kemungkinan dan keuntungan-keuntungan dari
kegiatan pembangunan. Adapun lima dimensi kemiskinan menurut Nasikun
(1992) yaitu:
1. Kemiskinan “proper” artinya kurangnya pemilikan asset atau rendahnya
akses terhadap aliran uang dan barang.
2. Kelemahan fisik, ditunjukkan oleh berat badan yang tidak normal dan
sensitif terhadap variasi musim.Kelemahan fisik dapat diukur dengan
lingkar lengan yang tidak normal dan atau persentase anak-anak balita
yang meninggal selama setahun terakhir.
3. Kerentanan, yang dapat dilihat dariketidakmampuan keluarga miskin
untuk menyediakan sesuatu dalam menghadapi situasi darurat. Dimensi
kerentanan dapat diukur dengan persentase penduduk yang berusia 10
tahun ke atas yang bersetatus sebagai buruh tani dan atau tidak memiliki
pekerjaan yang tetap.
4. Ketidakberdayaan, tercermin dalam seringnya elit desa menjaring bantuan
yang sebenarnya diperuntukkan orang miskin. Ketidakberdayaan dapat
diukur melalui penyusunan indeks diferensiasi pendidikan, okupasial, dan
indeks kompetisi atau diferensiasi politik dan
5. Keterasingan (isolasi), di mana keluarga miskin umumnya tersisih dari
pusat kehidupan dan kemajuan. Hal ini dapat diukur melalui panjang jalan
yang dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun per kilometer
persegi luas daerah, persentase rumah tangga yang memiliki radio, televisi,
dan berlangganan koran.
Keadilan Distribusi Pendapatan
Keadilan distribusi pendapatan pada dasarnya erat kaitannya dengan
keadilan sosial. Keduanya merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa
dipisah-pisahkan. Terciptanya keadilan sosial akan menjamin terwujudnya keadilan
distribusi pendapatan. Sebaliknya keadilan distribusi akan membawa pada
sekelompok orang. Dalam pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa
setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Ini berarti setiap orang berhak memperoleh aset-aset ekonomi
secara adil dan merata, sesuai dengan bakat, keahlian, dan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya. Penguasaan atas sumber pendapatan oleh satu kelompok tertentu
bukan hanya bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga mengingkari semangat
persaudaraan, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Semangat persaudaraan bisa
luntur bila terjadi ketimpangan sosial. Sebagian kecil anggota masyarakat
menikmati kehidupan yang sejahtera, sementara sebagian besar lainnya tidak
mampu memenuhi kehidupan yang paling asasi sekalipun. Hal ini tentu akan
menimbulkan kecemburuan dan permusuhan sebagian besar masyarakat terhadap
segelintir elit ekonomi tersebut.
HasilpenelitianArtinidkk.(2001)menyebutkanbahwapendapatan
masyarakat di daerah pariwisata lebih besar dari di daerah non pariwisata, tetapi
distribusi pendapatan di daerah pariwisata lebih timpang dibanding di daerah non
III.TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1.Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dan penelitian ini adalah membandingkan distribusi
pendapatan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan
penduduk di daerah pariwisata dan daerah non pariwisata. Secara lebih terperinci
tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui karakteristik penduduk dt daerah pariwisata dan non
pariwisata
2. Mengetahuibesarnyapendapatanpendudukdidaerahpariwisatadannon
pariwisata
3. Mengetahuidistribusipendapatanpendudukdidaerah pariwisatadannon
pariwisata
3.2.Sasaran dan Manfaat Penelitian
Adapun sasaran dari penelitian ini adalah penduduk yang berada di
Kabupaten
BadungkhususnyayangberdomisilidiBadungUtarasebagaidaerahnan
pariwisata dan Badung Selatan sebagai daerah pariwisata.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pemerintah
yaitu sebagai bahan informasi dalam memantapkan/meningkatkan kualitas
yang diambil dalam upaya memeratakan dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengupayakan terobosan atau
alternatif pemecahan masalah yang mungkin ada di daerah penelitian
Sebagai input kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan di masa
mendatang dalam mengurangi ketimpangan dalam pembagian pendapatan
IV.METODE PENELITIAN
4.1.Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung yaitu di wilayah Badung
Utara dan Badung Selatan. Pemilihan daerah ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa kedua daerah tersebut berada dalam satu wilayah kabupaten dimana
wilayah Badung Utara merupakan daerah yang lokasinya jauh dari kota serta
merupakan daerah pertaniaan(daerah non pariwisata) dan Badung Selatan adalah
daerah yang berlokasi di pusat perkotaan yang sekaligus merupakan daerah
pariwisata. Wilayah Badung Utara yang dijadikan lokasi penelitian adalah
Kecamatan Abiansemal dan Kecamatan Petang, sedangkan wilayah Badung
Selatan adalah Kecamatan Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan.
4.2.Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penduduk yang berada di
kedua wilayah tersebut (Badung Utara dan Badung Selatan). Adapun banyaknya
sampel yang akan diambil dalam penelitian berjumlah 100 orang (50 orang
diambil di Badung Utara dan 50 orang di Badung Selatan. Dalam pengambilan
sampel dilakukan secara acak sederhana di mana setiap orang dalam populasi
mempunyai peluang yang sama untuk diambil.
4.3.Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data primer dan data
yangmenjadi pokok penelitian dan data yang menunjang penelitian,baik itu data
kualitatif maupun data kuantitatif. Dalam mencari data primer dilakukan dengan
cara:
1. Dengan survey, dengan memakai kuesioner (daftar pertanyaan) yang
dipersiapkan sebelumnya seperti yang dikemukakan oleh Singarimbun (1982).
2. Dengan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap responden/
informan tertentu. Wawancara mendalam ini dilakukan terhadap sejumlah
tokoh-tokoh masyarakat, seperti bendesa adat, kepala desa, dan tokoh
masyarakat lainnya yang dianggap tahu dan bisa memberikan informasi yang
akurat terhadap hal-hal yang ditanyakan. Wawancara mendalam dilakukan
menurut kategori profesi, status sosial dan kategori lainnya jika dipandang
perlu. Untuk wawancara mendalam
penelitimenggunakansuatupedomanwawancara (guided interview) untuk
memudahkanmelakukanwawancara,walaupundilapanganpertanyaan-pertanyaan terus berkembang).
3. Dengan observasi, yaitu suatu pengumpulan data dengan pengamatan
langsung di lapangan untuk menguji dan melengkapi data lainnya.Observasi
secara langsung mi sangat baik dilakukan terutama untuk melihat pola
hubungan sosial maupun
dalamkegiatankeagamaansehinggaakantampaktingkatkohesisosial masyarakat
Sedangkan data sekunder dicari dari dinas/instansi yang secara langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah distribusi pendapatan
masyarakat serta dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.
4.4. Analisis Data
Dalam penelitian ini data kuantitatif akan dianalisis secara tabulasi tanpa
memakai uji statistik, sedangkan data kualitatif akan dianalisis secara diskriptif
kualitatif yaitu dengan mendiskripsikan kemudian memberikan
penafsiran-penafsiran dengan interprestasi rasional yang memadai terhadap fakta-fakta yang
diperoleh dilapangan. Secara rinci analisis data dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui karakteristik penduduk dan besamya pendapatan penduduk
dilakukan analisis data secara diskriptif dan tabulasi
2. Untuk mengetahui distribusi pendapatan dipakai suatu indikator yang disebut
Gini Ratio (Sajogyo,1992) dengan formula:
• Fi = persentase kumulatif jumlah keluarga kelas ke-i
• Fi-1 = persentase kumulatif jumlah keluarga sebelum kelas ke-i
• Yi = persentase kumulatif jumlah pendapatan kelas ke-i
• k = jumlah kelas.
Gini Ratio merupakan bilangan yang besarnya berkisar antara 0 dan I
(0<GR<1). Dalam menentukan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan
masyarakat dipakai kriteria yang di kemukakan oleh Tjiptoherijanto (1992), di
mana distribusi pendapatan dikatagorikankedalam ketimpangan berat,
V.HASIL DAN PEMBAIIASAN
5.1. Kondisi Fisik
Kabupaten Badung yang menjadi lokasi dalam penelitian ini secara
geografis terletakantara08°14’205> - 08°50’48’; LS dan 115°05’00”-
115°26’16”BT dengan luas wilayah 418,52 Km2
. Secara administratif Kabupaten
Badung terbagi atas enam kecamatan yaitu Kecamatan Kuta Selatan, Kuta, Kuta
Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang. Penelitian ini dilakukan di wilayah
Badung Selatan (Kecamatan Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan) dan Badung
Utara (Kecamatan Abiansemal dan Petang). Adapun luas wilayah dan tataguna
Tabel 2. Luas wilayah dan tata guna tanah Kabupaten Badung
Penggunaan lahan Luas (Km”)
Sawah 104,13
Pekarangan rumah 90,76
Tegal/kebun 86,20
Tambak 0,01
Kolam/empang 0,26
Tanah sementara tidak diusahakan 1,64
Hutan rakyat 12,52
Hutan negara 14,90
Tanah perkebunan 66,22
Lainnya 41,88
Jumlah 418,52
Sumber: Badung dalam angka 2002
Dari tabel di atas terlihat bahwa wilayah Kabupaten Badung hanya 24,88%
merupakan sawah sedang 75,12% lainnya bukan sawah (pekarangan, tegal, hutan,
dan sebagainya).
Badung Selatan dengan luas wilayah 152,51Km2 terletak antara 08°38’44,2”
-08°46’58,7” LS dan 115°09’42,3” - 115°10’41,3”BT dengan batas-batas wilayah
sebelah Barat adalah Samudra Indonesia. Secara administratif Badung Selatan
terbagi atas 17 Desa/Kelurahan, sedang Badung Utara terdiri atas 24 Desa
Kelurahan. Badung Selatan (Kuta secara keseluruhan) adalah daerah obyek wisata
manca negara di Bali Hingga kini berkembang sangat pesat terutama dalam
bidang pariwisata dengan segala pendukungnya.
Kecamatan Abiansemal dengan luas wilayah 69,01 Km2 terletak diantara
08°26’59” - 08°36’10;’ LS dan 115°11’38” - 115°14’57”BT dengan batas wilayah
sebagai berikut: di sebelah Utara Kecamatan Petang, di sebelah Timur
KabupatemGianyar, di sebelah Selatan Kodya Denpasar, dan di sebelah Barat
Kecamatan Mengwi. Secara administratif Kecamatan Abiansemal terbagi atas 17
desa. Hampir sebagian besar wilayah Abiansemal adalah sawah (44,59%) sedang
54,41% lainnya untuk tegalan, pekarangan, perkebunan, kolam, dan sebagainya.
Sementara Kecamatan Petang dengan luas wilayah 115,00 Km2 terletak antara
08°14’17” - 08°28’25” LS dan 115°ir01” - 115°15’09”BT. Secara administratif
Kecamatan Petang terdiri atas 7 desa. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan
Petang sebagai berikut: di sebelah Utara Kabupaten Buleleng, di sebelah Timur
Kabupaten Bangli dan Gianyar, di sebelah Selatan Kecamatan Abiansemal, dan di
Kabupaten Tabanan. Hampir sebagian besar wilayah Kecamatan Petang adalah
tegalan (42,43%) sedang 57,57% sisanya untuk sawah, hutan, dan sebagainya.
Sama halnya dengan pulau Bali yang beriklim tropis, Kabupaten Badung
mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan
kemarau biasanya terjadi antara Bulan April sampai Oktober. Perbedaan curah
hujan dart bulan ke bulan cukup tinggi dibandingkan dengan keadaan normal.
Realisasi curah hujan di Kabupaten Badung tahun 2002 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Realisasi dan keadaan normal curah hujan di Kabupaten Badung
No Bulan
Curah hujan (mm)
Realisasi Normal
1 Januari 326 392
2 Pebruari 406 315
3 Maret 73 203
4 April 36 112
5 Mei 10 79
6 Juni 0,2 67
7 Juli 5,6 57
8 Agustus 0,8 31
9 September 2,1 43
10 Oktober 0 98
11 November 95 177
12 Desember 210 280
5.2. Penduduk dan MataPencaharian
Besar kecilnya pertumbuhan penduduk di suatu daerah dipengaruhi oleh
besarnya angka kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk. Jumlah penduduk
Kabupaten Badung pada tahun 2002 sebanyak 342.013 orang yang terdiri atas
171.166 orang laki-laki dan 170.847 orang perempuan dengan seks ratio 100,19
serta kepadatan penduduk 817 jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk
Kabupaten Badung yang dirinci per kecamatan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah penduduk Kabupaten Badung dirinci per kecamatan
Kecamatan
Luas wilayah
(Km2)
Perkembangan penduduk Kabupaten Badung disajikan pada Tabel 5. Dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa penduduk Kabupaten Badung semakin
bertambah dalam delapan tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena fertilitas
masyarakatmeningkat, mortalitas turun karena sarana dan prasarana kesehatan
sudah semakin canggih, kesadaran masyarakat akan sanitasi meningkat, dan
sebagainya.
Tabel 5. Perkembangan penduduk di Kabupaten Badung selama delapan tahun terakhir
Komposisi penduduk di Kabupaten Badung yang dirinci menurut
kelompok umur tertentu yaitu kelompok umur yang masih produktif (15-64) tahun
dan kelompok umur tidak produktif (di bawah 14 tahun dan di atas 64 tahun)
produktif yaitu kelompok umur 15 s.d 64 tahun. Hal mi terkait dengan mudah
tidaknya masyarakat menerima inovasi baru, tingkat mobilitas, motivasi kerja,
produktivitas, dan sebagainya.
Tabel 6. Komposisi penduduk di Kabupaten Badung (data sensus tahun 2000)
Klp. Umur (Thn) Jumlah Penduduk (orang)
<.14
15-64
> 64
80.036
248.298
17.529
Jumlah 345.863
Sumber: Badung dalam angka 2002.
Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia (terutama Kabupaten Badung)
merupakan tempat yang potensial untuk dituju oleh migran dari Iuar daerah.
Sektor pariwisata/jasa di kawasan ini mempunyai daya tarik yang cukup tinggi,
untuk menarik para migran yang ingin mengadu nasibnya. Di Kabupaten Badung
tersedia berbagai ragam lapangan pekerjaan dari tingkat yang terendah (tidak
memerlukan keterampilan khusus) sampai yang profesional. Hal ini memperkuat
pendapat berbagai kalangan yang menyebutkan pulau Bali sebagai gadis cantik
yang memikat yang dirindukan banyak orang namun si gadis tidak hanya dilirik
di Kabupaten Badung menurut lapangan pekerjaan tahun 2001, dan 2002 disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Distribusi penduduk Kabupaten Badung berdasarkan lapangan pekerjaan (hasil Susenas) tahun 2001 dan 2002
Jenis pekerjaan
Persentase tenaga kerja
Tahun 2001 Tahun 2002
Pertanian 14,71 17,58
Pertambangan dan penggalian 0,37 0,07
Industri 34,17 11,27
Listrik, gas, dan air 0,06 0,23
Bangunan 14,55 12,52
Dagang, hotel, dan restoran 29,93 35,52
Pengangkutan dan komunikasi 6,73 6,21
Keuangan dan asuransi 3,36 2,76
Jasa kemasyarakatan 16,22 13,61
Lainnya 0,00 0,24
Sumber: Badung dalam angka 2002.
Dalam label 7 di alas dapat dilihat bahwa sektor pertanian menyerap
bekerja di sektor pertanian tidak memerlukan keterampilan khusus; ditambah lagi
dengan adanya krisis moneter yang dimulai tahun 1997 menyebabkan tenaga kerja
yang kena PHK terpaksa mau tidak mau mereka kebanyakan sebagai petani.
Kalau dilihat dari kontribusi berbagai sektor terhadap PDRB ternyata
kontribusi dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberi andil yang paling
tinggi yaitu 48,08% kemudian sektor angkutan dan komunikasi (22,30%)
sedangkan kontribusi dan sektor pertanian hanya 6,89%. Kontribusi dari berbagai
sektor lapangan pekerjaan di Kabupaten Badung terhadap PDRB disajikan dalam
Tabel 8.
Tabel 8. Kontribusi berbagai lapangan usaha terhadap PDRB Kabupaten Badung tahun 2001
Lapangan usaha Atas dasar harga berlaku (%)
Atas dasar harga konstanthn 1993 (%)
Pertanian 8,29 6,89
Pertambangan dan penggalian 0,23 0,23
Industri pengolahan 2,92 3.28
Listrik, gas, dan air 1,43 1,48
Bangunan 4,50 5,06
Dagang, hotel, dan restoran 42,22 48,08
Pengangkutan dan komunikasi 29,60 22,30
Keuangan dan asuransi 2,78 2.94
Jasa lainnya 8,03 9.74
5.3.Potensi Pertanian
Usahatani di Kabupaten Badung sebagian besar masih bersifat tradisional,
di mana tanah masih merupakan modal utama dalam proses produksi pertanian.
Di Kabupaten Badung ditanam berbagai jenis tanaman pangan, tanaman
perkebunan, serta terdapat berbagai jenis peternakan. Produksi dan produktivitas
tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Kabupaten Badung disajikan dalam
Tabel 9.
Tabel 9. Luas areal. produksi dan produktivitas tanaman pangan dan
tanaman perkebunan di Kabupaten Badung
Dalam Tabel 9 dapat dilihat bahwa produktivitas tanaman perkebunan
masih rendah, karena masyarakat lebih cendrung mengusahakan tanaman pangan.
Di Kabupaten Badung disamping dihasilkan tanaman pangan dan perkebunan,
masyarakat juga mempunyai penghasilan tambahan dari ternak. Ternak yang
paling diminati oleh masyarakat setempat adalah babi, ayam buras, dan ayam
pedaging. Populasi ternak di Kabupaten Badung disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Populasi ternak di Kabupaten Badung tahun 2000, 2001, 2002
Jenis ternak
Populasi (ekor)
1998 1999 2000 2001 2002
Sapi potong 46.960 45.114 44.403 39.262 40.302
Kambing 2.181 1.505 1.655 918 421
Babi 187.460 175.998 167.614 149.893 90.986
A. buras 986.597 993.957 912.915 826.710 422.345
A.pedaging 233.877 243.030 232.512 234.805 211.832
A.petelur 30.847 30.447 29.569 23.071 44.911
Itik 92.678 89.569 85.105 87.134 77.555
Sumber: Badung Dalam Angka 2002,
DalamTabel 10 dapat dilihat bahwa dalam lima tahun terakhir
perkembangan ternak secara keseluruhan cenderung menurun. Hal ini disebabkan
oleh karena adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan serta adanya
alasan spiritual maupun alasan kesehatan. Ternak sapi, babi, ayam buras, kambing
dan itik sangat akrab dipelihara oleh masyarakat karena sangat mudah diuangkan
dan juga dibutuhkan oleh masyarakat untuk kepentingan upacara.
Disamping peternakan, perikanan juga merupakan mata pencaharian
beberapa penduduk di Kabupaten Badung. Produksi perikanan ini diharapkan
mampu untukmeningkatkan status gizimasyarakat.Produksiperikanan
diKabupaten Badung disajikan padaTabel 11
Dari Tabel 11dapat dilihat bahwa pada nilai perikanan cendrung
meningkat dari tahun ketahun.Hal ini karena masyarakat cendrung untuk
mengkonsumsi ikan sebagai sumber protein hewani.
5.4. Sosial Ekonomi
Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
mencerminkan tingkat intelektual suatu bangsa atau negara. Sejauh mana
pendidikan telah tercapai, kemampuan penduduk membaca dan menulis,
kemampuan penduduk berbahasa Indonesia sangat penting mendapat perhatian
dalam pembangunankhususnya dalam upaya mencerdaskan bangsa. Untuk itu
penyediaan sarana dan prasarana pendidikan mutlak diperlukan. Untuk menunjang
pembangunan di bidang pendidikan, perlu didukung oleh sarana dan prasarana
pendidikan yang memadai. Di bawah ini disajikan sejumlah sarana dan prasarana
pendidikan yang ada di Kabupaten Badung Tabel 12)
Tabel 12. Jumlah sekolah, murid, dan guru di Kabupaten Badung
Jenis sekolah Jumlah sekolah Jumlah murid Jumlah guru
TK 127 8.917 427
SD 250 2.540 2.354
SLIP 40 5.430 1.252
SLTA 29 11.097 1.006
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa jumlah Sekolah Dasar paling banyak
dibandingkan dengan yang lainnya. Demikian pula halnya dengan guru, jumlah
guru di sekolah Dasar paling banyak. Kalau dilihat dari jumlah murid, ternyata
murid yang berpendidikan SMA yang terbanyak. Ini berarti bahwa kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan semakin meningkat.
Di samping pendidikan, kesehatan masyarakat juga perlu mendapat
perhatian dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Manusia di
samping sebagai obyek juga sekaligus subyek dalam pembangunan, di mana
manusia sebagai perencana, pelaksana, dan pengevaluasi program pembangunan
yang ada. Di Bawah ini disajikan sarana/prasarana kesehatan yang ada di
Kabupaten Badung (Tabel 13).
Tabel 13.Sarana/prasarana kesehatan di Kabupaten Badung
Nomor Sarana/prasana kesehatan Jumlah
1 Rumah sakit 2
2 Puskesmas 1 1
3 Puskesmas pembantu 41
4 Apotik 56
5 Klinik KB 53
Sumber: Badung dalam angka 2002
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa sarana kesehatan di Kabupaten Badung
sehingga semua fasilitas kesehatan tersedia dalam jumlah yang memadai, di
samping karena jumlah penduduk Kabupaten Badung cukup tinggi.
Kehidupan masyarakat di Kabupaten Badung dihiasi dengan
keanekaragaman, baik dalam bidang sosial politik, sosial agama/budaya, maupun
sosial ekonomi. Komposisi penduduk Kabupaten Badung dilihat dari segi agama
yang dianut disajikan dalam Tabel 14.
Tabel 14. Komposisi penduduk Kabupaten Badung dirinci menurut agama yang dianut
Agama Jumlah Persen
Hindu 325.467 95,16
Islam 8.916 2,61
Katolik 2.809 0,82
Kristen 4.149 1,21
Buda 672 0,20
Jumlah 342.013 100,00
Sumber: Badung dalam angka 2002
Di Bali, khususnya Kabupaten Badung yang menganut agama Hindu
masih mayoritas (95,16%) sedangkan 4,84% lainnya adalah masyarakat non
Hindu. Agar setiap umat beragama dapat melakukan ibadah sesuai dengan
agama/kepercayaan masing-masing, di Kabupaten badung telah ada sejumlah
tempat peribadatan yang berupa 2.755 buah pura, 12 buah mesjid, 11 buah
5.5.Karakteristik Responden
5.5.1. Umur
Dari 100 orang kepala keluarga yang diambil sebagai responden semua
berjenis kelamin laki-laki. Rata-rata umur kepala keluarga responden di daerah
pertanian (Badung Utara) 45, 52 tahun dengan kisaran 27 s.d 70 tahun) dan
rata-rata umur kepala keluarga di daerah pariwisata (Badung Selatan) 47,72 tahun
(dengan kisaran 27 s.d 63 tahun).
Dilihat dari rata-rata umur kepala rumah tangga, ternyata masih tergolong
usia produktif. Penduduk yang tergolong produktif mempunyai sifat respon
terhadap suatu inovasi, dan masih produktif untuk melakukan kegiatan. Sampai
pada umur tertentu, semakin tua umur, semakin meningkat kekuatan fisik dan
pada tingkatan umur tertentu semakin tua umur, kekuatan fisik menurun, yang
berarti produktivitasnya menurun.
Sebaliknya, apabila umur dikaitkan dengan pengalaman, maka semakin
tua umur semakin banyak pengalaman yang diperoleh. Karena pengalaman juga
rnenunjukkan produktivitas, sehingga dengan meningkatnya umur maka
5.5.2.Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk suatu masyarakat merupakan faktor penting
untuk melihat mutu sumber daya manusia. Tingkat pendidikan dapat menentukan
kemajuan pembangunan suatu masyarakat, karena pendidikan dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan penduduk. Dalam
pembangunan pertanian,pendidikan merupakanfaktor pelancar tingkat pendidikan
formal kepala rumah tangga penduduk di Badung Utara dan Badung Selatan
berturut-turut 9,4 tahun dan 7,2 tahun atau dengan kata lain tingkat pendidikannya
masih rendah
Pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan penduduk suatu daerah (BPS, 1998). Tingkat pendidikan yang
rendah akan mempersulit untuk mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian serta
mempersulit difusi suatu inovasi pada rnasyarakat. Hariandja (1979)
mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu sumber kemiskinan
selain kurangnya tanah sebagai sumber penghasilandan jumlah anggota yang
besar.
5.5.3. Penguasaan Lahan
Besar kecilnya pendapatan masyarakat terutama petani) tergantung dari
luas penguasaan lahannya., kesuburan lahan, jenis lahan, jenis komoditi yang
diusahakan, serta tingkat penerapan teknologi. Rata-rata luas penguasaan lahan
sedangkan luas pemilikannya ternyata lebih besar dibandingkan dengan luas
penguasaannya yaitu 50.87 dan 48,61 are. Baik penguasaan maupun pemilikan
tanah penduduk di Badung Utara lebih besar dan di Backing Selatan. Hal ini
disebabkan karena Badung Utara merupakan daerah pertanian sementara Badung
Selatan adalah daerah pariwisata. Untuk menentukan luas tanah yang ideal bagi
seseorang (terutama petani) tidakmudah, karena hal ini tergantung dari banyak
faktor seperti kemampuan lahan untuk berproduksi, topografi, jenis tanah,
penggunaan lahan, serta jauh tidaknya letak lahan dari pasar. Baik di Badung
Utara maupun di Badung Selatan penguasaannya tanahnya lebih rendah dan
rata-rata penguasaan lahan rumah tangga di Bah. Dari sensuspertanian 1993 dilaporkan
rata-rata luas penguasaan lahan rumah tangga petani di Bali 72 are(Sensus
Pertanian, 1993).
Singarimbun dan Penny (1976, dalam Sudana, 1984) menyatakan bahwa,
suatu rumah tangga petani untuk dapat hidup dengan cukupan paling sedikit harus
memiliki 70 are sawah dan 30 are tegalan atau pekarangan. Sedangkan menurut
Direktorat Jendral Transmigrasi (dalam Raharjo, 1979), dikatakan suatu rumah
tangga untuk dapat hidup secara layak harus memiliki tanah minimal 200 are (2
hektar), yang terdiri atas satu hektar sawah, 0,75 hektar tegalan, dan 0,25 hektar
pekarangan. Kalau mengikuti pendapat tersebut dan terutama di Badung Selatan
sebagian besar lahan pertanian telah beralih fungsi ke non pertanian, serta tanah
banyak yang merupakan tanah kapur, maka kesimpulan untuk menyatakan
Penguasaan dan pemilikan lahan erat kaitannya dengan status penguasaan
lahan. Sebagai akibat terjadinya perubahan dalam status penguasaan lahan. maka
rata-rata luas pemilikan berbeda dengan luas lahan garapan pertanian rumah
tangga. Luas pemilikan berarti luas milik yang digarap ditambah dengan luas
milik yang tidak digarap (disakapkan, disewakan dan sebagainya), sedangkan luas
garapan berarti luas lahan yang disakap ditambah luas milik yang digarap (tidak
termasuk luas milik yang digarap orang lain). Di daerah penelitian pemilikan lebih
luas dari penguasaan lahan, ini berarti ada sebagian tanah miliknya yang
dikerjakan orang lain (disakapkan, disewakan, dan sebagainya).
5.6.Pendapatan
Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kemakmuran dan atau kesejahteraan sesorang atau masyarakat, sehingga
pendapatan mencerminkan kemajuan ckonomi suatu masyarakat. Tujuan pokok
dan pembangunan nasional adalah meningkatkanpendapatan, masyarakat, ini
berarti bahwa pendapatan masyarakat dapat dipakai untuk melihat keberhasilan
pembangunan ekonomi. Keberhasilan ini dapat dilihat dari tiga aspek yaitu
besarnya, pertumbuhan dan distribusinya. Untuk mengkaji pendapatan dalam
penelitian ini dilakukan dengan dua (dua) pendekatan yaitu:
1. Pendekatan produksi (production approach), yaitu dengan menghitung
sernua nilai produksi barang dan jasa yang dapat dihasilkan dalam suatu
2. Pendekatan pendapatan (income approach) yaitu dengan menghitung
sernua nilai keseluruhan balas jasa yang dapat diterima oleh pemilik faktor
produksi dalam suatu periode tertentu.
Dalam tulisan ini pendapatan yang dicari adalah pendapatan yang berasal
dariusahatanidan non usahatani. Pendapatan dari usahatanidihitung berdasarkan
jumlah produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga per unit produksi yang
berlaku di daerah penelitian kemudian dikurangi dengan biaya-biaya riil yang
dikeluarkan selama proses produksi. Sedangkan pendapatan dari luar pertanian
dihitung berdasarkan hasil riil yang diterima sebagai imbalan tenaga kerja yang
dicurahkan di tempat mereka bekerja.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan yang intensif
berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Pembangunan yang intensif
berarti terjadi penanaman modal (investasi) yang intensif.
Dari hasil penelitian diperoleh, pendapatan rumah tangga penduduk di
Badung. Utara (sebagai daerah pertanian) sebesar Rp. 22.766.192,12 dan Badung
Selatan (sebagai daerah pariwisata) Rp. 22.172.715,15. Dengan membagi
pendapatan rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga, maka diperoleh
pendapatan per kapita sebesar Rp. 3,871.801,38./tahun di wilayah Badung Utara
dan Rp.5.472,329/tahun di wilayah Badung Selatan. Dengan memakai uji statistik
(t.test), ternyata secara statistik pendapatan masyarakat di wilayah Dadung Utara
sangat berbeda nyata dengan pendapatan masyarakat di wilayah Badung Selatan
Besarnya pendapatan masyarakat di wilavah Badung Selatan ini karena
Badung Selatan merupakan pusat pariwisata sehingga perekonomian
masyarakatnya lebih baik dibanding dengan masyarakat, di Badung Utara.
Bila dibandingkandengan Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten Badung tahun 2001, ternyata baik pendapatan masyarakat di wilayah
Badung Utara maupun Badung Selatan lebih kecil. di mana PDRB perkapita
berdasarkan alas harga konsyan 1993 sebesar Rp 5,591 .260,67 (BPS, 2002).
5.7.Distribusi Pendapatan
Di samping besarnya pendapatan, distribusi pendapatan yang merupakan
salah satu bagian dan Trilogi Pembangunan merupakan komponen yang tidak bisa
diabaikan dalam pembangunan Distribusi pendapatan merupakan salah satu
indikator untuk menentukan/mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.
Pembagian pendapatan yang tidak merata tidak saja mengganggu stabilitas
ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan politik (Pareto dkk., dalam Hasibuan,
1993).
Salah satu sebab terjadinya tingkat kesenjangan pembagian pendapatan di
negara-negara sedang berkembang adalah keadaan struktur kegiatan ekonomi
yang senjang misalnya di sektor pertanian terdapat tenaga kerja setengah
menganggur yang tinggi dan tingkat pendapatan pekerja yang relatif rendah.
sedangkan di pihak lain sektor manufaktur dengan teknologi yang relatif modern
Sektor pertanian adalah sektor yang menampung sebagian besar tenaga
kerja dengan tingkat produktivitas yang rendah, sektor mi kebanyakan bersifat
tradisional dengan tingkat pendidikan tenaga kerja yang relatif tertinggal, Banyak
para ahli yang meneliti tentang kesenjangan pembagian pendapatan personal pada
sektor pertanian. Dari tulisan tersebut diperoleh bahwa beberapa variabel yang
berkaitan dengan kesenjangan pembagian pendapatan yaitu luas tanah,
kesempatan kerja, kesempatan dalam memperoleh irigasi, status pemilikan tanah,
dan tingkat pertumbuhan (Hasibuan, 1993). Sedangkan Bellante dan Jakson
(1990) menyebutkan sumber ketidaksamaan pendapatan adalah perbedaan dalam
human capital yang pada akhimya membawa perbedaan dalam penghasilan. Lebih
lanjut disebutkan bahwa perbedaanitukarenaperbedaan citarasa dan preferensi
seseorang,kesediaan menggantikan pekerjaan dengan waktu untuk leisure, jenis
serta jumlah pekerjaan, dan motivasi.
Untuk mengukur keberhasilan pembangunan, hendaknya tidak hanya
diukur dengan besarnya pendapatan tetapi juga dilihat dari bagaimana penyebaran
pendapatan tersebut di masyarakat. Distribusi pendapatan merupakan suatu
konsep yang empiris untuk menentukan atau menilai bagaimana pendapatan total
populasi itu terbagi diantara satuan-satuan yang menerima pendapatan (Soejono,
1978). Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan distribusi
pendapatan dalam tulisan ini adalah suatu keadaan yang menunjukkan bagaimana
penyebaran total pendapatan diantara penerima pendapatan di Badung Utara dan
Dari hasil perhitungan dengan formula Gini Ratio diperoleh bahwa
distribusi pendapatan per kapita per tahun untuk wilayah Badung Utara dan
Badung Selatan tergolong dalam ketimpangan sedang dengan Gini Ratio sebesar
0,62 dan 0,65.dan
Gini Ratio di negara-negara sedang berkembang rata-rata 0,467 sedangkan
untuk negara-negara maju 0,392 (Irawan dan Suparmoko, 1992). Ini berarti
tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah Badung Utara maupun Badung Selatan
masih perlu mendapat perhatian dan berbagai pihak.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Artini (1996) di
Kecamatan Abang di mana distribusi pendapatan petani di Kecamatan Abang
tergolong dalam ketimpangan ringan dengan Gini Ratio sebesar 0,229. Dari hasil
penelitian Artinidkk, (2001) sebelumnya menunjukkan bahwa Gini Ratio
pendapatan masyarakat Di Badung Utara dan Badung Selatan sebesar 0,64 dan
0,73. Ini berarti setelah meledaknya Bom Bali tahun 2002 pendapatan masyarakat
di Daerah penelitian mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan
pendapatan ini sekaligus menurunkan angka Gini (perbaikan penyebaran
VI.KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari uraian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Masyarakat di Badung Utara (daerah non pariwisata) mempunyai
karakteristik antara lain: rata-rata pendidikan formal 9,4 tahun; luas
penguasaan tanah 33.39 are dan pemilikan tanah 50,87 are. Sementara
masyarakat di Badung Selatan (daerah pariwisata) rata-rata pendidikannya
7,2 tahun, luas penguasaan tanah 24,38 are serta luas pemilikan tanah
sebesar 48,61 are.
2. Pendapatan penduduk Badung Utara (daerah non pariwisata) dan
pendapatan penduduk di Badung Selatan (daerah pariwisata)
masing-masing Rp 3.871.801,38 dan Rp 5.472.329,47 per kapita per tahun.
3. Distribusi pendapatan per kapila per tahun masyarakat di Badung Utara
(daerah non pariwisata) dan masyarakat di Badung Selatan (daerah
pariwisata) Tergolong dalam ketimpangan sedang dengan indek Gini
6.2 Saran
1. Perlu ada upaya peningkatan pendapatan masyarakat baik di daerah non
pariwisata maupun di daerah pariwisata.
2. Perlu adanya upaya-upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan
masyarakat agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Hal ini dapat dicapai
bila pemerintah menciptakan iklim yang berpihak kepada golongan
DAFTAR PUSTAKA
Artini, Ni Wayan Putu (1996). Analisis Rumah Tangga Petani di Desa Miskin dan Tidak Miskin, Thesis Pasca Sarjana universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Artini, Ni Wayan Putu, I gdePItana, Ni Wayan Sri Astiti, dan I WayanWidyantara (2001). Tingkat kesejahteraan penduduk di Badung Utara dan Badung Selatan, Kerjasama Pusat Penelitian Kepariwisataan dan Kebudayaan dengan Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar
Badan Pusat Statisitk (2002). Badung Dalam Angka 2002. Bappeda Kabupaten Badung.
Bellante, D. dan Mark Jakson (1990). Ekonomi Ketenagakerjaan, terjemahan Wimanjaya K. Liotohe dan M. Yasin Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Halide (1979). Pemanfaatan Waktu Luang Rumah Tangga Petani di Daerah Aliran Sungai Jeneberang, Disertai Doktor Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Hasibuan, Nurimansyah (1993). Pemerataan dan Pembangunan Ekonomi, Universitas Sri Wijaya, Palembang.
Nasikun (1992). Indek Kualitas Hidup Fisik : Makna dan LImitasinya. Kumpulan Makalah Membangun Martabat Manusia, Gajah Mada Universitas Press.
Pitana, I Gde (1999). Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad, BP, Denpasar.
Santyosa (1974). Penyebaran Industri di Daerah Pedesaan, Warta Pertanian NO. 31 Tahun IV, Departemen Pertanian Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Tri Handayani (1982). Pembuatan Kuesioner, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta.
Sudana, I Wayan (1984). Tingkat Kemiskinan Keluarga Petani di Desa Pupuan, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Skripsi Sarjana Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Udayana, Denpasar.